PENGUNJUNG

Kamis, 08 Juli 2021

Ngaji lagi tentang Ibadah Kurban


Ibadah kurban termasuk ibadah maliyah yang hukumnya adalah sunnah muakkadah bagi kita, artinya kesunnahan yang sangat ditekankan namun bagi Rasulullah Saw berqurban adalah wajib sebagai kekhususan beliau. Kesunnahan tadi terbagi dua ada kalanya sunnah kifayah yaitu bagi tiap-tiap muslim yang sudah baligh, berakal, memiliki kemampuan untuk berqurban dan hidup dalam satu keluarga. Artinya jika ada salah satu anggota keluarga berqurban, maka gugurlah tuntutan untuk berqurban dari tiap-tiap anggota keluarga itu. Namun tentunya yang mendapat pahala qurban adalah khusus bagi orang yang melakukannya. Dan ada kalanya hukum qurban sunnah 'ain yaitu bagi mereka yang hidup seorang diri, tidak memiliki sanak saudara. Atau dengan kata lain sunnah 'ain adalah sasaran kesunnahannya ditujukan pada individu atau personal semata.

Rasulullah Saw tidak menganjurkan kurban kepada setiap orang Islam sehingga masing-masing harus pernah berkurban. Yang diperintahkan adalah berkurban seseorang atas nama keluarganya. pahala kurban itu bagi orang yang benar-benar mengorbankan hartanya karena taqwa kepada Allah SWT. jika uangnya dari istri sekalipun saat menyembelih menyebut atas nama suami, maka yang dapat pahala adalah istrinya, apalagi atas nama anak kecil yang belum terkena taklif.

Maka jika ada orang yang mempunyai kelapangan namun tidak berkurban, pada dasarnya ia tidak berdosa karena hukumnya sunnah muakkadah, walau demikian beberapa ulama seperti Imam As-Syafi'i menghukumi makruh orang mempunyai keleluasaan namun tidak berkurban dikarenaka banyaknya pahal dan keutamaan serta manfaat dari qurban tersebut yang sangat disayangkan apabila tidak dikerjakan.

Imam As Syafi'i berkata, "Saya tidak memberi dispensasi / keringanan sedikitpun pada orang yang mampu berqurban untuk meninggalkannya". Maksud perkataan ini adalah makruh bagi orang yang mampu berqurban, tapi tidak mau melaksanakannya (lihat: Iqna' II/278) Meskipun hukum qurban adalah sunnah, namun suatu ketika bisa saja berubah menjadi wajib, yaitu jika dinadzarkan. Maka konsekuensinya jika sudah menjadi qurban wajib dia dan keluarga yang dia tanggung nafkahnya tidak boleh mengambil atau memakan sedikitpun dari daging qurban tersebut.

Adapun mengenai ancaman bagi yang mempunyai keleluasaan tetapi tidak berkurban, maka ia tidak boleh mendekati tempat sholat kami, hadits nya lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا. ))

“Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.HR Ahmad dalam Musnad-nya no. 8273, Ad-Daruquthni dalam Sunannya no. 4762 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 7565.

Di dalam sanad Ahmad dan Al-Hakim terdapat Abdullah bin ‘Ayyasy, dia shaduq yaghlath sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, di dalam sanad Ad-Daruquthni terdapat ‘Amr bin Al-Hushain dan Ibnu ‘Ulatsah keduanya matruk. Kedua jalur yang seperti ini tidak bisa saling menguatkan sehingga dzhahir sanad hadits ini lemah. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini hasan dalam Takhrij Musykilail-Faqr no. 102. Sedangkan para imam seperti At-Tirmidzi, Ibnu ‘Abdl-Barr, Al-Baihaqi dan Ibnu Hajar merajihkan hadits tersebut mauquf. (As-Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi no. 19485, Bulughul maram).

Yang dimaksud 'memiliki kemampuan' disini adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk dibuat qurban dan cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq.

Berserikat dalam Hewan Qurban

Ibnu Hajar dalam kitabnya fathul bari, mengulas dengan cukup panjang lebar tentang fiqh berserikat dalam kurban, kesimpulannya sapi atau unta yang dijadikan hewan kurban dengan berserikat  harus disesuaikan dengan kambing, yaitu masing-masing sahamnya tidak boleh kurang dari harga kambing, jadi tergantung harga sapi tercapai dengan berapa harga minimal satu kambing.

dari rafi bin khadij ia berkata :...beliau kemudian membagikan , maka sepuluh kambing setara dengan seekor unta ". ( shahih bukhari no 5498)

hadits hasan riwayat tirmidzi no 1501 dari ibnu Abbas, "kami pernah bersama nabi dalam suatu safar maka tibalah waktu idul adha, kami pada waktu itu berserikat dalam sapi sembilan orang dan badanah 10 orang".

jadi meskipun boleh lebih dari 7 orang, tetap diukurkan pada kambing, sebab kurban kambing tidak boleh berserikat. kalau satu kelas berserikat pada satu sapi tapi urunan tiap siswa tidak mencapai harga satu kambing maka tidak sah kurbannya dan hanya sembelihan biasa.

Mustahik Qurban

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (28)

supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. 

Salah satu Pendapat mengatakan bahwa daging kurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga untuk yang punya, sepertiga lainnya untuk ia hadiahkan, dan sepertiga yang terakhir untuk disedekahkan, karena berdasarkan firman Allah Swt. dalam ayat lainnya yang mengatakan:

{فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ}

maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (Al-Hajj: 36)

Ikrimah mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang yang terdesak oleh kebutuhan dan tampak pada dirinya tanda sengsara; keadaannya miskin, tetapi tidak mau meminta-minta demi menjaga kehormatan dirinya.

Menurut Mujahid, ialah orang miskin yang tidak mau meminta-minta.

Sedangkan Qatadah berpendapat bahwa makna yang dimaksud ialah orang yang menderita penyakit menahun.

Dan Muqatil mengatakan, maknanya yaitu orang yang tuna netra.

Mustahik kurban dalam surat al Hajj ayat  28 dan 36 sudah jelas disebutkan bahwa yang berhak mendapatkan daging kurban hanya dua yaitu pekurban dan fakir miskin dalam kriteria mustahik zakat fitri, bagi mereka yang bukan fakir miskin naka tidak punya hak mendapatkan daging kurban. kalau pun ada di luar fakir miskin yang mendapatkan kurban, termasuk diantaranya panitia, maka itu sebagai hibah dari yang berkurban, artinya bukan panitia yang berwenang membagikan tapi pekurban. hal ini berbanding terbalik dengan amilin zakat.

"Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta kurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan kurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, 'Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri'" (HR. Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...