PENGUNJUNG

Selasa, 21 November 2017

REZEKIMU PERANTARA IBADAH DAN MAKSIAT-MU



Oleh Miftah Husni

Mengenai hakikat rizki harus difahami berdasarkan realitas makna lafaz dan syara’nya, baik yang diambil berdasarkan pengertian bahasa maupun syara’. Lafadz  ar-Rizq, dalam bahasa Arab berasal dari  Razaqa-Yarzuqu-Rizq  yang berarti: A’tha-Yu’thiI’tha’(pemberian). Jadi, secara etimologis ar-Rizq berarti pemberian. secara bahasa ar-rizqu juga berarti al-hazhzhu(bagian/porsi), yaitu nasib (bagian) seseorang yang dikhususkan untuknya tanpa orang lain. Adapun menurut terminologis/istilah,"rizki adalah Apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak."

Rezeki berbeda dengan kepemilikan. Kepemilikan adalah penguasaan sesuatu dengan tatacara yang diperbolehkan syariah untuk menguasai harta. Jadi, rezeki itu mencakup rezeki yang halal maupun yang haram. Inilah yang menjadi pendapat Ahlus Sunnah sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam al-Qurthubi. Semuanya dikatakan sebagai rezeki. Harta yang diambil penjudi dari lawannya dalam perjudian adalah rezeki. Sebab, rezeki yang halal ataupun haram itu adalah harta yang diberikan oleh Allah ketika seseorang berbuat untuk melangsungkan kondisi yang di dalamnya bisa diperoleh rezeki. Rezeki seorang hamba telah dijamin oleh Allah. Porsi dan takarannya juga telah ditetapkan.Jika hamba itu memintanya dengan jalan yang halal ataupun dengan jalan yang haram, Allah berikan. Namun, Allah akan menanyai tatacara perolehan dan pembelanjaan harta itu.

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya: umurnya dia habiskan untuk apa; ilmunya diamalkan untuk apa; hartanya dari mana ia peroleh dan dibelanjakan untuk apa’;dan tubuhnya digunakan untuk apa (HR at-Tirmidzi).

Jadi, Jangan takut tidak akan mendapatkan rezeki, karena rezekilah yang akan menemukan kita, tapi jangan lupa juga bersabar menantinya agar cara datangnya tidak jadi tuntutan kelak di hari kiamat.

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866)

Coba renungkan perkataan Ibnu ‘Abbas berikut ini. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
ما من مؤمن ولا فاجر إلا وقد كتب الله تعالى له رزقه من الحلال فان صبر حتى يأتيه آتاه الله تعالى وإن جزع فتناول شيئا من الحرام نقصه الله من رزقه الحلال

“Seorang mukmin dan seorang fajir (yang gemar maksiat) sudah ditetapkan rezeki baginya dari yang halal. Jika ia mau bersabar hingga rezeki itu diberi, niscaya Allah akan memberinya. Namun jika ia tidak sabar lantas ia tempuh cara yang haram, niscaya Allah akan mengurangi jatah rezeki halal untuknya.” (Hilyatul Auliya’, 1: 326)

rezeki itu merupakan taqdir kauni, sebagaimana firman-Nya :

أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

”Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya ? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman” [QS. Az-Zumar : 52].

Tingkatan rezeki menurut al-Qur’an :

1.      Tingkat rezeki pertama, yaitu yang dijamin oleh Allah

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا … (6)

“Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yg bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya.”(QS. Hud: 6).

2.      Tingkat rezeki kedua, yaitu yang didapat sesuai dengan apa yang diusahakan

وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (39)

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS. An-Najm: 39).

3.      Tingkat rezeki ketiga, yaitu rezeki lebih bagi orang-orang yang pandai bersyukur

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)

“… Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

4.      Tingkat rezeki keempat, yaitu rezeki istimewa dari arah yang tidak disangka-sangka bagi orang-orang yang bertakwa dan bertawakal pada Allah SWT

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً (3)

“…. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS.Ath-Thalaq:2-3)

Dengan rezeki tingkatan pertama kita masih bisa hidup tapi hidup kita tidak bedanya dengan hidup binatang melata. Dengan tingkatan kedua kita akan lebih banyak mendapatkan rezeki dan memenuhi berbagai kebutuhan dan kesenangan kita namun, kita tidak beda dengan orang kafir, nah, baru dengan rezeki tingkatan ketiga, kita mendapatkan rezeki di luar prediksi perhitungan akal dan usaha kita namun kita sudah bersyukur dan syukur itu tidak lain adalah ibadah, tingkatan yang keempaat adalah kenikmatan tertinggi, karena bersifat kejutan. Dan kejutan biasanya akan didapatkan dari yang sangat menyayangi kita, makanya tidak heran orang yang bertaqwa banyak mendapatkan kejutan karena ia sangat disayangi Tuhan-Nya.

2 komentar:

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...