PENGUNJUNG

Selasa, 29 Desember 2020

AMIL ZAKAT


A.    PENGERTIAN AMIL ZAKAT

Amil Zakat dalam Kitab-Kitab Fiqh dan Perundang-undangan Amil adalah berasal dari kata bahasa Arab ‘amila-ya’malu yang berarti bekerja.

Dalam hal ini, Imam at-Thabari (w. 310 H), yang juga mujtahid mutlak, menyatakan: 

وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ السُّعَاةُ فِي قَبْضِهَا مِنْ أَهْلِهَا وَوَضْعِهَا فِي مُسْتَحِقِّيْهَا يُعْطُوْنَ ذَلِكَ باِلسِّعَايَةِ أَغْنِيَاء كَانُوْا أَوْ فُقَرَاءُ

Amil adalah para wali yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Mereka (‘amil) diberi (bagian zakat) itu karena tugasnya, baik kaya ataupun miskin.

Secara konsep dapat dipahami bahwa dengan semakin tinggi tingkat keprofesionalan Amil akan semakin tinggi tingkat kesejahteraan para Mustahiq, khususnya Amil, mengingat konsep Fikih secara jelas mencanangkan bahwa hak mereka adalah 12,5% atau 1/8 dari harta terkumpul – at-taubah 60-.

Ada juga beberapa Ahli Fiqh yang berbeda-beda dalam memutuskan gaji yang diberikan kepada Amil tersebut.

B. DASAR HUKUM AMIL ZAKAT

Artinya ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(QS At-Taubah:103). 

Hadis Nabi Muhammad SAW

Amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara,  organisasi, lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan. Dasar pengangkatan amil zakat ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi :[28]

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

“Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : "Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.“  (Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim).

Mustahik Zakat


Golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) ada 8 golongan sebagaimana telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60). 

Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.

Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.

Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat

Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ حَظَّ فِيهَا لِغَنِىٍّ“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.” 

Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat? 

Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob, maka  ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.

Apa standar kecukupan?

Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada kebutuhan primer, yaitu pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri dan orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas ulama. 

Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?

Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ

“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.”

 Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ

“Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja, pen)” 

Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?

Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.

Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun. 

HARTA YANG WAJIB DIZAKAT (Bag 2)


4. Zakat Hasil Pertanian

Tentang kewajiban zakatnya, Allah SWT berfirman:

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ 

“...... makanlah buahnya, apabila ia berbuah, dan keluarkanlah haknya (zakatnya) pada hari mengetamnya ....” (Q.S. Al An`am: 141)

Dalam ayat tersebut jelas bahwa zakat pertanian hanya ada nisab tanpa ada haul, sebab pada waktu mengeluarkan ketika panen tiba.

Semua macam hasil pertanian, baik berupa buah-buahan atau biji-bijian (palawija) apabila sudah sampai nisabnya, wajib dikeluarkan zakatnya, tanpa kecuali. Pendapat tersebut didasarkan kepada keumuman ayat yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 267 yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ(267)

“Hai orang-orang yang beriman infaqanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang baik, dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu .....” (Q.S. Al Baqarah: 267)

Perkataan infaq dalam ayat tersebut bisa seperti zakat.

Nisab Palawija dan Buah-buahan

Menurut beberapa hadits, nisab palawija dan buah-buahan itu lima wasaq, kalau masa sekarang diperhitungkan kurang lebih seberat 650 Kg.

Adapun tentang jumlah yang wajib dikelurkan zakanya, ada dua macam:

Tanpa diurus pengairannya, yaitu bergantung kepada hujan, mata air, atau mengambil air melalui akarnya. Untuk ini zakatnya 10 %.

Diurus pengairannya, yaitu disiram dengan tenaga manusia atau binatang. Maka zakatnya 5 %.

Rincian tersebut berdasar hadits-hadits dibawah ini:

“Tidak ada zakat pada buah-buahan dan biji-bijian yang kurang dari lima wasaq”. (H.R. Muslim)

“Pada tanaman yang dapat air dari langit (hujan) atau mata air atau ‘atsari (mengambil air dengan akarnya), zakatnya sepersepuluh”. (H.R. Bukhari

“..... dan yang disiram dengan tenaga binatang atau orang, zakatnya separuh dari sepersepuluh”. (H.R. Abu Daud)

Dalam zakat pertanian tersebut, ada perbedaan para ulama tentang tanaman apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Pendapat pertama mengatakan bahwa yang wajib dizakati hanya empat macam tanaman, yaitu gandum, sya’ir, kurma dan anggur kering.

Pendapat kedua membatasi suatu yang menjadi makanan pokok, bisa disimpan dan kering dari biji-bijian atau buah-buahan.  

Pendapat ketiga mengatakan semua biji-bijian atau buah-buahan dengan syarat kering, tahan lama dan bisa ditakar.

Dalil-dalil yang dibawakan oleh mereka tidak luput dari kelemahan sehingga tidak dapat dijadikan dasar agama.

Oleh karena kita tetap berpegang kepada keumuman ayat dan hadits tentang masalah tersebut, sehingga semua hasil bumi baik berupa palawija, buah-buhan atau sayuran, apabila sudah sampai  nisabnya, wajib dikeluarkan zakatnya, menurut ketentuan masing-masing.


Zakat Madu

Tentang kewajiban mengeluarkan zakat dari madu, ada dua pendapat:

Tidak ada zakat dari madu, karena tidak satu haditspun yang sah tentang hal tersebut, dan juga madu bukan hasil dari pertanian.

Ada zakat untuk madu, beralasan dengan beberapa hadits lemah, yang saling menguatkan menurut pendapat mereka, sehingga dapat dijadikan dasar untuk mewajibkannya.

Menurut kami pendapat pertama lebih kuat dengan alasan yang dibawanya, kalau madu tersebut diperdagangkan otomatis terkena zakat perdagangannya.

 

5. Zakat Rikaz dan Hasil Tambang

Yang dimaksud Rikaz adalah harta simpanan orang-orang zaman dahulu yang terdapat dalam bumi.

Zakat pada rikaz sebesar 20 %, tanpa nisab dan haul, berdasar hadits dari Abu Hurairah:

“Bahwasannya Nabi saw. bersabda: dan pada rikaz itu zakatnya seperlima”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun tentang hasil tambang yang berupa emas, perak, besi, timah atau minyak dan lain sebagainya, karena haditsnya tidak luput dari kelemahan, maka ada sebagian dari ulama memasukkannya dalam zakat rikaz, dan sebagian lagi menyamakan dengan hasil pertanian, berdasar keumuman ayat (Q.S. Al Baqarah: 267) yaitu termasuk apa-apa yang dikeluarkan dari bumi.

Dengan demikian hasil tambang tersebut akan dikenakan zakatnya kalau diperdagangkan (zakat perdagangan), begitu juga dari hasil yang didapat dari laut. Pendapat tersebut didasarkan karena tidak adanya hadits sah tentang zakat ma’aadin (hasil tambang).


6. Zakat Perdagangan

Sandaran yang dipakai untuk mewajibkan zakat perdagangan adalah firman Allah swt.:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ 

“Hai orang-orang yang beriman infaqanlah sebagian dari hasil usaha yang baik .....” (Q.S. Al Baqarah: 267)

Dan sabda Nabi saw.

“Dari Samurah bin Jundab ra. ia berkata: adalah Nabi saw. memerintah kami untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kami sediakan untuk berdagang”. (H.R. Abu Daud)

Hadits tersebut secara sanad lemah, tetapi maknanya sesuai dengan ayat diatas, sehingga dapat dipakai, selain ini ada juga hadits:

“Bahwasannya Nabi saw. bersabda: tentang unta ada zakatnya, sapi juga ada zakatnya, dan kain juga ada zakatnya”. (H.R. Hakim)

Yang dimaksud dengan barang perdagangan ialah sesuatu yang dibeli atau dibikin dengan alat untuk dijual dan mencari keuntungan.

Adapun kalau kita beli untuk dimiliki, walaupun jumlahnya besar, seperti beli rumah, tanah, mobil dan lain sebagainya. Dan tidak ada niatan untuk dijual serta mencari keuntungan, maka yan demikian itu tidak ada zakatnya, walaupun suatu ketika kita akan menjualnya.


Nisab dan Haul Barang Dagangan

Dalam masalah nisab dan haul barang dagangan, ada dua pendapat:

Golongan pertama berpendapat bahwa untuk barang dagangan tidak perlu nisab dan haul. Karena tidak ada hadits yang jelas menerangkan tentang nisab dan haulnya.

Golongan kedua mengatakan harus ada nisab dan haulnya, sebagaimana harta lainnya. Mereka nebetapkan nisabnya sebagaimana nisab emas yaitu 20 dinar atau seharga 90 gram emas murni, dan zakat yang dikeluarkannya 2 ½ %.

Dagi pendapat pertama, pedagang kecil dan besar sama saja, dan perhitungannya dari modal, bukan dari laba, adapun zakatnya diambil dari ketentuan pokok yaitu 2 ½ % setiap membeli barang untuk dijual, walaupun jumlahnya tidak sampai nisab. Terkadang zakat tersebut kembali kepadanya lagi, kalau ia sebagai pedagang kecil yang kebetulan berhutang atau miskin dan lain sebagainya.

Sedang golongan kedua yang mensyaratkan nisab dan haul, maka kewajiban zakatnya dikeluarkan sesudah dagangan berumur setahun dan seharga emas 90 gram, walaupun dipertengahan tahun nisabnya berkurang, yang penting di akhir tahun sampai nisabnya. Dan jumlah yang dikeluarkannya juga 2 ½ % dari modal tersebut.

karena zakat merupakan ibadah, maka jika  tidak ada dalil yang membatasi  maka   tidak ada nishab dan haul lebih dipandang  pendapat yg arjah


Tentang Hasil Profesi

Yang dimaksud hasil profesi adalah  imbalan berupa uang yang didapat katena profesinya sebagai dokter, konsultan, insinyur, pendidik, karyawan, pegawai dan lain sebagainya.

Hasil profesi tersebut sering diistilahkan dalam fiqih dengan nama “al maalul mustafaad”, dan termasuk juga dalam istilah tersebut hasil dari kontrakan rumah, menyewakan mobil, hasil industri dan lain sebagainya.

Dalam masalah ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama mengatakan wajib dikenakan zakat dari hasil tersebut, berdasar keumuman ayat 267 surat Al Baqarah. Lafadz (.................) dalam ayat tersebut, lafadz umum, terkena semua macam usaha, baik perdagangan, pekerjaan dan lain sebagainya.

Pendapat kedua mengatakan tidak ada zakat dari hasil profesi dan yang lainnya, karena tidak didapati nash yang jelas tentang hal tersebut, disamping hadits yang mewajibkannya juga lemah (Hadits riwayat Imam Tirmidzi) 

Kalau kita berpegang dengan pendapat pertama, apakah pakai nisab dan haul? Dan berapakah yang harus kita keluarkan zakatnya?

Tentang harusnya pakai nisab tidak ada perselisihan, hanya ada perselisihan tentang menetapkan jumlah nisabnya. Sebagian ulama memakai nisab hasil pertanian, dan sebagian lagi memakai nisab emas. Dalam hal ini mereka cenderung menggunakan nisab emas.

Adapun perlu tidaknya pakai haul, juga mereka berselisih, sebagian mengatakan harus pakai haul, sebagaimana yang lainnya, dan ada pendapat, yang menurut sebagian ulama lebih kuat, mengatakan bahwa untuk zakat ini tanpa haul.

Sedangkan jumlah yang harus dikeluarkan ada dua macam:

Kalau dihasilkan dari industri, kontrakan, percetakan, hotel, persewaan mobil dan yang serupa, maka zakatnya 10 % dari hasil bersih (sesudah dipotong biaya-biaya yang diperlukan). Hal ini diqiyaskan hasil pertanian yang tidak lurus.

Adapun hasil dari pekerjaan, seperti gaji pegawai/karyawan, maka zakatnya 2 ½ %, disamakan dengan zakat emas.


Waktu mengeluarkan zakatnya tergantung kapan dia mendapatkannya, kalau gaji pegawai bisa setiap bulannya, asal sudah sampai nisab. Sedang hasil dari hotel, menyewakan mobil atau rumah, pabrik dan lain sebagainya, dapat juga diperhitungkan perbulannya dari keuntungan yang bersih.

Semua yang kita uraikan diatas adalah hasil ijtihad, yang kemungkinan benar, dan bisa juga salah. Oleh karena itu perlu kita kaji bersama, sehingga menghasilkan yang lebih baik.

HARTA-HARTA YANG WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA (Bag 1)


 1. Emas dan Perak

Tentang kewajiban mengeluarkan zakatnya, Allah swt. berfirman:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ(34(

“... dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan mereka tidak infaqan di jalan Allah (keluarkan zakatnya), maka kabarkanlah kepada mereka akan sisa yang pedih”. (Q.S. At Taubah: 34)

Dan begitu juga beberapa hadits yang menjelaskan tentang nisab keduanya:

Zakat pada keduanya itu tidak terbatas pada mata uang emas dan perak saja, termasuk juga logam emas/perak atau mata yang lainnya (bukan dari emas/perak) asalkan nisabnya sudah sampai maka wajib dikeluarkan zakatnya, kalau sudah setahun.


Nisab Emas dan Perak dan jumlah yang dizakati

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa nisab emas itu 20 dinar, kalau dihitung sekarang kurang lebih seberat 90 gram murni, dan zakatnya 2 ½ %.

Adapun nisab perak itu 200 dirham, perhitungan sekarang 600 gram perak murni, dan zakatnya juga 2 ½ %.

Jadi baru wajib mengeluarkan zakat kalau harta tersebut sudah sampai nisabnya, baik berupa uang perak atau emas, atau uang rupiah yang nilainya sama dengan 90 gram emas, termasuk juga uang yang disimpan di Bank atau berbentuk cek, asalkan sudah setahun.

Disini kita pakai nisab emas atau uang rupiah, karena nilai emas masih dianggap standar.

Dalil yang berhubungan dengan nisab dan jumlahnya, ada riwayat:

“Telah bersabda Rasulullah saw.: Apabila engkau telah memiliki 200 dirham dan sudah setahun, maka zakatnya 5 dirham, dan tidak wajib atasmu sesuatu (emas) hingga engkau memiliki dua puluh dinar dan sudah setahun, maka zakatnya setengah dinar”.


2. Perhiasan Emas dan Perak

Berdasar pada beberapa hadits yang berhubungan dengan kewajiban mengeluarkan zakat perhiasan dari emas dan perak, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk perhiasan tersebut tidak ada nisab dan haul, dan cukup sekali saja. (hadits-hadits tersebut walaupun derajatnya Hasan, tetapi tentang kewajiban zakatnya dikembalikan kepada keumuman At Taubah : 34)

Perhiasan tersebut, baik untuk dipakai atau untuk disimpan wajib dikeluarkan zakatnya, sebagaimana riwayat dibawah ini:

“Dari Ummi Salamah ra. ia berkata: saya memakai gelang-gelang dari emas, lalu saya bertanya (kepada Nabi saw.): wahai Rasulullah! Apakah gelang tersebut termasuk barang simpanan (yang terlarang)? Nabi menjawab: apabila sudah engkau tunaikan zakatnya, maka bukanlah merupakan simpanan”. (HR. Hakim dan Abu Daud)

 “Dari Aisyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. datang kepadaku, lalu beliau melihat di tanganku beberapa cincin dari perak, kemudian beliau bertanya: apa ini wahai Aisyah? Jawabnya: saya bikin cincin-cincin agar saya berhias untukmu, ya Rasulullah. Beliau bertanya lagi: apakah engkau sudah tunaikan zakatnya? Jawabnya: belum, beliau bersabda: cincin itu cukup untuk memasukkanmu ke neraka”. (H.R. Abu Daud dan Hakim)

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لاَ قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

“Bahwasannya seorang wanita datang kepada Nabi saw. dan besertanya seorang anak wanitanya, yang memakai dua gelang tangan dari emas, lalu beliau bertanya kepadanya: apakah sudah engkau tunaikan zakat gelang ini? Jawabnya: belum. Sabdanya: apakah engkau suka nanti Allah gelangkan dengannya di hari kiamat dua gelang dari api? Ia lalu lepas keduanya dan ia berikan kepada Nabi saw. sambil ia berkata: kedua gelang tersebut untuk Allah dan Rasulnya (ia dermakan)”. (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Hakim)

Ketiga hadits tersebut memberi gambaran bahwa untuk perhiasan baik emas ataupun perak tidak perlu nisab dan haul, disamping cukup sekali saja. Hadits pertama menjelaskan bahwa mengelurkan zakat perhiasan itu cukup sekali saja, sebab jawaban Nabi saw. kepada Ummi Salamah jelas kalau sudah dikeluarkan, bebas dari istilah barang simpanan yang terlarang.

Hadits kedua menerangkan bahwa cincin menurut kebiasaannya beratnya tidak sampai nisab, apalagi cincin tersebut dari perak.

Sedangkan hadits ketiga memberi gambaran bahwa Nabi saw. langsung bertanya tentang zakatnya, tanpa bertanya lagi sudah berapa lama gelang tersebut di tangannya, menunjukkan tidak ada haul untuk perhiasan.

Adapun jumlah yang wajib dikeluarkan zakatnya, kita berpegang kepada ketentuan pokok zakat emas dan perak yaitu 2 ½ % dari berat perhiasan tersebut atau dari harga pembeliannya.


3. Zakat Binatang Ternak

Menurut dalil yang ada bahwa binatang ternak yang wajib dizakati itu hanya tiga saja, yaitu onta, sapi dan kambing. Adapun selain dari tiga macam tersebut belum ditemukan riwayatnya yang jelas.

Ketiga macam binatang tersebut ada nisab dan haulnya, serta ada syarat tambahan yaitu yang mencari makan sendiri. (syarat tambahan ini dalilnya tigas pada kambing dan unta, untuk sapi belum jelas riwayatnya, apakah kita qiyaskan, sehingga terkena juga pada sapi).


Nisab dan rincian jumlah yang harus dizakatkan

  • Nisab unta lima ekor
  • Nisab sapi 30 ekor
  • Nisab kambing 40 ekor

Rincian pembagian unta:

  • 5 ekor – 9 ekor zakatnya 1 ekor kambing
  • 10 ekor – 14 ekor zakatnya 2 ekor kambing
  • 15 ekor – 19 ekor zakatnya 3 ekor kambing
  • 20 ekor – 24 ekor zakatnya 4 ekor kambing
  • 25 ekor – 35 ekor zakatnya 1 ekor bintu makhadh
  • 26 ekor – 45 ekor zakatnya 1 ekor bintu labun
  • 46 ekor – 60 ekor zakatnya 1 ekor hiqqah
  • 61 ekor – 75 ekor zakatnya 1 ekor jadza’ah
  • 76 ekor – 90 ekor zakatnya 2 ekor bintu labun
  • 91 ekor – 120 ekor zakatnya 2 ekor hiqqah


Apabila lebih dari 120 ekor, maka tiap-tiap 40 ekor zakatnya seekor bintu labun, dan tiap-tiap 50 ekor zakatnya seekor hiqqah.


Rincian Pembagian Sapi

Tiap 30 ekor sapi zakatnya seekor sapi jantan atau betina yang berumur setahun. (tabi’ atau tabi’ah).

Tiap 40 ekor sapi zakatnya seekor sapi betina yang berumur dua tahun (musinnah).

Kalau seseorang memiliki 120 ekos sapi, maka ia boleh memilih untuk mengeluarkan zakatnya antara 4 ekor tabi’/tabi’ah atau tiga ekor musinnah.

Kalau seseorang punya 100 ekor sapi, maka ia harus keluarkan zakatnya seekor musinnah dan dua ekor tabi’/tabi’ah, tidak boleh ia keluarkan tiga ekor tabi’/tabi’ah, dan begitulah seterusnya.

Rincian Pembagian Kambing


  • 40 ekor – 120 ekor 1 ekor kambing
  • 121 ekor – 200 ekor 2 ekor kambing
  • 201 ekor – 300 ekor 3. ekor kambing


Apabila lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap seratusnya zakatnya  satu ekor kambing.

Tentang zakat kambing ini tidak ditentukan umurnya, maka kita mengambil kebiasaannya, jadi bukan akan kambing yangmasih menyusu.

Dalil Nisab dan rincian tentang zakat unta dan kambing terdapat dalam Bukhari dari riwayat Anas ra. yang ketika itu ia diutus oleh Abu Bakar Shiddiq ke Bahrain, dan ia menerima surat dari Abu Bakar tentang zakat.

Adapun dalil tentang nisab sapi sebagaimana berikut:

“Dari Muadz bin Jabal, bahwasannya Nabi saw. utus dia ke Yaman, dan perintah dia mengambil zakat dari tiap-tiap tiga puluh sapi, seekor tabi’ atau tabi’ah, dan tiap-tiap empat puluh sapi, seekor musinnah (H.R. Abu Daud dan lainnya)

Binatang ternak yang tidak boleh dizakati

Binatang ternak yang diberikan kepada yang berhak sebagai zakat harus yang sempurna, yaitu tidak cacat/sakit atau yang sudah tua umurnya.

Larangan tersebut terdapat dalam hadits di bawah ini:

“...... dan tidak boleh dikeluarkan untuk zakat, binatang yang sudah tua dan buta sebelah .....”. (H.R. Al Bukhari)

Selain dari tiga macam binatang tersebut tidak ada zakatnya, kecuali kalau diperdagangkan, maka akan terkena zakat perdagangan.



MEMAHAMI ZAKAT


Zakat menurut bahasa artinya tumbuh, bersih. Menurut istilah agama, “Zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang khusus dengan ketentuan yang khusus bagi mustahiqnya”.

Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya itu terkadang pakai Nishab dan Haul, adakalanya tanpa nisab dan haul dan ada juga pakai nisab tanpa haul.

Nisab ialah ukuran minimal jumlah yang dikenakan zakat. Sedangkan haul artinya batas waktu wajib mengeluarkan zakat, yaitu sesudah setahun.

Zakat adalah urusan agama dan urusan ibadah, apa yang harus dizakati, berapa nishabnya dan kemana salurannya, itu sudah ditetapkan Allah swt dan Rasul-Nya, yaitu ashnaf yang delapan sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah: 60:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ(60)

“Shadaqah-shadaqah (itu tidak lain, melainkan) untuk faqir-faqir dan miskin-miskin, dan pengurus-pengurus shadaqah dan orang-orang yang dijinaki hati-hatinya, dan untuk memerdekakan hamba-hamba, dan orang-orang yang berhutang, dan (keperluan) di jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang demikian itu) satu kewajibah dari Allah, karena Allah itu mengetahui, bijaksana”. (Q.S.At Taubah: 60)

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ(43)

 “Dirikanlah oleh kalian shalat dan keluarkanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku”. (QS. Al Baqarah : 43)

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ(73)

 “Dan kami jadikan mereka ketua-ketua yang memimpin manusia dengan perintah kami, dan kami wahyukan kepada mereka perbuatan-perbuatan baik yang mendirikan shalat dan mengerluarkan zakat dan mereka orang-orang yang beribadah kepada kami”. (QS. Al Anbiya : 73)

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ ‎وَأَوْصَانِي بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا(31)

 “Dan ia jadikan aku orang berbakti dimana saja aku berada dan ia wajibkan aku sembahyang dan zakat selama aku hidup”. (QS. Maryam : 31)

وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا(55)

 “Dan ia menyuruh ahlinya mendirikan shalat dan mengelurkan zakat dan adalah ia seorang yang diridhai tuhannya”. (QS. Maryam : 55)

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya, selain itu hadits-hadits sebagai berikut:

“Dari Abi Hurairah ra. sesungguhnya orang Arab kampung datang kepada Nabi saw. lalu dia bertanya: tunjukanlah kepadaku atas amal yang apabila aku mengamalkannya aku masuk surga, Rasulullah menjawab: engkau beribadah kepada Allah, tidak menyekutukannya sedikitpun dan engkau mendirikan shalat makhtubah dan engkau tunaikan zakat mafrudhah dan engkau melaksanakan shaum Ramadhan, ia berkata: demi Allah, aku tidak akan menambah ini, dan ketika ia berlalu, Nabi saw. berkata: siapa yang menggembirakan melihat seorang laki-laki dari ahli surga, lihatlah laki-laki ini”. (HR. Al Bukhari)

Dan sebuah hadits dari Abu Hurairah:

“Ketika wafat Rasululah saw. dan adalah Abu Bakar, lalu kufurlah orang-orang yang kufur dari kalangan Arab, Umar berkata: bagaimana kau menerangi orang, padahal Rasulullah telah mengatakan, aku diperintah untuk menerangi orang-orang sampai mereka mengatakan: Laa ilaaha Illallah, barang siapa yang mengatakannya, maka ia telah terpelihara dariku hartanya dan jiwanya, kecuali dengan haqnya, sedang hisabnya tanggungan Allah, maka Abu Bakar berkata: demi Allah, pasti akan aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, karena sesungguhnya zakat itu 

Dengan ayat-ayat dan hadits-hadits diatas jelaslah, bahwa zakat adalah ibadah mahdhah yang sederajat dengan shalat dan tidak bisa dipisahkan.

Kamis, 24 Desember 2020

Qadha Shalat


Ibnu abidin mengatakan bahwa yang dimaksud qadha’ adalah mengerjakan yang wajib setelah waktunya. Adapun qadha’ shalat yang luput adalah qadha’ shalat yang sudah berlalu waktunya dan belum dikerjakan. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 3:24.

Para fuqaha sepakat bahwa yang wajib mengqadha’ shalat yang luput adalah orang yang lupa dan orang yang tertidur.

Namun, walau dinamakan qadha pada dasarnya perbuatan ini tidak dapat dinamakan Sholat jama’, tetapi ia itu (telah) melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya, yaitu kewajban bagi orang yang lupa atau tertidur sehingga luput satu atau dua Sholat.

Perintah Rasulullah SAW. Bagi orang yang lupa atau tertidur  dan Sholatnya terluput, hendaknya ia memenuhi kewajibannya itu pada saat ia teringat dan menyadarinya. Perlu juga kita catat bahwa orang yang lupa itu ada kalanya terjadi karena terlampau sibuk dengan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan atau ditunda sampai ia lupa karena kesibukan kerja .

Setelah kita dapat megetahui perbedaan pengertian diatas , maka disini perlu saya terangkan, bahwa bagi orang yang bepergian (safar) tidak diidzinkan menjama’ Sholat kecuali Sholat Dhuhur dengan Ashar atau Sholat Maghrib dengan Isya’.

Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa wanita haidh, wanita nifas, dan orang kafir asli ketika masuk Islam tidak perlu mengqadha’ shalat yang luput.

Contoh qadha shalat ketika tertidur

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha:14). (HR. Muslim, no. 684)

Orang yang luput dari shalat karena tertidur atau lupa, maka tidak ada dosa untuknya, namun wajib baginya mengqadha’ shalat ketika ia bangun atau ketika ia ingat. Lihat penjelasan dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 111783.

Qadha shalat bagi yang meninggalkan shalat dengan sengaja

Tidak wajib qadha’ bagi yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Yang jelas orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja telah terjatuh dalam dosa besar. Kewajibannya adalah bertaubat kepada Allah yaitu menyesal, kembali lagi mengerjakan shalat, dan bertekad tidak akan meninggalkannya lagi pada masa akan datang. Hendaklah ia rajin mengerjakan pula amal shalih dan menutup kesalahannya dengan rajin mengerjakan shalat sunnah.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Adapun orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja sampai keluar waktunya, maka tidak ada qadha’ baginya selamanya. Hendaklah ia memperbanyak amalan kebaikan dan rajin mengerjakan shalat sunnah untuk memberatkan timbangannya pada hari kiamat. Hendaklah ia bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas kesalahan-Nya.” (Al-Muhalla, 2:235).

Di antara dalil yang menyatakan tidak ada qadha’ adalah karena waktu shalat sudah ada batasannya sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103). Berarti tidak boleh mengerjakan shalat di luar dari waktunya kecuali jika ada dalil.

Dalam Al-Muhalla (2:235) disebutkan bahwa karena Allah telah menetapkan waktu shalat punya batasan awal dan akhir, maka jika shalat tidak boleh dilakukan sebelum waktunya, maka tidak boleh dilakukan setelah waktunya habis.

Dalam al Quran disebutkan dosa orang yg meninggalkan sholat dengan sengaja

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)

Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini pula : 

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَ 

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Adapun Hadits berikut : 

عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله : إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ

Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah, ”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)

Sanad hadits tersebut sebagai berikut :

Haddatsana Hinadun , haddatsana Husyaimun Abiz-Zubair ‘an Nafi’ bin Jubair bin Muth’im, ‘an Abi Ubaidah bin Abdilah qala : qala Abdullah “

Perlu pula kita ketahui bahwa pada sanad Hadits itupun “mudltharib” (korat-karit) dan “munqathi” (terputus) , sebab dalam sanad Hadits itu dinyatakan bahwa Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ubaidah dari Abdullah , padahal Ubaidah tidak mendengar apa – apa dari Abdullah

Hadits yang shahih , yang berkenaan dengan peristiwa Perang Khandaq adalah sebagai berikut :

عَنْ جَابِرِبْنَ عَبْدِ اللهِ اِنَّ عُمَرَبْنَ اْلخَطَّابِ جَاءَيَوْمَ اْلخَنْدَقِ بَعْدَمَاغَرَبَتِ اَلشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كَفَّارَقُرَيْشٍ فَقَلَ مَاكِدْتُ اُصَلِّى الْعَصْرِ حَتىَّ كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ . قَالَ النَبِّيُّ صلعم وَاللهُ مَاصَلَّيْتُهَافَقُمْنَا اِلَى بُطْعَانَ فَتَوَضَّاءَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّاءْ نَالَهَاَ فَصَلَّى الْعَصْرَبَعْدَغَرَبَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَاْ اَلْمَغْرِبَ                        (رواه انجارى – متفق عليه)

Artinya : Dari Jabir bin Abdillah , Sesungguhnya Umar Al-Khattab datang pada hari khandaq setelah matahari terbenam sambil memaki – maki orang kafir quraisy, ia berkata : Ya Rasulullah tidak dapat aku Sholat Ashar sehingga matahari terbenam. Bersabda Rasulullah SAW. Demi Allah akupun belum Sholat Ashar. Maka kami pergi ke lembah Buth-han, beliau berwudhu dan kamipun berwudhu pula untuk Sholat, kemudian beliau Sholat Ashar dan sesudahnya Sholat Maghrib.

Jadi dari Hadits yang terakhir ini, Sholat Ashar pada waktu Maghrib, demikian Sholat itu dilakukan dalam peristiwa Perang Khandaq yang sedianya akan dilakukan di Khaibar , hal ini terjadi sebab lupa dan adanya kesibukan , maka di dirikanlah Sholat itu setelah ingat dan menyadarinya. Kini jelas, bukan empat Sholat yang disekaliguskan, tetapi Sholat Ashar yang terlupakan dan baru ingat serta dilakukan setelah Maghrib, tidak sebagai Sholat jama’ dan bukan pula jama’, tapi melakukan kewajiban yang terlupakan.

Rabu, 23 Desember 2020

ABDULLAH BIN ABBAS "Kyai Umat Ini"


Ibnu Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih kecil, dan Rasulullah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. Tetapi ia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasulullah saw. yang mengutamakan dan mendidiknya serta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmu, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul .... 

Ia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Digelari "habar" atau kyai atau lengkapnya "kyai ummat", suatu gelar yang hanya dapat dicapainya karena otaknya yang cerdas, hatinya yang mulia dan pengetahuannya yang luas. 

Dari kecilnya, Ibnu Abbbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendu'akannya: -

"Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta'wil". 

Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan dimana Rasulullah mengulang-ulang du'a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu ..., dan ketika itu ia mengertilah bahwa ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan. 

Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam wafat itu, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang diucapkannya.... 

Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul A'la, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari shahabat-shahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang input didengar dan dipelajarinya dari Rasulullah saw. sendiri. Suatu tanda tanya (ingin mengetahui dan ingin bertanya) terpatri dalam dirinya. 

Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatu ilmu atau menghafalkan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya nntuk meneliti apa yang didengarnya. 

Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengumpulkan ilmu pengetahuan semata, tapi juga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya. 

Pernah ia menceritakan pengalamannya: -- "Pernah aku bertanya kepada tigapuluh orang shahabat Rasul shallallahu alaihi wasalam  mengenai satu masalah". Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkannya kepada kita sebagai berikut: - 

"Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  wafat, kukatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: "Marilah kita bertanya kepada shahabat Rasulullah, sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul?" 

Jawab pemuda Anshar itu:

"Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagaimana kau lihat banyak terdapat shahabat Rasulullah ... ?" Demikianlah ia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah. 

Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur siang. Kubentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia  bangun  dan  keluar mendapatiku. Maka katanya: -- "Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?" "Tidak!" ujarku, "bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar daripadanya ... !" 

Demikianlah pemuda kita yang agung ini bertanya, kemudian bertanya dan bertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti,  dan dikajinya dengan seksama dan  dianalisanya  dengan fikiran yang berlian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang-orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab radhiallahu anhu menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting dan menggelarkannya "pemuda tua" ... ! 

Pada suatu hari ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas:

"Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini ... ?" 

Jawabnya: -"Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berfikir... !" 

Maka dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai "kyai ummat ini". 

Sa'ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini :- 

Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas ... ! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!" 

Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin 'Utbah berkata:-

"Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  daripada Ibnu Abbas... ! 

Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripadanya ... ! Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengertiannya daripadanya .... 

Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari .... 

Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir  -Quran,  ilmu  hisab  dan  soal  pembagian  warisan daripadanya ... ! Dan tidak seorang alim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang bertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya... !" 

Seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut: -- (Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali) 

"Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara .... 

  • Menarik hati pendengar apabila ia berbicara. 
  • Memperhatikan setiap ucapan pembicara. 
  • Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.
Sedangkan tiga perkara yang ditinggalkannya adalah :
  • Menjauhi sifat mengambil muka. 
  • Menjauhi orang-orang yang rendah budi. 
  • Menjauhi setiap perbuatan dosa. 

Sebagaimana kita telah paparkan bahwa Ibnu Abbas adalah orang yang menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu. 

Maka ia pun menjadi tujuan bagi orang-orang yang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan. 

Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa. 

Alasan  yang  dikemukakannya  bagaikan  cahaya  matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman ....Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakannya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manisnya susunan kata dan keahliannya berbicara ... ! 

Dan bagaimana pun juga banyaknya ilmu dan tepatnya alasan tetapi diskusi atau tukar fikiran itu ... ! Baginya tidak lain hanyalah sebagai suatu slat yang paling ampuh untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran ... ! 

Dan memang, telah lama ia ditakuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam! Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cupIikan di bawah ini: - 

Tanya Ibnu Abbas: -- "Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali ... ?" 

Ujar mereka: -"Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya: - 

Pertama dalam Agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah  berfirman:  '"Tak ada hukum kecuali bagi Allah ... !') 

Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil barta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya ... !) 

Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu'min lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir... !"3) 

Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya: -- "Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya ... ? 

Bukankah Allah telah berfirman: 

"Hai orang-orang beriman! Janganlah halian membunuh binatang buruan, sewaktu halian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewran yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hahimnya ... !" (Q.S. 5 al-hlaidah: 95) 

Nah, atas nama Allah cobalah jawab: "Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ... ?" 

Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian "kyai ummat ini" melanjutkan bantahannya: - 

"Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  dan Ummul Mu'minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan ... ?" 

Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena main, lain menutupi muka mereka dengan tangan ...,sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya: - 

"Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penuiis: "Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah ... ". Tiba-tiba utusan Qnraisy menyela: 'Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu ... ! Maka tulislah: 

Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"

Kata Rasulullah kepada mereka: "Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya" 

Lalu kepada penulis surat perjanjian itu diperintahkannya:

"Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !" 

Demikianlah, dengan cara yang menarik( dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar fikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Imam Ali... ! 

Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu serta akhlak para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, Ia bagaikan Imam dengan,panji-panjinya. Dilimpah-ruahkannya harta bendanya kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpah ruahkan ilmunya kepada mereka.... 

Orang-orang yang sesama dengannya, pernah menceritakan dirinya sebagai berikut: -- "Tidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Ibnu Abbas ... !" 

Di samping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga. 

Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang, ialah harapannya agar setiap orang, baik yang dikenalnya atau tidak, beroleh kebaikan...! 

Katanya mengenai dirinya: -

"Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitabullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu ... ! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu perkara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendu'akannya ..., padahal tak ada hubungan perkara antaraku dengannya ... ! Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut...!" 

Ia seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin bertaubat ..., sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya ia menangis, baik di kala ia shalat maupun sewaktu membaca alquran ....Dan ketika ia membaca ayat-ayat alquran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya bertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi ... ! 

Di samping semua itu, ia juga seorang yang berani, berfikiran sehat dan teguh memegang amanat ... ! Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah, ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukban tingginya kecerdasan dan banyaknya akal serta siasatnya .... Ia lebih mementingkan perdamaian dari peperangan, lebih banyak berusaha dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan menggunahan fikiran daripada paksaan...! 

Tatkala Husein radhiallahu anhu  bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Ibnu Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk menghalanginya. Dan tatkala ia mendengar kematiannya, ia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya. 

Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian, beriunak lembut dan melenyapkan kesalah-pahaman 

Benar ia ikut terjun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu'awiyah, tetapi hal itu dilakukannya, tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat... ! 

Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya - · · · Dan pada usianya yang ketujuhpuluh satu tahun, ia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maha Agung · - · · Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu'min diiringkan menuju surganya. 

Dan tatkala tubuh kasarya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, angkasa bagai berguncang disebabkan gema janji Allah yang haq: 

"Wahai jiwa yang aman tenteram! Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Maka masuklah ke dalam lingkungan hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surgaKu.


SALAT BERMAKMUM KEPADA AHLI BID’AH


( Pengertian Bid’ah

Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Allah berfirman.

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنْ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ 

"Katakanlah : 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul". [Q.s. Al-Ahqaf : 9].

Sedangkan secara istilah, sebagaimana diterangkan oleh as-Syatibi

قَالَ اْلاِمَامُ الشَّاِطِبُّي : أَلْبِدْعَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِى التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Imam Asy Syatibi mengatakan, ”Bid’ah itu adalah keterangan tentang satu  cara dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syari’at, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan agar lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah swt. [Lihat, al-I’tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah, I:27-28]

اْلأَمْرُ اْلمُحْدَثُ فِى الدِّيْنِ عَقِيْدَةً أَوْعِبَادَةً أَوْ صِفَةً لِلْعِبَادَةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

urusan yang diada-adakan dalam agama, baik berupa aqidah, ibadah, maupun cara ibadah yang tidak terdapat pada zaman Rasulullah saw.

( Macam-macam Bid’ah

Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :

Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

Hukum Shalat berjamaah Di Belakang Ahli Bid’ah

Salat di belakang ahli bidah tidak mengapa, namun jangan mengikuti bid’ahnya, karena dalam berjamaah berlaku hukum sebagaimana dalam hadits berikut :

يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ .ح ص رواه احمدوالبخاري.

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "(Imam-imam itu) shalat untuk kamu sekalian. Jika mereka itu benar (di  dalam shalatnya), maka (pahalanya) untuk kalian dan untuk mereka. Dan jika mereka itu  berbuat salah (di dalam shalatnya), maka kalian mendapatkan pahala shalat itu dan mereka mendapatkan dosanya". [HR. Bukhari juz 1, hal. 170]

al-Hasan al-Bashri rahimahullah tentang shalat di belakang Ahli Bid’ah:

صَلِّ وَ عَلَيهِ بِدْعَتُدُ

”Shalatlah (di belakang mereka) dan bid’ah mereka atas mereka.”(HR. al-Bukhari). 

Makudnya shalat kalian sah, dan bid’ah tersebut mereka sendiri yang menanggung dosanya.


Dengan demikian, bermakmum kepada ahli bid’ah boleh saja, tetapi tidak mengikuti bid’ahnya, salatnya sah dan fadhilah berjama’ahnya tetap ada.

Tahsin dan Tahfidz Al-Qur’an


Al-Qur`an berasal dari kata qara`a-yaqra`u-qira`atan/qur`anan yang bermakna asal ‘mengumpulkan dan menghimpun’. Makna yang kemudian umum digunakan adalah ‘membaca’, sebab membaca adalah mengumpulkan huruf dan kalimat untuk diucapkan. Secara istilah, al-Qur`an adalah kalam(firman) Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, menjadi sebuah ibadah dengan membacanya.

Perintah cara membaca al-quran ini direkam dalam ayat berikut :{وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا}

Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (Al-Muzzammil: 4)

Maksudnya, bacalah Al-Qur'an dengan tartil (perlahan-lahan) karena sesungguhnya bacaan seperti ini membantu untuk memahami dan merenungkan makna yang dibaca, dan memang demikianlah bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw. 

Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui sahabat Anas r.a., bahwa ia pernah ditanya tentang bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka ia menjawab, bahwa bacaan Al-Qur'an yang dilakukan oleh beliau panjang. Bila beliau membaca: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Fatihah: 1) Maka beliau memanjangkan bismillah, dan memanjangkan Ar-Rahman dan juga memanjangkan bacaan Ar-Rahim.

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah r.a., bahwa ia pernah ditanya tentang qiraat Rasulullah Saw. Maka Ummu Salamah menjawab bahwa beliau membaca Al-Qur'an ayat demi ayat yang setiap ayatnya berhenti:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ...الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ... الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ...مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segalapuji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. (Al-Fatihah: 1-4)


Hadis-hadis yang menunjukkan anjuran membaca Al-Qur'an dengan bacaan tartil dan suara yang indah, sebagai berikut:

"زَيِّنوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ"

Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian!

"لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ"

Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan Al-Qur’an.

Cara membaca tartil ini disebut oleh para ahli sebagai tajwid. Imam al-Jazari rahimahullah, salah seorang ulama pakar ilmu tajwid dan qiraat menegaskan dalam matannya : “Membaca al-Quran dengan tajwid adalah wajib, siapa yang tidak membacanya dengan tajwid ia berdosa. Karena Allah SWT menurunkannya dengan tajwid. Dan demikianlah al-Quran dari-Nya sampai kepada kita”.

Membaca Al-Quran tidak disertai tartil akan menyebabkan terjadinya kesalahan. Kesalahan membaca al-qur’an ada dua macam :

Al-Lahnul Jaliy

Al-Jaliy berarti terang atau jelas, yaitu kesalahan yang terlihat baik di kalangan awam maupun para ahli tajwid, seperti :

  1. Perubahan bunyi huruf dengan huruf lain
  2. Perubahan harakat dengan harakat lain, dan atau
  3. Memanjangkan huruf yang pendek atau sebaliknya
  4. Mentasydid-kan huruf yang tidak seharusnya dan sebaliknya


Al-Lahnul Khofiy

Al-khofiy artinya tersembunyi, yaitu kesalahan membaca al-qur’an yang tidak diketahui secara umum kecuali oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai kesempurnaan membaca al-quran. Kesalahan ini tergolong ringan karena berkenaan dengan hukum-hukum pembacaan seperti tidak tepat membaca harakat panjang pada mad wajib muttashil atau lazim dengan 2 atau 3 harakat atau tidak menahan ketukan ghunnah pada huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan ghunnah.Ketidakpedulian anda dalam memperbaiki kesalahan ini tidak menyebabkan berdosa, tetapi anda terjebak dalam perbuatan makruh [dibenci], maukah anda membaca al-qur’an tapi dibenci oleh Allah SWT. 


Maman Abdurrahman, memaparkan pokok-pokok pikiran tentang bacaan al-Quran, sebagaiberikut:


Pertama, Dalil-dalil berkaitan dengan Bacaan Al-Quran

Dalil Al-Quran: surat al-Kahfi [18]: 1, al-Zumar [39]: 28, al-Muzammil [73]: 4, al-Furqan [25]: 32, al-Isra [17]: 106, Yusuf [12]: 2, danAz-Zukhruf [43]: 3. 

Sementara dalil hadis dalam riwayat ath-Thabrani, dengan redaksi: “Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahli kitab dan orang orang fasiq…” ( al-Mu’jam al-Ausath , Juz 7, hlm. 183, No. Hadis 7223)


Kedua, Cara-Cara Pembaca Al-quran

Dengan merujuk penjelasan Dr. Yahya Abdurrazaq dalam kitabnya ‘Ilm al-Tajwiid , Prof.Maman menyatakan, bahwa ada tujuh macam lagu yang dimungkinkan dalam membaca Al-Quran yang dibaca dengan kelembutan dan mudah, seperti, Shaba, Nahawand, Ajam, Bayati, Sika, Hijaz, Wasat. Lebih lanjut Prof.Maman mengatakan, bacaan Al-Quran harus sesuai dengan nada atau langgam ‘Arabi apapun dari tujuh macam tersebut, serta terpelihara Izhar, Idgham, Ikhfa, dan Makhaarij al-Huruf, maddwal-qashnya .


Ketiga, Adab-adab Membaca Al-Quran

Dengan merujuk penjelasan Dr. Yahya Abdurrazaq, terdapat enam bentuk adab membaca Al-Quran, sebagai berikut:

Membaca Al-Quran harus tartil yang meliputi tiga hal, berdasar pada ayat: “ Warattilil Qur’aana tartiila. ”

Jauhi lagu-lagu, terlebih lagu-lagu musik

Tidak berlebihan, dan dilarang, dalam membaca harakat, sehingga menimbulkan huruf baru, seperti alaihim dengan alaihii Bismillahrahmanirrahiim , dengan bismiii illahi rahmaniirahim.

Dalam membaca dilarang adanya bacaan-bacaan yang menimbulkan perubahan (ikhtilas), karena adakalanya dengan kecepatan membaca atau kelambatan dapat mengganggu makna.

Jangan melagukan seperti orang fasiq

Pembacaan Al-Quran yang konsistem, iltizam dengan hokum tajwid, kaidah-kaidah, dan pedoman-pedoman yang diakui dan didahulukan dari lagu-lagu itu.

Keempat, Praktek Kaum Muslimin dalam Membaca Al-Quran

kaum muslimin membaca Al-Quran, sebagaimana yang sudah ada sekarang karena harus sesuai dengan tujuh macam lagu di atas dan perlunya memelihara tahsin Qiraa’atil Al-Quran dan mereka kaum muslimin di dunia membaca dengan lahn tersebut, sebagaimana di Indonesia saat ini. Dalam membaca Al-Quran kaum muslimin di dunia tidak ada perbedaan, sehingga di manapun seseorang tidak dinggap aneh dalam membacanya. Di dunia Arab, dunia Islam, bahkan di Eropa, Amerika, Rusia, dan Asia membacanya sama. Bagaimana jadi nya bila di suatu Negara bacaan Al-Qurannya berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya?


TAHFIDZ AL-QUR'AN

Menghafal al-Qur’an secara keseluruhan pada dasarnya bukan merupakan kewajiban setiap individu muslim, namun tuntutan untuk hafal Al-Qur’an berlaku pada setiap muslim berkaitan dengan kewajibannyadalam sholat untuk dapat membaca surat-surat lain setelah Al-Fatihah. Selain itu, Al-Qur’an menjadi minhajul Hayah dan sumber ilmu dan hukum, maka merupakan suatu keniscayaan bagi seorang muslim apalagi aktivis dakwah untuk menghafal al-Qur’an. Salah satu penelitian tentang mengahafal Al-Qur’an yang dikenal dengan Al-Qur’an Memorizating Program, menemukan bahwa ayat-ayat di Al-Qur’an akan aman ada di dalam pikiran kita jika sudah mengalami pengulanngan sampai 300 kali ulang.

DR. Ahmad Qosim Syurkhoti dalam salah satu kesempatan memaparkan hasil penelitiannya berkaitan dengan menghafal Al-Qur’an. Beliau menyatakan secara garis besar proses menghafal Al-Qur’an itu ada dua macam : 1) Hifdz Syudan, yaitu menghafal Al-Qur’an dengan tidak sengaja (jadi Hafal), 2) HIfdz Kardan, yaitu menghafal Al-Qur’an dengan sengaja (berusaha hafal). 

  • At-Tasmi’ (memperdengarkan)
  • At-Tasmi’ wal Muroja’ah (Memperdengarkan dan mengulang kembali)
  • Ta’limu At-Tajwid (Pengajaran Tajwid)
  • At-Talqin Qobla Hifdz (Menuntun Sebelum Menghafal)

Beberapa Kekeliruan dalam Menghafal Al-Qur’an

  • Terlalu banyak murid dalam satu halaqah
  • Lemahnya Mutaba’ah (Kontrol dan pengawasan)
  • Tidak adanya disiplin waktu
  • Tidak adanya perhatian terhadap perbedaan individual
  • Tingginya ketidakhadiran murid dan keterlambatan mereka dalam menghadiri halaqah
  • Tidak adanya pemilihan guru yang cakap 

Metode terbaik untuk mengajarkan Al-Qur’an dalam halaqah

  1. Penyiapan Tempat
  2. Memperhatikan sifat-sifat guru dalam halaqah al-Qur’an
  3. Empat aspek mendasar yang harus mendapatkan perhatian lebih dalam setiap halaqah al-Qur’an

  • Tilawah
  • Hafalan
  • Muraja’ah
  • Tafsir  (kalimat gharib)
      4. Aspek tambahan

  • Tsawwab
  • “iqaab
  • Taqwim

Menjaga Hafalan AL-Qur’an

Memang menjaga hafalan Al-Qur'an lebih berat ketimbang menghafalnya dari nol, namun jangan berkecil hati bahwa bila niat kita baik, ikhlas karena Allah, insya Allah Dia akan membimbing kita dalam menghafal dan menjaga kitab sucinya. kalau Allah ridha kepada kita, maka kemudahan-kemudahan yang akan kita dapati. Berikut adalah beberapa cara untuk menjaga hafalan Al-Qur’an :  

Pengaturan waktu

Pandai mengatur waktu akan dapat membantu seorang penghafal Al-Qur’an dalam memelihara hafalannya. Mengatur waktu untuk mengulang-ulang hafalan yang senantiasa terus berkelanjutan, harus terus dilakukan oleh seorang penghafal Al-Qur’an. Biasakan jangan melewatkan waktu tanpa melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Rasulullah SAW telah memperingatkan, bahwa hafalan Al-Qur’an akan lebih cepat hilang  dan lepas bila dibandingkan dengan seekor onta yang terikat kuat apa bila dia tidak selalu mengulang-ulang hafalannya tersebut.

عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَعَاهَدُوا هَذَا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الإِبِلِ فِى عُقُلِهَا »

 “ Jagalah Al-Qur’an, demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, Al-Qur’an itu lebih cepat lepas dari pada seekor onta dari ikatannya” (H.R. Bukhari) 


Menyediakan waktu khusus

Dalam proses muraja’ah (mengulang) hafalan, seorang penghafal Al-Qur’an harus menyediakan waktu khusus, misalnya sebelum atau sesudah subuh, sebelum tidur, sebelum dan sesudah shalar fardhu. Siapapun dia, bila mana sedang menekuni suatu pekerjaan dan memberikan porsi waktu yang khusus, maka dia akan mendapatkan hasil yang tidak akan mengecewakannya. Tengoklah bagaimana kehidupan para Ulama terdahulu dalam pengaturan waktu, sehingga mereka dapat mewariskan karya-karya besar mereka yang sampai hari ini masih menjadi rujukkan. Sabagian mereka wafat diusainya yang belum begitu lanjut, akan tetapi mereka dapat menulis dan menyusun banyak kitab. 


Wirid Al-Qur'an

Selain menyediakan waktu khusus, seorang penghafal Al-Qur'an harus memperbanyak tilawah, dia harus memiliki wirid Al-Qur'an yang rutin dia lakukan setiap hari. Usahakan dapat membaca Al-Qur’an minimal satu juz setiap hari, sehingga dalam waktu tiga puluh hari / satu bulan anda akan mengkhatamkan tilawah Al-Qur’an. Sering membaca Al-Qur’an akan dapat memudahkan seseorang dalam menghafal Al-Qur’an.


Menjadi Imam Shalat

Hafalan anda akan selalu melekat dalam ingatan  anda apabila selalu anda baca dalam shalat, khususnya saat shalat malam atau qiyamullail. Terlebih saat menjadi imam shalat tarawih di suatu masjid yang antara pengurus jamaah meresa tidak keberatan bila mana sang iman membaca satu juz untuk setiap malamnya.


Mengajarkan orang lain

Salah satu cara yang paling efektif dalam menjaga hafalan adalah mengajarkan orang lain, karena pada saat mendengarkan hafalan muridnya, maka secara tidak langsung dia sedang mengulang-ulang hafalan. 


Mendengarkan bacaan orang lain

Banyak mendengar akan memudahkan kita menghafal, cepat hafal, selain sering membaca juga karena sering mendengar bacaan orang lain. Buatlah kesepakan atau janji bersama teman anda yang sedang menghafal Al-Qur’an untuk saling menyimak, sehingga bila mana anda atau teman anda keliru dalam membaca maka saat itulah anda berdua akan saling mengoreksi.


Mendengarkan kaset atau CD Al-Qur’an

Pilihlah salah satu bacaan syaikh terkenal, yang tilawahnya tersebar di seluruh dunia dan cenderung diminati lagunya dalam membaca Al-Qur’an, seperti Syaikh Mahmud Khalil Al-Hushari, Syaikh Muhammad Siddiq Al-Minsyawi, Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar, Syaikh Abdurrahman Al-Hudzaifi, Syaikh Suud Syuraim, Syaikh Abdurrahman Al-Sudais dll.


Membaca sejarah para penghafal Al-Qur’an 

Untuk memberikan motivasi dan semangat baru maka anda juga harus membaca perjalanan para ulama dan orang-orang yang menghafal Al-Qur'an, anda akan dapat mengambil pelajaran dari pengalaman mereka serta dapat memperbaharui semangat anda.


Membiasakan membaca tanpa melihat Mushaf

Biasakan mengulang hafalan tanpa melihat mushaf, karena bila mana membaca hafalan selalu melihat mushaf maka akan ada ketergantung selalu ingin melihatnya. Kecuali apa bila anda sudah tidak dapat melanjutkan bacaan, maka boleh anda melihat mushaf.


Menjauhi kemaksiatan

Jiwa yang selalu berlumuran kemaksiatan dan dosa, sulit untuk menerima cahaya Al-Qur'an, hati yang tertutup disebabkan dosa-dosa yang senantiasa dilakukannya, tidak mudah menerima kebaikan, mentadaburi ayat-ayat Al-Qur'an

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَا لُهَا  

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad : 24)

Dalam sejarah tercatat bahwa Imam Syafi'i rahimuhullah tergolong ulama yang memiliki kecepatan dalam menghafal, bagaimana dia mengadu kepada gurunya, Waki', suatu hari dia mengalami kelambatan dalam menghafal. Maka gurunya lalu memberikan obat mujarrab, yaitu agar dia meninggalkan perbuatan maksiat dan mengosongkan hati dari setiap penghalang antara dia dan Tuhannya.

Imam Syafi'i rahimahullah berkata : Aku mengadu kepada (guruku) Waki' atas buruknya hafalanku. Maka diapun memberiku nasihat agar aku meninggalkan kemaksiatan. Dia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.

Jumat, 18 Desember 2020

DUA ALAM

 Untuk pemaparan dalam bentuk video klik Tonton Video

Manusia hidup terikat dengan ruang dan waktu, selain itu ia juga terikat dengan hal dan makhluk lain baik yang nampak oleh panca indranya atau pun tidak. Walau pun tidak Nampak oleh panca indranya tapi hal dan makhluk tersebut mempunyai pengaruh baik atau pun buruk terhadap manusia.   

Maka dalam hal ini Al-Qur’an membagi alam kepada dua kategori, yaitu alam dhahir dan alam Bathin, alam syahadah dan alam Ghaib; alam dunia dan alam Akhirat.

Dhahir artinya sesuatu yang nampak secara jelas. Seperti jelasnya bunyi suara petir atau terangnya cahaya matahari. Kebalikannya adalah Bathin yang artinya sesuatu yang tersembunyi, seperti suara hati, dan pemikiran yang belum diungkapkan.

 أَلَمْ تَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ ...

“Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah memudahan untuk (kepentingan) mu apa yang dilangit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan bathin. … (QS. Luqman: 20).

يَعْلَمُونَ ظَٰهِرًا مِّنَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ ٱلْءَاخِرَةِ هُمْ غَٰفِلُونَ.

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalui. (QS. Rum : 7).

Syahadah berarti nyata atau bukti yang dapat disaksikan oleh panca indra. Ini hamper sama dengan dzahir namun apa yang Nampak belum tentu jelas karena keterbatasan panca indra itu sendiri. Kebalikannya adalah Ghaib, yaitu segala sesuatu yang tidak tercapai oleh panca indra manusia.

 ذَٰلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

Yang demikian itu ialah tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang maha perkasa lagi maha penyayang. (QS. As-Sajdah:6).

Dunia artinya sesuatu yang dekat, terkait oleh waktu dan tempat yang terbatas; disini dan saat ini, lawannya adalah Akhirat yang berarti yang datang dikemudian hari atau hari terakhir.

 ۗ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا

“Katakanlah “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiyaya sedikitpun.” (QS. AnNisa : 77).

Meskipun antara dunia dan akhirat, syahadah dan ghaib, lahir dan batin, disebutkan dalam konteks berlawanan, tetapi tidak berarti bahwa keduanya terpisah dan bertentangan. Kedua alam itu adalah berpautan, saling melengkapi dan berkesinambungan. Yang lahir menjadi wadah bagi yang batin, yang syahadah menjadi dalalah terhadap yang ghaib, dan dunia yang sekarang menjadi awal bagi alam akhirat. 

Hanya sifat dan karakter dari kedua alam itu berbeda. Alam dunia bersifat nampak, terjangkau oleh panca indra manusia dan terbatas oleh ruang dan waktu. Sedang akhirat bersifat ghaib dan diluar kemampuan indrawi manusia. Alam dunia yang bersifat syahada dan dhahir dengan mudah dapat dikenali dan diketahui manusia dengan menggunakan panca indranya. 

Akan tetapi alam ghaib dan bathin hanya dikenali dan diketahui eksistensinya melalui tanda-tanda dan ciri-ciri yang menunjukan. Tanda dan ciri alam bathin itu justru ter-dapat pada alam lahir dan alam syahadah itu sendiri. Maka kegagalan memahami tanda dan ciri eksistensinya yang ada pada alam lahir itu akan berakibat salah dan gagal dalam memahami alam bathin. 

Tanda dan ciri alam bathin atau alam ghaib yang terdapat pada alam syahadah disebut sebagai Ayat. Ayat artinya sesuatu tanda yang nampak secara indrawi, ciri bukti lahir yang mennjukan adanya suatu hakikat yang tersembunyi. Seperti gerakan badan pada diri seseorang menjadi tanda adanya kekuatan tersembunyi yang menggerakan yaitu energi dan tenaga penggeraknya. Gerakan badan adalah lahir tetapi energi penggeraknya bersifat batin. 

Ayat Qauliyah dan Kauniyah 

Manusia dan jin diciptakan dengan satu tujuan yang jelas dan tegas, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah, Tuhan penciptanya. Awal dari suatu ibadah adalah mengetahui, atau ma`rifat kepada dzat yang diibadatinya. Karena itu tugas pertama untuk terlaksananya ibadah manusia kepada Allah adalah mengenali Tuhannya. Dzat yang berhak diibadati itu adalah Allah Tabaraka wa Ta`ala, sementara Dia adalah Maha tersembunyi dan Maha ghaib, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya sendiri.


هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surat Al-Hadid:3)

Panca indra dan ilmu akal manusia sangat terbatas untuk menjangkau masalah ghaib secara benar dan tepat. Karena itu Allah Swt membimbing manusia unuk mengenal Dzat-Nya melalui tanda-anda yang mudah dipahami manusia. Inilah yang disebut ayat-ayat Allah. Ayat-ayat itu ada yang berupa wujud cipataan-Nya, yaitu seluruh alam raya ini. Ada ayat-ayat yang khusus berupa firman-firman-Nya yang disampaikan kepada manusia-manusia pilihan yang disebut sebagai rasul. Para rasul inilah yang digaskan membaca ayat-ayat Tuhan yang berupa firman-firman Allah kepada umat manusia. 

Diturunkannya ayat-ayat Qur`aniyah menunjukan bahwa ayat-ayat kauniyah tidak cukup untuk memahami dan mengenali Allah secara benar dan tepat. Dengan meneliti alam semesta yang luarbiasa dahsyatnya secara benar manusia pasti sampai kepada kesimpulan bahwa semua itu ada penciptannya. Hanya saja alam tidak memberi jawaban siapa Dzat Yang Maha pencipta itu, apa sifat-sifat-Nya, bagaimana seharusnya manusia mengabdi kepada-Nya? 

Artinya dengan mengkaji alam manusia hanya mungkin sampai kepada keyakinan global bahwa alam ada penciptanya, dan karena alam semesta itu amat luas, dahsyat, indah, kompleks, sekaligus amat sempurna tanpa kecacatan di dalamnya, maka sudah barang tentu Sang Pencipta itu adalah Dzat Yang Maha Luas, Maha Dahsyat, Maha Indah dan Maha Sempurna, tanpa bisa menjelaskan secara rinci bagaimana cara mengenali dan apa hak serta kewajiban manusia kepada Dzat Pencipta itu. 

Ilmu yang memperkenalkan manusia secara detail kepada Allah serta tentang hak dan kewajiban manusia kepada-Nya hanya memungkinkan diperoleh dari pengajaran Allah secara langsung melalui proses pengajaran wahyu. Karena itulah nabi dan rasul Allah membaca dan mengajarkan ayat-ayat Qauliyah kepada umatnya. Sementara mereka dapat mengenal Allah karena Allah sendiri yang menjelaskan sifat-sifat dzat-Nya kepada mereka melalui wahyu. 

Karena alam maupun al-Qur`an berasal dari satu sumber, yaitu Allah Ta`ala, maka logisnya mustahil antara al-Qur`an dan alam terjadi pertentangan. Yang sejatinya, justru al-Qur`an dan alam saling menjelaskan dan saling melengkapi. Al-Qur`an banyak mengungkapkan tentang penomena alam. 

hal ini selaras dengan surat Muhammad ayat 24 : 

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82) 

Sebaliknya semua fenomena alam menjadi bukti akan kebenaran kata-kata al-Qur`an. Jika sudah demikian maka al-Qur`an maupun alam semesta menyatu dalam menyikap-kebenaran hakikat Allah Swt. 

Kenikmatan Menjadi Orang Tua

 

وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتْ امْرَأَتِي عَاقِراً فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيّاً (5)


“ Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera”

 

Demikianlah rintihan do’a Nabi Zakaria dalam suarat maryam ayat 5 ketika mengharapkan diberi seorang anak. Pemberian dalam al-qur’an banyak sekali diungkapkan dalam beberapa kalimat seperti rajaqa. ‘atho dan lain-lain. Namun dalam memberi seorang anak Allah memakai kalimat wahaba, yang bukan hanya memberi tetapi memberi atas dasar dan dengan kasih sayang.  Jika seseorang memberi dengan kasih sayang sudah pasti cara, apa yang diberikan dan penerima berbeda dengan ketika memberi karena terpaksa seperti kepada pengamen atau kasihan kepada pengemis. Maka seorang anak adalah anugerah yang merupakan wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

 

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنْ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (14)


14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). [ali-Imran ; 14]

 

Ibarat perhiasan, seorang anak menjadi kebanggaan terutama diantara orang yang tidak mempunyai anak. Namun ketika kita tidak sejalan dengan apa yang diperintahkan Allah dalam memposisikan anak,  maka seorang anak hanya akan menjadi ujian belaka kepada orang tuanya.


إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (15)

15. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. At-thagabun ;15

 

Jika tidak lulus dalam ujian yang didapat hanya kerugian karena anak tersebut statusnya bukan lagi ujian tetapi menjadi penghalang terhadap orangtuanya dalam beribadah kepada Allah.

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ (9)

9. Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.  [al-Munafiqun : 9]

 

Jika mengurus anak ayam saja ada caranya, apalagi mengasuh anak, oleh karena itu, menurut Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam yaitu:

 

1.                Keteladanan atau Qudwah,


Teladan merupakan proses awal dari pendidikan anak, seorang anak akan dengan mudah mengikuti perilaku orang tua walaupun orang tua tanpa berbicara kepada anak. Orang tua tidak perlu berteriak-teriak kepada anaknya untuk menyuruh belajar sholat, namun orang tua cukup hanya berpakaian sholat kemudian memakaikan sarung atau mukena kepada anaknya lalu diajak sholat bersama, seorang anak pasti dengan mudah mengikuti apa yang dikehendaki oleh orang tua apabila orang tua tersebut juga melakukan hal yang sama.

 

2.                Pembiasaan atau Aadah,


Kekuatan kebiasaan sangat besar dalam membentuk kepribadian dan kejiwaan seorang anak, Kebiasaan akan memberikan efek yang tidak mudah hilang dari sanubari seorang anak, sebab untuk menghapus kebiasaan juga harus dengan kebiasaan pula. Apabila kebiasaan yang diberikan orang tua kepada anak itu baik, maka anak akan menjadi dan bersikap baik pula, sebaliknya apabila orang tua memberikan teladan dan kebiasaan yang buruk anak akan dengan mudah melakukan perbuatan buruk itu dan menjadikan perbuatan itu suatu kebiasaan. Jika perbuatan buruk telah menjadi kebiasaan, maka keburukan dapat berubah nilainya menjadi baik menurut pandangan anak itu. Sehingga anak akan mengalami benturan-benturan psikologi, norma-norma dan kebiasaan umum di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sosial.

 

3.                Nasehat atau Mau’izhoh,


Orang tua hendaknya memberi nasehat kepada anak-anaknya dengan baik dan santun, dengan kata-kata yang lembut dan penuh kasih sayang, kelembutan orang tua akan membuka hati dan pikiran anak untuk melakukan dan mematuhi nasehat orang tuanya. Sebaliknya bila nasehat dikemas dan dibingkai dengan kemarahan, anak akan merasa terintimidasi sehingga anak akan belajar untuk bohong dan curang, karena takut dimarahi jika tidak melakukan nesehat orang tuanya tersebut. Nasehat diberikan kepada anak sebaiknya diucapkan dengan kata-kata positif, seperti “Sayangilah Temanmu” dan tidak dengan kata-kata negatif seperti “Jangan Pukul Temanmu”.

 

4.                Kontrol atau Mulahazhoh,


Apa yang dilakukan oleh anak, orang tua seharusnya mengawasi dan memantaunya, apakah anak melakukan kesalahan yang harus diperbaiki atau melakukan perbuatan yang perlu disadarkan agar tidak mengulanginya. Ini perlu karena fungsi kontrol adalah evaluasi sikap dan perilaku anak. Pendeteksian perilaku anak ini menjadi penting karena apabila tidak dikontrol perilaku negatif anak bisa menjadi karakter dan kepribadiannya kelak. Ketika melakukan kontrol perilaku pada anak, orang tua harus memperhatikan kondisi anak, baik psikologis, motivasi, maupun situasi anak. Kadang orang tua memaksakan keinginannya tanpa memperhatikan apa sebenarnya motivasi dan situasi anak, sebagai contoh ketika anak pulang terlambat dari sekolah, orang tua langsung marah-marah dan memakinya tanpa menanyakan situasi anak mengapa ia terlambat.

 

5.                Sangsi atau Uqubah.


Sangsi dibutuhkan dalam proses pendidikan anak. Fungsi adanya sangsi dalam pendidikan adalah sebagai efek jera agar tidak melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Sebelum memberikan sangsi, orang tua harus memperhatikan dan memahami apakah anak sebenarnya mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan itu salah, bila anak belum bisa membedakan salah dan benar dalam perilakunya, maka anak tidak dapat dihukum, maka ia membutuhkan perbaikan berupa penjelasan bahwa perilaku anak tersebut salah dan penegasan bahwa perilaku itu tidak boleh diulangi lagi.


Dalam melakukan kelima metode tersebut, tentu sebagai orang tua harus mempunyai kemampuan untuk menjadi orang tua yang lebih baik. Ada beberapa tips untuk menjadi orangtua yang lebih baik sebagaimana diterangkan dalam modul pengasuhan anak dari kementrian sosial republic Indonesia 2014 :

 

1. mengingat hal yang membahagiakan sebagai orang tua

2. sejalan antara perbuatan dan perkataan

3. selalu berusaha memilik  citra positif diri

4. bersikap dan bertutur penuh kasih sayang dan jauh dari kekerasan

5. ayah dan ibu bekerjasama dalam pengasuhan anak

6. ayah dan ibu berdiskusi dan memutuskan bersama terkait pengasuhan anak

7. ayah dan ibu menghindari pertengkaran di depan anak

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...