PENGUNJUNG

Senin, 22 Februari 2021

Para Penerima Wasiat Rasulullah SAW

Setelah Rasulullah saw wafat, wasiat Rasul itu dipegang teguh oleh para sahabatnya dengan cara memberikan perhatian terhadap sunnah-sunnah Nabi saw dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Al-Quran. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadits atau maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Rasul yang mereka dengar, perbuatan dan persetujuannya yang mereka saksikan, dan berdasarkan pengetahuan mereka mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya hadits-hadits itu. Dan, hadits-hadits yang sulit dipahami atau tidak diketahui maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada sahabat yang lebih kompeten di bidang itu.

Demikian tinggi perhatian dan kesungguhan mereka untuk menerima sunah Nabi saw hingga mereka bergiliran mendatangi sesama sahabat. Sikap para sahabat yang demikian itu didasari oleh keyakinan bahwa [1] Rasul tidak mengucapkan sesuatu atas dasar hawa nafsu atau kemauannya sendiri, tetapi yang diucapkannya itu wahyu yang diwahyukan kepadanya, [2] mencintai Rasul harus melebihi kecintaan mereka kepada diri sendiri, [3] mempelajari sunnahnya akan mendapatkan kenikmatan rohani dan kepuasan batin. Di samping itu, mereka memperoleh jamuan keimanan dan bekal ketakwaan, dan mereka memandang bahwa hal tersebut merupakan jalan menuju surga.

Untuk itu mereka tidak henti-hentinya melakukan upaya kaderisasi, sebagaimana telah diwasiatkan oleh Rasulullah saw. untuk menyambut thulab al-‘ilm (para santri) dengan baik. Abu Harun al-‘Abdi meriwayatkan, “Apabila kami mendatangi Abu Sa’id al-Khudriyi, beliau senantiasa menyambut kami dengan ucapan: [Marhaban bi washiyyatir Rasulillah (selamat datang wasiat Rasul)].  Kami bertanya: [Apa wasiat Rasul itu? Kata Abu Said: [Rasul bersabda kepada kami: {Setelah aku meninggal akan datang kepada kalian suatu generasi  yang hendak mempelajari hadits. Karena itu apabila mereka datang hendaklah kalian bersikap lemah lembut dan ajarkanlah hadits kepada mereka}” (Lihat,  al-Muhaddits al-Fashil, hlm.176)

وَإِنَّهُمْ سَيَأْتُونَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الْأَرْضِ يَتَفَقَّهُونَ فِي الدِّينِ فَإِذَا جَاءُوكُمْ فَاسْتَوْصُوا بِهِمْ خَيْرًا

"Sesungguhnya mereka akan datang kepada kalian dari berbagai penjuru bumi untuk bertafaquh fid din (memperdalam agama). Karena itu apabila mereka mendatangi kalian hendaklah kalian menyambut mereka dengan baik. (Lihat, Sunan at-Tirmidzi  V: 30; Sunan Ibnu Majah, I: 91)

Dalam proses tahdziib (memelihara) wasiat Rasul itu, para sahabat mengembangkan berbagai cara, sistem, dan pola pemberdayaan yang beragam. Misalnya Jabir mempunyai halaqah (majelis ilmu) di mesjid Nabawi, di sana ia mendiktekan hadits pada murid-muridnya. Muhamad bin al-Hanafiyyah (W 80 H/699 M), Muhamad bin Ali al-Baqir (W 114 H/732 M), Wahab bin Munabbih (W 114 H/732 M),  termasuk murid Jabir yang banyak belajar hadits darinya. Atau Abu Bakar yang senantiasa berupaya mensuplai bahan makanan bagi ashabus suffah (para santri penghuni asrama masjid Nabawi). (Lihat, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, Hlm. 26-27)

Karena sikap yang mulia itulah lahir penamaan Ahlus Sunnah bagi kaum muslimin yang berpegang teguh pada sunnah Rasul. Ibnu Hazm (W 456 H/1063 M) berkata: “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang kami sebut ahlul haq, dan selain mereka adalah ahlul bid’ah. Adapun ahlul haq itu adalah para sahabat dan setiap orang yang mengikuti jejak mereka, yaitu para tabi'in, kemudian ahlul hadits dan fuqaha dari generasi ke generasi sampai masa kita sekarang ini”. (Lihat, al-Fashl fil Milal, II: 90). Penamaan ini sudah digunakan sebelum terjadinya atau tidak ada keterkaitan dengan kejadian iftiraq (perpecahan umat dan munculnya ahli bid'ah) pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Affan (tahun 35 H/656 M).

إِنَّ للهِ عِبَادًا يُحْيِيْ بِهِمُ الْبِلاَدَ ، وَهُمْ أَصْحَابُ السُّنَّةِ ، وَمَنْ كَانَ يَعْقِلُ مَا يَدْخُلُ جَوْفَهُ مِنْ حِلِّهِ كَانَ مِنْ حِزْبِ اللهِ

“Sesungguhnya Allah memiliki para hamba yang melalui hamba-hamba itu Allah menghidupkan negeri-negeri. Mereka adalah Ashabus Sunnah dan orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam kerongkongannya, yaitu makanan halal. Mereka termasuk tentara Allah” (Ibid., I: 67, No. hadits 46)

Maksudnya, tidak memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi saw dan para shahabat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...