Pengantar Ilmu Warits Islam
A.
Muqadimah
Permasalahan
perpindahan milik dalam Islam telah diatur sedemikian rupa dalam aturan-aturan
syari’at terutama yang berkaitan dengan kehalalan dan keharaman perpindahan
barang tersebut. Hal ini dikarenakan syari,at Islam menurut para ulama Ushul
Fiqh mempunyai tujuan (Maqashid As-Syari’ah)[2] untuk menjaga jiwa,
harta, akal, Agama, dan keturunan.
Salah satu tujuan tersebut berkaitan dengan
penjagaan harta sebagai salah satu bentuk yang dapat dimiliki untuk
kesejahteraan manusia. Pengaturan ini berkaitan dengan kemaslahatan kepemilikan
tersebut sehingga tidak menimbulkan konflik dan perpecahan dalam kepemilikan,
selain itu kepemilikan yang diperoleh dengan cara yang benar menurut aturan syari’at,
akan membawa berkah dan menjadi wasilah pahala kelak di hari perhitungan.
"Harta yang banyak"
oleh Al-quran disebut
"khair" (Q.s.
Al-Baqarah [2): 180), yang arti
harfiahnya adalah "kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa harta
kekayaan adalah sesuatu yang
dinilai baik, tetapi
juga untuk mengisyaratkan bahwa
perolehan dan penggunaannya harus pula
dengan baik. Tanpa memerhatikan hal-hal
tersebut, manusia akan
mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.
Syari’at
Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,
dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an
menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai
anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas
saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama
hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang
diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an
yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang
legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat
Tentang kepemilikan, Islam memiliki prinsip dasar: Milik Allah-lah segala
sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dengan demikian, harta kekayaan yang
dikuasai oleh manusia, yang sering diklaim sebagai miliknya secara penuh, pada
hakikatnya adalah milik Allah. Status kepemilikan seseorang
atas hartanya sekadar amanah, bukan kepemilikan sebenarnya. Karena itu, ia
harus dikelola dengan pijakan aturan
transaksi yang Allah gariskan. Ketika seseorang hendak mengembangkan
hartanya, harus pula berada dalam rambu-rambu etika dan hukum yang disyariatkan
Allah swt.
B.
Mengapa Harus Ilmu Waris Islam?
Sebenarnya,
pertanyaan ini tidak layak jika ditanyakan oleh dan kepada orang yang beragama
Islam, namun beberapa factor seperti ketidaktahuan, ketidakfahaman,
subjektifitas diri terutama dalam bagian, dan sebagainya, menghalangi orang
Islam untuk menggunakan ilmu waris Islam, padahal perintah menggunakan ilmu
waris Islam, tidak berbeda dengan perintah-perintah lain di dalam Islam yang
mempunyai konsekuensi pahala jika dilaksanakan dan mendapatkan dosa jika tidak
dilaksanakan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam AL-Qur’an :
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya
kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar). Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.[3]
Al-miirats, dalam bahasa
Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan
makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i[4]. Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada
masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan
rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum
Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin
dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak
mendapatkan warisan. Maka Allah SWT menghapus semua bentuk pewarisan
dengan menurunkan hukum waris dalam surat An-nisa:7,
Al-Anfal:75,al-Ahzab : 6
Selain itu, akal memahami bahwa harta orang yang meninggal bukanlah milik harta suami, anak, saudara, ibu dan yang lainnya, karena selama masa hidup pun, jika seorang anak menginginkan harta dari orang tuanya maka ia harus memintanya terlebih dahulu, selain itu tanpa ada akad seperti shodaqoh atau hibah, maka setelah meninggal pun harta itu tidak menjadi milik keluarganya. Lalu milik siapakah harta yang ditinggalkan? Tentu saja dalam konsep Islam, harta itu adalah milik Allah SWT. Namun Allah SWT tidak memerlukan harta itu, manusia lah yang memerlukannya. Untuk memiliki harta itu secara halal, maka aturan yang ditetapkan Allah SWT, harus menjadi landasan kepemilikannya, jika tidak, maka harta itu akan haram dimiliki, dikarenakan perhitungan selain ilmu waris Islam, terutama dalam kadar perhitungan yang berbeda bagi tiap ahli warisnya, secara langsung mengurangi dan melebihkan harta diantara bagian ahli waris itu.
Analogi sederhana, jika seseorang menemukan suatu barang yang tidak diketahui pemiliknya, maka Islam menjadikan barang temuan itu menjadi miliknya. Namun perpindahan kepemilikian itu hanya menjadi halal jika menggunakan aturan Islam yaitu harus menyebarkan terlebih dahulu untuk diketahui siapa pemiliknya, jika tidak ada, maka setelah satu tahun baru menjadi miliknya, itu pun beserta konsekuensi kesanggupan mengganti setelah digunakan apabila setelah satu tahun jika ada yang mengaku menjadi pemiliknya.
C.
Prinsip-Prinsip
Dasar
1.
Sebab-sebab Adanya Hak Waris
a.
Kerabat hakiki (yang
ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan
seterusnya.
b.
Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal
(syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan,
c.
Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum.
2.
Bentuk-bentuk
Waris
a.
Hak waris
secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
b.
Hak waris
secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
c.
Hak waris
secara tambahan.
d.
Hak waris
secara pertalian rahim
3.
Dalam hukum waris Islam, apabila semua ahli
waris berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya ada 5 (lima) orang
yaitu anak kandung (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu, istri (janda), suami
(duda). Sedang ahli waris lain tidak mendapat apa-apa. Ini adalah prinsip dasar
hukum waris Islam yang perlu diketahui oleh kalangan awam. Apabila kelima orang
di atas tidak lengkap, maka ahli waris lain punya peluang untuk mendapat
warisan
D.
Penutup
Dalam Sebuah hadits, Rasullullah SAW bersabda,
“Belajarlah ilmu faraidl (ilmu waris Islam) dan ajarkanlah kepada
orang-orang, karena sesunggunya ilmu faraidl setengah dari ilmu yang berkaitan
dengan harta, dan ia akan banyak dilupakan, dan ia adalah ilmu pertama yang
dicabut dari umatku”. [5]
Walau pun derajat hadits ini tidak mencapai derajat shahih
lidzatihi, namun ia shahih li-ghairihi, sehingga hadits ini dapat dijadikan
pegangan oleh umat Islam dalam menyikapi fenomena sikap umat Islam itu sendiri
terhadap ilmu faraidl. Oleh karena itu adalah merupakan suatu kebahagian dunia
akhirat bagi orang asing yang menghidupkan sunnah Rasul ketika kebanyakan
manusia merusaknya dengan cara meninggalkannya. [6]
Catatan Kaki :
1.
2. Tujuan Pensyariatan suatu aturan yang berjumlah lima perkara pokok yang merupakan kepentingan primer manusia, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, keturunan, akal dan harta benda.(Ushul Fiqh: Abu Zahrah)
3. Q.S An-Nisa ayat 13-14
4. Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Pembagian Waris Menurut Islam penerjemah A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995
5. HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Baihaqi. (Hukum Waris, Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar:200 Hal 22)
6.
HR. Muslim Jilid 1:no 73)
dan HR. Tirmidzi dalam Tuhfatul Ahwadzi Jilid 7: no. 383
Sumber Rujukan;
-
Al-Mubarakafuri,
Muhamad Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfah al-Ahwadzi: Syarh Sunan
al-Tirmidzi. Beirut: Dar el-Fikr, t.t.
-
Amirudin,
Aam, 2013, Al-Mu’ashir Tafsir Kontemporer, Perpustakaan Nasional RI, Jakarta
-
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali, 1995, Pembagian Waris Menurut Islam penerjemah
A.M.Basamalah Gema Insani Press,
-
Komite
Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, 2000, Hukum Waris, Penerjemah, H, Adys
Aldizar, LC, dan H. Fattirohman, Lc. Senayan Abadi Publishing, Jakarta
-
Muslim
bin al-Hajjaj. Shahih Muslim. Beirut: Dar el Fikr, t.t.Nashif, Manshur
Ali. Al-Taj al-Jami' al-Ushul Fi Ahadits al-Rasul. Beirut: Dar al-Fikr,
1975
- Zahrah, Abu, 1992, Ushul Fiqh,
Zain, Ahmad, 2011, Harta Gono-Gini dalam Islam,(online pada http;//www.ahmadzain.com/read/karyatulis/232/harta-gono-gini-dalam-islam/) diakses pada hari sabtu, 20 Desember 2014 pk. 16.05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar