{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5) }
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang -menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur, ayat 4-5)
Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina. Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
Sesungguhnya Allâh telah mengharamkan atas kamu: darah kamu, harta kamu, dan kehormatan kamu, seperti keharaman harimu ini, di bulanmu ini, di negerimu ini. [HR. Al-Bukhâri, no. 6043]
Termasuk merusak kehormatan Muslim dan Muslimah adalah menuduhnya berbuat zina tanpa bukti.
Dan perbuatan qadzf itu termasuk tujuh perkara yang membinasakan sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allâh; sihir; membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. Al-Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669)
Menurut ulama, ada tiga cara yang bisa dilakukan dalam qazaf:
Pertama tuduhan secara jelas (sharih), yakni menyebutkan tuduhan dengan perkataan yang jelas jika ia menuding seseorang melakukan zina. Ia paham konsekuensi dari tuduhannya tersebut.
Kedua, secara kinayah atau kiasan. Tuduhannya dengan menggunakan perkataan yang tidak langsung bermakna menuding zina. Namun, bisa diartikan jika ucapannya tersebut adalah tudingan seseorang melakukan perbuatan zina.
Ketiga dengan sindiran (ta'ridh). Dengan ucapan yang amat bias yang belum tentu menuding seseorang melakukan zina. Jika niatnya adalah menuding zina, hukum qazaf bisa diberlakukan. Namun, jika niatnya tidak menuding zina, hukumannya cukup takzir.
Soal empat orang saksi dalam tudingan zina juga memiliki syarat yang cukup detail. Saksi tersebut harus memenuhi kriteria, laki-laki, baligh, berakal, adil, beragama Islam. Kemudian keempatnya haruslah melihat perbuatan zina dengan mata kepala sendiri dan dalam waktu dan tempat yang sama. Keterangan saksi haruslah jelas.
Salah satu hikmah di balik keharusan ada empat orang saksi dalam kasus tuduhan zina adalah beratnya dosa menuduh zina. Serta, kewajiban untuk berhusnuzan dan menutupi aib orang lain dalam sistem masyarakat islam.
Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera. Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini.
Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya). Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya:
{ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur: 4
Ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya, yaitu:
Pertama, dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.
Kedua, kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya.
Ketiga, dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun menurut manusia.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman selanjutnya:
{إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا}
kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). (An-Nur: 5), hingga akhir ayat.
Para ulama berselisih pendapat tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah bertobat.
Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama mengenainya.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in, yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf.
Imam Abu Hanifah mengatakan, sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir saja. Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selamanya.
Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang). Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.
Oleh karena itu, sepantasnya bagi orang yang berakal untuk menjaga mulutnya dan mengendalikan lidahnya agar tidak terjerumus ke dalam neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِي النَّارِ
Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, dia tidak menganggapnya berbahaya, dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal selama 70 tahun di dalam neraka. [HR. Tirmidzi, no. 2314; Ibnu Mâjah, no. 3970; Ahmad, 2/355, 533; Ibnu Hibbân, no. 5706. Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan shahih] Di dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang dia tidak jelas apa yang ada di dalam kalimat itu, namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat. [HR. Muslim, no.2988] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
Barangsiapa beriman kepada Allâh dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam. [HR. Al-Bukhâri, no. 6475; Muslim, no. 47; dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar