Dakwah secara etimologi (lughowi)
merupakan masdar dari fiil da’aa, yad’uu, da’watan yang berarti mengajak dan
menyeru manusia dari satu keadaan kepada keadaan yang lain QS 2: 221 dan QS. 3:
21. Kata dakwah berarti juga berdo’a, yaitu mengharapkan adanya perubahan dan
perombakan dari keadaan sebelumnya.
Dr Muhammad Natsir[1]
dalam fiqh dakwahnya menyatakan bahwa dakwah mengajak manusia kepada Allah
sehingga ingkar kepada thogutdan beriman kepada Allah, dan keluar dari
kegelapan jahiliyah menuju cahaya nur (Islam). Melihat ayat-ayat al Qura’n dan
Sunnah serta pendapat para ulama maka dapat disimpulkan bahwa Dakwah Islamiyah
adalah sebuah aktivitas yang bersifat totalitas, yang bertujuan untuk mengubah
pemikiran, perasaan, dan perbuatan manusia agar sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam.
Da’wah merupakan kewajiban setiap
individu muslim, yang mendapat perhatian cukup besar dalam pandangan Islam.
Posisi da’wah dalam Islam ibarat darah dalam tubuh manusia. Ia menyebabkan
ummat hidup dan terus tumbuh dan berkembang. Da’wahlah yang mampu menggerakkan
ummat untuk tetap terikat dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Namun sebaliknya,
disaat ummat meninggalkan da’wah, ummat tidak akan lagi terwarnai oleh fikrah
dan kepribadian Islam. Ummat akan tercelup dan tergiring oleh
tsaqafah/peradaban kufur yang tidak akan membawa kebaikan, melainkan kehancuran
aturan masyarakat, nilai-nilai moral dan peradaban manusia itu sendiri.
Secara syar’i, kewajiban da’wah memiliki banyak perintah dan qorinah yang menunjukkan betapa kewajibannya bernilai amat tinggi dan menentukan; diantaranya firman Allah SWT : QS. An-Nahl: 125, QS At-Taubah: 71, (QS. Al-Fushilat: 33
Pembuktian Keimanan dan Kemunafikan
“Siapa saja yang bangun pagi hari dan ia hanya
memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di
sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin,
maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR. Thabrani dari Abu Dzar al
Ghifari)
Setiap
dakwah mestilah melalui tiga marhalah:
1. Marhalah ad-Di'ayah (at-Ta'rif): Marhalah propaganda, memperkenalkan, menggambarkan fikrah dan menyampaikan kepada orang ramai di setiap lapisan masyarakat.
2. Marhalah at-Takwin: Marhalah pembentukan, memilih para pendokong, menyiapkan angkatan tentera, pendakwah dan jihad erta mendidik mereka. Mereka dipilih dari golongan yang telah menyambut seruan dakwah.
3.
Marhalah Tanfiz: Marhalah pelaksanaan, beramal, berusaha untuk mencapai tujuan[2]
Landasan metode Dakwah
yang telah Allah SWT tunjukan melalui firman-Nya (Q.S
An-Nahl: 125) Dari ayat tersebut dapat kita fahami
bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan[3]
:
1. Al-Hikmah
Kata
“hikmah” dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh
mau pun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah “hukman” yang
diartikan secara makan aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum
berarti mencegah dari kezaliman, dan jika diartikan dengan dakwah berarti
menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-hikmah merupakan kemampuan dai dalam
memilih dan memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u.
Di samping itu juga merupakan kemampuan dai dalam menjelaskan doktrin-doktrin
Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang
komunikatif.
2. Al-Mau’idzatil Hasanah
Secara
bahasa, mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, mau’idzah dan hasanah.
Kata mau’idzah berasal dari kata
wa’adza-ya’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang berarti nasehat, bimbingan, pendidikan
dan peringatan. Sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang
berarti kebaikan lawannya kejelekan.
Mau’idzah
hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk
mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasehat atau membimbing dengan lemah
lembut agar mereka mau berbuat baik.
Dalam pengertian ini, mau’idzah hasanah mengandung arti kata-kata
yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih saying dan ke dalam perasaan
dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang
lain, sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati
yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan
daripada larangan dan ancaman.
3. Al-Mujadalah bi-al-lati Hiya Ahsan
Dari
segi etimologi (bahasa) lafadz mujadalah terambil dari kata jadala
yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang
mengikuti wajan faa’ala, jaa dala dapat bermakna berdebat dan mujadalah
berarti perdebatan. Mujadalah
bi-al-lati Hiya Ahsan merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua
pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar
lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti
yang kuat.
Menurut
Muriah (2000: 55) Ketiga metode dakwah tersebut dapat diaplikasikan oleh
Rasulullah dalam berbagai pendekatan yaitu :
2. Pendekatan Pendidikan
3. Pendekatan diskusi
4. Pendekatan Penawaran
5. Pendekatan Misi dengan pengirian dai ke daerah-daerah di luar tempat domisili.
Dakwah bi-Lisan Al-Haal
Secara
etimologis, dakwah bi-Lisan Al-Haal merupakan penggabungan dari tiga
kata yaitu dakwah, lisan, dan al-hall. Dakwah berarti memanggil
atau menyeru, lisan berarti bahasa, sedangkan al-haal berarti hal atau
keadaan, lisan al-haal mempunyai arti yang menunjukkan realitas
sebenarnya. Jika ketiga kata tersebut digabungkan maka dakwah bi-Lisan
Al-Haal mengandung arti “memanggil,
menyeru dengan menggunakan bahasa keadaan”.
Dengan demikian yang dimaksud dengan dakwah bi-Lisan Al-Haal adalah memanggil, menyeru ke jalan Tuhan untuk
kebahagiaan dunia akhirat dengan menggunakan bahasa keadaan manusia yang
didakwahi (mad’u) dengan perbuatan nyata sesuai dengan keadaan manusia.
Karena merupakan aksi atau tindakan nyata maka dakwah bi-Lisan Al-Haal dipergunakan untuk merujuk kegiatan dakwah
melalui aksi atau tindakan menggerakan “aksi menggerakkan “ mad’u sehingga
dakwah ini lebih berorientasi kepada pengembangan masyarakat. Dakwah dalam
pendekatan bi-Lisan Al-Haal difungsikan untuk meningkatkan kualitas
umatnya yang pada akhirnya akan membawa adanya perubahan sosial, karena pada
hakikatnya Islam menyangkut tataran kehidupan manusia sebagai individu dan
masyarakat (sosio-kultural).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar