Pengertian Risywah
Secara haqiqah syar’iyyah (hakikat syariat) مَا يُعْطَى لإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ
لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ
“Pemberian
untuk membatalkan kebenaran dan membenarkan yang batil” (Lihat, Syarhus Sunnah, X:88)
Secara praktek dapat dipastikan bahwa risywah melibatkan dua
pihak (ar-rasyi dan al-murtasyi). Namun terkadang melibatkan pula
pihak ketiga (ar-Raisy).
Imam Ibnul Jauzi menjelaskan:
الرَّاشِي
الَّذِيْ يُعْطِي مَنْ يُعِينُهُ عَلَى البَاطِلِ والمُرْتَشِي الآخِذُ وَالَّذِيْ
يَسْعَى بَيْنَهُما يُسَمَّى الرَّائشُ
“Ar-Rasyi
adalah orang yang memberikan harta kepada orang lain yang membantunya pada
kebathilan. Al Murtasyi adalah yang mengambil harta tersebut. Dan yang berperan
(perantara) di antara keduanya disebut ar-Raisy”. (Lihat, Gharib Al-Hadits, I:395)
Keharaman Risywah
Di dalam ayat Alquran istilah risywah tidak disebutkan
secara tersurat. Namun Alquran menggunakan ungkapan lain yang bermakna risywah,
yaitu as-suht. Allah berfirman:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ
لِلسُّحْتِ
”Mereka itu adalah orang-orang yang
suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” Q.s. Al Maidah:42
Kalimat
akkaaluna lissuhti secara umum sering diterjemahkan dengan memakan harta
yang haram. Namun konteksnya adalah memakan harta berstatus risywah. Penafsiran
ini sesuai dengan penjelasan Nabi:
كُلُّ
لَحْمٍ نَبَتَ بِالسُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ
وَمَا السُّحْتُ ؟ قَالَ الرِّشْوَةُ فِى الْحُكْمِ – رواه ابن جرير عن عمر -
“Setiap daging yang tumbuh karena
as-suht, maka api nereka lebih utama kepadanya” Mereka bertanya, “Wahai Rasul,
apa as-suht itu?” beliau menjawab, “Risywah dalam hukum”(H.r. Ibnu Jarir, dari Umar)
Sedangkan
dalam sunah keharaman risywah diungkap secara sharih (tegas dan jelas), antara
lain sebagai berikut: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الرَّاشِيَ
وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
“Rasulullah saw. melaknat
ar-rasyi dan al-murtasyi, yakni yang berjalan (perantara) di antara keduanya ” (H.r. Ahmad)
Risywah
untuk Memperoleh Hak & mencegah kezaliman
Jumhur
ulama membolehkan risywah yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman
seseorang. Kebolehan itu berdasarkan hadis Nabi saw. dan atsar Ibnu Mas’ud
sebagai berikut:
عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنِ ابْن مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّهُ لَمَّا أَتَى
أَرْضَ الْحَبَشَةِ أَخَذَ بِشَىْءٍ فَتُعُلِّقَ بِهِ فَأَعْطَى دِينَارَيْنِ
حَتَّى خُلِّىَ سَبِيلُهُ
Dari
al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika ia datang ke
negeri Habsyah, ia membawa sesuatu, maka ia ditahan karena sesuatu itu. Lalu ia
memberi dua dinar sehingga ia dibebaskan.
(H.r. al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, juz X:139)
Meskipun
demikian para ulama sepakat bahwa dalam konteks ini murtasyi (orang yang
menerima suap) tetap haram dan berdosa. Lihat, Kasyaful Qana’, VI:316, Nihayatul
Muhtaj, VIII:243, Hasyiah Ibnu Abidin, IV:304.
Perbedaan
Risywah dengan Hadiah
Risywah
dan hadiah memiliki kesamaan juga perbedaan. Dikatakan sama karena kedua-duanya
masuk didalam kategori pemberian kepada seseorang. Dikatakan beda dilihat dari
motif, fungsi, dan eksesnya.
Kata
hadiah (هدِيَّة) berarti إهداء (pemberian), اللُّهْنَة (oleh-oleh), التَّقدِمَة
(hadiah). dapat didefinisikan bahwa hadiah adalah pemberian harta kepada
orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim),
mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub).
Dalil
Kebolehan Hadiah
Dalil-dalil
yang digunakan oleh ulama dalam pembahasan ini pada umumnya berasal dari hadis,
antara lain sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه،
قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ
عَنْهُ: أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ فَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ، قَالَ لأَصْحَابِهِ:
كُلُوا، وَلَمْ يَأْكُلْ وَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ صلى الله عليه
وسلم، فَأَكَلَ مَعَهُمْ
Dari
Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. apabila diberi makanan beliau
bertanya: apakah makanan ini hadiah atau sadaqah. Jika dijawab: ‘Sadaqah’,
beliau mengatakan pada para sahabatnya, ‘Makanlah oleh kalian’, sedangkan
beliau tidak memakannya. Akan tetapi bila dijawab: ‘Hadiah’, maka beliau (Nabi
saw) mengambil dengan tangannya lalu makan bersama mereka” (H.r. Al-Bukhari)
Hadiah
bagi pejabat atau pemegang kebijakan
Jika
dalam menjalankan tugas atau jika terkait dengan tugasnya, seseorang yang
memiliki jabatan atau mempunyai wewenang tertentu diberi hadiah oleh pihak lain
dengan harapan pejabat tersebut dapat memberi kemudahan tertentu atau memberi
keringanan tertentu atas suatu tuntutan, maka hadiah yang demikian
dikategorikan sebagai ghulul (korupsi).
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيّ
قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ
الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَجَاءَ فَقَالَ
هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ
فَيَجِيءُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ
أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَأْتِي أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ
بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى
رَأَيْنَا عُفْرَةَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari
Abu Hamid as-Sa’adi, ia berkata, “Nabi saw. pernah mengangkat/mempekerjakan
seseorang dari Bani al-Azad, ada yang mengatakan namanya Ibn al-Lutbiyah, untuk
mengumpulkan sadaqah. Setelah kembali ia mengatakan kepada Rasulullah, ‘Ini
untukmu dan ini dihadiahkan untukku’. Lalu Nabi saw. berdiri berkhutbah sambil
memuji Allah swt. Dalam khutbahnya beliau bersabda, ‘Seorang karyawan yang kita
utus mengumpul sadaqah datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini untukku’.
Kenapa dia tidak duduk saja sambil menunggu di rumah bapaknya atau ibunya, apakah
dia akan diberi hadiah atau tidak ? Demi yang diri Muhammad di tangan-Nya,
tidaklah kami mengutus seseorang di antara kamu mengambil sesuatu kecuali
datang dia pada hari kiamat membawa di lehernya, jika dia menerima unta akan
berbunyi unta, begitu juga sapi akan berbunyi sapi, kambing akan berbunyi
kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat
ketiaknya, lalu berdoa, ‘Ya Allah, apakah aku sudah menyampaikannya’. Doa itu
diucapkannya tiga kali” (H.r.
al-Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar