PENGUNJUNG

Kamis, 06 Mei 2021

MENYIKAPI PERBEDAAN


               Manusia yang pertama kali diciptakan atau pun manusia yang  hidup sekarang dan kelak yang akan datang , semuanya diciptakan dalam keadaan lemah atau dhaif, keadaan itu jelas diterangkan dalam al-Quran 

  وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا

dan manusia dijadikan bersifat lemah. (an-Nisa 28)

Ibnu Katsir menafsirkan kalimat dhaif dengan memberikan penjelasan bahwa dhaif disini berarti banyak kebutuhan kepada yang lain dan orang lain. Namun justru akibat kelemahan manusia inilah maka manusia hidup dalam bentuk “ummatan waahidatan”, berjama’ah, berkumpul, bermusyawarah satu sama lain saling membutuhkan demi memperoleh apa yang dibutuhkan dan apa yang diinginkan.

Timbulnya Ikhtilaf

                Setelah manusia bersatu, maka setan dengan segala kedengkiannya mulai bekerja , timbulah rasa “takut” pada diri manusia. Takut tidak mendapat bagian, takut kehabisan, takut tidak cukup dsb.”takut” ini disebabkan oleh “syahwat dan “nafsu” serakah, sehingga timbul pikiran buruk:”apa yang bisa dirampas kenapa harus diminta  dan apa yang bisa dicuri kenapa harus dibeli”?,  yang lemah jangan dimintai tenaganya, peras saja dan paksa saja.

Dampaknya, terjadilah dunia penuh dengan kekacauan, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, yang edan kebagian, yang kuat dapat, yang jujur hancur, yang lemah menjadi tanah. Manusia tidak lagi bersatu untuk memenuhi kebutuhannya tapi manusia mulai menipu dan acuh terhadap saudaranya, yang penting perut dan yang di bawah perut senang.

 Akibatnya, terjadilah ikhtilaf dan pertengakaran antara sesame manusia, sehingga manusia hidup dalam keadaan gawat dan kacau!. Inilah ikhtilaf yang pertama, ikhtilaf karena tidak ada undang-undang fan aturan yang mengatur kehidupan manusia.

Mengobati ikhtilaf pertama

Untuk menumpas ikhtilaf jenis ini, maka Allah mengutus beberapa rasul dari kalangan manusia biasa yang terbatas dengan umur dan jasad. Oleh karena itu Allah menurunkan bersama mereka Kitabullah, kitab yang terpelihara dari tangan manusia, dan menjadi putusan bagi manusia bagi setiap perselisihan yang terjadi. 

فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ 

…maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. (al-Baqoroh 213)

Ikhtilaf yang Kedua

                Ikhtilaf yang kedua adalah akibat dari “tafarruq”, yaitu bersimpangan jalan , dan berbeda tujuan. Akibat dari ikhtilaf ini mereka ikhtalafu, ikhtilaf ini bukan karena tidak ada undang-undang seperti al-Qur’an dan hadits, tetapi karena menyalahgunakan undang-undang dan menggunakan agama untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan perut dan di bawah perut. Bukan menjiwai nafsu dengan jiwa agama, tetapi “agama yang berjiwa nafsu”.

أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (al-Jatsiyyah23)

Tanda orang yang seperti ini adalah orang yang tidak mau menerima walaupun telah yakin bahwa itu salah, tidak mau taat dan tunduk terhadap al-Qur’an. 

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ 

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.(al-Qashas 50)

Tafarruq antara lain disebabkan :

1. Takut dibenci

وَقَالُوۡۤا اِنۡ نَّـتَّبِعِ الۡهُدٰى مَعَكَ نُـتَخَطَّفۡ مِنۡ اَرۡضِنَا

Dan mereka berkata: "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami"…(al-Qashas 57)

2. Mengakui kebenarannya, tetapi menyesalkan mengapa orang yang tidak dikehendakinya memimpin. 

أَءُنزِلَ عَلَيْهِ ٱلذِّكْرُ مِنۢ بَيْنِنَا ۚ بَلْ هُمْ فِى شَكٍّ مِّن ذِكْرِى ۖ بَل لَّمَّا يَذُوقُوا۟ عَذَابِ

mengapa Al Qur'an itu diturunkan kepadanya di antara kita?" Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap Al Qur'an-Ku, dan sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku (shad 8)

3. Merasa diri lebih utama

وَقَالُوۡا لَوۡلَا نُزِّلَ هٰذَا الۡقُرۡاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيۡمٍ.

Dan mereka berkata: "Mengapa Al Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Taif) ini?(az-zukhruf 31)

4. Merasa lebih tahu siapa yang lebih berhak memimpin

 قَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ حَتّٰى نُؤْتٰى مِثْلَ مَآ اُوْتِيَ رُسُلُ اللّٰهِ ۘ 

mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". (al-An’am 124)

5.Menganggap tidak relevan dengan zamam

 وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّاۗ 

ًDan mereka mengingkarinya karena kelaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya…(AN-NAML 14)

Mengobati Ikhtilaf kedua

فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ 

Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.(al-Baqoroh 213)

Orang yang tidak ikhtilaf dengan agama (tetapi mungkin ia berikhtilaf dengan sesama manusia). Adalah orang yang hawa nafsunya bukan dijadikan imam dirinya, tetapi dijadikan makmum terhadap agamanya. Rasulullah bersabda :

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga ia sangat teliti mengikuti apa yang kubawa (al-Qur’an dan hadits) (Abu Nuaim). Oleh karena itu, mari kita hentikan “sialng selisih”, dan mari kita buktikan al-Qur’an dan hadits. Bila diajak bersatu jangan menantang berseteru, sebab al-Qur’an dan Hadis adalah pemersatu

 IKhtilaf Tanawwu

         Melakukan suatu perbandingn dengan maksud hanya untuk mengetahui perbedaannya semata-mata, tidaklah ada guna dan faidahnya, akan tetapi, sebaliknya bila setelah diketahui adanya perbedaan-perbedaan itu dan apa sebabnya, kemudian dilakukan perbandingan dan diikuti dengan menatijahkannya dengan mengadakan pemilihan mana yang lebih baik atau mana yang lebih tepat dan kuat antara beberapa hal yang berbeda itu, barulah akan terdapat guna dan manfaatnya!

    Perbedaan sesuatu dengan lainnya, terutama dalam hal pendapat dan faham, tidak selamanya menunjukan adanya pertentangan serta mengakibatkan timbulnya pertikaian dan permusuhan, sebab tidak sedikit perbedaan yang disebabkan perbedaan zaman dan keadaan akan menyebabkan berbedanya tindak dan pendapat atau berbedanya tanggapan. Hal itu terjadi karena keputusan yang dan suatu saat dianggap kuat pada tempat dan saat tersebut.

        Perbedaan ini disebut “ikhtilaf tanawwu”. Ikhtilaf seperti ini sering terjadi pada zaman Rasulullah, misalnya :

1.       Jawaban Rasullulah kepada dua orang yang berbeda tentang boleh atau tidaknya mencium istrinya dalam keadaan shaum? (Musnad Ahmad  hadis no 7054)

2.       Nasihat Rasul agar tidak boleh marah, tetapi ketika beliau berkhutbah beliau menampakan berang dan marahnya.

3.       Nasihat Rasul “Bertaqwalah kepada Allah dan berusahalah mencari rezeki dengan cara yang sederhana (Sunan Ibn Majah , bab al-Muzayadah)

4.       Sabda Rasul : “Sesungguhnya Agama ini sangat kukuh, oleh karena itu jelajahilah denga perlahan!  

Hukum dalam agama adalah segala sesuatu yang dituntut oleh khitob sya’ri (al-Qur’an dan Hadits) baik berbentuk tuntutan (perintah dan larangan) atau berupa pilihan

Hukum Terbagi kepada dua bagian :

1. Hukum Taklifi, yaitu hukum tentang sesuatu yang berkaitan dengan beban yang harus dilaksanakan manusia dalam bentuk pelaksanaan atau meninggalkan. seperti : wajib, Haram, Mandub (sunat), Makruh, dan Mubah

2. Hukum Wad’I, yaitu hukum yang berkaitan dengan penyebab atau penghalan terjadinya suatu hukum seperti : Sebab dan Man’I (penghalang)

Apabila ada dua Hadits shohin yang bertentangan, maka para ulama musdtholahul hadits menggunakan metode:

1. Dijama jika memungkinkan

2. Ditarjih, mana yang lebih kuat tingkat keshohihan dan  syawahidnya

3. Nasikh dan Mansukh

4. Tawaqquf, tidak menggunakan keduanya

                Maka tiada lain kesimpulan yang bisa diambil dalam menyikapi perbedaan adalah dengan mengembalikannya kepada sumber yang  syah yaitu dan al-Qur’an dan prinsip ini ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut :

  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an-Nisa 59)

Wallohu’alam bisshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...