PENGUNJUNG

Senin, 22 Februari 2021

Dakwah; Pembuktian Keimanan dan Kemunafikan

  •  

Dakwah secara etimologi (lughowi) merupakan masdar dari fiil da’aa, yad’uu, da’watan yang berarti mengajak dan menyeru manusia dari satu keadaan kepada keadaan yang lain QS 2: 221 dan QS. 3: 21. Kata dakwah berarti juga berdo’a, yaitu mengharapkan adanya perubahan dan perombakan dari keadaan sebelumnya.


Dr Muhammad Natsir[1] dalam fiqh dakwahnya menyatakan bahwa dakwah mengajak manusia kepada Allah sehingga ingkar kepada thogutdan beriman kepada Allah, dan keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya nur (Islam). Melihat ayat-ayat al Qura’n dan Sunnah serta pendapat para ulama maka dapat disimpulkan bahwa Dakwah Islamiyah adalah sebuah aktivitas yang bersifat totalitas, yang bertujuan untuk mengubah pemikiran, perasaan, dan perbuatan manusia agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam.


Da’wah merupakan kewajiban setiap individu muslim, yang mendapat perhatian cukup besar dalam pandangan Islam. Posisi da’wah dalam Islam ibarat darah dalam tubuh manusia. Ia menyebabkan ummat hidup dan terus tumbuh dan berkembang. Da’wahlah yang mampu menggerakkan ummat untuk tetap terikat dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Namun sebaliknya, disaat ummat meninggalkan da’wah, ummat tidak akan lagi terwarnai oleh fikrah dan kepribadian Islam. Ummat akan tercelup dan tergiring oleh tsaqafah/peradaban kufur yang tidak akan membawa kebaikan, melainkan kehancuran aturan masyarakat, nilai-nilai moral dan peradaban manusia itu sendiri.


Secara syar’i, kewajiban da’wah memiliki banyak perintah dan qorinah yang menunjukkan betapa kewajibannya bernilai amat tinggi dan menentukan; diantaranya firman Allah SWT : QS. An-Nahl: 125,  QS At-Taubah: 71,  (QS. Al-Fushilat: 33



Pembuktian Keimanan dan Kemunafikan

 

“Siapa saja yang bangun pagi hari dan ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR. Thabrani dari Abu Dzar al Ghifari)

Setiap dakwah mestilah melalui tiga marhalah:

1.      Marhalah ad-Di'ayah (at-Ta'rif): Marhalah propaganda, memperkenalkan, menggambarkan fikrah dan menyampaikan kepada orang ramai di setiap lapisan masyarakat.

2.      Marhalah  at-Takwin:  Marhalah  pembentukan,  memilih  para  pendokong,  menyiapkan angkatan  tentera,  pendakwah  dan  jihad  erta  mendidik  mereka.  Mereka  dipilih  dari golongan yang telah menyambut seruan dakwah.

3.      Marhalah Tanfiz: Marhalah pelaksanaan, beramal, berusaha untuk mencapai tujuan[2]

            Landasan metode Dakwah yang telah Allah SWT tunjukan melalui firman-Nya  (Q.S An-Nahl: 125) Dari ayat tersebut dapat kita fahami bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan[3] :

1.      Al-Hikmah

            Kata “hikmah” dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh mau pun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah “hukman” yang diartikan secara makan aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika diartikan dengan dakwah berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-hikmah merupakan kemampuan dai dalam memilih dan memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Di samping itu juga merupakan kemampuan dai dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif.

2.      Al-Mau’idzatil Hasanah

            Secara bahasa, mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, mau’idzah dan hasanah.  Kata mau’idzah berasal dari kata wa’adza-ya’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang berarti nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan. Sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang berarti kebaikan lawannya kejelekan.

            Mau’idzah hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasehat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.  Dalam pengertian ini, mau’idzah hasanah mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih saying dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain, sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.

3.      Al-Mujadalah bi-al-lati Hiya Ahsan

            Dari segi etimologi (bahasa) lafadz mujadalah terambil dari kata jadala yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wajan faa’ala, jaa dala dapat bermakna berdebat dan mujadalah berarti perdebatan.  Mujadalah bi-al-lati Hiya Ahsan merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.

            Menurut Muriah (2000: 55) Ketiga metode dakwah tersebut dapat diaplikasikan oleh Rasulullah dalam berbagai pendekatan yaitu :

1.      Pendekatan Personal
2.      Pendekatan Pendidikan
3.      Pendekatan diskusi
4.      Pendekatan Penawaran
5.      Pendekatan Misi dengan pengirian dai ke daerah-daerah di luar tempat domisili.

Dakwah bi-Lisan Al-Haal

            Secara etimologis, dakwah bi-Lisan Al-Haal merupakan penggabungan dari tiga kata yaitu dakwah, lisan, dan al-hall. Dakwah berarti memanggil atau menyeru, lisan berarti bahasa, sedangkan al-haal berarti hal atau keadaan, lisan al-haal mempunyai arti yang menunjukkan realitas sebenarnya. Jika ketiga kata tersebut digabungkan maka dakwah bi-Lisan Al-Haal  mengandung arti “memanggil, menyeru dengan menggunakan bahasa keadaan”.  Dengan demikian yang dimaksud dengan dakwah bi-Lisan Al-Haal  adalah memanggil, menyeru ke jalan Tuhan untuk kebahagiaan dunia akhirat dengan menggunakan bahasa keadaan manusia yang didakwahi (mad’u) dengan perbuatan nyata sesuai dengan keadaan manusia. Karena merupakan aksi atau tindakan nyata maka dakwah bi-Lisan Al-Haal  dipergunakan untuk merujuk kegiatan dakwah melalui aksi atau tindakan menggerakan “aksi menggerakkan “ mad’u sehingga dakwah ini lebih berorientasi kepada pengembangan masyarakat. Dakwah dalam pendekatan bi-Lisan Al-Haal  difungsikan untuk meningkatkan kualitas umatnya yang pada akhirnya akan membawa adanya perubahan sosial, karena pada hakikatnya Islam menyangkut tataran kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat (sosio-kultural).



[1] M. Natsir, Fiqh Dakwah, Media Dakwah, Solo, 2000 cet 10, hal

[2] Musthafa Mansyur, Jalan Dakwah, Konsis Media, 1979 hal 12

[3] Miftah Husni, Model Dakwah Kepada Geng Motor, Tesis, Universitas Islam Bandung, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...