PENGUNJUNG

Selasa, 04 Mei 2021

Semangat Menikah dan Menikahkan


 {وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (32)

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendiri di antara kalian, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. an-Nuur 32)

Al-inkaah – dalam ayat di atas – bersinonim dengan kata at-tazwiij. Sehingga bermakna zawwijuuhum (nikahkahlah mereka). Perintah tersebut terarah kepada para wali (dan tuan-tuan pemilik budak). Allah Azza wa Jalla al-Hakiim al-‘Aliim (Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui kemaslahatan) memerintahkan mereka agar menikahkan orang-orang yang berada di bawah perwaliannya. 

Maka, wajib bagi kerabatnya dan wali anak yatim, untuk menikahkan orang yang membutuhkan pernikahan dari orang-orang nafkahnya menjadi tanggungan si wali dengan memberi bantuan dan kemudahan agar tidak tersisa bujang maupun lajang kecuali sedikit saja. Sekedar sebagai bahan renungan, Imam Qatâdah bin Di’âmah as-Sadûsi rahimahullah  pernah berkata: “Dahulu telah tersebar ungkapan, jika anak telah baligh, namun ia belum dinikahkan oleh ayahnya, lantas ia berbuat zina, maka sang bapak telah berbuat dosa”. Riwayat Ibnu Abid Dun-ya rahimahullah, kitab al-‘Iyâl. 

Hal ini juga merupakan perintah untuk kawin. Segolongan ulama berpendapat bahwa setiap orang yang mampu kawin diwajibkan melakukanya. Mereka berpegang kepada makna lahiriah hadis Nabi Saw. yang berbunyi:

"يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ"

Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menanggung biaya perkawinan, maka hendaklah ia kawin. Karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaknyalah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat dijadikan peredam (berahi) baginya.

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Ibnu Mas'ud.

Di dalam kitab sunan telah disebutkan hadis berikut melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"تَزَوَّجوا، تَوَالَدُوا، تَنَاسَلُوا، فَإِنِّي مُبَاهٍ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" وَفِي رِوَايَةٍ: "حَتَّى بِالسِّقْطِ".

Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang subur peranakannya, niscaya kalian mempunyai keturunan; karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan (banyaknya) kalian terhadap umat-umat lain kelak di hari kiamat. Menurut riwayat lain disebutkan, "Sekalipun dengan bayi yang keguguran."

Al-Ayama adalah bentuk jamak dari ayyimun. Kata ini dapat ditujukan kepada pria dan wanita yang tidak punya pasangan hidup, baik ia pernah kawin ataupun belum. Demikianlah menurut pendapat Al-Jauhari yang ia nukil dari ahli lugah (bahasa). Dikatakan rajulun ayyimun dan imra-tun ayyimun, artinya pria yang tidak beristri dan wanita yang tidak bersuami.

Pengertian ash-shâlihîn adalah orang yang mempunyai keshalehan dalam beragama, hingga tidak melakukan perzinaan. Bila hamba sahaya yang dimiliki seseorang demikian adanya, maka sang pemilik diperintahkan untuk mencarikan pasangan hidup baginya. Sebagai balasan baik atas keshalehan pribadi yang dimiliki budak tersebut. Sebab, bila telah rusak lantaran perbuatan zina, sudah berarti hukumnya terlarang untuk menikahkannya. Dan ini berarti juga menguatkan kandungan hukum yang tertuang dalam ayat-ayat pertama surat an-Nûr. Bahwa pernikahan lelaki atau perempuan yang berbuat zina hukumnya haram sampai mereka bertaubat. 

Makna kata ash-shâlihîn yang lain, orang-orang yang sudah pantas menikah, lagi membutuhkannya, baik para budak laki dan perempuan. Pengertian ini ditopang oleh realita bahwa seorang tuan tidak diperintahkan untuk menikahkan budaknya sebelum membutuhkan perkawinan

{إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}

Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32), hingga akhir ayat.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ini mengandung anjuran kepada mereka untuk kawin. Allah memerintahkan orang-orang yang merdeka dan budak-budak untuk kawin, dan Dia menjanjikan kepada mereka untuk memberikan kecukupan. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khalid Al-Azraq, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdul Wahid, dari Sa’id ibnu Abdul Aziz yang mengatakan bahwa telah sampai suatu berita kepadanya bahwa Abu Bakar As-Siddiq r.a. pernah mengatakan, "Bertakwalah kalian kepada Allah dalam menjalankan apa yang Dia perintahkan kepada kalian dalam hal nikah, niscaya Dia akan memenuhi bagi kalian apa yang telah Dia janjikan kepada kalian, yaitu kecukupan." Allah Swt. telah berfirman: Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32)

Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Carilah kecukupan dalam nikah, karena Allah Swt. telah berfirman: 'Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya' (An-Nur: 32)."

Ibnu Jarir telah meriwayatkannya, dan Al-Bagawi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui Umar.

Telah diriwayatkan dari Al-Lais, dari Muhammad ibnu Ajian, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

"ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنهم: النَّاكِحُ يُرِيدُ الْعَفَافَ، والمكاتَب يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ"

Ada tiga macam orang yang berhak memperoleh pertolongan dari Allah, yaitu orang yang nikah karena menghendaki kesucian, budak mukatab yang bertekad melunasinya, dan orang yang berperang di jalan Allah. Hadis riwayat imam Ahmad, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.

Nabi Saw. pernah mengawinkan lelaki yang tidak mempunyai apa-apa selain sehelai kain sarung yang dikenakannya dan tidak mampu membayar maskawin cincin dari besi sekalipun. Tetapi walaupun demikian, beliau Saw. mengawinkannya dengan seorang wanita dan menjadikan maskawinnya bahwa dia harus mengajari istrinya Al-Qur'an yang telah dihafalnya. Kebiasaannya, berkat kemurahan dari Allah Swt. dan belas kasih-Nya, pada akhirnya Allah memberinya rezeki yang dapat mencukupi kehidupan dia dan istrinya.

Sebuah janji baik datang dari Allah Azza wa Jalla dan Allah Azza wa Jalla tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Jika mereka miskin, yaitu para suami dan orang yang telah menikah,  Allah Azza wa Jalla akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Janganlah bayang-bayang kemiskinan karena memikul beban nafkah keluarga setelah menikah menjadi penghalang untuk menjalankan syariat Allah yang satu ini. 

Sebuah realita yang menggelayuti benak sebagian orang. Cukuplah, janji Allah Azza wa Jalla di atas untuk menepis keraguan tersebut jauh-jauh. Pada ayat ini, terkandung anjuran untuk menikah, dan janji Allah Azza wa Jalla kepada orang yang menikah dengan kecukupan setelah kondisi kefakirannya. Artinya, ayat ini seperti diungkap oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah memuat dalil (dasar) menikahkan lelaki yang fakir. Jangan sampai ia berkata, ‘bagaimana aku bisa menikah, uang saja tidak ada?’. Karena sungguh, rezeki dirinya dan keluarga menjadi tanggungan Allah Azza wa Jalla . Selanjutnya, beliau menyampaikan fakta, dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan seorang lelaki yang tidak mempunyai harta kecuali izâr (pakaian). Demikian fakta yang beliau sampaikan.

Ada satu hal menarik yang tidak boleh dikesampingkan dari keterangan Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah dalam mengulas janji baik ini. Kata beliau: “Orang menikah yang diberi janji Allah Azza wa Jalla berupa kecukupan hidup, ialah orang yang mempunyai niat dengan pernikahannya supaya mendapat kemudahan menjalankan ketaatan kepada Allah  Azza wa Jalla dalam menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. 

Apabila niatnya untuk menikah adalah merealisasikan kepatuhan kepada Allah Azza wa Jalla dengan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan, maka dengan itulah janji berkecukupan akan teraih”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...