Oleh : Miftah Husni[2]
Menurut bahasa imamah berarti kepemimpinan dan orang yang memegang Imamah disebut imam. Dalam al-Quran kata imam digunakan
dalam beberapa pengertian , misalnya:[ 1] Jalan umum (QS. al-
Hijr: 79); [2] Catatan (QS. Yaasin:12);
[3]. Pedoman (QS. Hud:17); [4] Ketua/ Pemimpin (QS. Al-Baqarah: 124)
Pengertian ke-empat sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh Ali bin Muhammad Al-Jarzani[3]
yaitu “Imam adalah
orang yang memegang khilafah (kepemimpinan umum) dalam urusan agama dan
dunia”.
Sedangkan Istilah
Ulil Amri sebenarnya dirujuk dari Al-Quran Surat An-Nisa: 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya."
Perbedaan para ulama dalam memaknai ulil
amri itu, dielaborasi kembali oleh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad
bin Habib Al-Bishri Al-Baghdadi (w. 450 H), atau yang lebih popular dengan
sebutan Imam Al-Mawardi sebagai berikut[4] :
1. Ulil amri bermakna umara. Ini merupakan pendapat Ibn
Abbas, as-Suddy, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid.
2. Ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini
menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah.
3. Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri
itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw.
4. yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna
ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar.
Imam Ath-Thabari, setelah menyebutkan
perbedaan pandangan para ahli tafsir mengenai arti ulil amri, selanjutnya
beliau bersikap terhadap perbedaan itu dengan menyatakan:
وَأَوْلَى الأَقْوَالِ فِي ذَلِكَ بِالصَّوَابِ قَوْلُ
مَنْ قَالَ : هُمُ الأَمَرَاءُ وَالْوُلاَةُ , لِصِحَّةِ الأَخْبَارِ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالأَمْرِ بِطَاعَةِ الأَئِمَّةِ
وَالْوُلاةِ فِيمَا كَانَ لله طَاعَةً وَلِلْمُسْلِمِينَ مَصْلَحَةً
“Dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran tentang
hal itu ialah yang menyatakan bahwa ulil amri itu adalah umara dan para wali,
karena terdapat khabar yang sahih dari Rasulullah saw. tentang perintah menaati
para pemimpin dan wali dalam perkara ketaatan kepada Allah dan mengandung
kemaslahatan bagi kaum muslimin.” [5]
Eksistensi imam berada pada ketaatan
mamum hal ini sebagaimana perkataan umar
bin khattab
لا إسلام إلا بالجماعة ولا جماعة إلا بالإمامة ولا إمامة إلا بالطاعة
Tidaklah islam itu tegak kecuali dengan
berjama'ah(Ummat),dan tidaklah ummat itu tegak kecuali dengan adanya
kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan itu tegak kecuali dengan
keta'atan(ummatnya).
Untuk mengikat ketaatan umat, maka
pemimpin dapat membaiatnya sebagaimana hadits :
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَلَقَّنَنِي فِيمَا اسْتَطَعْتُ
وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Dari Jarir bin Abdullah, mengatakan; aku
berbaiat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk mendengar dan taat,
lantas beliau menemui aku seraya mengatakan; "Semaksimal kemampuanmu dan
untuk menasehati sesama muslim"(HR. Bukhari)
Tidak disebutkannya kata "taat" pada ulil
amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri
tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam
arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Rasulullah saw.
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang
makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wajalla." [6]
Menaati pemimpin yang sah dan masih
menjalankan shalat, dan mengeluarkan zakat merupakan kewajiban setiap muslim,
namun kewajiban ini sifatnya tabi (mengikuti) kepada kewajiban menaati Allah
dan rasul-Nya, sebagaimana annisa ayat
59. Jadi selama pemimpin tidak
memerintah untuk bermaksiat kepada Allah dan rasulnya kewajiban taat itu tetap
ada, walaupun pemimpin itu mendzolimi
umat seperti memukul punggung dan mengambil harta [7].Pendapat
ini selaras dengan " seorang muslim wajib untuk taat kepada pemimpin dalam
perkara suka atau tidak, selama tidak diperintah untuk maksiat, apabila
diperintahkan untuk maksiat maka tidak ada kewajiban untuk taat dan mendengar”.
[8]
[1] Disampaikan pada halaqah 1 PC. Pemuda PERSIS Bojongloa Kaler Kota Bandung, Ahad, 12 Februari 2017
[2] Sekretaris PD. Pemuda Persis Kota Bandung
[3] at-Ta’rifat : 35
[4] Lihat, An-Nukat wa al-‘uyûn, I:499-500
[5] Lihat, Tafsîr at-Thabarî, VII: 182
[6] Musnad Ahmad, II:333, No. hadis 1095
[7] Hadit muslim no 1847
[8] Hadits bukhori 7144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar