PENGUNJUNG

Senin, 07 Desember 2020

Aku Ingin Bahagia

 Untuk pemaparan dalam bentuk video silahkan klik, Tonton Vide


Manusia pasti ingin hidup bahagia, damai, dan sejahtera. Ada yang bekerja keras untuk menghimpun harta, dan menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagiaan. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta dan kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebutnya. Menurutnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam hidup, dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak.  Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan. 

Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun adalah sesuatu yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Tapi, apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka, bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Maka, setelah dia dapat, dia menjadi pecinta harta. Toh, setelah harta melimpah ruah, kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa bahagia, justru membuatnya resah. Hidupnya penuh problema. Masalah demi masalah membelitnya. Tak jarang, harta justru membawa bencana. Kadang, harta yang ditumpuk-tumpuk, menjadi ajang konflik antar saudara.

Bahagia menurut KBBI adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Definisi ini menunjukkan bahwa bahagia itu adalah keadaan yang diciptakan dan perasaan yang ditimbulkan berupa kesenangan dan ketentraman akibat terbebasnya manusia dari segala sesuatu yang menyusahkan. Jadi secara sederhana jika manusia mau bahagia ia harus menghilangkan segala sesuatu yang menyusahkannya, dan kesusahan itu disebabkan oleh manusia itu sendiri, karena kebanyakan dari kita mematok kebahagiaan atas apa yang belum kita punya bukan pada apa yang sudah kita punyai. Jika demikian adanya maka kebahagiaan hanya milik mereka yang kaya, yang cantik dan tampan, yang memiliki jabatan tinggi dan sederetan patokan duniawi yang kebanyakan ketika belum dicapai menyusahkan untuk mendapatkannya, dan ketika sudah didapatkan menyusahkan untuk menjaga, mempertahankan bahkan untuk menambahnya. 

Kondisi bahagia berkaitan dengan mensyukuri dan mengelola nikmat sekecil apa pun, Apa yang dimaksud dengan kata ni’mat? Secara bahasa, menurut ar-Raghib al-Ashfahanidalam al-Mufradat fi Gharibil Quran, I:499, Ni’mat artinya al-haalah al-hasanah (keadaan yang menyenangkan). Sedangkan menurut Ayyub bin Musa: “Ni’mat adalah keadaan yang  dirasa menyenangkan oleh manusia” Kitab al-Kuliyyat, I:912

النِّعْمَةُ مَا أنَعَمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الإِنْسَانِ

Ni’mat adalah segala sesuatu yang dianugrahkan oleh Allah kepada manusia (al-Isytiqaq, I:137, Maqayis Lughah, V:357)

Di dalam Alquran nikmat Allah terbagi menjadi dua macam yang dibedakan cara penulisannya, namun sama lagu bacaannya.

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (Ibrahim 35)

Ni’mat yang seperti ini disebut nikmat hissi (inderawi), yaitu keni’matan yang dapat dirasakan secarafisik melalui hidung, telinga, mata, kulit, dan lidah serta psikis (jiwa). Seperti tubuh sehat, cahaya matahari, udara, dsb.

Kedua, menggunakan ta marbuthah (huruf ta nutup, atawa ta gelung saur santri madrasah mah). Bentuk kedua digunakandalam 17 ayat, di antaranya surat an-Nahl:18

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Nikmat model ini disebut ni’mat ma’nawi (abstrak), nyaitu kenikmatan yang diberikan oleh Allah karena kesolehan manusia sebagai wujud dari sifat ar-Rahiem (Maha Penyayang-Nya) Allah, yaitu berupa aturan dan pedoman hidup agar hidup selamat di dunia dan akhirat, ajaran yang dapat memberikan ketentraman hati/batin. Jadi, kenikmatan ini akan diberikan hanya kepada orang yang beriman, ketika mampu mengelola kenikmatan ini sesuai dengan ajaran Rasul. Inilah keni’matanyang dimaksud dalam ayat

 صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka. Al-Fatihah:7

Imam Miskawaih dalam Mulyadi Kartanegara (2003) menyebutkan tingkatan kebahagian manusia menjadi 5 tingkatan :

1. Kebahagiaan Fisik

Bersifat sensual mencari kesenangan. Kebahagian ini menopang kebahagiaan yang lain, meskipun ia tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang. Karakter kebahagiaan ini bersifat fisik sehingga mudah membuat manusia lalai, selain itu karakter kebahagiaan ini sifatnya sementara  seperti kebahagiaan makan ada karena lapar, bahagia memiliki barang baru selama beberapa waktu dsb.

2. Kebahagiaan Mental

Kebahagiaan ini tidak kalah nikmatnya dengan kebahagiaan fisik, bahkan akibat dari kebahagiaan model ini sampai ada yang lupa makan, lupa minum, lupa anak istri. Bentuk kebahagiaan ini biasanya dikenal dengan hobi seperti memancing, main catur, dsb.

3. Kebahagiaan Intelektual

Implikasi dari kebahagiaan mental adalah tersiksanya jika berada dalam kesesatan dan nikmatnya mendapatkan petunjuk. Kebahagiaan ini sifatnya langgeng dan tidak ada kenyangnya, bahkan bisa lebih nikmat dari nikmatnya makan dan hobi. Kebahagian terhadap ilmu tidak berhenti walau pun sudah lulus sekolah. 

4. Kebahagiaan Moral

Mempunyai moral berarti mampu menerapkan keilmuaannya pada praktik hidup. Orang yang bermoral merasakan nikmat bukan karena tahu ilmu terhadap sesuatu tetapi, ia merasakan nikmat ketika ilmunya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. 

5. Kebahagiaan Spiritual

Apakah orang yang bermoral baik tidak perlu sholat? Dalam Islam tentu saja wajib, kenapa?  Karena ia akan sampai pada titik kematian yang tidak akan bermanfaat lagi ilmu dan kebaikannya, maka ia menyadari bahwa atas dasar kelemahan manusia sehingga ia perlu selalu berhubungan dengan Tuhannya sehingga istiqomah dalam beramal dan berilmu, dan mendapatkan jaminan kebahagiaan yang hakiki dan abadi yang tidak ada siapa pun yang bisa menjaminnya kecuali Allah SWT, Tuhan sekalian alam. 

Ibnu Abbas seorang sahabat Rasulullah pernah ditanya tentang kebahagiaan, beliau menjawab ada tujuh tanda kebahagiaan hidup seseorang di dunia.

Pertama, qalbu syakir yaitu hati yang selalu bersyukur. Bersyukur kepada Allah dan menerima apa yang dia dapatkan untuk digunakan demi kebaikan. Orang yang pandai bersyukur maka ia akan cerdas memahami kasih sayang Allah, apapun yang diberikan-Nya selalu bernilai dan membuat dekat kepada-Nya.

Ia selalu menerima keputusan Allah dengan positif, jika ditimpa kesulitan maka ia ingat dengan sabda Rasulullah: kalau sedang dalam kesulitan, maka perhatikan orang yang lebih sulit dari dia. Bila diberi kemudahan, maka ia sadar bahwa itu adalah ujian dan semakin bersyukur, jika bersyukur maka Allah akan menambah nikmat dan kemudahan yang lebih besar daripada nikmat yang telah diterima.

Kedua, al-Azwaj al-shalihah, pasangan hidup yang saleh, menciptakan suasana rumah yang nyaman dan menurunkan keluarga yang saleh. Pada hari kiamat nanti seorang suami akan diminta tanggungjawabnya dalam membimbing istri dan anak. Tentu berbahagia menjadi istri dari suami yang saleh, yang selalu mengajak kepada kebaikan, dan berbahagia menjadi suami dari istri yang tulus selalu mendampingi.

Ketiga, al-aulad al-abrar, anak-anak yang saleh. Anak yang senantiasa berbakti dan mendoakan kedua orangtua. 

Rasulullah ketika selesai melakukan tawaf bertemu dengan seorang pemuda yang lecet dipundaknya. Kemudian beliau bertanya wahai pemuda kenapa pundakmu itu? Pemuda tersebut menjawab, aku mempunyai ibu yang sudah tua, ibuku itu tidak mau jauh dariku, aku sangat menyayanginya. aku selalu melayani dan menggendongnya ketika aku selesai salat dan istirahat.

Kemudian pemuda itu bertanya apakah dia termasuk orang yang bakti kepada orangtua. Kemudian Rasulullah menjawab, engkau termasuk anak yang saleh dan berbakti, akan tetapi kebaikan yang kamu lakukan tidak sepadan dengan cinta orangtuamu kepadamu. Cinta orangtuamu tidak terbalaskan hanya dengan itu.

Keempat, al-bi‘ah al-sholihah, lingkungan yang baik dan kondusif untuk keimanan, lingkungan yang mengingatkan dan mendorong kepada kebaikan. Mengenal siapapun untuk dijadikan teman tidaklah dilarang, namun untuk menjadikan sebagai sahabat karib haruslah orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan.

Rasulullah menganjurkan kita untuk bergaul dengan orang saleh, yaitu orang yang mengajak kebaikan dan mengingatkan jika berbuat salah. Karena orang saleh itu memiliki pancaran cahaya yang dapat menerangi orang-orang di sekelilingnya.

Kelima, al-mal al-halal yaitu harta yang halal. Islam tidak melarang orang menjadi kaya, tetapi yang penting adalah kualitas harta bukan kuantitas harta. Rasulullah bersabda:” Akan tiba suatu zaman di mana orang tidak peduli lagi terhadap harta yang diperoleh, apakah ia halal atau haram”.

14 abad lebih, setelah Rasulullah menyatakan hadis ini, kita sedang menyaksikan sebuah kenyataan dimana orang sangat berani melakukan korupsi, penipuan, penggelembungan nilai proyek, pemerasan, penyuapan, pengoplosan BBM, produksi barang bajakan, dan sebagainya. 

Banyak orang yang menjadi korban, bahkan tak jarang orang mengatakan “mencari yang haram aja sulit apalagi yang halal”. Rasulullah pernah bercerita tentang seorang yang sedang dalam perjalanan panjang, rambutnya kusut, pakaiannya kotor. Ia berdoa sambil mengangkat tangan, namun Rasulullah mengatakan bagaimana doamu dapat dikabulkan jika makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang kau miliki didapat dari yang haram, karena sesuatu yang haram penyebab ditolaknya doa dan ibadah.

Rasulullah itu miskin dalam artian tidak mempunya harta yang berlebih. Beliau itu ternyata kaya raya, memiliki harta yang lebih, tapi walaupun begitu hidup beliau tidak kaya atau sangat sederhana.

Mengapa demikian karena beliau zuhud dengan kekayaannya. Zuhud di sini dalam artian bukan tidak boleh memiliki harta yang berlimpah, tapi hakikatnya hati tidak terkait atau cinta dengan harta itu. Jadi kita pun patut mencontoh Rasul, kita harus kaya tapi kita tidak boleh mencintai kekayaan kita itu.

Kalau kaya kita bisa bersedakah, berinfak lebih banyak dari orang yang kekayaannya sedikit, bisa berhaji, bisa buat pesantren dan lembaga pendidikan, memberi peluang kerja bagi gelandangan dan pengemis.

Keenam, tafaqquh fi al-din, semangat mempelajari agama. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengkaji, mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu agama. Semakin belajar ilmu agama maka hidup manusia akan terarah. Hanya dengan ilmu, amal manusia bernilai pahala. Semakin belajar semakin cinta agama, semakin cinta Allah dan rasul-Nya, cinta ini yang akan mententramkan hatinya.

Ketujuh, umur yang berkah. Semakin tua semakin mulia, semakin banyak amal kebaikan, hidup yang diisi hanya untuk kebahagian lahiriah semata, hari tua akan diisi dengan kekecewaan, berangan-angan bahagia sementara tubuh semakin renta dan tidak sanggup mewujudkan angan-angan tersebut.

Hidup yang digunakan untuk mempersiapkan bekal bertemu Allah, maka semakin tua dia akan semakin bahagia, bersikap optimis. Dan tidak ada ketakutan meninggalkan dunia yang fana ini.

Sesungguhnya Allah amat sangat baik kepada para hamba-Nya. Dia menghendaki agar mereka bahagia, dunia dan akhirat. Sehingga diperintahkan apa saja yang bisa menghantarkan kepada kebahagiaan itu. Juga dilarang setiap yang bisa merusaknya. Oleh sebab itu, dikatakan kepada para mujrimin saat mereka disiksa dalam neraka, "Dan tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (QS. Al-Zukhruf: 76)

Kebahagiaan yang paling ditekankan Islam adalah kebahagiaan akhirat, namun bukan berarti kebahagiaan dunia ditelantarkan. Tidak, bahkan kebahagiaan di dunia ini berusaha diwujudkan dalam bentuk yang sebenarnya. Yakni dengan mengabdikan diri kepada Allah semata sebagai panggilan dari fitrah diri manusia yang ia diciptakan di atasnya. Sehingga dengan itu akan mendapat ketenangan dan ketentraman. Dan ini menjadi kunci utama tercapainya kebahagiaan, sampaipun dalam musibah dan bencana. Ia jadikan musibah tersebut menjadi ladang untuk mendapatkan keutamaan dan pahala besar yang menjaminnya masuk dalam surga, yakni dengan sabar. Dan tidaklah seseorang mendapatkan surga akhirat sebelum ia mendapatkan surga dunia dalam ibadahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...