عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari
Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
“Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah
(mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah
(mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan
hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Dalam
riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Hadits
ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan,
“Hadits
ini pantas untuk menjadi separuh dari agama
(syari’at), karena amalanamalan syari’at
terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib
diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari
syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak
tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin
itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas
terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak
mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu
Rasulullah bersabda
“Tidaklah
ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orangorang yang beriman tiga tingkatan, masingmasing di antara mereka telah
melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan
tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala
ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari
dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang
kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia
bertingkat tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan
kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)
Tingkatan pertama dan kedua wajib
bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh
hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka
ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya,
seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap
istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti
dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin
Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi
mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling
ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan
di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak‐anak kecil yang sedang
berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Adapun dengan lisan seperti
memberikan nasihat yang merupakan hak di antara
sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan
yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan
segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir
(mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran‐ kemungkaran tersebut, ini
adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap
situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan
hatinya maka ia akan binasa.
Salah
seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari
kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak
mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya
kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam
Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa
mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang,
maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka
dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan
kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258‐259)
Seseorang
yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang
hidup?” Beliau
menjawab: “Orang
yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Dikutip dari tulisan e-book “Amar Ma’ruf
Nahi Munkar” oleh Ustadz Muhammad Nur Ihsan, M.A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar