Niat secara bahasa artinya kehendak, rencana dan tujuan atas sesuatu. Dalam istilah para ulama, niat dimaksudkan untuk dua pengertian :
1. Niat dalam pengertian kehendak hati yang membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti membedakan shalat wajib dzuhur dari shalat wajib Ashar atau yang membedakan shaum Ramadhan dengan shaum Nadzar.
2. Niat dalam pengertian sesuatu yang menjadi dasar dorongan dan harapan atau motivasi suatu amal perbuatan. Yaitu apakah sesuatu pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar mengharap keridhaan dan pahala Allah SWT atau karena mengharap pujian dari manusia.
Dalam Alquran disebutkan kandungan dari niyat itu, yaitu ”keinginan, harapan, dan kehendak.” Iraadah, ibtighaa, dan rajaa. Seperti dalam Firman Allah :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
”Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah ia beramal dengan amal saleh dan jangan menyekutukanNya dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepadaNya”. (Al-Kahfi : 110)
Dalam Al-Hadits tentang niyat nabi SAW dengan tegas bersabda :
الأعمال بالنية ولكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه )
”Dari Umar Ibn Khaththab ’aku mendengar Rasulullah SAW bersabda” Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya dan bagi tiap orang apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrah kepada Allah dan RasulNya , maka pahalanya karena Allah dan rasulNya. Dan barangsiapa yang hijrah karena dunia atau wanita yang dinikahinya, maka pahala hijrahnya itu apa yang di hijrahi”. (H.R Al-Bukhari, Shahih Muslim (3530)
Mengenai pengucapan niat tidak ada satupun keterangan dari Al-Quran maupun Al-hadits, Niat itu urusan hati tidak terkait dengan lisan atau ucapan. Walaupun seseorang mengucapkan niat dengan mengatakan ia mengamalkan sesuatu karena Allah, tetap saja yang jadi penilaian Allah adalah apa yang ada di hatinya. Sebagaimana dalam Hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan rupa kalian melainkan melihat hati kalian”
Yang dinilai Allah adalah hati karena hati merupakan tempat ditanamnya niat dalam suatu amal. Benarnya amal lisan dan perbuatan badan belum dapat menjamin benarnya niat yang merupakan amalan hati. Sebaliknya apa yang telah diniatkan secara benar dalam hati kemudian terjadi kekeliruan dalam ucapan dan perbuatan, maka kesalahan itu termasuk perkara yang dimaafkan. Oleh karena itu tidak ada syariat untuk mengucapkan niat. (Risalah No. 6 Th. 46 Ramadhan 1429 / September 2008)
Menurut A.Hassan kalau seseorang mengerjakan sesuatu perkara dengan sengaja, maupun perkara ibadat atau yang lainnya, maka dinamakan dia orang yang telah berniat. Seorang yang didalam tidur, kalau menampar atau menendang sesuatu, maka ia tidak dikatakan berniat waktu mengerjakannya. Kalau seorang memecahkan sesuatu atau menikam seseorang lantaran latah, maka kita namakan orang itu tidak sengaja atau tidak berniat.
Melafazkan niat waktu berwudu, mandi atau sembahyang itu tidak ada di quran , hadis, perbuatan sahabat Nabi dan tidak pula dipandang sunat oleh Imam yang empat, istimewa pula ijma tidak ada sama sekali.
Hanya ada sebagian daripada ulama madzhab syafi’I (bukan Imam syafi’i) menyunatkannya, dan golongan itu terbagi atas beberapa bagian pula :
1. Ada yang berkata bahwa menyebut niat dengan lidah itu menolong hati, lantaran itu jadi sunat.
Kita jawab, bahwa alasan itu bukan dari agama dan tidak dibenarkan oleh agama, karena dengan alasan itu telah bertambah satu ibadah, sedang menambah satu ibadat itu terlarang keras, dan juga perkataan mereka bahwa lidah menolong hati itu tidak betul sekali-kali, karena lidah orang yang sadar itu tidak akan menyembunyikan sesuatu, kalau tidak hatinya lebih dahulu hendak menyembunyikannya. Jadi hatilah yang menggerakan lidah, bukan lidah menggerakan hati.
2. Ada yang berkata bahwa menyebut niat dengan lidah itu ada dikerjakan oleh Nabi di dalam ibadat Hajji. Oleh sebab itu diqiaskan perbuatan itu disembahyang dan lainnya.
Kita jawab, bahwa riwayat Nabi menyebut niat haji itu tidak sah, walaupun ditakdirkan sah, tidak boleh diqiaskan kepada sembahyang, karena haji itu diwajibkan atas orang Islam sesudah sembahyang. Maka tidak ada kaidah membenarkan ambil qias dari hukum terkemudian buat hukum yang terdahulu dan lagi tidak boleh diqiaskan satu hukum dengan lainnya di dalam urusan ibadat. Kalau mau diqias-qiaskan di perkara ibadat, mengapakah tidak diadakan adzan dan iqamah di salat jenazah, salat hari raya, salat tarawih dan yang lainnya?
3. Adapun yang berkata bahwa melafazkan niat itu sungguhun bid’ah tetapi bid’ah hasanah, karena perkara itu baik dan Nabi tidak ada bersabda “jangan kamu melafazkan niat”
Kita jawab, bahwa tiap-tiap bid’ah dalam suatu ibadat itu bid’ah dalalah, tidak ada hasanah. Bid’ah yang dibagi-bagi itu ialah bid’ah dalam hal keduniaan, yaitu mana yang baik dikatakan bid’ah hasanah dan mana yang tidak baik dikatakan bid’ah dhalalah. Kalau tambahan itu dipandang baik, mengapakah salat yang subuh tidak boleh kita tambah dua rakaat supaya jadi empat?
Dalam semua amal kita memang diperintah berniat “niat” yang dimaksudkan dalam hadis Nabi saw ialah ketentuan kita mengerjakan sesuatu itu karena Allah atau bukan jarena Allah. Inilah sebenarnya yang dikatakan niat dalam bahasa Arab, ini adalah dalam bathin
Pendapat sebagian pengikut madzhab Syafi’iy tentang melafazhkan niat dengan dalil ”janganlah salah seorang diantara kamu memulai shalat kecuali dengan dzikir”. Menurut Imam An-Nawawi berkata ”bahwa yang dimaksud dengan dzikir disini adalah takbir”. (Al-majmu’ (243))
Ibnul Qayyim berkata ”adalah Rasulullah SAW jika mendirikan shalat ia mengucapkan ’Allahu Akbar’, tidak mengucapkan apapun sebelumnya, dan sama sekali tidak melafazhkan niat, tidak juga mengucapkan ’Ushalli lillahi shalata….Mustaqbila Al-qiblati arba’a raka’atin imaman atau ma’muman, tidak juga mengatakan ’adaan’, atau qadhaa’an’, tidak juga menentukan waktu. Ini semua adalah bid’ah yang tidak seorangpun meriwayatkannya dari nabi Saw dengan sanad yang shahih, atau dhaif, atau musnad, atau mursal, satu lafazhpun sama sekali tidak pernah. Bahkan tidak pernah diriwayatkan dari sahabat, tidak pernah dianggap baik oleh seorang tabi’in, tidak juga oleh imam yang empat”. (Zaadu al-Ma’ad (1/201)
Kesimpulan
1. Melafazhkan niat hendak shalat tidak disyari’atkan karena Nabi Bersabda : ”Jika engkau hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, kemudian takbirlah, kemudian bacalah…”.( H.R Bukhari (1/145, 2/172), Muslim (2/11), dan Abu daud (856), Tirmidzi (2/103), Ibnu majah (1060), dari Abu Hurairah)
2. Niat itu ialah kemauan kita dalam keadaan sadar dan tempatnya dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar