Seiring datangnya Bulan Ramadhan, di beberapa tempat di Indonesia sering dilakukan tradisi menyambut ramadhan, seperti di suku Sunda ada beberapa tradisi yang dilakukan :
Keramasan
Keramasan atau Kuramasan dalam dialek Sunda, merupakan mandi besar atau mandi taubat biasa masyarakat menyebut. Berasal dari kata keramas, artinya mandi dengan disertai membasuh kepala secara sempurna.
Hal ini menunjukan sebuah simbol pembersihan dan penyucian diri lahir dan batin, sebagai bagian dalam penyambutan bulan suci Ramadan. "Tak lupa saling memaafkan, hilangkan rasa dengki, dan dendam kepada semua," kata dia.
Dalam praktiknya, biasanya dilakukan sehari sebelum pelaksanaan puasa Ramadan berlangsung. Setelah melakukan mandi besar atau keramasan, setiap keluarga kemudian melangsungkan aksi saling memaafkan dari segala salah dan dosa. "Istilahnya pembersihan diri menyambut bulan suci Ramadan," kata dia.
Tidak hanya di dalam keluarga, biasanya acara keramasan biasa dilakukan di lingkungan masyarakat sekitar, dengan cara saling memaafkan antaranggota masyarakat di lingkungan sekitar.
Munggahan
Setelah melakukan doa bersama dalam tradisi nadran, kegiatan yang dilakukan pada saat munggahan adalah kegiatan makan bersama atau dikenal dengan istilah ‘botram’.
Munggahan biasanya dilakukan di tempat terbuka seperti ladang, sawah, pinggir kolam atau balong, kebun, bahkan tempat umum seperti alun-alun atau daerah pegunungan yang mampu untuk menampung banyak orang sekaligus untuk berkumpul mencicipi masakan yang beragam dan menjadi ciri khas daerah tersebut.
Masakan tersebut berasal dari hidangan yang dibawa oleh anggota keluarga. Dengan begitu para anggota keluarga bisa saling mencicipi hidangan satu sama lain dan itu adalah salah satu kiat supaya terhindar dari perselisihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mempererat tali silaturahmi dan sebagai ajang bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan suci Ramadan dengan tujuan membersihkan diri dari segala dosa agar dapat melakukan ibadah dengan lebih baik.
Bagi masyarakat Sunda, acara munggahan biasa digunakan sebagai penyambutan hari pertama bulan suci Ramadan. Tradisi itu diharapkan mampu meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT selama bulan suci Ramadan. "Bukan hanya makan-makan saja, tetapi yang pasti adanya peningkatan kualitas ibadahnya saat kita masuk Ramadan," kata dia.
Ada dua macam istilah munggahan. Pertama munggah adat, yakni adanya peningkatan dalam hal adat atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat sekitar. "Contoh, biasanya kalau makan cuma dengan telur, di bulan Ramadan meningkat menjadi makan dengan daging," dia menerangkan.
Kedua munggah darajat, yakni adanya peningkatan derajat ketakwaan seseorang selama melaksanaan bulan suci Ramadan. "Yang awalnya jarang beribadah dengan datangnya Ramadan, maka menjadi lebih rajin," kata dia.
Nadran/Nyekar
Untuk menyambut bulan suci ini banyak masyarakat yang melakukan tradisi di masing-masing daerahnya yang diyakini dapat membawa keberuntungan atau keberkahan lebih seperti yang dilakukan oleh masyarakat Sunda daerah Bandung dan sekitarnya yaitu tradisi ‘nadran’ yang dilakukan sebelum dan sesudah memasuki bulan Ramadan.
Biasanya nadran dilakukan oleh umat Islam suku Sunda pada saat munggahan yaitu untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban (satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan) dan di akhir bulan Ramadan atau saat hari lebaran Idul Fitri. Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya orang-orang yang tinggal diperantauan menyempatkan waktu untuk pulang kampung agar bisa berkumpul bersama keluarga dan kerabat.
Tradisi nadran dimaksudkan untuk mengirim doa kepada orang tua atau keluarga yang telah tiada. Di daerah Cirebon, nadran adalah upacara adat para nelayan di pesisir pantai utara Jawa yang bertujuan untuk mensyukuri hasil tangkapan ikan, mengaharap peningkatan hasil pada tahun mendatang dan berdoa agar tidak mendapat aral melintang dalam mencari nafkah di laut. Sedangkan di daerah Bandung, nadran dilakukan dengan cara berziarah kubur atau dikenal dengan istilah ‘nyekar’ yaitu mengirim doa dengan mendatangi makam secara langsung. Selain untuk mengirim doa, tradisi ini juga dimanfaatkan untuk merawat dan membersihkan makam sambil menaburkan bunga serta wewangian di sekitar makam.
tabur bunga ini dilakukan masyarakat dengan cara menaburkan berbagai macam jenis bunga di permukaan makam sang ahli kubur. Jika dilihat dari sudut pandang sejarah masuknya Islam, tradisi ini mulai muncul ketika masa pra Islam dimana pada saat itu masyarakat Indonesia yang lebih tepatnya di daerah Jawa menganut kepercayaan animisme yang artinya percaya terhadap adanya roh-roh halus pada benda, binatang, tumbuhan maupun manusia.
Mereka percaya bahwa dalam binatang atau tumbuhan atau manusia tersebut memilki kekuatan ghaib yang baik maupun buruk. Maka dari itu untk menghindari adanya gangguan dari roh-roh jahat masyarakat memberikan sesaji dalam bentuk makanan berupa bunga dan makanan kecil.
Jadi, seiring perkembangnya waktu setelah masuknya Islam ke Jawa terjadilah akulturasi antara tradisi masa lalu dan ajaran-ajaran Islam yang disebarkan oleh para wali Allah.
Yang dilakukan para wali ini adalah tidak menghilangkan jejak-jejak kebudayaan asli masyarakat dan lebih memilih memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam ritual-ritual tersebut. Salah satu bentuk akulturasinya seperti nyekar (menabur bunga) dengan membaca doa. (Muna, 2016)
Lalu bagaimana sudut pandang Islam menanggapi tradisi nyekar (menabur bunga) ini? Ada beberapa pendapat yang menerima dan ada pula yang menolak perbuatan ini. Pendapat pertama menyampaikan bahwa nyekar (menabur bunga) di permukaan makam dapat meringankan siksa ahli kubur.
pengertian ziarah yaitu mengunjungi suatu tempat yang dipandang masyarakat mengandung unsur-unsur keramat, sakral, suci seperti hal nya kuburan.
Pada masa pemualaan Islam dahulu Nabi Muhamad saw sebagai panutan umat muslim menyampaikan bahwa umat muslim dilarang untuk melakukan ziarah kubur karena biasanya jenazah-jenazah yang diziarahi adalah jenazah orang kafir dan penyembah berhala, serta ditakutkan adanya kemusyrikan yang dilakukan umat muslim dengan mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan ajaran Islam lang beberapa waktu karena kuatnya iman para pengikut, maka larangan tersebut dicabut. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi dari Buraidah bin Al-Hushoib r.a dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
"Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka sekarang ziarahlah kuburan". (H.R. Muslim).
Sesuai dengan riwayat Nabi Muhamad saw ketika beliau melewati 2 makam sahabat yang sedang disiksa akibat berbuat dosa besar. Kemudian Nabi saw mengambil sebatang pelepah kurma yang masih basah dan ditancapkan pada kedua makam tersebut dan berharap semoga keduanya diringankan sikasanya selama pelepah kurma ini masih basah karena pelepah kurma yang basah ini akan bertasbih kepada Allah swt.
Penjelasan ini sesuai dengan hadist sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari maupun hadist lainnya. Atas dasar inilah kemudian masyarakat melakukan tradisi tabur bunga yang bertujuan untuk meringankan siksa kubur yang diterima mayat tersebut. Hadist mengenai hal ini yang paling populer adalah hadist dari jalur Ibnu Abbas yaitu:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu beliau bersabda:
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ،أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ
“Sungguh kedua penghuni kubur itu sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah (mengadu domba).”
Kemudian beliau mengambil pelepah kurma basah. Beliau membelahnya menjadi dua, lalu beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya, “Wahai, Rasulullah, mengapa Anda melakukan ini?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
“Semoga keduanya diringankan siksaannya, selama kedua pelepah ini belum kering.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 216 dan Muslim, no. 292)
Sesuai pemahaman ini kemudian hal ini diqiyaskan menjadi bunga karena kondisi geografis yang berbeda dengan lingkungan Nabi saw yang mudah ditemukan tumbuhan kurma. Selama diqiyaskan menjadi bunga yang segar banyak masyarakat yang melakukan tradisi tabur bunga ini dengan tujuan agar meringankan siksa kubur. (Muna, 2016)
Sebagian lain juga memiliki pandangan yang berlawanan bahwa ringannya siksa kubur bukan karena pelepah kurma yang basah, melainkan karena syafa'at Nabi yang diberikan kepada seseorang yang disiksa tersebut. Hal ini diperkuat dengan melalui beberapa hadist salah satunya adalah hadist Jabir r.a. dalam shahih Muslim (8/231-236). Dalam hadist ini Rasulullah saw mengatakan:
"Aku melewati dua kubur yang mayitnya sedang diazab. Aku ingin denga safa'atku adzab itu ditolak dari keduanya, selama pelepah ini masih basah".
Hadist ini menerangkan bahwa keringanan azab itu disebabkan oleh syafa'at dan do'a Nabi saw, bukan karena unsur basahnya pelepah kurma.
Jika memang karena hal ini, tentunya Rasulullah memebiarkannya tanpa dibelah dan beliau akan meletakkanya disetiap kubur pelepah kurma tersebut. Tetapi beliau tidak melakukan hal tersebut. Ini menunjukan bahwa basahnya pelepah kurma bukan penyebabnya melainkan basahnya pelepah kurma hanyalah masa diringankannya azab yang diinginkan oleh Allah swt sebagai restu dari syafa'at Nabi saw sebagaimana dalam hadist Jabir. (Muna, 2016)
Jika dilakukan penelusuran menganai hadist kisah Jabir dan ibnu Abbas akan mendapatkan alasan yang sama dalam keduanya. Tidak akan bisa diterima baik secara syar'i maupun akal bahwa basahnya pelepah kurma yang menjadi sebab diringankannya azab terhadap ahli kubur.
Kalau saja begitu, maka setiap makam orang pasti akan dikuburkan mirip dengan taman seperti yang dilakukan orang-orang kafir. (Muna, 2016) Alasan lain bahwa perbuatan Nabi saw ini bersifat kasuistik dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru.
Hal ini karena Beliau tidak melakukan ada makam-makam lain kecuali Buraidah yang berwasiat agar diletakkan pelepah kurma didalam kuburnya. Perbuatan ini dinilai hanya didasari oleh ijtihad beliau semata. Jadi tradisi tabur bunga atau nyekar ini tidak ada dasar hukum baik dari Al-Quran maupun Hadist yang menganjurkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar