PENGUNJUNG

Kamis, 06 Mei 2021

Memahami imamah, imarah, dan ulul amri serta konsekuensinya dalam hidup berjam’iyyah[1]


Oleh : Miftah Husni[2]

 

Menurut bahasa imamah berarti kepemimpinan dan orang yang memegang Imamah disebut imam. Dalam al-Quran kata imam digunakan dalam beberapa pengertian , misalnya:[ 1] Jalan umum  (QS. al- Hijr: 79); [2] Catatan (QS. Yaasin:12); [3]. Pedoman  (QS. Hud:17); [4] Ketua/ Pemimpin (QS. Al-Baqarah: 124)

Pengertian ke-empat sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh   Ali bin Muhammad Al-Jarzani[3] yaitu  Imam adalah orang yang memegang khilafah (kepemimpinan umum) dalam urusan agama dan dunia”. 

Sedangkan Istilah Ulil Amri sebenarnya dirujuk dari Al-Quran Surat An-Nisa: 59 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Perbedaan para ulama dalam memaknai ulil amri itu, dielaborasi kembali oleh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib Al-Bishri Al-Baghdadi (w. 450 H), atau yang lebih popular dengan sebutan Imam Al-Mawardi sebagai berikut[4] :

1.      Ulil amri bermakna umara. Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Suddy, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid.

2.      Ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah.

3.      Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw.

4.      yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. 

Imam Ath-Thabari, setelah menyebutkan perbedaan pandangan para ahli tafsir mengenai arti ulil amri, selanjutnya beliau bersikap terhadap perbedaan itu dengan menyatakan:

وَأَوْلَى الأَقْوَالِ فِي ذَلِكَ بِالصَّوَابِ قَوْلُ مَنْ قَالَ : هُمُ الأَمَرَاءُ وَالْوُلاَةُ , لِصِحَّةِ الأَخْبَارِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالأَمْرِ بِطَاعَةِ الأَئِمَّةِ وَالْوُلاةِ فِيمَا كَانَ لله طَاعَةً وَلِلْمُسْلِمِينَ مَصْلَحَةً

“Dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran tentang hal itu ialah yang menyatakan bahwa ulil amri itu adalah umara dan para wali, karena terdapat khabar yang sahih dari Rasulullah saw. tentang perintah menaati para pemimpin dan wali dalam perkara ketaatan kepada Allah dan mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin.” [5]

Eksistensi imam berada pada ketaatan mamum  hal ini sebagaimana perkataan umar bin khattab

 لا إسلام إلا بالجماعة ولا جماعة إلا بالإمامة ولا إمامة إلا بالطاعة

Tidaklah islam itu tegak kecuali dengan berjama'ah(Ummat),dan tidaklah ummat itu tegak kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan itu tegak kecuali dengan keta'atan(ummatnya).

Untuk mengikat ketaatan umat, maka pemimpin dapat membaiatnya sebagaimana hadits :

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَلَقَّنَنِي فِيمَا اسْتَطَعْتُ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

 

Dari Jarir bin Abdullah, mengatakan; aku berbaiat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk mendengar dan taat, lantas beliau menemui aku seraya mengatakan; "Semaksimal kemampuanmu dan untuk menasehati sesama muslim"(HR. Bukhari)

Tidak disebutkannya kata "taat" pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw.

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ                          

“Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wajalla." [6]

Menaati pemimpin yang sah dan masih menjalankan shalat, dan mengeluarkan zakat merupakan kewajiban setiap muslim, namun kewajiban ini sifatnya tabi (mengikuti) kepada kewajiban menaati Allah dan rasul-Nya, sebagaimana annisa  ayat 59.  Jadi selama pemimpin tidak memerintah untuk bermaksiat kepada Allah dan rasulnya kewajiban taat itu tetap ada, walaupun pemimpin itu  mendzolimi umat seperti memukul punggung dan mengambil harta [7].Pendapat ini selaras dengan " seorang muslim wajib untuk taat kepada pemimpin dalam perkara suka atau tidak, selama tidak diperintah untuk maksiat, apabila diperintahkan untuk maksiat maka tidak ada kewajiban untuk taat dan mendengar”. [8]

 

 

 



[1] Disampaikan pada halaqah 1 PC.  Pemuda PERSIS Bojongloa Kaler Kota Bandung, Ahad, 12 Februari 2017

[2] Sekretaris PD. Pemuda Persis Kota Bandung

[3] at-Ta’rifat : 35

[4] Lihat, An-Nukat wa al-‘uyûn, I:499-500

[5] Lihat, Tafsîr at-Thabarî, VII: 182

[6] Musnad Ahmad, II:333, No. hadis 1095

[7] Hadit muslim no 1847

[8] Hadits bukhori 7144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...