Oleh: Miftah Husni
Rasulullah SAW biasa menerima wahyu melalui perantara malaikat Jibril, namun untuk perintah yang satu ini, beliau diminta menghadap langsung bahkan melalui perjalanan luar biasa yang sulit diterima oleh akal kecuali dengan didasari keimanan. Peristiwa ini disebut dengan Isra Mi'raj. Jika seorang karyawan diminta menghadap langsung kepada atasanya untuk menerima perintah, kemungkinannya adalah selain karena perintah itu sangat penting, juga merupakan suatu kehormatan bagi karyawan tersebut.
Ada apa dengan shalat hingga Rasulullah SAW diminta menghadap langsung? hadits di bawah ini dapat sedikitnya menjelaskan kepada kita :
” إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : انَظَرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكْمَلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ ” . وَفِي رِوَايَةٍ : ” ثُمَّ الزَّكَاةُ مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ حَسَبَ ذَلِكَ ” .
“Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.” (HR. Abu Daud no. 864, Ahmad 2: 425, Hakim 1: 262, Baihaqi, 2: 386. Al Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, penilaian shahih ini disepakati oleh Adz Dzahabi)
Fokus perhatian hadits di atas ada pada kalimat yuhasibu yang berarti akan dihitung, akal kita memahami kata hitung berkaitan dengan angka, oleh karena itu hisaban shalat erat kaitannya dengan angka karena pelaksanaannya pun menggunakan angka sebagaimana pertanyaan seorang arab gunung tentang apa yang diwajibkan kepadanya dari Shalat, maka jawaban Rasul adalah sholat yang lima waktu, Dari pengertian itu dapat kita fahami bahwa hisaban shalat mencakup kuantitas kewajibannya.
Secara sederhana jika seseorang berusia 65 tahun menurut perhitungan tahun masehi, maka dikurangi akil baligh yang kita asumsikan 15 tahun, maka kewajiban shalatnya adalah 365 x 5 x 50 = 91.250 kali kewajiban shalat. Itulah shalat yang sempurna berdasarkan hitungan kuantitas. Masalahnya siapa diantara kita yang rajin mencatat kewajiban shalat kita berapa yang terpenuhi dan berapa yang terlewatkan? bagi kita yang terbiasa shalat ketika adzan sudah dikumandangkan mungkin tidak perlu khawatir menghitung, namun bagi yang merasa shalatnya bolong-bolong atau baru sholat belakangan ini, maka ini termasuk golongan yang naqishah atau kurang.
Bagi golongan ini, apakah perlu mengganti yang terlewatkan? berapa banyak waktu shalat dan jumlah rakaat yang harus diganti? Ternyata Allah SWT yang Maha Bijaksana memerintahkan kepada malaikat untuk memeriksa apakah ada shalat sunnat yang bisa menambah kekurangannya? jika ada maka akan ditambahkan kepada kekurangannya sebagaimana sifat shalat sunnat yaitu tathowwu yang berarti menambah QS. 2 :184).
Hisaban juga berkembang bukan hanya untuk angka sebagaimana ungkapan sahabat Umar Bin Khattab "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab". Kalau untuk yang berkaitan dengan angka biasanya kita sebut dengan pengukuran, sementara kalau non-angka biasa kita sebut penilaian, walau pun penilaian juga ada yang menggunakan rentang angka.
Penilaian shalat berkaitan dengan dua hal; pertama tingkat kesamaan dengan shalat nabi karena beliau bersabda "Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat". Perintah kesamaan shalat ini merupakan tanggung jawab Rasulullah SAW agar tata cara pelaksanaan shalat umatnya sesuai dengan beliau, implementasinya adalah tiap gerakan dari awal sampai akhir dijelaskan begitu detail dalam tiap haditsnya, jangankan bagaimana cara ruku dan sujud, posisi jari kaki dan tangan pun diatur sedemikian rupa. Yang kedua , penilaian dam shalat berkaitan dengan kualitas sholat itu sendiri, dalam setiap ibadah terdpat ruh, dan ruh sholat terdapat pada kualitas kekhusuannya. Dan ternyata nabi pun menjelaskan nilai yang didapat seseorang setelah ia melaksanakan shalat sebagaimana dalam sabdanya :
منكم من يصلي الصلاة كاملة ، و منكم من يصلي النصف ، والثلث ، الربع ، و الخمس
حتي بلغ العشر
“Di antara kalian ada yang shalat dengan sempurna, di antara kalian ada yang shalat setengah, sepertiga, seperempat dan seperlima sampai mencapai sepersepuluh.”Hasan, Diriwayatkan oleh an-Nasal dengan sanad hasan. HN. 538 dalam Shahiih Targhiib wat tarhiib)
Bagaimana salat sesuai contoh Nabi Saw berdasarkan dalil : klik Dalil-Dalil Gerakan Salat
Kenapa Allah dan Rasulullah memberikan perhatian yang besar terhadap shalat? Apakah semata-mata menjadikan Allah mulia dengan shalat nya hamba? Ternyata tidak demikian, shalat berkaitan dengan kemaslahatan manusia itu sendiri, karena shalat memberikan efek yang besar bagi pembentukan karakter manusia. Ia mempunyai fungsi yang luar biasa untuk mencegah manusia berbuat keji dan munkar.
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45)
Abul ‘Aliyah pernah berkata,
إِنَّ الصَّلاَةَ فِيْهَا ثَلاَثُ خِصَالٍ فَكُلُّ صَلاَةٍ لاَ يَكُوْنُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الخَلاَل فَلَيْسَتْ بِصَلاَةٍ: الإِخْلاَصُ، وَالْخَشْيَةُ، وَذِكْرُ اللهِ. فَالإِخْلاَصُ يَأْمُرُهُ بِاْلمعْرُوْفِ، وَالخَشْيَةُ تَنْهَاهُ عَنِ المنْكَرِ، وَذِكْرُ القُرْآنِ يَأْمُرُهُ وَيَنْهَاهُ.
“Dalam shalat ada tiga hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Al Qur’an yang memerintah dan melarang sesuatu.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 65).
Jika seseorang telah lalai dalam memenuhi kewajiban shalatnya, maka bibit kemunafikan dan kekafiran secara amal mulai menggerogoti keimanannyasebagaimana diterangkan dalam hadits berikut :
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)
khalifah Umar bin Khattab sampai mengatakan, “Laa islama liman tarokash sholaah” [Tidak disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat. Karena yang mengaku islam tapi tidak shalat sedang berkontribusi terhadap hilangnya islam yang sebenarnya.
« يَدْرُسُ الإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْىُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلاَ صَلاَةٌ وَلاَ نُسُكٌ وَلاَ صَدَقَةٌ
“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya motif pakaian sehingga tidak diketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu nusuk (sembelihan), dan apa itu zaka...” (HR. Ibnu Majah no. 4185)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar