Menurut bahasa, syura memiliki dua
pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu [Mu’jam
Maqayis al-Lughah 3/226]. Sedangkan secara istilah, beberapa ulama
terdahulu telah memberikan definisi syura, diantara mereka adalah Ar Raghib
al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat
dengan saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi Gharib
al-Quran hlm. 207].
Islam telah menuntunkan umatnya untuk
bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat
dan bernegara.
1.
Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah
yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta
pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].
2.
Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat
al-Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman,
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ
مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا
آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
“Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].
3.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura
telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh
ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah
yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi
menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.
Perbedaan
antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura
dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :
·
Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi
dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu,
dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup
bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah adanya
kesatuan ras dan bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm fi al-Islam hlm.
489]. Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa
yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah
terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam
memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali
pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan
bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal
ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam
pandangan Islam [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm.
25].
·
Sistem demokrasi hanya berusaha untuk
merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat
bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah
memperhatikan aspek ruhiyah. Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap
memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah
diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem
Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan
kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di
belakangnya [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
·
Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang
kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau
pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat
dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan dan
tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem
Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala.
Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali
peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam
al-Quran dan lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam
permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum
politik yang sesuai dengan syari’at [An Nazhariyaat as-Siyaasiyah
al-Islamiyah hlm. 338].
·
Kewenangan majelis syura dalam Islam
terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah).
Syura terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau
permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki beberapa
pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan
indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya
dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at. Ibnu
Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak
terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum
mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak.
Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan
musyawarah [Fath al-Baari 3/3291]. Adapun dalam demokrasi,
kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur
kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan [Asy
Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
·
Syura yang berlandaskan Islam senantiasa
terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena
itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai
perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang
akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat. Di sisi lain,
demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol
oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas [Asy
Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
·
Demokrasi memiliki kaitan erat dengan
eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran
Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.
·
Syari’at Islam telah menggariskan
batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh
majelis syura. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada. Adapun
demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan
yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan
pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus
dengan slogan hukum mayoritas [Fiqh asy-Syura wal al-Istisyarah hlm.
12].
·
Demokrasi menganggap rakyatlah yang
memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum
mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum
dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura, rakyat
tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum
muslimin [Asy Syura la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad
Dimuqratiyah Din hlm. 32].
·
Syura bertujuan untuk menghasilkan solusi
yang selaras dengan al-haq meski bertentangan dengan suara mayoritas, sedangkan
demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan
suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran [Hukm ad-Dimuqratiyah hlm.
32].
·
Kriteria ahli syura sangatlah berbeda
dengan kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem
demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura, beliau mengatakan,
“Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap
agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga,
memiliki karakter senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri,
dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas
dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki
tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan
yang menjadi topik musyawarah [Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm.
367; Al ‘Umdah fi I’dad al-‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam
as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya
Abu Yala hlm. 24; Ghiyats al-Umam hlm. 33]. Adapun dalam
sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dalam
mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik,
ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep
yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku
pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah dengan mereka yang terkenal
akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya,
menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya,
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ
وَالنُّهَى
“Hendaklah yang dekat denganku (dalam
shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” [HR. Muslim:
974].
Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis),
bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang
tidak berusaha menahan diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka yang
beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang
menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam [‘Umdat
at-Tafsir 1/383-384].
·
Ahli syura mengedepankan musyawarah dan
nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan
yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin.
Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura bergantung pada
maslahat yang dipandangnya [Al ‘Umdah fi I’dad al-‘Uddah 112]. Sedangkan
dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan
parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang
kredibel dari pemerintahan.
·
Apabila terdapat nash syar’i dari al-Quran
dan hadits, maka ahli syura wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan
pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat
minoritas ataupun mayoritas. Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at
tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas al-Laadiniyah/al-‘Ilmaniyah (ateisme).
Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran prinsipil
dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum yang tidak
sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar