PENGUNJUNG

Jumat, 04 Desember 2020

بَابُ اَلْعِدَّةِ وَالْإِحْدَادِ BAB IDDAH DAN IHDAD


Iddah berasal dari kata ‘adda yang berarti  sesuatu yang dihitung, dalam kaitan hukum pernikahan iddah yang dimaksud adalah hari-hari yang dihitung oleh seorang perempuan sampai ia halal menikah baik karena ditalak, ditinggal wafat, atau ditinggal kabur. Sedangkan ihdad artinya menahan atau menjauhi, sedangkan dalam kaitan hukum pernikahan ihdad berarti menjauhi sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah.

1. Iddah perempuan yang hamil

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4)

َعَنْ اَلْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ, فَجَاءَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ, فَأَذِنَ لَهَا, فَنَكَحَتْ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ  وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ  وَفِي لَفْظٍ: ( أَنَّهَا وَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِأَرْبَعِينَ لَيْلَةً  وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, قَالَ اَلزُّهْرِيُّ: ( وَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ تَزَوَّجَ وَهِيَ فِي دَمِهَا, غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَقْرَبُهَا زَوْجُهَا حتَّى تَطْهُرَ 

Dari al-Miswar Ibnu Makhramah bahwa Subai'ah al-Aslamiyyah Radliyallaahu 'anhu melahirkan anak setelah kematian suaminya beberapa malam. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu'alaihi wa Sallam meminta izin untuk menikah. Beliau mengizinkannya, kemudian Ia nikah. Riwayat Bukhari dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim.

Dalam suatu lafadz: Dia melahirkan setelah empat puluh malam sejak kematian suaminya. Dalam suatu lafadz riwayat Muslim bahwa Zuhry berkata: Aku berpendapat tidak apa-apa seorang laki-laki menikahinya meskipun darah nifasnya masih keluar, hanya saja suaminya tidak boleh menyentuhnya sebelum ia suci


2. Iddah perempuan yang ditalak

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al Baqarah: 228).

َوَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( أُمِرَتْ بَرِيرَةُ أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ. رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ, لَكِنَّهُ مَعْلُولٌ 

'Aisyah Radliyallaahu' anhu berkata: Barirah diperintahkan untuk menghitung masa iddah tiga kali haid. Riwayat Ibnu Majah dan para perawinya dapat dipercaya, namun hadits tersebut ma'lul

وَعَنْ اَلشَّعْبِيِّ, عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ, ( عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم -فِي اَلْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا-: لَيْسَ لَهَا سُكْنَى وَلَا نَفَقَةٌ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Sya'by dari Fathimah Ibnu Qais Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda -tentang perempuan yang ditalak tiga-: "Dia tidak mendapat hak tempat tinggal dan nafkah." Riwayat Muslim.

Wanita yang tidak memiliki masa haidh yaitu anak kecil yang belum datang bulan dan wanita yang monopause (berhenti dari haidh), maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).

3. Iddah dan ihdad perempuan yang ditinggal wafat

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُ‌ونَ أَزْوَاجًا يَتَرَ‌بَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْ‌بَعَةَ أَشْهُرٍ‌ وَعَشْرً‌ا  فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُ‌وفِ  وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ‌

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)

Dan ada hadis juga yang dilaporkan oleh Al-Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri dia berkata:

أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِي بَنِي خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي فَإِنِّي لَمْ يَتْرُكْنِي فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةٍ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ قَالَتْ فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي الْحُجْرَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ دَعَانِي أَوْ أَمَرَ بِي فَدُعِيتُ لَهُ فَقَالَ كَيْفَ قُلْتِ فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِي ذَكَرْتُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِي قَالَتْ فَقَالَ امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ 

أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Bahwasnya Furairah dating menghadap Nabi SAW bertanya kepadanya bolehkah ia kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah, karena suaminya keluar mencari beberapa hamba sahanya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf ala Qadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya. Dia berkata “ maka aku meminta izin pada rasulullah untuk kembali kepada keluargaku, karena ia tidak meninggalkan harta dan rumah untukku. ‘ia berkata kemudian aku keluar sehingga setelah aku sampai di sebelah ruangan atau mesjid, beliau memanggilku dan memerintahkanku agar dating. Kemudian beliau bertanya “ apa yang tadi engkau katakana” kemudian aku menyebutkan kembali kisah yang aku sebutkan tadi mengenai keadaan suamiku. Maka beliau bersabda, ;’tinggallah di rumahmu hingga selesai masa iddahm, ia berkata maka aku ber iddah di tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari (Hr. Turmudzi : 1125).

Maka pada hakekatnya masa iddah adalah masa menunggu agar bisa menikah kembali dengan pria lain, agar tidak terjadi percampuran di dalam satu Rahim. Adapun hal-hal yang dilarang di atas agar tidak terjadi hal-hal yang menuju perantaraan untuk menikah kembali, padahal masa iddahnya belum selesai. Keluar rumah, memakai pakian mencolok, berdandan dan lainnya bagi bangsa arab itu adalah sebuah pertanda bahwa wanita ini sudah bisa untuk dilamar atau ditanyakan atau bahkan untuk dinikah. Nah, wanita yang masih dalam masa iddah dilarang untuk melakukan hal-hal di atas agar tidak terjadi hal-hal yang terkait perantara atau mukaddimah menuju pernikahan.

Selama dalam masa iddah itu (4 bulan 10 hari) boleh juga keluar rumah, mencari nafkah, membayar hutang atau memenuhi kebutuhan lainnya. Dan keluar rumah dalam kontek memenuhi kebutuhan pokok atau kebutuhan rumah tangga boleh dan tidak berdosa. Yang dianggap melanggar aturan Rasul dan berdosa adalah jika Ibu keluar rumah dengan niatan agar dilihat orang dan ada yang melamar kembali, sementara Ibu masih dalam masa iddah. 

Kedua ialah karena darurat, seperti adanya bahaya yang mengancam keselamatan perempuan iddah tersebut, baik terhadap dirinya, keluarganya, maupun hartanya.

Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam salah satu kitabnya yang berjudul Al-Aziz Syarh al-Wajiz:

وَيَجُوْزُ لَهَا مُفَارَقَةُ الْمَسْكَنِ بِعُذْرٍ ظَاهِرٍ لِحَاجَةِ الطَّعَامِ أَوْ خَوْفِ المَالِ وَالنَّفْسِ

Dan diperbolehkan meninggalkan rumah karena udzur yang jelas karena kebutuhan untuk makanan sehari-hari atau karena kekhawatirannya ada bahaya pada harta atau dirinya.

وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا تَحِدَّ اِمْرَأَةٌ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا, وَلَا تَلْبَسْ ثَوْبًا مَصْبُوغًا, إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ, وَلَا تَكْتَحِلْ, وَلَا تَمَسَّ طِيبًا, إِلَّا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ. )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ  وَلِأَبِي دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيِّ مِنْ اَلزِّيَادَةِ: ( وَلَا تَخْتَضِبْ ) وَلِلنَّسَائِيِّ: وَلَا تَمْتَشِطْ 

Dari Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seorang perempuan berkabung atas kematian lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya ia boleh berkabung empat bulan sepuluh hari, ia tidak boleh berpakaian warna-wanri kecuali kain 'ashob, tidak boleh mencelak matanya, tidak menggunakan wangi-wangian, kecuali jika telah suci, dia boleh menggunakan sedikit sund dan adhfar (dua macam wewangian yang biasa digunakan perempuan untuk membersihkan bekas haidnya)." Muttafaq Alaihi dan lafadhnya menurut Muslim. Menurut riwayat Abu Dawud dan Nasa'i ada tambahan: "Tidak boleh menggunakan pacar." Menurut riwayat Nasa'i: "Dan tidak menyisir."

4. Iddah perempuan yang ditinggal hilang suaminya.

وَعَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ اَلْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَحَسَّنَهُ اَلْبَزَّارُ. وَعَنْ عُمَرَ رضي الله عنه - ( فِي اِمْرَأَةِ اَلْمَفْقُودِ- تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ, ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, وَالشَّافِعِيُّ 

Dari Ruwaifi' Ibnu Tsabit Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain."Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut ibnu Hibban dan hasan menurut al-Bazzar. Dari Umar Radliyallaahu'anhu tentang seorang istri yang ditinggal suaminya tanpa berita: Ia menunggu empat tahun dan menghitung iddahnya empat bulan sepuluh hari. Riwayat Malik dan Syafi'i.

Jika istri yang ditinggal suaminya, menikah dengan orang lain. Namun setelah pernikahan tersebut dilaksanakan, suami yang pertama datang kembali. Maka dalam hal ini Imam Ali berkomentar, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam syafi’i didalam musnad bahwa beliau berkata:

هِيَ اِمْرَأَتُهُ إِنْ شَاءَ طَلَقَ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ وَلاَ تُخَيِّرْ

“Wanita tersebut tetap menjadi istrinya. Akan tetapi jika ia menghendaki, ia boleh menthalak atau menahannya.”  (Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Al-Baighowi). Dan imam Ali juga pernah berkata:

لَوْ تَزَوَجَتْ فَهِيَ اِمَرَأَةُ اْلأَوَّلِ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ

“Seandainya sudah menikah lagi, maka tetap ia menjadi istrinya, baik sudah digauli atau belum digauli.”

خَيَّرَ اْلمَفْقُوْدَ بَيْنَ اِمْرَأَتَهِ أَوْ اْلصَدَاقِ الَّذِي أَصْدَقَهَا فَاخْتَارَ الصَدَاقَ لِأَنَّ زَوْجَتَهُ قَدْ حَبِلَتْ

“Beliau (Umar Rodhiyalloh ‘Anhu) menawarkan kepada orang yang hilang (kemudian kembali lagi), untuk memilih antara kembali kepada istrinya atau mengambil maharnya saja. Kemudian orang tersebut memilih untuk mengambil maharnya, karena istrinya telah hamil (dari pernikahannya dengan suami yang kedua). (Diriwayatkan oleh Abdur Rozak, Baihaqi dan ibnu Abi Syuaibah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...