PENGUNJUNG

Jumat, 07 September 2018

Manusia Mahluk Istimewa

Manusia makhluk istimewa dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Karena ternyata pada manusia ada unsur-unsur makhluk lain, tetapi pada makhluk lain tidak ada unsur-unsur kemanusiaan. Jika kita amati secara seksama benda-benda atau makhluk ciptaan Tuhan yang ada di sekitar kita, mereka memiliki unsur yang melekat padanya, yaitu unsur benda, hidup, naluri, dan akal budi.

  1. Makhluk Tuhan yang hanya memiliki satu unsur, yaitu benda atau materi saja. Misalnya, batu, kayu, dan meja.
  2. Makhluk Tuhan yang memiliki dua unsur, yaitu benda dan hidup. Misalnya, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan.
  3. Makhluk Tuhan yang memiliki tiga unsur, yaitu benda, hidup, dan naluri/ instink. Misalnya, binatang, temak, kambing, kerbau, sapi, dan ayarn.
  4. Makhluk Tuhan yang memiliki empat unsur, yaitu benda, hidup, naluri/instink, dan akal budi. Misalnya, manusia merupakan makhluk yang memiliki keunggulan dibanding dengan makhluk yang lain karena manusia memiliki empat unsur, yaitu benda, hidup, instink, dan naluri.

Lalu kenapa bisa unggul, padahal secara khalqiyyah manusia itu sama dengan hayawanat lainnya. Jelas memang, secara khalqiyyah, hanya dari segi fisik, manusia itu sama. Tetapi pada manusia kehebatannya itu karena ada unsur khuluqiyyah-nya.

Walaupun manusia mempunyai potensi unggul, tetapi, pada umumnya manusia itu mudah tersimpangkan oleh sesuatu yang mudah terlihat dan terdengar. Tidak heran, kalau laki-laki mencari calon istri, yang pertama kali dilihatnya itu apakah cantik atau tidak? Begitupula perempuan, yang pertamakali dilihatnya apakah tampan atau tidak?

Jadi, yang pertama diperhatikan itu adalah apa yang terlihat oleh mata dan  apa yang terdengar oleh telinga. Padahal, mata dan telinga suka salah. Kalau mata dan telinga suka salah yang meluruskannya siapa? Perasaan? Kalau perasaan salah yang melurusakannya apa? Akal? Kalau akal salah yang meluruskannya apa?

Sudah kita maklumi bersama, bahwa mahluk Allah itu bermacam-macam. Ada yang disebut Jamaadat, nabatat, jinnat dan hayawanat. Diantara mahluk-mahluk Allah itu ada yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lain.

Jamaadaat, Mahluk ini disebut jamadaat karena mahluk ini tidak bisa hidup, bergerak, menetap dalam satu tempat, karena lafadz jamadat diambil dari kata jamid yang artinya diam, oleh karena itu mahluk ini bisa disebut juga benda mati. Kenapa disebut mahluk Allah karena sama-sama diciptakan oleh Allah.

Nabatat, Mahluk ini disebut nabatat, karena dia itu hidup akan tetapi tidak aktif, salah satu ciri bahwa mahluk ini hidup, ia bisa tumbuh yang tadinya bibit menjadi besar Cuma tidak bisa bergerak secara aktif saja, oleh karena itu mahluk ini suka dikenal dengan ungkapan nabati.

Jinnat, Mahluk ini disebut jinnat karena dia tidak bisa dilihat oleh panca indra, karena lafadz jinnat pecahan dari kata jinnun yang memiliki arti terhalang atau tertutup. Diantara mahluk yang termasuk kedalam kelompok ini ialah para malaikat, iblis, dan jin, oleh karena itu kalau ada yang mengatakan bisa melihat mahluk ini bohong besar, karena akan bertentangan dengan du'a Nabi Sulaiman yang berbunyi :

وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لاَ يَنْبَغِيْ لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِيْ

Dan anugrahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku. (QS. Shaad : 35)

Dan hadits Nabi yang berbunyi :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ  قَالَ: إِنَّ عِفْرِيتًا مِنْ الْجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ الْبَارِحَةَ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي قَالَ رَوْحٌ فَرَدَّهُ خَاسِئًا

Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw bersabda : Sesungguhnya Ifrit itu termasuk golongan jin, ia menggangguku dengan kalimat yang salah supaya sholatku menjadi batal, jika Allah menghendaki aku bermaksud mengikatnya pada salah satu tiang masjid sampai pagi sehingga kamu sekalian bisa melihatnya, tapi aku ingat ucapan saudaraku Sulaiman yang berbunyi "Ya Tuhanku anugrahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku". Rouh berkata : Kemudian Nabi melepaskannya. (al-Bukhari, Fathul-Baari : 2/218)

Artinya kedua dalil ini menjadi satu arahan tentang tidak mungkinnya seorang manusia bisa melihat jin apalagi bisa mengendalikannya. Makanya wajar imam Syafi'I mengatakan :

مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرَى الْجِنَّ أَبْطَلْنَا شَهَادَتَهُ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ نَبِيًّا

Barang siapa yang berkata sesungguhnya pernah melihat jin kami menganggap batal syahadatnya, kecuali Nabi. (Manaqib asy-Syafi'i, Fathul-Baari : 6/497)

Hayawanat , Mahluk ini disebut hayawanat karena dia itu hidup bergerak secara aktif, yang termasuk kedalam mahluk ini ialah binatang dan manusia.

Perbedaan binatang dan manusia 

Binatang

Mahluk ini menempati ruang dan waktu, akan tetapi tidak mengenal ruang dan waktu. Sebagai cirinya belum pernah ditemukan kalau domba mau kencing mencari dulu kamar mandi dan belum pernah terdengar ada ungkapan sarapan pagi, makan siang dan makan malam, makanya bagi domba tidak mengenal dalam kandang dan di luar kandang salah satu cirinya dia kencing disitu makan disitu, dan bagi domba dia makan itu bukan karena ingin tapi karena lapar, oleh karena itu dia hidup itu hanya untuk mati. Mahluk ini hanya mengandalkan fisik.

Manusia

Mahluk ini bukan hanya menempati ruang dan waktu, tapi mengenal juga ruang dan waktu. Sebagai cirinya ketika dia mau mandi suka mencari tempat mandi, dan bagi manusia suka ada ungkapan sarapan pagi, makan pagi dan makan malam, bagi manusia ketika dia makan ternyata bukan karena lapar tapi karena ingin. Makanya bagi manusia dia hidup itu untuk hidup.

Mahluk ini ternyata tidak hanya sebatas pisik saja tetapi dia mengandalakan akalnya, makanya kalau hanya sebatas pisik saja dia akan kalah dengan bintang dan tidak bisa mempertahankan hidup. Oleh karena itu wajar kalau dalam al-Quran disebutkan

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ ءَادَمَ

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS. al-Israa : 70)

Dengan akalnya manusia bisa menciptakan alat yang bisa mengalahkan kekuatan gajah, dengan akalnya manusia bisa menciptakan alat yang bisa mengalahkan ke9cepatan kuda, dengan akalnya pula manusia bisa menciptakan alat yang bisa menandingi terbangnya burung. Tapi akibat dari budidaya akal, manusia bisa akal-akalan, seperti terjadinya penindasan/penjajahan yang dilakukan kepada Negara kita pada waktu lalu, dikarnakan kita pada waktu itu belum mempergunakan akal kita sebagaimana mestinya, kita mau saja dibodoh-bodohi oleh penjajah, akan tetapi setelah kita mengfungsikan akal kita sebagaimana mestinya kita sanggup mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. 

Oleh karena itu apakah bagi manusia hanya mengandalkan akalnya saja cukup? Tentu tidak, sebab akal tanpa ada yang mendidiknya akan salah menempatkan. Oleh karenanya wajar kalau seandainya Allah menjelaskan dalam al-Quran yang berbunyi :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. al-Hujuraat : 13)
   
Dengan ungkapan ini menunjukkan bahwa pada diri manusia bukan hanya wujud fisiknya saja akan tetapi ada juga wujud ruhaninya. Oleh karena itu wajar kalau Allah mengutus seorang Rasul untuk mendidik ruhani kita, sebab ruhani yang terdidik oleh agama bisa mengendalikan akal kita fisik kita, makanya wajar dalam sebuah hadits disebutkan :

لاَيَزْنِي الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Seorang pezina tidak akan melakukan perzinahan selama keimanannya masih ada. (al-Bukhari, Fathul-Baari : 5/413)


Setiap orang pasti tidak suka kalau jatuh martabat dan rugi. Bukan saja sekedar tidak suka, melainkan sangat-sangat tidak suka. Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, manusia merupakan makhluk yang paling baik, paling lengkap, paling luhur keterciptaannya dibandingkan dengan makhluk yang lain ( At-Tin [95]: 4).

Hanya manusia yang memiliki hubungan antara badan kasar dengan pikirannya, hubungan antara badan kasar dengan perasaannya, dan hubungan antara badan kasar dengan keyakinannya. Jika pikirannya (inteligensinya) berjalan normal, maka sehat badan kasarnya, jika perasaannya (emosinya) terganggu, maka terganggulah kesehatan badan kasarnya, dan jika lurus dan kuat keyakinannya (spiritualnya), maka tampak tegar penampilan hidupnya. Kebenaran hubungan-hubungan ini semuanya dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, benar kalau dikatakan bahwa manusia itu memiliki martabat yang paling baik, paling lengkap dan paling luhur kalau dibandingkan dengan makhluk lain. Seperti makhluk hewan (hayawanat), makhluk tumbuh-tumbuhan (nabatat), dan makhluk benda beku (jamadat: benda padat, cair, dan gas)

Sungguhpun demikian, Allah SwT juga mengingatkan, bahwa manusia itu pada hakikatnya merupakan makhluk yang “mudah lupa”, yang karena itu disebut dengan istilah insaan (At-Tin [95]: 4). Lupa tentang apa?

Pertama, lupa terhadap hal-hal yang remeh dan memang hal-hal yang remeh tersebut tidak perlu dingat-ingat. Contoh: lupa tentang berapa kilogram beras yang telah dimakan selama ini, berapa ribu liter air yang pernah melalui kerongkongannya, berapa ribu meter kubik udara yang pernah lewat paruparunya, berapa ribu kilometer kakinya telah dipakai untuk berjalan, berapa ribu jam tidur yang telah dialaminya, dan berapa liter urine yang telah dikeluarkan selama ini.

Kedua, lupa terhadap hal-hal yang penting yang kalau hal-hal tersebut dilupakan, maka seseorang lalu dinilai melenceng dari tata nilai (benar menjadi salah, baik menjadi buruk, indah menjadi jelek, manfaat menjadimudlarat/merusak). Contoh: lupa terhadap rumus ilmu, lupa terhadap berbakti kepada orangtua, lupa terhadap kerapihan, dan lupa menjaga diri dari minum minuman keras.

Ketiga, lupa terhadap hal yang mutlak penting yang kalau sampai ditinggalkan, maka seseorang akan kehilangan pegangan hidup. Dalam hal ini adalah jika lupa terhadap Tuhan.

Jika sifat “lupa” ini, khususnya lupa yang kedua dan ketiga, sampai dikerjakan dengan sengaja oleh seseorang apalagi dibiasakan maka menurut Al-Qur’an, orang semacam itu akan dijatuhkan martabatnya oleh Allah SwT ke martabat serendah-rendahnya, (At-Tin [95]: 5).

Selanjutnya, manusia juga sangat tidak suka terhadap apa yang disebut rugi. Semua manusia sangat senang kalau merasa memiliki untung. Hakikat untung di sini adalah bertambah, sedangkan hakikat rugi adalah berkurang, dalam arti berkurang dari apa yang diinginkan untuk dimiliki. Contoh: Orang merasa sangat senang kalau bertambah kekayaan ilmunya atau makin tajam analisanya, orang akan merasa sangat senang kalau bertambah tinggi pangkatnya atau kuat kekuasaannya, orang akan sangat senang kalau bertambah kekayaannya, orang akan sangat senang kalau bertambah sehat atau kebugaran tubuhnya, dan sebagainya. Tetapi, lagi-lagi manusia diingatkan Al-Qur’an, bahwa dirinya selalu diberi cobaan penyakit “lupa” di atas. Sebab, ayat Al-Qur’an yang berbicara dalam konteks masalah “rugi” ini juga memakai kata “insaan” ketika menyebut dunia manusia (Al-’Ashr [103]: 2). Jadi, kalau sampai manusia menjadi “lupa” (lupa model, kedua dan ketiga di atas), maka manusia tersebut pasti akan mengalami apa yang disebut “rugi”.

Mengapa firman Allah berikut ini diawali oleh, “amanar rasulu bima unzila ilaihi min rabbihi wal mu’minuna? Ini menunjukan bahwa Rasul pun dituntut iman karena apa yang diturunkan kepadanya adalah masalah ghaib.

Dari sanalah bagaimana menghadapi dan menyikapi Bima unzila ilaihi min rabbihi. Apa yang harus kita hadapi itu? Apa alatnya? Apakah hanya sekadarkhalqun? Mustahil. Atau yang harus kita gunakan itu alatnya khuluqun?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...