PENGUNJUNG

Selasa, 08 Desember 2020

KEBEBASAN VS KEBABLASAN



Oleh : Miftah Husni 

Ciri masyarakat modern adalah permisif (serba membolehkan dan mengizinkan) terhadap nilai kebebasan. Menyebabkan masyarakat menjadi liar, hidup tanpa nilai. Ciri lain masyarakat modern adalah relativitas nilai. Mereka berpandangan bahwa nilai bukan suatu yang absolute termasuk nilai-nilai agama yang  datang dari sang Pencipta.  

 

Longgarnya nilai-nilai moral lama ini, nyatanya tidak hanya diyakini sebagian masyarakat kita, tapi bahkan dilegitimasi oleh pemerintah. Bila membaca salah satu poin tips dalam menjaga kesehatan reproduksi yang tertera dalam situs BKKBN, misalnya, memberikan alternative cara melakukan seksual di  luar nikah yang aman, padahal perbuatan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai lama (baca agama, etika, dan moral). Tips itu antara lain berbunyi: "Gunakan kondom, terutama jika berhubungan dengan kelompok berisiko tinggi, misalnya pekerja seks komersial."

Gaya hidup serba boleh (permisif) ini merupakan perwujudan dari kebebasan berperilaku yang merupakan salah satu pilar pemikiran liberal yang diagung-agungkan masyarakat Barat sudah menjalar kesini.

Kebebasan, liberty-freedom, dan hurriyyah merupakan tiga kata yang berasal dari bahasa Indonesia, Inggris dan Arab dan memiliki arti yang sama. Aliran dan paham yang mengusung kebebasan disebut dengan paham liberalisme. Liberalisme sendiri merupakan salah satu aliran filsafat dan politik kuno namun cukup terkenal di saat ini. Dalam kamus politik, liberalisme adalah sebuah aliran filsafat yang berpondasikan keyakinan pada esensi kebebasan. Liberalisme lahir secara tidak langsung di masa renaisanse dan reformasi agama yang diprakarsai oleh Martin Luther dan Jhon Calvin. Kata liberty sendiri diambil dari bahasa latin yaitu liberte.

Berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud dengan penganut liberalisme adalah orang-orang pengusung kebebasan. Dengan kata lain, liberalisme merupakan sebuah aliran yang memiliki idelogi, pandangan dan metode yang tujuan utamanya ialah menyiapkan kebebasan semaksimal mungkin bagi manusia dengan bersandar pada konsep individualisme. Manusia harus terlepas dari segala belenggu dan kekangan—lingkungan maupun sosial, bahkan syariat agama dan Allah sekalipun—dan manusia merupakan pemilik kehendaknya sendiri.

Islam tidak menentang kebebasan karena kebebasan merupakan anugrah Allah. Namun yang perlu dipertanyakan adalah kebebasan yang mana? Kebebasan insani atau hewani? Kebebasan dalam Islam ialah kebebasan yang berasaskan pada Allah sebagai poros dan tolak ukur, bukan manusia (humanisme). Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia kamulah yang memerlukan (Faqir) terhadap Allah, dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan kepada selain-Nya) lagi Maha Terpuji”.Q.s. Faathir :15

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kebebasan bukan kebebasan mutlak sehingga seseorang dapat melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya. Karena kebebasan berkehendak dan berprilaku atas dasar hawa nafsu merupakan kebejatan, kerusakan moral dan keburukan dan bukan merupakan kebebasan insani. Selain itu, kebebasan semacam ini sama artinya dengan membatasi dan membahayakan kebebasan orang lain karena di saat ada hak di situ juga ada kewajiban. Jika seseorang berhak untuk menghirup udara sehat maka di saat itu pula orang lain berkewajiban untuk tidak melakukan pencemaran udara. Jika seorang muslim memiliki hak agar matanya tidak melihat pemandangan dosa (misalnya melihat aurat wanita yang tidak mestinya ditutupi), maka wajib bagi sang wanita untuk tidak membuka aurat di hadapannya. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa secara praktis, kebebasan mutlak tidak mungkin terealisasi.

 

Islam dan Kebebasan Individu

Kebebasan bagi kreativitas bagai jiwa bagi tubuh. Qur’an menegaskan kebebasan individu dan menggarisbawahi relevansinya sehubungan dengan keputusan-keputusan individu kita. Bahkan isu agama yang sangat penting, yakni beriman versus tak beriman kepada Allah, diserahkan pada pilihan individu:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

Dan katakanlah: "KebenaranitudatangnyadariTuhanmu. Maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir”  Q.s. Al-Kahfi :29

Jadi, perilaku manusia dalam Islam tergantung pada kebijaksanaannya. Perselisihan antar manusia karenanya secara intrinsik tak terhindarkan dan malah diharapkan:

 

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ # إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

”Dan jika Allahmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia satu umat, tetapi mereka selalu memiliki perbedaan pendapat. Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allahmu; begitulah Allah menciptakan mereka” Q.s. Hud:118-119

Islam tidak membatasi kebebasan manusia dalam cara apapun, tapi membuat manusia bertanggung jawab, atas konsekuensi dari keputusan-keputusan mereka, baik secara individu maupun secara kolektif; seseorang harus memikirkan tindakannya dan mempertimbangkan konsekuensinya. Kemungkinan untuk berurusan dengan konsekuensi tertentu, mungkin tampaknya membatasi kebebasan individu, tapi ini memberikan keuntungan yang mendalam kepada masyarakat, karena terus-menerus menguatkan pepatah: ”Kebebasan seseorang berakhir ketika kebebasan orang lain dimulai.”maka sejalan dengan hadis Rasulullah saw., tidak merugikan dan tidak merusak, seperti ayat Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Sesungguhnya Allah tidak mengasihi orang-orang yang melampaui batas  Q.s. Al-Baqarah:190


Kedua, Islam menempatkan tanggung jawab moral yang terus-menerus di pundak kita, yang langsung berkaitan dengan hubungan dengan Allah, yang akan menuntut tanggung jawab manusia atas tindakannya di Hari Pembalasan. Oleh karena itu di dalam Islam, perzinaan, perjudian atau pun riba walau sama ridlo tetap akan berdosa dan akan diperhitungkan kelak balasannya di hari akhir.

Di dalam konsep kebebasan yang ditawarkan Islam, ada semacam upaya untuk menyeimbangkan posisi kebebasan individu sebagai individu dan kebebasan individu sebagai anggota masyarakat. Kebebasan individu tetap hadir tanpa menghilangkan hak individu ini dalam menjalani hidup bersama orang-orang sekitarnya. Contoh konkritnya dapat kita lihat ketika Nabi SAW berhasil menaklukkan Makkah. Dengan kebebasan yang dimiliki beliau, sebagai seorang pemenang tentu bisa saja Nabi menjadikan seluruh musuh-musuhnya menjadi tawanannya. Atau bahkan melenyapkan mereka. Tapi karena prinsip dasar dalam Islam mengajarkan untuk menghormati kebebasan setiap individu, maka Nabi pun tidak melakukan hal itu. Bahkan Nabi mengajak mereka untuk bersama hidup berdampingan.

Alhasil nikmatnya bermain bola karena ada aturan, seperti lapang, wasit, out dan lainnya, dan itu dibebaskan selama dalam aturan. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana bermain bola tanpa aturan dimana titik nikmatnya?. Karena tanpa aturan hakikatnya adalah KEBABLASAN BUKAN KEBEBASAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...