حَدَّثَنِي مُوسَى
بْنُ مَسْعُودٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ وَالْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي
وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَنَّةُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ
نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ
Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya,
neraka juga seperti itu. [HR. Bukhari
No.6007].
Ibnu bathal berkata : “dalam hadits ini dapat difahami bahwa ketaatan
menyampaikan seseorang untuk masuk surga dan bahwasanya kemaksiatan mendekatkan
seseorang kepada api neraka. Dan sesungguhnya surga dan neraka itu dapat berupa
perkara kecil dan ringan. Maka selayaknya seorang muslim itu harus
bersungguh-sungguh melakukan walau pun terhadap perkara sekecil apa pun dari
kebaikan demikian pula bersungguh-sungguh menjauhi terhadap perkara kecil dari
kejelekan, karena sanya ia tidak mengetahui ada kebaikan yang Allah akan
berikan pada perkara kecil itu, sebagaimana ia tidak mengetahui ada perkara
kecil yang membuat Allah murka.
Ibnu jaozi berkata : “ makna hadits ini bahwasanya surga dapat diusahakan
dengan sangat ringan melalui benar dalam niat dan amal yang terwujud,
sebagaimana neraka dapat diusahakan dengan sesuatu yang sesuai hawa nafsu dan
mengerjakan kemaksiatan”
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا
رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ
وَرَحْمَةٍ
“Tepatlah kalian, mendekatlah, dan
bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan memasukkan seseorang ke
dalam surga.” Para shahabat bertanya: “Termasuk juga anda wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan
ampunan dan rahmat kepadaku.”[ Shahih
al-Bukhari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal no.
6463, 6464, 6467].
Hadits yang disampaikan
Nabi saw di atas, menurut Ibn Taimiyyah, mengajarkan kepada kita untuk tidak
memahami hubungan amal dan surga sebagai mu’awadlah; timbal balik, balas
jasa, atau ganti rugi. Hal itu disebabkan
pertama, Allah swt sama sekali
tidak butuh terhadap amal kita, tidak seperti halnya seorang majikan yang butuh
kepada para pekerjanya. Amal manusia untuk manusia sendiri, karena
kalaupun semua manusia tidak beramal Allah swt tidak ‘peduli’, Dia akan tetap
sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa (Lihat QS. Al-Baqarah [2] : 286,
Fushshilat [41] : 46, an-Naml [27] : 40).
Kedua, amal seorang manusia tidak
diwujudkan oleh dirinya sendiri, melainkan berkat anugerah dan rahmat Allah swt
juga, mulai dari menghidupkannya, memberi rizki, memberi tenaga, kesehatan,
mengutus rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab, menjadikannya cinta kepada keimanan
dan menjadikannya benci terhadap kekufuran. Semua itu adalah berkat rahmat
Allah swt.
Ketiga, amal seorang manusia
setinggi-tingginya tidak akan senilai dengan pahala yang diberikan Allah
kepadanya, karena dalam pahala itu Allah swt sudah melipatgandakannya dari
mulai 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang tidak dapat
terhitung nilainya.
Keempat, nikmat dan kesenangan yang telah diberikan
Allah swt kepada manusia selama di dunia, walau bagaimanapun tidak akan mampu
dibayar oleh manusia. Seandainya manusia diharuskan membayarnya dengan amal,
pasti mereka tidak akan mampu beramal untuk membayarnya. Padahal jelas, manusia
bisa beramal itu berkat nikmat-nikmat Allah swt tersebut.
Kelima, manusia selalu diliputi oleh dosa dan
kesalahan. Seandainya saja tidak ada ampunan Allah swt dan kebijaksanaan-Nya
untuk hanya mempertimbangkan amal-amal yang baik saja, dengan mengenyampingkan
amal jeleknya, tentu manusia tidak akan mungkin masuk ke dalam surga (Lihat QS.
Az-Zumar [39] : 33-35, al-Ahqaf [46] : 16). Inilah di antara maksud sabda Nabi
saw: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan
rahmat kepadaku.”
Dari uraian ini bisa ditarik
kesimpulan bahwa amal tetap sebagai penyebab adanya balasan surga. Hanya
berdasarkan hadits ini seseorang tidak boleh ta’ajjub (berbangga diri)
dengan amalnya sendiri, karena di sana pasti ada peran rahmat Allah swt. Dengan
hadits ini juga seseorang tidak perlu takalluf (mempersulit diri) dengan
amal-amal yang dikerjakannya. Tetap optimis dengan amal-amal yang sudah, sedang
dan harus dikerjakan, sebagaimana tuntunan Nabi saw: saddidu, wa qaribu, wa
absyiru, wa-ghdu, wa ruhu, wa syai`un minad-duljah, wal-qashda wal-qashda, semuanya
itu pasti akan menyebabkan kita tablughu; sampai pada cita-cita yang
diidamkan (surga).
Surga itu mudah karena semua manusia mampu beramal, jika ada yang tidak masuk surga bukan karena tidak bisa tapi hakikatnya tidak mau. Oleh karena itu meninggalkan amal karena tidak ada kemauan disebut malas (Tarkul amal liadami iradah al kasalu), sedangkan meninggalkan amal karena tidak adanya kemampuan disebut lemah, dan ini lah kondisi yang mendapatkan keringanan dalam agama (wa amma liadami qudrah al 'Ajzu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar