PENGUNJUNG

Rabu, 24 Februari 2021

PHOBIA KEMISKINAN KARENA ANAK


{وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا (31) }

Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kalian. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa besar. (Q.S.  Al-Isra, ayat 31)


Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt. lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada orang tua kepada anaknya, karena Dia melarang membunuh anak-anak; dan dalam kesempatan yang lain Allah memerintahkan kepada orang tua agar memberikan warisannya kepada anak-anaknya. Di masa Jahiliah orang-orang tidak memberikan warisan kepada anak-anak perempuannya, bahkan ada kalanya seseorang membunuh anak perempuannya agar tidak berat bebannya.

Demikian itu karena mereka membunuh anak-anak mereka, menuruti bisikan setan kepada mereka. Mereka mengubur bayi-bayi perempuan mereka karena takut aib, adakalanya pula mereka membunuh bayi-bayi laki-laki mereka karena takut jatuh miskin.

Lalu bagaimana dengan ‘azl apakah termasuk pelarangan ayat ini

‘Azl berarti menumpahkan sperma di luar vagina ketika terjadi ejakulasi. Pasutri yang biasa melakukan ‘azl, bertujuan untuk mengatur atau membatasi keturunan. Coitus interruptus atau dikenal dalam Islam dengan ‘azl , biasa disebut pula withdrawal atau pull-out method, adalah salah satu dari cara mengontrol kelahiran, di mana laki-laki tatkala bersenggama menarik penisnya dari vagina si wanita sebelum terjadi ejakulasi. Si pria sengaja menumpahkan spermanya dari vagina pasangannya dalam upaya untuk menghindari inseminasi (pembuahan). (Sumber: Wikipedia English)

Gambaran ‘azl terhadap pasangan adalah ketika akan mendekati keluarnya mani (ejakulasi), kemaluan sengaja ditarik keluar vagina sehingga sperma tumpah di luar. Hal ini bisa jadi dilakukan karena ingin mencegah kehamilan, atau pertimbangan lain seperti  memperhatikan kesehatan istri, janin atau anak yang sedang menyusui (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 81)

Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang ‘azl.  Beliau bersabda,

ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِىُّ

“Itu adalah pembunuhan tersembunyi” (HR. Muslim no. 1442).

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama telah mengkritik, karena haditsnya itu tidak tegas berisi pelarangan. Penyebutan ‘azl sebagai pembunuhan tersembunyi/ terselubung dalam hal penyerupaannya, tidaklah selalu berkorelasi dengan satu keharaman” (Fathul Bari, 9: 309)

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun penamaan ‘azl dengan pembunuhan tersembunyi/ terselubung karena seorang laki-laki yang melakukan ‘azl terhadap istrinya hanyalah berkeinginan agar terhindar dari kelahiran anak. Maka tujuan, niat, keinginannya itu seperti orang yang tidak menginginkan anak dengan cara menguburnya hidup-hidup. Akan tetapi perbedaannya, orang yang mengubur anak hidup-hidup tadi dilakukan dengan perbuatan dan niat sekaligus; sedangkan pembunuhan tersembunyi/ terselubung ini (yaitu ‘azl) hanyalah sekedar berkeinginan dan berniat saja. Dan niat inilah yang tersembunyi/ terselubung” (Hasyiyah Ibnil Qoyyim, 6: 151)

Kemudian juga terdapat hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ

“Kami dahulu pernah melakukan ‘azl di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Qur’an turun ketika itu” (HR. Bukhari no. 5208 dan Muslim no. 1440).

Dari hadits ini menunjukan bahwa larangan rasul bukan bersifat haram tetapi hanya sebatas karohah (tidak disukai). Perlu diingat sekali lagi, jika pembatasan keturunan baik dengan ‘azl, atau dengan kontrasepsi yang sifatnya temporer maupun permanen karena khawatir pada rizki si anak atau orang tua, atau khawatir akan jatuh miskin, maka hukumnya haram sebagaimana penjelasan di atas. (Lihat bahasan Shahih Fiqh Sunnah, 3: 190)

Karena itulah maka Allah Swt. melarang perbuatan itu melalui firman-Nya: Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. (Al-Isra: 31)

Yakni takut berakibat jatuh miskin di masa mendatang. Karena itulah dalam firman selanjutnya diprioritaskan penyebutan tentang rezeki anak-anak mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kalian. (Al-Isra: 31)

Dengan kata lain, khitab dalam ayat ini ditujukan kepada orang yang mampu, yakni Kamilah yang memberi rezeki mereka dan juga rezeki kalian. Lain halnya dengan apa yang disebutkan di dalam surat Al-An'am, khitab-nya ditujukan kepada orang miskin. Allah Swt. telah berfirman:

{وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ}

Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada kalian dan kepada mereka. (Al-An'am: 151)

Adapun firman Allah Swt : Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Al-Isra: 31). Maksudnya, perbuatan dosa besar. Sebagian ulama membacanya khata-an kabiran, tetapi maknanya sama. Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ". قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ". قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ"

"Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Rasulullah Saw. menjawab: Bila kamu mengadakan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu. Ia bertanya lagi, "Kemudian dosa apa lagi?" Rasulullah Saw. menjawab: Bila kamu membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu. Ia bertanya lagi, "Kemudian dosa apa lagi?" Rasulullah Saw. menjawab: Bila kamu berbuat zina dengan istri tetanggamu.

Maka pada dasarnya orang tua hanya menjadi salah satu jalan datangnya rezeki anak, jika orang tua nya pun meninggal dunia, anak tidak akan kehilangan rezekinya. Maka berbahagialah menjadi jalan datangnya rezeki anak kita, karena itulah salah satu yang akan menjadikan anak sayang kepada orang tuanya hingga kelak ia dewasa atau pun nanti setelah orang tuanya tiada. keberanian berkorban untuk anak-anak adalah salah satu jalan scenario Allah menjadikan pahala dan menjauhkan kita dari siksa.

عن عائشة رضي الله عنها قالت دخلت امرأة معها ابنتان لها تسأل فلم تجد عندي شيئا غير تمرة فأعطيتها إياها فقسمتها بين ابنتيها ولم تأكل منها ثم قامت فخرجت فدخل النبي صلى الله عليه و سلم علينا فأخبرته فقال ( من ابتلي من هذه البنات بشيء كن له سترا من النار ) 

Dari Aisyah Ra : Ia berkata telah dating padaku seorang perempuan bersama dua orang anak perempuannya, ia meminta makanan, dan aku tidak mempunyai apa pun kecuali satu biji kurma, maka aku memberikannya maka ia membaginya diantara kedua anaknya tetapi ia tidak makan, kemudia ia berdiri dan keluar , lalu aku datang  Nabi Muhammad SAW, lalu aku memberitahukannya, kemudian beliau berkata : Barang siapa yang diuji dengan anak perempuannya, maka mereka menjadi penghalang dari siksa api neraka”. (HR. Bukhari 1352)




Selasa, 23 Februari 2021

Teknik Sederhana Cepat Menghafal Al-Qur’an


Rasulullah saw bersabda, "Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memberi syafaat kepada para pembacanya." (HR. Imam Muslim).

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,Al-Qur'an akan datang pada hari kiamat, lalu dia berkata, “Ya Allah, berikan dia perhiasan.” Lalu Allah berikan seorang hafiz Al-Qur'an mahkota kemuliaan. Al-Qur'an meminta lagi, “Ya Allah, tambahkan untuknya.” Lalu dia diberi pakaian perhiasan kemuliaan. Kemudian dia minta lagi, “Ya Allah, ridai dia.” Allah pun meridainya. Lalu dikatakan kepada hafiz Al-Qur’an, “Bacalah dan naiklah, akan ditambahkan untukmu pahala dari setiap ayat yang kamu baca." (HR. Turmudzi 3164 dan beliau menilai Hasan shahih).

Al-Qur'an kelak akan datang kepada pemiliknya dalam rupa seorang pemuda yang pucat warna (kulit)nya. Maka pemiliknya bertanya, "Siapakah kamu?" Ia menjawab, "Aku adalah Al-Qur'an yang membuatmu tidak dapat tidur di malam harimu dan membuatmu haus di siang harimu."

Oleh karena Al-Qur'an bukanlah sebuah benda yang sembarangan, maka sudah seyogianya kita memperlakukan Al-Qur’an dengan cara yang arif, karena ia akan menjadi penolong yang memberikan syafaat dan amal sholeh yang akan menemani kita setelah meninggal dunia.

Imam Nawawi dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur'an menyebutkan diantara adab-adab menghafal Al-Qur’an ialah: 
Orang yang membaca Al-Quran mesti berada dalam keadaan paling sempurna dan perilaku paling mulia, hendaklah dia menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dilarang Al-Qur’an, hendaklah dia terpelihara dari pekerjaan yang rendah, berjiwa mulia, lebih tinggi derajatnya dari para penguasa yang sombong dan pencinta dunia yang jahat, merendahkan diri  kepada orang-orang sholeh dan ahli kebaikan, serta kaum miskin, hendaklah dia 
seorang yang khusyuk memiliki ketenangan dan wibawa.

Hal yang perlu diberi penekanan dari apa yang diperintahkan kepada penghafal Al-Qur’an ialah agar menghindarkan diri dari perbuatan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber penghasilan atau pekerjaan dalam kehidupannya. 

Hendaklah dia memelihara bacaan Al-Qur’an dan memperbanyak bacaanya. Ulama salaf mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang berlainan tentang tempo dan jangka masa mengkhatamkan Al-Qur’an. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari sebagian ulama Salaf bahawa mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam setiap dua bulan, manakala setengah dari mereka mengkhatamkan Al-Qur’an dalam setiap bulan.

Memelihara membaca Al-Qur’an pada waktu malam. Hendaklah seorang penghafal Al-Qur’an lebih banyak membaca Al-Qur’an pada waktu malam dan dalam sembahyang malam. 
 
Jika mulai membaca, hendaklah bersikap khusyuk dan merenungkan maknanya ketika membaca.

As-Sayyid yang mulia dan pemilik berbagai anugerah serta makrifat, Ibrahim Al-Khawash ra.a berkata: “obat penyembuh hati ada lima perkara, yaitu: 
1. Membaca Al-Qur’an dan merenungi maknanya. 
2. Perut yang kosong. 
3. Sembahyang malam. 
4. Berdoa dengan penuh tawadhuk di hujung malam. 
5. Duduk bersama orang-orang sholeh.

Dianjurkan untuk mengulang-ulang ayat untuk direnungkan, bahkan jika memungkinkan kita bisa menangis ketika membaca Al-Qur’an. 

Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: “Menangis itu disunahkan pada waktu membaca Al-Qur’an. Cara dapat menangis adalah menghadirkan kesedihan di dalam hati dengan merenungkan peringatan dan ancaman keras serta janji-janji yang terdapat di dalamnya, kemudian merenungi dosa-dosa yang terlanjur diperbuat.” Jika tidak boleh menimbulkan kesedihan dan tangisan sebagaimana dialami oleh orang-orang terpilih, maka hendaklah dia menangis atas kegagalan itu kerana hal itu termasuk musibah yang besar. 

Hendaklah membaca Al-Qur’an dengan tartil. Para ulama telah sependapat atas anjuran melakukan tartil

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra Dia berkata: “Aku lebih suka membaca satu surah secara tartil daripada membaca Al-Qur’an seluruhnya.” 

Diutamakan jika melalui ayat yang mengandung rahmat agar memohon kepada Allah s.w.t dan apabila melalui yang mengandung siksaan agar memohon perlindungan kepada Allah s.w.t dari kejahatan dan siksaan. Atau berdoa: “Ya Allah, aku mohon kesehatan kepada-Mu atau keselamatan dari setiap bencana.” 

Hal yang perlu diperhatikan dan amat ditekankan adalah memuliakan Al￾Qur’an dari hal-hal yang kadang-kadang diabaikan oleh sebagian orang yang lalai ketika membaca bersama-sama. Diantaranya menghindari tertawa, berbuat bising dan bercakap-cakap di tengah pembacaan, kecuali perkataan yang perlu diucapkan. 

Para ulama berkata: “Pendapat yang lebih terpilih adalah membaca menurut tertib Mushaf, maka dia baca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah, kemudian Ali-Imran, kemudian surah-surah sesudahnya menurut tertibnya, sama saja dia membaca dalam sembahyang atau di luarnya. Salah seorang 

sahabat kami mengatakan: “Jika dia membaca pada rakaat pertama surah Qul A’Udzu bi rabbin Naas, maka dia baca ayat sesudah Al-Fatihah dari surah Al-Baqarah.” 

Membaca Al-Qur’an dari Mushaf lebih utama dari pada membacanya dengan hafalan kerana memandang dalam Mushaf adalah ibadah yang diperintahkan, maka berkumpullah bacaan dan pandangan itu. AL-Qadhi Husain dan Abu Hamid Al-Ghazali menulis dalam Al-Ihya bahawa banyak sahabat Nabi saw dulu membaca dari Mushaf. Mereka tidak suka keluar suatu hari tanpa memandang ke dalam Mushaf. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud 
pembacaan dalam Mushaf dari banyak ulama Salaf dan saya tidak melihat adanya perselisihan berkenaan dengan perkara tersebut.

Membaca Al-Qur’an dengan suara kuat. Ini merupakan fasal yang penting dan patut diperhatikan. Ingatlah bahawa banyak hadith dalam kitab Sahih dan lainnya menunjukkan anjuran menguatkan suara ketika membaca. Terdapat beberapa athar yang menunjukkan anjuran memperlahankan (merendahkan) suara, di antaranya akan saya sebut.

Teknik Sederhana Cepat Menghafal Al-Qur’an 

Menghafal al-Qur’an secara keseluruhan pada dasarnya bukan merupakan kewajiban setiap individu muslim, namun tuntutan untuk hafal Al-Qur’an berlaku pada setiap muslim berkaitan dengan kewajibannya dalam sholat untuk dapat membaca surat-surat lain setelah Al-Fatihah.

Salah satu penelitian tentang mengahafal Al-Qur’an yang dikenal dengan Al-Qur’an Memorizating Program, menemukan bahwa ayat-ayat di Al-Qur’an akan aman ada di dalam pikiran kita jika sudah mengalami pengulanngan sampai 300 kali ulang.

Rasulullah SAW telah memperingatkan, bahwa hafalan Al-Qur’an akan lebih cepat hilang  dan lepas bila dibandingkan dengan seekor onta yang terikat kuat apa bila dia tidak selalu mengulang-ulang hafalannya tersebut.

عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَعَاهَدُوا هَذَا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الإِبِلِ فِى عُقُلِهَا » 

 “ Jagalah Al-Qur’an, demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, Al-Qur’an itu lebih cepat lepas dari pada seekor onta dari ikatannya” (H.R. Bukhari) 

DR. Ahmad Qosim Syurkhoti dalam salah satu kesempatan memaparkan hasil penelitiannya berkaitan dengan menghafal Al-Qur’an. Beliau menyatakan secara garis besar proses menghafal Al-Qur’an itu ada dua macam : 1) Hifdz Syudan, yaitu menghafal Al-Qur’an dengan tidak sengaja (jadi Hafal), 2) HIfdz Kardan, yaitu menghafal Al-Qur’an dengan sengaja (berusaha hafal).

Ribuan metode menghafal Al-Qur’an telah diteliti dan diterapkan di berbagai belahan dunia, Negara yang concern terhadap hafalan Al-Qur’an saat ini adalah Negara Iran, hal ini dibuktikan dengan jumlah penghafal terbanyak di dunia ada di Iran yang mencapai 1.000.000 orang. Bahkan khoemaeni sebagai pemimpin Negara mentargetkan 7:1 dimana penduduk Iran sekitar 70 juta orang. Bahkan perhatian pemerintah juga terlihat dengan memberikan Ijazah strata 1 bagi siapa pun yang telah hafal 30 Juz tanpa mengikuti studi. Bagaimana dengan Indonesia? Dari 250 juta penduduk, 86,5 % atau sekitar 216.250.00 Muslim Indonesia, hanya 6000 orang yang hafal Al-Qur’an.

Metode Gabungan Syudan dan Kardan

Tahapan menghafal Al-Qur’an berdasarkan kolaborasi 2 metode di atas, terdiri dari beberapa tahap :

1.      Menghafal

Metode drai atau mengikuti bacaan bisa dilaksanakan kepada santri dengan cara;

- Ustadzd dansantri membaca 3-5 kali surat secara keseluruhan

- Ustadz membaca 3-5 kali untuk 1 ayat secara benar kemudian diikuti oleh santri

- Santri menghafal sendiri ayat yang baru diberikan kemudian secara oral melafalkannya 

2.      Menyetorkan Hafalan

Setelah santri menghafalkan secara oral, santri menyetorkan ayat pertama kepada ustadz, setelah itu mengulangi langkah pertama untuk ayat ke-2. Dan seterusnya.

3.      Mengulangi Hafalan

    -    Setelah santri menghafal dan menyetorkan keseluruhan surat, santri mengulangi secara oral surat tersebut 3-5 kali

- Setelah mengulang 3-5 kali, santri menyetorkan secara keseluruhan surat kepada ustadz

4.      Menuliskan hafalan

Setelah santri menyetorkan secara keseluruhan, ustadz membimbing santri untuk menuliskan hafalan surat tersebut baik dalam tulisan Arab atau tulisan latin.

5.      Menjaga Hafalan

Untuk menjaga hafalan yang telah disetorkan guru memberikan format pengulangan harian untuk kemudian disetor ulang pada pertemuan selanjutnya sebelum menghafal surat baru.

Variasi Menghafal kelas dapat dilakukan dengan saling setor berpasangan, Hafal berurutan, Meneruskan potongan ayat, Mengundi ayat atau surat, Menebak surat, dll

 

FENOMENA WARISAN YES, ILMU WARIS NO


Pengantar Ilmu Warits Islam

A.    Muqadimah

Permasalahan perpindahan milik dalam Islam telah diatur sedemikian rupa dalam aturan-aturan syari’at terutama yang berkaitan dengan kehalalan dan keharaman perpindahan barang tersebut. Hal ini dikarenakan syari,at Islam menurut para ulama Ushul Fiqh mempunyai tujuan (Maqashid As-Syari’ah)[2] untuk menjaga jiwa, harta, akal, Agama, dan keturunan.

Salah satu tujuan tersebut berkaitan dengan penjagaan harta sebagai salah satu bentuk yang dapat dimiliki untuk kesejahteraan manusia. Pengaturan ini berkaitan dengan kemaslahatan kepemilikan tersebut sehingga tidak menimbulkan konflik dan perpecahan dalam kepemilikan, selain itu kepemilikan yang diperoleh dengan cara yang benar menurut aturan syari’at, akan membawa berkah dan menjadi wasilah pahala kelak di hari perhitungan. "Harta  yang  banyak"  oleh  Al-quran  disebut   "khair"   (Q.s. Al-Baqarah  [2): 180), yang arti harfiahnya adalah "kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa  harta  kekayaan  adalah  sesuatu yang  dinilai  baik,  tetapi  juga  untuk mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya  harus  pula  dengan  baik.  Tanpa memerhatikan   hal-hal   tersebut,   manusia  akan  mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.

Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat

Tentang kepemilikan, Islam memiliki prinsip dasar: Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dengan demikian, harta kekayaan yang dikuasai oleh manusia, yang sering diklaim sebagai miliknya secara penuh, pada hakikatnya adalah milik Allah. Status kepemilikan seseorang atas hartanya sekadar amanah, bukan kepemilikan sebenarnya. Karena itu, ia harus dikelola dengan pijakan aturan  transaksi yang Allah gariskan. Ketika seseorang hendak mengembangkan hartanya, harus pula berada dalam rambu-rambu etika dan hukum yang disyariatkan Allah swt.

B.     Mengapa Harus Ilmu Waris Islam?

Sebenarnya, pertanyaan ini tidak layak jika ditanyakan oleh dan kepada orang yang beragama Islam, namun beberapa factor seperti ketidaktahuan, ketidakfahaman, subjektifitas diri terutama dalam bagian, dan sebagainya, menghalangi orang Islam untuk menggunakan ilmu waris Islam, padahal perintah menggunakan ilmu waris Islam, tidak berbeda dengan perintah-perintah lain di dalam Islam yang mempunyai konsekuensi pahala jika dilaksanakan dan mendapatkan dosa jika tidak dilaksanakan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam AL-Qur’an :

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar). Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.[3]

Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i[4]. Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Maka Allah SWT menghapus semua bentuk pewarisan dengan menurunkan hukum waris dalam surat An-nisa:7, Al-Anfal:75,al-Ahzab : 6

Selain itu, akal memahami bahwa harta orang yang meninggal bukanlah milik harta suami, anak, saudara, ibu dan yang lainnya, karena selama masa hidup pun, jika seorang anak menginginkan harta dari orang tuanya maka ia harus memintanya terlebih dahulu, selain itu tanpa ada akad seperti shodaqoh atau hibah, maka setelah meninggal pun harta itu tidak menjadi milik keluarganya. Lalu milik siapakah harta yang ditinggalkan? Tentu saja dalam konsep Islam, harta itu adalah milik Allah SWT. Namun Allah SWT tidak memerlukan harta itu, manusia lah yang memerlukannya. Untuk memiliki harta itu secara halal, maka aturan yang ditetapkan Allah SWT, harus menjadi landasan kepemilikannya, jika tidak, maka harta itu akan haram dimiliki, dikarenakan perhitungan selain ilmu waris Islam, terutama dalam kadar perhitungan yang berbeda bagi tiap ahli warisnya, secara langsung mengurangi dan melebihkan harta diantara bagian ahli waris itu.

Analogi sederhana, jika seseorang menemukan suatu barang yang tidak diketahui pemiliknya, maka Islam menjadikan barang temuan itu menjadi miliknya. Namun perpindahan kepemilikian itu hanya menjadi halal jika menggunakan aturan Islam yaitu harus menyebarkan terlebih dahulu untuk diketahui siapa pemiliknya, jika tidak ada, maka setelah satu tahun baru menjadi miliknya, itu pun beserta konsekuensi kesanggupan  mengganti setelah digunakan apabila setelah satu tahun jika ada yang mengaku menjadi pemiliknya.

C.    Prinsip-Prinsip Dasar

1.      Sebab-sebab Adanya Hak Waris

a.    Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

b.      Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan,

c.       Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum.

2.      Bentuk-bentuk Waris

a.       Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).

b.      Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).

c.       Hak waris secara tambahan.

d.      Hak waris secara pertalian rahim

3.      Dalam hukum waris Islam, apabila semua ahli waris berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya ada 5 (lima) orang yaitu anak kandung (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu, istri (janda), suami (duda). Sedang ahli waris lain tidak mendapat apa-apa. Ini adalah prinsip dasar hukum waris Islam yang perlu diketahui oleh kalangan awam. Apabila kelima orang di atas tidak lengkap, maka ahli waris lain punya peluang untuk mendapat warisan

D.    Penutup

Dalam Sebuah hadits, Rasullullah SAW bersabda,

“Belajarlah ilmu faraidl (ilmu waris Islam) dan ajarkanlah kepada orang-orang, karena sesunggunya ilmu faraidl setengah dari ilmu yang berkaitan dengan harta, dan ia akan banyak dilupakan, dan ia adalah ilmu pertama yang dicabut dari umatku”. [5]

Walau pun derajat hadits ini tidak mencapai derajat shahih lidzatihi, namun ia shahih li-ghairihi, sehingga hadits ini dapat dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyikapi fenomena sikap umat Islam itu sendiri terhadap ilmu faraidl. Oleh karena itu adalah merupakan suatu kebahagian dunia akhirat bagi orang asing yang menghidupkan sunnah Rasul ketika kebanyakan manusia merusaknya dengan cara meninggalkannya. [6]

 

 

 

Catatan Kaki :

1. 

2.       Tujuan Pensyariatan suatu aturan yang berjumlah lima perkara pokok yang merupakan kepentingan primer manusia, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, keturunan, akal dan harta benda.(Ushul Fiqh: Abu Zahrah)

3.       Q.S An-Nisa  ayat 13-14

4.       Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Pembagian Waris Menurut Islam penerjemah A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995

5.       HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Baihaqi. (Hukum Waris, Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar:200 Hal 22)

6.       HR. Muslim Jilid 1:no 73) dan HR. Tirmidzi dalam Tuhfatul Ahwadzi Jilid 7: no. 383

 

 

Sumber Rujukan;

-          Al-Mubarakafuri, Muhamad Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfah al-Ahwadzi: Syarh Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar el-Fikr, t.t.

-          Amirudin, Aam, 2013, Al-Mu’ashir Tafsir Kontemporer, Perpustakaan Nasional RI, Jakarta

-          Ash-Shabuni, Muhammad Ali, 1995, Pembagian Waris Menurut Islam penerjemah A.M.Basamalah Gema Insani Press,

-          Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, 2000, Hukum Waris, Penerjemah, H, Adys Aldizar, LC, dan H. Fattirohman, Lc. Senayan Abadi Publishing, Jakarta

-          Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim. Beirut: Dar el Fikr, t.t.Nashif, Manshur Ali. Al-Taj al-Jami' al-Ushul Fi Ahadits al-Rasul. Beirut: Dar al-Fikr, 1975

-          Zahrah, Abu, 1992, Ushul Fiqh,

     Zain, Ahmad, 2011, Harta Gono-Gini dalam Islam,(online pada http;//www.ahmadzain.com/read/karyatulis/232/harta-gono-gini-dalam-islam/) diakses pada hari sabtu, 20 Desember 2014 pk. 16.05

 

Senin, 22 Februari 2021

Dakwah; Pembuktian Keimanan dan Kemunafikan

  •  

Dakwah secara etimologi (lughowi) merupakan masdar dari fiil da’aa, yad’uu, da’watan yang berarti mengajak dan menyeru manusia dari satu keadaan kepada keadaan yang lain QS 2: 221 dan QS. 3: 21. Kata dakwah berarti juga berdo’a, yaitu mengharapkan adanya perubahan dan perombakan dari keadaan sebelumnya.


Dr Muhammad Natsir[1] dalam fiqh dakwahnya menyatakan bahwa dakwah mengajak manusia kepada Allah sehingga ingkar kepada thogutdan beriman kepada Allah, dan keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya nur (Islam). Melihat ayat-ayat al Qura’n dan Sunnah serta pendapat para ulama maka dapat disimpulkan bahwa Dakwah Islamiyah adalah sebuah aktivitas yang bersifat totalitas, yang bertujuan untuk mengubah pemikiran, perasaan, dan perbuatan manusia agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam.


Da’wah merupakan kewajiban setiap individu muslim, yang mendapat perhatian cukup besar dalam pandangan Islam. Posisi da’wah dalam Islam ibarat darah dalam tubuh manusia. Ia menyebabkan ummat hidup dan terus tumbuh dan berkembang. Da’wahlah yang mampu menggerakkan ummat untuk tetap terikat dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Namun sebaliknya, disaat ummat meninggalkan da’wah, ummat tidak akan lagi terwarnai oleh fikrah dan kepribadian Islam. Ummat akan tercelup dan tergiring oleh tsaqafah/peradaban kufur yang tidak akan membawa kebaikan, melainkan kehancuran aturan masyarakat, nilai-nilai moral dan peradaban manusia itu sendiri.


Secara syar’i, kewajiban da’wah memiliki banyak perintah dan qorinah yang menunjukkan betapa kewajibannya bernilai amat tinggi dan menentukan; diantaranya firman Allah SWT : QS. An-Nahl: 125,  QS At-Taubah: 71,  (QS. Al-Fushilat: 33



Pembuktian Keimanan dan Kemunafikan

 

“Siapa saja yang bangun pagi hari dan ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR. Thabrani dari Abu Dzar al Ghifari)

Setiap dakwah mestilah melalui tiga marhalah:

1.      Marhalah ad-Di'ayah (at-Ta'rif): Marhalah propaganda, memperkenalkan, menggambarkan fikrah dan menyampaikan kepada orang ramai di setiap lapisan masyarakat.

2.      Marhalah  at-Takwin:  Marhalah  pembentukan,  memilih  para  pendokong,  menyiapkan angkatan  tentera,  pendakwah  dan  jihad  erta  mendidik  mereka.  Mereka  dipilih  dari golongan yang telah menyambut seruan dakwah.

3.      Marhalah Tanfiz: Marhalah pelaksanaan, beramal, berusaha untuk mencapai tujuan[2]

            Landasan metode Dakwah yang telah Allah SWT tunjukan melalui firman-Nya  (Q.S An-Nahl: 125) Dari ayat tersebut dapat kita fahami bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan[3] :

1.      Al-Hikmah

            Kata “hikmah” dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh mau pun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah “hukman” yang diartikan secara makan aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika diartikan dengan dakwah berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-hikmah merupakan kemampuan dai dalam memilih dan memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Di samping itu juga merupakan kemampuan dai dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif.

2.      Al-Mau’idzatil Hasanah

            Secara bahasa, mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, mau’idzah dan hasanah.  Kata mau’idzah berasal dari kata wa’adza-ya’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang berarti nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan. Sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang berarti kebaikan lawannya kejelekan.

            Mau’idzah hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasehat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.  Dalam pengertian ini, mau’idzah hasanah mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih saying dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain, sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.

3.      Al-Mujadalah bi-al-lati Hiya Ahsan

            Dari segi etimologi (bahasa) lafadz mujadalah terambil dari kata jadala yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wajan faa’ala, jaa dala dapat bermakna berdebat dan mujadalah berarti perdebatan.  Mujadalah bi-al-lati Hiya Ahsan merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.

            Menurut Muriah (2000: 55) Ketiga metode dakwah tersebut dapat diaplikasikan oleh Rasulullah dalam berbagai pendekatan yaitu :

1.      Pendekatan Personal
2.      Pendekatan Pendidikan
3.      Pendekatan diskusi
4.      Pendekatan Penawaran
5.      Pendekatan Misi dengan pengirian dai ke daerah-daerah di luar tempat domisili.

Dakwah bi-Lisan Al-Haal

            Secara etimologis, dakwah bi-Lisan Al-Haal merupakan penggabungan dari tiga kata yaitu dakwah, lisan, dan al-hall. Dakwah berarti memanggil atau menyeru, lisan berarti bahasa, sedangkan al-haal berarti hal atau keadaan, lisan al-haal mempunyai arti yang menunjukkan realitas sebenarnya. Jika ketiga kata tersebut digabungkan maka dakwah bi-Lisan Al-Haal  mengandung arti “memanggil, menyeru dengan menggunakan bahasa keadaan”.  Dengan demikian yang dimaksud dengan dakwah bi-Lisan Al-Haal  adalah memanggil, menyeru ke jalan Tuhan untuk kebahagiaan dunia akhirat dengan menggunakan bahasa keadaan manusia yang didakwahi (mad’u) dengan perbuatan nyata sesuai dengan keadaan manusia. Karena merupakan aksi atau tindakan nyata maka dakwah bi-Lisan Al-Haal  dipergunakan untuk merujuk kegiatan dakwah melalui aksi atau tindakan menggerakan “aksi menggerakkan “ mad’u sehingga dakwah ini lebih berorientasi kepada pengembangan masyarakat. Dakwah dalam pendekatan bi-Lisan Al-Haal  difungsikan untuk meningkatkan kualitas umatnya yang pada akhirnya akan membawa adanya perubahan sosial, karena pada hakikatnya Islam menyangkut tataran kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat (sosio-kultural).



[1] M. Natsir, Fiqh Dakwah, Media Dakwah, Solo, 2000 cet 10, hal

[2] Musthafa Mansyur, Jalan Dakwah, Konsis Media, 1979 hal 12

[3] Miftah Husni, Model Dakwah Kepada Geng Motor, Tesis, Universitas Islam Bandung, 2016

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...