Oleh : Miftah Husni
Allah SWT mempunyai 99 nama yang berasal dari pekerjaan dan sifat nya, dari sekian banyak nama itu, keidentikan yang menggambarkan Diri-Nya adalah kedua sifat ar-Rahman ar-Rahim. Di ayat (1:3) surat Al-Fatihah, frase ar-Rahman ar-Rahim berdiri sendiri. Tapi di ayat 1 menjadi bagian dari bismillah. Yaitu ketika Tuhan memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah, yang lengkap dengan predikat utamanya: Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Melalui ayat ini, Allah menginformasikan kepada manusia bahwa predikat utama bagi Diri-Nya ialah ar-Rahman ar-Rahim, menjadi penegas pada ayat ke-2 bahwa Allah SWT mengurus alam semesta dan seisinya lebih didominasi oleh kedua asma ini.
Lalu apa perbedaan antara ar-Rahman dan ar-Rahim? Pertama, susunan ini (ar-Rahman ar-Rahim) tidak pernah bertukar. Tidak pernah ar-Rahim mendahului ar-Rahman.. Kedua, dalam al-Qur’an, jumlah kata ar-Rahman (57 kali) lebih sedikit daripada ar-Rahim (97 kali). Ketiga, Allah sering sekali menggunakan ar-Rahman sebagai pengganti bagi diri-Nya. . Itu tidak pernah terjadi pada ar-Rahim. Yang bisa kita tangkap dari semua itu ialah bahwa Rahman-Nya Allah mencakup seluruh realitas yang ada, sementara Rahim-Nya hanya diberikan kepada hamba-Nya yang benar-benar beriman (33:43). Rahim-Nya adalah tambahan terhadap Rahman-Nya. Tetapi meski hanya tambahan, kualitasnya jauh lebih tinggi daripada Rahman-Nya. Ini pertanda bahwa nilai orang beriman jauh melampaui semua itu. Itu juga sebabnya mengapa Allah mengatakan bahwa budak beriman lebih mulia daripada orang merdeka beserta seluruh kelebihan lahiriah mereka (2:221).
Sifat rahmat Allah yang lain adalah dekat. Kedekatan di sini memiliki hukum kausalitas, yakni yang mendekati akan didekati. Allah mendekati siapa pun yang mendekati-Nya. Jarak tempuh kita dalam mendekati Allah memengaruhi jarak tempuh Allah mendekati kita. Saat kita mendekati-Nya sejengkal, Allah akan membalas dengan sehasta. Saat sehasta, Allah mendekati kita sedepa dan seterusnya.
Turunan Kasih dan Sayang Allah SWT kepada Manusia
Dalam sebuah ayat, Allah SWT berfirman :
''Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang senantiasa berbuat baik.'' (QS al-A'raf [7]: 56). Rasulullah SAW juga mempertegas dalam haditsnya: ''Sayangilah siapa pun yang ada di bumi maka akan menyayangimu zat yang ada di langit.'
Bentuk kasih dan sayang terbaik sesama manusia terlihat pada hubungan orang tua dan anak, karena secara nurani tidak mungkin ada anak yang tidak menyayangi orang tuanya. Hal ini dikarenakan ada proses terima dan kasih yang sudah dimulai dari hidupnya janin di dalam rahim ibu, dimana ayah menafkahi ibu untuk kemudian dimakan dan disuplai kepada janin dengan nutrisi yang berbeda pada tiap tahap perkembangannya, bahkan sampai pada waktu ditutupnya suplai nutrisi tersebut karena plasenta telah dipotong saat dilahirkan, bayi masih mempunyai nutrisi dalam perutnya untuk satu minggu lamanya. Di sisi lain ketika dilahirkan ia menangis sebagai tanda ia mulai menghirup udara yang mengakibatkan terbukalah reaksi system pencernaan.
Setelah akil baligh, muncullah rasa terima kasih pada orangtuanya. Makanya setiap yang dilahirkan mirip dengan yang melahirkan, hal ini supaya menjadi dasar kasih sayang.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.”
Yang dimaksud dengan sikap rendah hati dalam ayat ini ialah menaati apa yang mereka perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Taat anak kepada kedua orang tua merupakan tanda kasih sayang dan hormatnya kepada mereka, terutama pada saat keduanya sangat memerlukan pertolongan anaknya. Ditegaskan bahwa sikap rendah hati itu haruslah dilakukan dengan penuh kasih sayang, tidak dibuat-buat untuk sekadar menutupi celaan atau menghindari rasa malu pada orang lain.
Hubungan Rahmat-Nya dengan Amal Manusia terhadap Surga
Dalam hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu disebutkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ
“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR. Muslim no. 2817).
Sementara dalam beberapa ayat diterangkan bahwa amalan adalah sebab seorang masuk surga. Seperti ayat berikut,
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Syaikh Ibnu ‘Utsamin menjelaskan,
فكيف يُجمَع بين الآية وبين هذا الحديث ؟ والجواب عن ذلك: أن يقال: يُجمع بينهما بأن المنفيَّ دخول الإنسان الجنة بالعمل في المقابلة، أما المثْبتُ: فهو أن العمل سبب وليس عوضا.
“Bagaimana menggabungkan antara ayat dan hadis ini (yakni hadis Jabir di atas, pent)? Jawabannya, kedua dalil di atas bisa dikompromikan, di mana peniadaan masuknya manusia ke dalam surga karena amalnya dalam arti balasan, sedangkan isyarat bahwa amal sebagai kunci masuk surga dalam arti bahwa amal itu adalah sebab, bukan pengganti” (Syarah Riyadhus Sholihin, 1/575).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 218).
Ibnu Hajar rahimahullah menuliskan dalam Fathul Bari,
قال بن بطال في الجمع بين هذا الحديث وقوله تعالى وتلك الجنة التي أورثتموها بما كنتم تعملون ما محصله أن تحمل الآية على أن الجنة تنال المنازل فيها بالأعمال فإن درجات الجنة متفاوتة بحسب تفاوت الأعمال وأن يحمل الحديث على دخول الجنة والخلود فيها
Ibnu Batthol menjelaskan saat menggabungkan hadis ini (yakni hadis Aisyah yang semakna dengan hadis Jabir di atas, pent), dengan firman Allah ta’ala (QS. Az-Zukhruf : 72). Ayat ini dimaknai bahwa tingkatan di dalam surga diraih dengan amalan. Karena derajat di surga berbeda-beda, sesuai perbedaan tingkatan amal. Adapun hadis dimaknai, sebab masuk surga atau sebab mendapatkan keabadian di dalamnya (hanya dengan rahmat Allah)” (Fathul Bari, 11/295).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar