Manusia yang pertama kali diciptakan atau pun manusia yang hidup sekarang dan kelak yang akan datang , semuanya diciptakan dalam keadaan lemah atau dhaif, keadaan itu jelas diterangkan dalam al-Quran
وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا
dan manusia
dijadikan bersifat lemah. (an-Nisa 28)
Ibnu
Katsir menafsirkan kalimat dhaif dengan memberikan penjelasan bahwa dhaif
disini berarti banyak kebutuhan kepada yang lain dan orang lain. Namun justru
akibat kelemahan manusia inilah maka manusia hidup dalam bentuk “ummatan
waahidatan”, berjama’ah, berkumpul, bermusyawarah satu sama lain saling
membutuhkan demi memperoleh apa yang dibutuhkan dan apa yang diinginkan.
Timbulnya
Ikhtilaf
Setelah manusia bersatu, maka
setan dengan segala kedengkiannya mulai bekerja , timbulah rasa “takut” pada
diri manusia. Takut tidak mendapat bagian, takut kehabisan, takut tidak cukup
dsb.”takut” ini disebabkan oleh “syahwat dan “nafsu” serakah, sehingga timbul
pikiran buruk:”apa yang bisa dirampas kenapa harus diminta dan apa yang bisa dicuri kenapa harus
dibeli”?, yang lemah jangan dimintai
tenaganya, peras saja dan paksa saja.
Dampaknya,
terjadilah dunia penuh dengan kekacauan, yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin, yang edan kebagian, yang kuat dapat, yang jujur hancur, yang
lemah menjadi tanah. Manusia tidak lagi bersatu untuk memenuhi kebutuhannya
tapi manusia mulai menipu dan acuh terhadap saudaranya, yang penting perut dan
yang di bawah perut senang.
Akibatnya, terjadilah ikhtilaf dan
pertengakaran antara sesame manusia, sehingga manusia hidup dalam keadaan gawat
dan kacau!. Inilah ikhtilaf yang pertama, ikhtilaf karena tidak ada
undang-undang fan aturan yang mengatur kehidupan manusia.
Mengobati ikhtilaf pertama
Untuk menumpas ikhtilaf jenis ini, maka Allah mengutus beberapa rasul dari kalangan manusia biasa yang terbatas dengan umur dan jasad. Oleh karena itu Allah menurunkan bersama mereka Kitabullah, kitab yang terpelihara dari tangan manusia, dan menjadi putusan bagi manusia bagi setiap perselisihan yang terjadi.
فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ
…maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. (al-Baqoroh 213)
Ikhtilaf yang Kedua
Ikhtilaf yang kedua adalah akibat dari “tafarruq”, yaitu bersimpangan jalan , dan berbeda tujuan. Akibat dari ikhtilaf ini mereka ikhtalafu, ikhtilaf ini bukan karena tidak ada undang-undang seperti al-Qur’an dan hadits, tetapi karena menyalahgunakan undang-undang dan menggunakan agama untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan perut dan di bawah perut. Bukan menjiwai nafsu dengan jiwa agama, tetapi “agama yang berjiwa nafsu”.
أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ
Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya,
dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran? (al-Jatsiyyah23)
Tanda orang yang seperti ini adalah orang yang tidak mau menerima walaupun telah yakin bahwa itu salah, tidak mau taat dan tunduk terhadap al-Qur’an.
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ
Maka
jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka
hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang lalim.(al-Qashas 50)
Tafarruq
antara lain disebabkan :
1.
Takut dibenci
وَقَالُوۡۤا اِنۡ نَّـتَّبِعِ الۡهُدٰى مَعَكَ نُـتَخَطَّفۡ مِنۡ اَرۡضِنَا
Dan mereka berkata: "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami"…(al-Qashas 57)
2. Mengakui kebenarannya, tetapi menyesalkan mengapa orang yang tidak dikehendakinya memimpin.
أَءُنزِلَ عَلَيْهِ ٱلذِّكْرُ مِنۢ بَيْنِنَا ۚ بَلْ هُمْ فِى شَكٍّ مِّن ذِكْرِى ۖ بَل لَّمَّا يَذُوقُوا۟ عَذَابِ
mengapa
Al Qur'an itu diturunkan kepadanya di antara kita?" Sebenarnya mereka
ragu-ragu terhadap Al Qur'an-Ku, dan sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku
(shad 8)
3. Merasa diri lebih utama
وَقَالُوۡا لَوۡلَا نُزِّلَ هٰذَا الۡقُرۡاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيۡمٍ.
Dan
mereka berkata: "Mengapa Al Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang
besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Taif) ini?(az-zukhruf 31)
4. Merasa lebih tahu siapa yang lebih berhak memimpin
قَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ حَتّٰى نُؤْتٰى مِثْلَ مَآ اُوْتِيَ رُسُلُ اللّٰهِ ۘ
mereka
berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang
serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah".
(al-An’am 124)
5.Menganggap tidak relevan dengan zamam
وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّاۗ
ًDan mereka mengingkarinya karena kelaliman dan kesombongan
(mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya…(AN-NAML 14)
Mengobati Ikhtilaf kedua
فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ
Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.(al-Baqoroh 213)
Orang yang tidak ikhtilaf dengan agama (tetapi mungkin ia
berikhtilaf dengan sesama manusia). Adalah orang yang hawa nafsunya bukan
dijadikan imam dirinya, tetapi dijadikan makmum terhadap agamanya. Rasulullah
bersabda :
“Tidak
beriman salah seorang diantara kalian sehingga ia sangat teliti mengikuti apa
yang kubawa (al-Qur’an dan hadits) (Abu Nuaim). Oleh karena itu, mari kita
hentikan “sialng selisih”, dan mari kita buktikan al-Qur’an dan hadits. Bila
diajak bersatu jangan menantang berseteru, sebab al-Qur’an dan Hadis adalah
pemersatu
Melakukan suatu perbandingn
dengan maksud hanya untuk mengetahui perbedaannya semata-mata, tidaklah ada
guna dan faidahnya, akan tetapi, sebaliknya bila setelah diketahui adanya
perbedaan-perbedaan itu dan apa sebabnya, kemudian dilakukan perbandingan dan
diikuti dengan menatijahkannya dengan mengadakan pemilihan mana yang lebih baik
atau mana yang lebih tepat dan kuat antara beberapa hal yang berbeda itu, barulah
akan terdapat guna dan manfaatnya!
Perbedaan sesuatu dengan
lainnya, terutama dalam hal pendapat dan faham, tidak selamanya menunjukan
adanya pertentangan serta mengakibatkan timbulnya pertikaian dan permusuhan,
sebab tidak sedikit perbedaan yang disebabkan perbedaan zaman dan keadaan akan
menyebabkan berbedanya tindak dan pendapat atau berbedanya tanggapan. Hal itu
terjadi karena keputusan yang dan suatu saat dianggap kuat pada tempat dan saat
tersebut.
Perbedaan ini disebut “ikhtilaf
tanawwu”. Ikhtilaf seperti ini sering terjadi pada zaman Rasulullah, misalnya :
1.
Jawaban Rasullulah
kepada dua orang yang berbeda tentang boleh atau tidaknya mencium istrinya
dalam keadaan shaum? (Musnad Ahmad hadis
no 7054)
2.
Nasihat Rasul agar
tidak boleh marah, tetapi ketika beliau berkhutbah beliau menampakan berang dan
marahnya.
3.
Nasihat Rasul
“Bertaqwalah kepada Allah dan berusahalah mencari rezeki dengan cara yang
sederhana (Sunan Ibn Majah , bab al-Muzayadah)
4.
Sabda Rasul : “Sesungguhnya
Agama ini sangat kukuh, oleh karena itu jelajahilah denga perlahan!
Hukum dalam agama adalah segala sesuatu yang dituntut oleh
khitob sya’ri (al-Qur’an dan Hadits) baik berbentuk tuntutan (perintah dan
larangan) atau berupa pilihan
Hukum
Terbagi kepada dua bagian :
1.
Hukum Taklifi, yaitu hukum tentang sesuatu yang berkaitan dengan beban yang
harus dilaksanakan manusia dalam bentuk pelaksanaan atau meninggalkan. seperti
: wajib, Haram, Mandub (sunat), Makruh, dan Mubah
2.
Hukum Wad’I, yaitu hukum yang berkaitan dengan penyebab atau penghalan
terjadinya suatu hukum seperti : Sebab dan Man’I (penghalang)
Apabila
ada dua Hadits shohin yang bertentangan, maka para ulama musdtholahul hadits
menggunakan metode:
1.
Dijama jika memungkinkan
2.
Ditarjih, mana yang lebih kuat tingkat keshohihan dan syawahidnya
3.
Nasikh dan Mansukh
4.
Tawaqquf, tidak menggunakan keduanya
Maka tiada lain kesimpulan yang bisa diambil dalam menyikapi perbedaan adalah dengan mengembalikannya kepada sumber yang syah yaitu dan al-Qur’an dan prinsip ini ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an-Nisa 59)
Wallohu’alam
bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar