PENGUNJUNG

Jumat, 30 April 2021

Membentuk Kesabaran melalui Fungsi Aqal dalam Ibadah Shaum

Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang. Di antaranya disebutkan pada QS.Al-Kahfi [18]: 28

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ

 “Dan tahanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia.”

Kebalikan sabar adalah jaza’u (sedih dan keluh kesah), sebagaimana di dalam firman Allah QS. Ibrahim [14]: 21,

سَوَاۤءٌ عَلَيْنَآ اَجَزِعْنَآ اَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَّحِيْصٍ

 “...sama saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.”

Puasa secara bahasa di dalam kamus al-Munawir mengandung pengertian al-Amsak (menahan diri). Sedangkan menurut syar’i adalah, “Menahan diri dari makan, minum, jima’ dan lain-lain yang kita diperintahkan untuk menahan diri daripadanya sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, dan dengan syarat-syarat yang bersifat khusus, menurut cara yang telah disyari’atkan. 

إِمْسَاكٌ مَخْصُوصٌ فِي زَمَنٍ مَخْصُوصٍ عَنْ شَيْئٍ مَخْصُوْصٍ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ

Menahan diri secara khusus, pada waktu yang khusus, dari sesuatu yang khusus, dan dengan syarat-syarat yang khusus. Fathul Bari V:3

Aqal secara bahasa artinya adalah menahan, seperti ikatan tali unta maka tali tersebut berfungsi menahan unta agar tidak lepas. Kemudian aqal difahami sebagai kekuatan dan kemampuan untuk menerima ilmu, dimana ilmu tersebut menjadi bermanfaat [Mu’jam Mufradat Fi Alfadzil Qur’an : 254]

Sabar, Suatu Kekhasan Manusia

Sabar adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor kesempurnaannya. Binatang telah dikuasai penuh oleh syahwat. Karena itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah syahwat. Juga tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak tuntutannya, sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar. Sebaliknya, malaikat dibersihkan dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada kesucian ilahi dan mendekat kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan “kekuatan” yang berfungsi melawan setiap kecenderungan kepada arah yang tidak sesuai dengan kesucian tersebut.

Tetapi manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang berakal, mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah “kekuatan” yang diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya. Sehingga terjadilah “pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk. Yang baik dapat juga disebut dorongan keagamaan dan yang buruk disebut dorongan syahwat.

Seseorang yang penyabar pada prakteknya tergambar dalam sikapnya yang rela menunda kesenangan sesaat, demi kebahagiaan abadi dan jangka panjang di akhirat sebagai kesenangan yang jauh lebih tinggi yang disediakan Allah kepada orang-orang yang sabar.

 Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an :

وَلَاَجْرُ الْاٰخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ

“Dan sesungguhnya balasan di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa” (QS.12/Yusuf:57).

Seseorang yang memiliki kesabaran yang tinggi, memiliki ketangguhan menghadapi berbagai cobaan dan tantangan hidup yang menghadangnya. Sebab kesabaran itu merupakan kekuatan dahsyat yang amat besar bagi seseorang yang ingin meraih sukses dalam kehidupan. Hampir seluruh aspek kehidupan membutuhkan kesabaran, dan sikap sabar merupakan salah satu “akhlak Qur’ani” yang paling banyak dibicarakan dalam al-Qur’an. Menurut Imam Al-Ghazali ada 70 kali Al-Qur’an menyebutkannya, menurut Ibnul Qayyim 90 kali, bahkan menurut al-Nadhir 100 kali sikap sabar ini disebut-sebut dalam Al-qur’an. Itu mengindikasikan bahwa sabar merupakan amalan paling utama yang menentukan keberhasilan hidup dan aktivitas manusia.


Islam tidak mengenal batas dalam kesabaran, sebagaimana sering dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk melegalkan perbuatannya diluar batas kesabaran. Dalam Islam ditekankan bahwa setiap mukmin harus tetap dalam kesabaran agar dapat meningkatkan kualitas mentalnya.

Adapun bentuk kesabaran yang diajarkan dalam Islam adalah kesabaran progresif dan dinamis, bukan kesabaran yang represif statis yang dapat memandulkan kreatifitas dan aktifitas seseorang itu. Kesabaran yang dinamis itu ditunjukkan dengan sikap pantang menyerah, tangguh dan ulet dalam menghadapi berbagai tantangan dan cobaan hidup. Kesabaran yang dinamis itu harus dimotifasi oleh semangat kerelaan untuk menunda kesenangan sesaat, demi kebahagiaan yang abadi di akhirat. Inilah kesabaran yang nantinya akan membuat seseorang menjadi lebih dekat dengan Tuhannya, sebagaimana al-Qur’an menyebutkan: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bersabar”. 

Macam-macam Sabar Dalam al-Qur’an Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-Ghazali berkata, “Bahwa sabar itu ada dua; pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam;

  1.   Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah
  2.  Jika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.
  3.  Jika sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu,
  4.  kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr)
  5.  Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut)
  6. Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah         tadzammur (emosional)
  7. Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia)
  8. Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah)

Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar, ketika pada suatu hari Rasulullah saw ditanya tentang iman, beliau menjawab: Iman adalah sabar. Sebab kesabaran merupakan pelaksanaan keimanan yang paling banyak dan paling penting.

وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

“Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)

Dari itu kita dapat memahami mengapa al-Qur’an menjadikan masalah sabar sebagai kebahagiaan di akhirat, tiket masuk ke surga dan sarana untuk mendapatkan sambutan para malaikat.

وَجَزَىٰهُم بِمَا صَبَرُوا۟ جَنَّةً وَحَرِيرًا.

“Dan Dia memberi balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan (pakaian) sutera”. (Al-Insan [72]: 12)

سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِۗ

 “...Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar-Ra’d [13]:24)

 

Rabu, 14 April 2021

Li'an: Sengketa Tuduhan Zina Dalam Rumah Tangga


Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan(saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong. (Pengertian ini dikutip dari kitab al-Mugashshal fi Ahkamil Mar-ah Wal Baitil Muslim Fisy Syari’atil Islamiyah VIII: 320-321, terbitan Muassasah Risalah Beirut oleh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan).

{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9)

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).

HUKUM-HUKUM YANG MENIMPA ORANG YANG MELAKUKAN LI’AN

1. Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:

َعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( سَأَلَ فُلَانٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَرَأَيْتَ أَنْ لَوْ وَجَدَ أَحَدُنَا اِمْرَأَتَهُ عَلَى فَاحِشَةٍ, كَيْفَ يَصْنَعُ? إِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِأَمْرٍ عَظِيمٍ, وَإِنْ سَكَتَ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ! فَلَمْ يُجِبْهُ, فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَتَاهُ, فَقَالَ: إِنَّ اَلَّذِي سَأَلْتُكَ عَنْهُ قَدِ ابْتُلِيتُ بِهِ, فَأَنْزَلَ اَللَّهُ اَلْآيَاتِ فِي سُورَةِ اَلنُّورِ, فَتَلَاهُنَّ عَلَيْهِ وَوَعَظَهُ وَذَكَّرَهُ، وَأَخْبَرَهُ أَنَّ عَذَابَ اَلدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ اَلْآخِرَةِ. قَالَ: لَا, وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا كَذَبْتُ عَلَيْهَا, ثُمَّ دَعَاهَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَوَعَظَهَا كَذَلِكَ, قَالَتْ: لَا, وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنَّهُ لَكَاذِبٌ, فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ, فَشَهِدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ, ثُمَّ ثَنَّى بِالْمَرْأَةِ, ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا )

Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Si fulan bertanya: Dia berkata, wahai Rasulullah, bagaimana menurut pendapat baginda jika ada salah seorang di antara kami mendapati istri dalam suatu kejahatan, apa yang harus diperbuat? Jika ia menceritakan berarti ia telah menceritakan sesuatu yang besar dan jika ia diam berarti ia telah mendiamkan sesuatu yang besar. Namun beliau tidak menjawab. Setelah itu orang tersebut menghadap kembali dan berkata: Sesungguhnya yang telah aku tanyakan pada baginda dahulu telah menimpaku. Lalu Allah menurunkan ayat-ayat dalam surat an-nuur (ayat 6-9). beliau membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya, memberinya nasehat, mengingatkannya dan memberitahukan kepadanya bahwa adzab dunia itu lebih ringan daripada adzab akhirat. Orang itu berkata: Tidak, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak berbohong. Kemudian beliau memanggil istrinya dan menasehatinya juga. Istri itu berkata: Tidak, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, dia (suaminya) itu betul-betul pembohong. Maka beliau mulai memerintahkan laki-laki itu bersumpah empat kali dengan nama Allah, lalu menyuruh istrinya (bersumpah seperti suaminya). Kemudian beliau menceraikan keduanya.

2. Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.

Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410).

3. Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ أَيْضًا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لِلْمُتَلَاعِنَيْنِ: حِسَابُكُمَا عَلَى اَللَّهِ تَعَالَى, أَحَدُكُمَا كَاذِبٌ, لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَيْهَا قَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! مَالِي? قَالَ: إِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا, فَهُوَ بِمَا اِسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا, وَإِنْ كُنْتَ كَذَبْتَ عَلَيْهَا, فَذَاكَ أَبْعَدُ لَكَ مِنْهَا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada suami istri yang saling menuduh: "Perhitungan kamu berdua terserah kepada Allah, salah seorang di antara kamu berdua ada yang berbohong, engkau (suami) tidak berhak lagi terhadap (istri)." Sang suami berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan hartaku (mas kawin yang telah ku bayar)?.Beliau bersabda: "Jika tuduhanmu benar terhadapnya, maka ia telah menghalalkan kehormatannya untukmu; dan jika engkau berdusta, maka mas kawin mu itu menjadi semakin jauh darimu." MuttafaqAlaihi

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا ( أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: إِنَّ اِمْرَأَتِي لَا تَرُدُّ يَدَ لَامِسٍ قَالَ: غَرِّبْهَا قَالَ: أَخَافُ أَنْ تَتْبَعَهَا نَفْسِي قَالَ: فَاسْتَمْتِعْ بِهَا )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالْبَزَّارُ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ وَأَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ: عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظٍ ( قَالَ: طَلِّقْهَا قَالَ: لَا أَصْبِرُ عَنْهَا قَالَ: فَأَمْسِكْهَا ) 

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Sesungguhnya istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya. Beliau bersabda: "Asingkanlah dia." Ia berkata: Aku takut perasaanku mengikutinya. Beliau bersabda: "Bersenang-senanglah dengannya." Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan al-Bazzar. Para perawinya dapat dipercaya. Nasa'i meriwayatkan dari jalan lain dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu dengan lafadz: Beliau bersabda: "Ceraikanlah dia." Ia berkata: Aku tidak tahan (berpisah) dengannya. Beliau bersabda: "Tahanlah dia." 

3. Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).

Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 460 no: 5315, Muslim II: 1132 no: 1494, ‘Aunul Ma’bud VI: 348 no: 2242, Tirmidzi II: 338 no: 1218, Nasa’i VI: 178 dan Ibnu Majah I: 669 no: 2069).

َوَعَنِ أَنَسٍ, أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( أَبْصِرُوهَا, فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَبْيَضَ سَبِطًا فَهُوَ لِزَوْجِهَا, وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ جَعْدًا, فَهُوَ اَلَّذِي رَمَاهَا بِهِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perhatikanlah dia. Jika ia melahirkan anak berkulit putih dan berambut lurus, anak itu dari suaminya. Jika ia melahirkan anak bercelak mata dan berambut keriting, anak itu dari orang yang dituduh suaminya."MuttafaqAlaihi

4. Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.

Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 339 no: 2235).

Selasa, 13 April 2021

HIPOKRIT BIN MUNAFIK


Rasulullah pernah terkecoh oleh kebusukan hati orang munafik. Abdullah bin Ubay bin Salul[1], yang Allah swt peringatkan kepada Rasulullah saw tentang bahaya mereka melalui Qur’an surat Al-Munafiquun ayat : 1

            “Apabila orang-orang munafik itu datang kepadamu, mereka akan berkata : “Kami mengakui bahwasannya engkau adalah pesuruh Allah swt. padahal Allah swt. mengetahui bahwasannya engkau pesuruh-Nya; dan Allah swt. menyaksikan bahwasannya munafiqin itu orang-orang yang berdusta.”

 

Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa Zaid bin Arqam mendenagar Abdullah bin Ubay , berkata kepada teman-temannya : “Kalian jangan memberi nafkah kepada orang-orang yang dekat dengan Rasulullah saw sebelum mereka meninggalkan agamanya, apabila kita kelak pulang ke Madinah, pasti orang yang mulia akan mengusir orang yang hina.” Dari perkataan itu, kejadian ini di terangkan  kepada pamannya dan pamannya menyatakan kepada Rasulullah saw.[2]

 

Rasulullah saw memanggil Zaid bin Arqam dan menerangkan kejadiannya , kemudian Rasulullah memanggil Abdullah bin Ubay besrta kawan-kawannya. Akan tetapi mereka bersumpah di muka Rasulullah saw mereka tidak berkata demikian, Rasulullah saw tidak mempercayai Zaid bin Arqam, bahkan beliau lebih percaya kepada Abdullah bin Ubay, Zaid merasa sedih, kerena belum pernah mendapat musibah seperti itu. Diapun menetap di rumahnya dan tidak mau keluar. Temannya berkata : “Aku tidak bermaksud supaya Rasulullah saw membenci dan tidak mempercayaimu,” maka Allah swt. menurunkan ayat ini.[3] Yang menegaskan bahawa kaum munafiqin selalu berdusta dan membenarkan ucapan Zaid bin Arqam, kemudian Rasulullah saw mengutus seorang kepada Zaid bin Arqam untuk membacakan ayat itu dengan menegaskan bahwa sesungguhnya Allah swt. membenarkan ucapannya.[4]

 

Secara bahasa kata munafik berasal dari kata naafaqa-nifaaqan, yang mengandung arti tipu daya, mengadakan, mengambil bagian dalam, membicarakan, yaitu membicarakan sesuatu yang dalam pandangan keagamaan, pengakuannya dari satu orang berbeda-beda dengan yang lainnya.[5] Oleh Ar-Raghib nifaq diartikan dengan masuk ke dalam syara’ (Agama) dari satu pintu dan keluar darinya melalui pintu lain.[6] Dan juga diartikan memperlihatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan sebenarnya, hanya sebatas kata tanpa fakta, mengatakan ya padahal tidak. Dan juga nifaq dapat diartikan salah satu kejahatan lisan karena di ketahuinya melalui kata-kata yang tidak sesuai dengan kenyataan dan lebih luas pengertiannya dari pada dusta, orangnya di sebut munafik.

Kata munafiqun juga terambil dari kata nafiqa al-yarbu’ yaitu lubang yang di buat oleh sejenis tikus yang di gunakan untuk mengelabui siapa saja yang bermaksud menangkapnya, menanti di lubang tempat dia masuk dengan harapan dia pasti akan keluar melalui pintu itu, tetapi ternyata tidak, karena sang tikus telah menempuhnjalan lain melalui salah satu lubang yang dibuatnya sebalum ini. Orang-orang munafik demikian , itulah halnya mereka mengemukakan banyak dalih dan cara untuk menghindar dari kecaman dan sanksi.[7]

Adapun dalam pengertian syara’ munafik adalah orang yang lahirnya menyatakan beriman padahal hatinya kufur.[8] Sedangkan menurut Al-Tabataba’I, nifaq dalam istilah Al-Qur’an adalah menampakkan iman dan mennyembunyikan kekafiran. Orang-orang munafik pada dasarnya adalah mereka yang ingkar kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin.[9]

Dalam hal Nifaq Ibnul Qoyyim membagi Nifaq menjadi dua macam, yaitu Nifaq Akbar (besar) dan Nifaq Asghar (kecil).[10]

a. Nifaq Akbar (besar)

Nifaq Akbar ialah menyatakan kepada kaum muslimin akan keimanannya kepada Allah swt. malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, tetapi hatinya sama sekali lepas dari semua itu, bahkan mendustakannya, tidak mengimani bahwa Allah swt. telah berfirman dengan firman yang telah di turunkan-Nya kepada manusia yang dijadikan-Nya sebagai rasul bagi seluruh umat manusia, yang memberi petunjuk kepada mereka dengan izn-Nya, dan mengancam mereka dengan berbagai siksaan-Nya. Dengan demikian Nifaq Akbar memastikan pelakunya kekal di dalam neraka dan tempatkan di dasar neraka.[11] 

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا(145)

 “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka."[12]

b. Nifak Asghar

Nifaq Asghar yaitu Nifaq ‘amali. Nifaq ini hanya hanya menyangkut perbuatan, yaitu nifaq yang memiliki akhlak orang-orang munafik yang memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir, berkasih sayang kepada mereka, mendukung perjuangan mereka, menyalahi janji, membiasakan mendusta, atau berkhianat dan curang.[13]

Nifak Asghar (kecil) ini terbagi pada tiga bagian besar, sebagaimana hadits dari Abi Hurairah :

 

Artinya : “Dari Abi Hurairah r.a. ia telah berkata telah bersabda Rasulullah saw : Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga ; Apabila memberitakan sesuatu ia berdusta, apabila ia berjanji ia menyalahinya dan apabila ia (di beri amanat) ia berkhianat”.[14]

 

Ketiga tanda kejahatan tersebut, tidak lepas kaitannya dengan lisan yang keluar dari mulut, walaupun sekali-kali kita tidak boleh memberinya gelar munafik, sebab Nabi saw sendiri pernah mengatakan : “Siapa saja orang yang yang berkata terhadap saudaranya; hai kafir (termasuk juga di dalamnya hai munafik) maka sungguh telah kembali dengannya salah seorang dari keduanya”.[15]

 

Ciri-ciri Orang Munafik

 

Di antara cirri-ciri orang munafik yang dijelaskan dalam Al-Qur'an adalah:

  1. Bermuka Dua

Bermuka dua adalah ciri seseorang yang membentuk penampilan lahiriyah dan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya, misalnya, seseorang mungkian memberikan kesan persahabatan dan kasih saying serta bersikaf tulus dan simpatik, padahal dalam hatinya dia menyembunyikan perasaan yang sebaliknya.Orang itu menampakkan sikaf simpatik dan persahabatan di hadapan orang lain, tetapi berbeda jika tidak ada orang yang dihadapannya.

Firman Allah SWT:

واذالقواالذين امنواقالواأمناواذاخلوااليشياطينهم قالواانامعكم انمانحن مستهزئون

"Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: 'kami telah beriman.' Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan: 'sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok."[16]

  1. Berlidah Dua

Berlidah dua adalah sifat orang yang memuju dan menyanjung orang lain ketika ia berhadapan dengannya, tetapi mencela dan menyumpatnya bila ia tidak ada.

  1. Berdusta

Tanaman nifaq tumbuh di atas dua perairan, perairan dusta dan perairan riya. Sedangkan sumbernya dari dua mata air, yaitu mata air kelemahan pandangan mata (Bashirah) dan kelemahan kemauan ('Azimah). Apabila keempat rukun ini sudah terpenuhi, maka tumbuhan dan bangunan nifaq akan berdiri tegak, tumbuh subur dan berkembang.

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa perangai orang munafik selalu berkhianat, tidak dapat dipercaya atas segala apa pun yang diamanatkan kepadanya, berdusta bila berbicara dan tidak dapat dipercaya setiap perkataan yang keluar dari penuturannya.[17]

  1. Sumpah Palsu

Berdusta dan bersumpah palsu merupakan dua cirri kaum munafik yang memiliki kaitan erat antara satu sama lain Adanya keterkaitan ini dikarenakan orang-orang munafik tidak segan-segan bersumpah palsu untuk menguatkan kebohongan-kebohongan yang mereka lakukan terhadap Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin.

Murthada Muthahari menyimpulkan sifat dan cirri-ciri orang-orang munafik sebagai berikut:[18]

  1. Mereka suka berpura-pura
  2. Mereka adalah para penipu
  3. Mereka adalah kaum bermuka dua
  4. Mereka menderita penyakit mental dan spiritual yang ingin mereka sembuhkan, tetapi justru bertambah parah oleh sikap-sikap mereka sendiri.

 

D.Ancaman Terhadap Orang-orang Munafik

Al-Qur'an banyak menjelaskan tentang ancaman serta balasan atas perbuatan orang-orang munafik. Sebagaimana firman-Nya dalam surat At-Taubah ayat 68:

وعدالله المناقات والكفارنلرجهنم خلدين فيهاهي حسبهم ولعنهم عذاب مقيم

 "Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan nerakaJahannam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah mereka itu bagi mereka; dan Allah mela'nati mereka; dan bagi mereka azab yang kekal."

Pada ayat tersebut, Allh SWT mengancam orang-orang munafik yang menyembunyikan kekafiran mereka, baik lelaki maupun perempuan, dan orang-orang kafir yang secara terang-terangan mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Terhadap mereka Allah menjanjikan siksa neraka jahannam. Mereka kekal didalamnya dan sekali-kali tadak akan pernah dapat meninggalkannya. Cukuplah neraka bagi mereka, dan disamping siksa itu Allah juga mengutuk mereka sehinnga jauh dari rahmat Allah SWT, dan bagi mereka azab yang berkesinambungan.

Menurut Al-Baidhawi bahwasannya orang-orang munafik ditempatkan di dasar neraka jahannam, hal tersebut disebabkan kemunafikan merupakan kufur yang paling buruk karena terhimpun di dalamnya segala bentuk kekafiran, mereka menghina islam dan membuat tipu daya terhadap kaum muslimin.[19] 

Demikianlah balasan orang munapik baik di dunia maupun di akhirat. Hal tersebut adalah akibat dari segala perbuatan mereka yang mendatangkan kerugian begi tatanan kehidupan manusia di bumi ini.

 

 



1 Yaitu seorang munafik pada zaman Rasulullah saw.

2 K.H. Qomarudin shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, 1990 : hl. 525

3 Q.S. Al-Munafikun (63) : 1

4 K.H. Qomarudin Shaleh, dkk, op.cit., hl. 256

1Abdullah Abbas, Qamus Al-Fadzil Qur’an, (Beirut : Daarul Fikr, tt), hl. 254

2 Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradati al-Fadzil Qur’an, (Beirut : Daarul Fikr, tt)

3 prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), vol. 5, hl. 660-661

4 Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an,(Jakarta : Gema Insani Press, 1993), hl.118

5Dr. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an,(Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hl. 124

7 Ibnul Qayyim Al-Jauziah, MadarijusSalikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Rohani, (Jakarta : Rabbani Press, 1998), hl. 492 

8Ibid.,

9 Q.S. An-Nisa (4) : 145

10 Said Hawwa, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, (Jakarta : Rabbani Press, 1998), hl. 182

11 H.R. Bukhari dan Muslim

12 H.R. Ahmad

[16] Q.S. Al-Baqarah (2): 14

[17] Ibid., h. 156

[18] Murthada Muthahari, Tafsir Surat-suratPilihan , (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h. 86

 

[19] Nashiruddin Abi Said Abdullah bin Umar bin Muhammad As-Syihrazi al-Baidhawi, Anwara At-Tanzil wa asrorut Ta'wil, (Beirut: Daar Shord, tt), Juz I, h. 125

Nyekar dan Ziarah Kubur


Seiring datangnya Bulan Ramadhan, di beberapa tempat di Indonesia sering dilakukan tradisi menyambut ramadhan, seperti di suku Sunda ada beberapa tradisi yang dilakukan : 

Keramasan

Keramasan atau Kuramasan dalam dialek Sunda, merupakan mandi besar atau mandi taubat biasa masyarakat menyebut. Berasal dari kata keramas, artinya mandi dengan disertai membasuh kepala secara sempurna.

Hal ini menunjukan sebuah simbol pembersihan dan penyucian diri lahir dan batin, sebagai bagian dalam penyambutan bulan suci Ramadan. "Tak lupa saling memaafkan, hilangkan rasa dengki, dan dendam kepada semua," kata dia.  

Dalam praktiknya, biasanya dilakukan sehari sebelum pelaksanaan puasa Ramadan berlangsung. Setelah melakukan mandi besar atau keramasan, setiap keluarga kemudian melangsungkan aksi saling memaafkan dari segala salah dan dosa. "Istilahnya pembersihan diri menyambut bulan suci Ramadan," kata dia.

Tidak hanya di dalam keluarga, biasanya acara keramasan biasa dilakukan di lingkungan masyarakat sekitar, dengan cara saling memaafkan antaranggota masyarakat di lingkungan sekitar.

Munggahan

Setelah melakukan doa bersama dalam tradisi nadran, kegiatan yang dilakukan pada saat munggahan adalah kegiatan makan bersama atau dikenal dengan istilah ‘botram’.

Munggahan biasanya dilakukan di tempat terbuka seperti ladang, sawah, pinggir kolam atau balong, kebun, bahkan tempat umum seperti alun-alun atau daerah pegunungan yang mampu untuk menampung banyak orang sekaligus untuk berkumpul mencicipi masakan yang beragam dan menjadi ciri khas daerah tersebut.

Masakan tersebut berasal dari hidangan yang dibawa oleh anggota keluarga. Dengan begitu para anggota keluarga bisa saling mencicipi hidangan satu sama lain dan itu adalah salah satu kiat supaya terhindar dari perselisihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mempererat tali silaturahmi dan sebagai ajang bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan suci Ramadan dengan tujuan membersihkan diri dari segala dosa agar dapat melakukan ibadah dengan lebih baik.

Bagi masyarakat Sunda, acara munggahan biasa digunakan sebagai penyambutan hari pertama bulan suci Ramadan. Tradisi itu diharapkan mampu meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT selama bulan suci Ramadan. "Bukan hanya makan-makan saja, tetapi yang pasti adanya peningkatan kualitas ibadahnya saat kita masuk Ramadan," kata dia.

Ada dua macam istilah munggahan. Pertama munggah adat, yakni adanya peningkatan dalam hal adat atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat sekitar. "Contoh, biasanya kalau makan cuma dengan telur, di bulan Ramadan meningkat menjadi makan dengan daging," dia menerangkan.

Kedua munggah darajat, yakni adanya peningkatan derajat ketakwaan seseorang selama melaksanaan bulan suci Ramadan. "Yang awalnya jarang beribadah dengan datangnya Ramadan, maka menjadi lebih rajin," kata dia.

Nadran/Nyekar

Untuk menyambut bulan suci ini banyak masyarakat yang melakukan tradisi di masing-masing daerahnya yang diyakini dapat membawa keberuntungan atau keberkahan lebih seperti yang dilakukan oleh masyarakat Sunda daerah Bandung dan sekitarnya yaitu tradisi ‘nadran’ yang dilakukan sebelum dan sesudah memasuki bulan Ramadan. 

Biasanya nadran dilakukan oleh umat Islam suku Sunda pada saat munggahan yaitu untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban (satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan) dan di akhir bulan Ramadan atau saat hari lebaran Idul Fitri. Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya orang-orang yang tinggal diperantauan menyempatkan waktu untuk pulang kampung agar bisa berkumpul bersama keluarga dan kerabat.

Tradisi nadran dimaksudkan untuk mengirim doa kepada orang tua atau keluarga yang telah tiada. Di daerah Cirebon, nadran adalah upacara adat para nelayan di pesisir pantai utara Jawa yang bertujuan untuk mensyukuri hasil tangkapan ikan, mengaharap peningkatan hasil pada tahun mendatang dan berdoa agar tidak mendapat aral melintang dalam mencari nafkah di laut. Sedangkan di daerah Bandung, nadran dilakukan dengan cara berziarah kubur atau dikenal dengan istilah ‘nyekar’ yaitu mengirim doa dengan mendatangi makam secara langsung. Selain untuk mengirim doa, tradisi ini juga dimanfaatkan untuk merawat dan membersihkan makam sambil menaburkan bunga serta wewangian di sekitar makam.

tabur bunga ini dilakukan masyarakat dengan cara menaburkan berbagai macam jenis bunga di permukaan makam sang ahli kubur. Jika dilihat dari sudut pandang sejarah masuknya Islam, tradisi ini mulai muncul ketika masa pra Islam dimana pada saat itu masyarakat Indonesia yang lebih tepatnya di daerah Jawa menganut kepercayaan animisme yang artinya percaya terhadap adanya roh-roh halus pada benda, binatang, tumbuhan maupun manusia. 

Mereka percaya bahwa dalam binatang atau tumbuhan atau manusia tersebut memilki kekuatan ghaib yang baik maupun buruk. Maka dari itu untk menghindari adanya gangguan dari roh-roh jahat masyarakat memberikan sesaji dalam bentuk makanan berupa bunga dan makanan kecil. 

Jadi, seiring perkembangnya waktu setelah masuknya Islam ke Jawa terjadilah akulturasi antara tradisi masa lalu dan ajaran-ajaran Islam yang disebarkan oleh para wali Allah. 

Yang dilakukan para wali ini adalah tidak menghilangkan jejak-jejak kebudayaan asli masyarakat dan lebih memilih memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam ritual-ritual tersebut. Salah satu bentuk akulturasinya seperti nyekar (menabur bunga) dengan membaca doa. (Muna, 2016)

Lalu bagaimana sudut pandang Islam menanggapi tradisi nyekar (menabur bunga) ini? Ada beberapa pendapat yang menerima dan ada pula yang menolak perbuatan ini. Pendapat pertama menyampaikan bahwa nyekar (menabur bunga) di permukaan makam dapat meringankan siksa ahli kubur. 

pengertian ziarah yaitu mengunjungi suatu tempat yang dipandang masyarakat mengandung unsur-unsur keramat, sakral, suci seperti hal nya kuburan. 

Pada masa pemualaan Islam dahulu Nabi Muhamad saw sebagai panutan umat muslim menyampaikan bahwa umat muslim dilarang untuk melakukan ziarah kubur karena biasanya jenazah-jenazah yang diziarahi adalah jenazah orang kafir dan penyembah berhala, serta ditakutkan adanya kemusyrikan yang dilakukan umat muslim dengan mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan ajaran Islam lang beberapa waktu karena kuatnya iman para pengikut, maka larangan tersebut dicabut. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi dari Buraidah bin Al-Hushoib r.a dari Rasulullah saw, beliau bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا

"Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka sekarang ziarahlah kuburan".  (H.R. Muslim).

Sesuai dengan riwayat Nabi Muhamad saw ketika beliau melewati 2 makam sahabat yang sedang disiksa akibat berbuat dosa besar. Kemudian Nabi saw mengambil sebatang pelepah kurma yang masih basah dan ditancapkan pada kedua makam tersebut dan berharap semoga keduanya diringankan sikasanya selama pelepah kurma ini masih basah karena pelepah kurma yang basah ini akan bertasbih kepada Allah swt. 

Penjelasan ini sesuai dengan hadist sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari maupun hadist lainnya. Atas dasar inilah kemudian masyarakat melakukan tradisi tabur bunga yang bertujuan untuk meringankan siksa kubur yang diterima mayat tersebut. Hadist mengenai hal ini yang paling populer adalah hadist dari jalur Ibnu Abbas yaitu:

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu beliau bersabda:

 إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ،أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ

“Sungguh kedua penghuni kubur itu sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah (mengadu domba).”

Kemudian beliau mengambil pelepah kurma basah. Beliau membelahnya menjadi dua, lalu beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya, “Wahai, Rasulullah, mengapa Anda melakukan ini?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

 لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

 “Semoga keduanya diringankan siksaannya, selama kedua pelepah ini belum kering.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 216 dan Muslim, no. 292)

Sesuai pemahaman ini kemudian hal ini diqiyaskan menjadi bunga karena kondisi geografis yang berbeda dengan lingkungan Nabi saw yang mudah ditemukan tumbuhan kurma. Selama diqiyaskan menjadi bunga yang segar banyak masyarakat yang melakukan tradisi tabur bunga ini dengan tujuan agar meringankan siksa kubur. (Muna, 2016)

Sebagian lain juga memiliki pandangan yang berlawanan bahwa ringannya siksa kubur bukan karena pelepah kurma yang basah, melainkan karena syafa'at Nabi yang diberikan kepada seseorang yang disiksa tersebut. Hal ini diperkuat dengan melalui beberapa hadist salah satunya adalah hadist Jabir r.a. dalam shahih Muslim (8/231-236). Dalam hadist ini Rasulullah saw mengatakan:

"Aku melewati dua kubur yang mayitnya sedang diazab. Aku ingin denga safa'atku adzab itu ditolak dari keduanya, selama pelepah ini masih basah".

Hadist ini menerangkan bahwa keringanan azab itu disebabkan oleh syafa'at dan do'a Nabi saw, bukan karena unsur basahnya pelepah kurma. 

Jika memang karena hal ini, tentunya Rasulullah memebiarkannya tanpa dibelah dan beliau akan meletakkanya disetiap kubur pelepah kurma tersebut. Tetapi beliau tidak melakukan hal tersebut. Ini menunjukan bahwa basahnya pelepah kurma bukan penyebabnya melainkan basahnya pelepah kurma hanyalah masa diringankannya azab yang diinginkan oleh Allah swt sebagai restu dari syafa'at Nabi saw sebagaimana dalam hadist Jabir. (Muna, 2016)

Jika dilakukan penelusuran menganai hadist kisah Jabir dan ibnu Abbas akan mendapatkan alasan yang sama dalam keduanya. Tidak akan bisa diterima baik secara syar'i maupun akal bahwa basahnya pelepah kurma yang menjadi sebab diringankannya azab terhadap ahli kubur. 

Kalau saja begitu, maka setiap makam orang pasti akan dikuburkan mirip dengan taman seperti yang dilakukan orang-orang kafir. (Muna, 2016) Alasan lain bahwa perbuatan Nabi saw ini bersifat kasuistik dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. 

Hal ini karena Beliau tidak melakukan ada makam-makam lain kecuali Buraidah yang berwasiat agar diletakkan pelepah kurma didalam kuburnya. Perbuatan ini dinilai hanya didasari oleh ijtihad beliau semata. Jadi tradisi tabur bunga atau nyekar ini tidak ada dasar hukum baik dari Al-Quran maupun Hadist yang menganjurkannya. 








Kamis, 08 April 2021

Tuduhan Berujung Kematian


{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5) }

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang -menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memper­baiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur, ayat 4-5)

Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina. Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

 Sesungguhnya Allâh telah mengharamkan atas kamu: darah kamu, harta kamu, dan kehormatan kamu, seperti keharaman harimu ini, di bulanmu ini, di negerimu ini. [HR. Al-Bukhâri, no. 6043] 

Termasuk merusak kehormatan Muslim dan Muslimah adalah menuduhnya berbuat zina tanpa bukti.

Dan perbuatan qadzf itu termasuk tujuh perkara yang membinasakan sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini:

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ 

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allâh; sihir; membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. Al-Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669)

Menurut ulama, ada tiga cara yang bisa dilakukan dalam qazaf:

Pertama tuduhan secara jelas (sharih), yakni menyebutkan tuduhan dengan perkataan yang jelas jika ia menuding seseorang melakukan zina. Ia paham konsekuensi dari tuduhannya tersebut.

Kedua, secara kinayah atau kiasan. Tuduhannya dengan menggunakan perkataan yang tidak langsung bermakna menuding zina. Namun, bisa diartikan jika ucapannya tersebut adalah tudingan seseorang melakukan perbuatan zina.

Ketiga dengan sindiran (ta'ridh). Dengan ucapan yang amat bias yang belum tentu menuding seseorang melakukan zina. Jika niatnya adalah menuding zina, hukum qazaf bisa diberlakukan. Namun, jika niatnya tidak menuding zina, hukumannya cukup takzir.

Soal empat orang saksi dalam tudingan zina juga memiliki syarat yang cukup detail. Saksi tersebut harus memenuhi kriteria, laki-laki, baligh, berakal, adil, beragama Islam. Kemudian keempatnya haruslah melihat perbuatan zina dengan mata kepala sendiri dan dalam waktu dan tempat yang sama. Keterangan saksi haruslah jelas.

Salah satu hikmah di balik keharusan ada empat orang saksi dalam kasus tuduhan zina adalah beratnya dosa menuduh zina. Serta, kewajiban untuk berhusnuzan dan menutupi aib orang lain dalam sistem masyarakat  islam.

Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera. Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini.

Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya). Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya:

{ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}

dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur: 4

Ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya, yaitu:

Pertama, dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.

Kedua, kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya.

Ketiga, dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun menurut manusia.

Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman selanjutnya:

{إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا}

kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan mem­perbaiki (dirinya). (An-Nur: 5), hingga akhir ayat.

Para ulama berselisih pendapat tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah bertobat.

Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama mengenainya.

Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in, yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf.

Imam Abu Hanifah mengatakan, sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir saja. Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selamanya. 

Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang). Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.

Oleh karena itu, sepantasnya bagi orang yang berakal untuk menjaga mulutnya dan mengendalikan lidahnya agar tidak terjerumus ke dalam neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِي النَّارِ 

Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, dia tidak menganggapnya berbahaya, dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal selama 70 tahun di dalam neraka. [HR. Tirmidzi, no. 2314; Ibnu Mâjah, no. 3970; Ahmad, 2/355, 533; Ibnu Hibbân, no. 5706. Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan shahih] Di dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

 Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang dia tidak jelas apa yang ada di dalam kalimat itu, namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat. [HR. Muslim, no.2988] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: 

Barangsiapa beriman kepada Allâh dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.  [HR. Al-Bukhâri, no. 6475;  Muslim, no. 47; dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]



 

Minggu, 04 April 2021

Etika Pergaulan dalam Pandangan Islam


Islam telah mengatur perilaku bergaul yang merupakan batasan-batasan yang dilandasi nilai-nilai agama. Oleh karena itu perilaku tersebut harus diperhatikan, dipelihara, dan dilaksanakan oleh para remaja.

 Perilaku yang menjadi batasan dalam pergaulan adalah :

1. Menutup Aurat

Islam telah mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurot demi menjaga kehormatan diri dan kebersihan hati. Aurot merupakan anggota tubuh yang harus ditutupi dan tidak boleh diperlihatkan kepada orang yang bukan mahramnya terutama kepada lawan jenis agar tidak boleh kepada jenis agar tidak membangkitkan nafsu birahi serta menimbulkan fitnah. Aurot laki-laki yaitu anggota tubuh antara pusar dan lutut sedangkan aurot bagi wanita yaitu seluruh anggota tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Di samping aurot, Pakaian yang di kenakan tidak boleh ketat sehingga memperhatikan lekuk anggota tubuh, dan juga tidak boleh transparan atau tipis sehingga tembus pandang.

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوْ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنْ الرِّجَالِ أَوْ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Perintahlah orang-orang yang beriman menundukkan sebagian dari pandangan mereka (terhadap kaum wanita) serta menjaga kemaluan mereka yang demikian itu lebih bersih keadaannya bagi mereka ; sesungguhnya Allah amat mengetahui akan apa-apa yang mereka kerjakan. 

Dan perintahkanlah kaum mukminat menundukkan sebagian dari pandangan mereka (terhadap kaum pria) dan menjaga kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang zhahir (yakni pakaian luar, muka dan tangan). Dan hendaklah mereka menutup dada mereka dengan kudung mereka ; dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka melainkan kepads suami mereka, atau bapak mereka atau bapak bagi suami mereka atau anak-anak mereka, atau anak bagi suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau anak-anak bagi saudara laki-laki mereka, atau anak-anak bagi saudara perempuan mereka, atau perempuan mereka, atau barangsiapa yang dimiliki tangan kanan mereka, atau pelayan laki-laki yang tidak mempuanyai keinginan atau anak-anak yang belum melihat perempuan, dan janganlah mereka hentakkan kaki mereka untuk memberitahukan apa yang mereka sembunyikan daripada perhiasan mereka dan taubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai mukminin agar kamu mendapat kejayaan.” (Q.s. An-Nur : 30 – 31)

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا 

“Wahai Nabi! Perintahkanlah istrimu dan anak-anak perempuanmu, dan perempuan mukminin agar tidak mengulurkan jilbab mereka (muka) mereka, yang demikian itu sekurang-kurang (cara) untuk dikenal mereka, agar mereka tidak diganggu dan Allah Pengampun, Penyayang.”  (Q.s. Al-Ahzab : 59)

Dalam ayat-ayat tersebut patut pula diperhatikan, bahwa didalamnya terdapat dua macam perintah yaitu :

1. Perintah yang merupakan kewajiban bagi kaum wanita untuk menutupi aurat dan zinah.

2. Perintah bagi kaum  pria untuk menundukkan pandangnya terhadap wanita yang bukan muhrim, sekalipun  wanita itu menutup aurat dan zinahnya.

    Seseorang yang serumah dengan yang bukan mahram, tidak dapat mengubah ketentuan tersebut ; baginya tetap berlaku dan tidak dapat menjadi halal atas dasar serumah, atau sudah menjadi akrab dan intim atau karena telah merasa sebagai terhadap anak sendiri atau keluarga yang dekat sekali. Kaum pria berkewajiban menutup auratnya saja, adapun menutup bagian badan antara paha dan lutut adalah suatu keutamaan dan kesopanan, dan kepada kaum wanita diperintahkan menundukkan pandangannya terhadap pria yang bukan muhrim, sekalipun pria itu menutup menutup auratnya. 

2. Menjauhi perbuatan zina

    Pergaulan antara laki-laki dengan perempuan di perbolehkan sampai pada batas tidak membuka peluang terjadinya perbuatan dosa. Islam adalah agama yang menjaga kesucian, pergaulan di dalam islam adalah pergaulan yang dilandasi oleh nilai-nilai kesucian. Dalam pergaulan dengan lawan jenis harus dijaga jarak sehingga tidak ada kesempatan terjadinya kejahatan seksual yang pada gilirannya akan merusak bagi pelaku maupun bagi masyarakat umum. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 32: 

Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya berbuat zina, begitu pula mende­katinya dan melakukan hal-hal yang mendorong dan menyebabkan terjadi­nya perzinaan.

{وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (32) }

Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. (Al-Isra: 32). Yakni dosa yang sangat besar.

Zina adalah salah satu perbuatan maksiat kepada Allah saw. dan dosa zina itu dikelompokkan kepada dosa-dosa besar. Rasulullah saw. pernah bersabda,’Tidak ada dosa yang paling besar setelah musyrik daripada (dosa) seseorang yang menyimpan nutfahnya kedalam rahim yang tidak halal baginya”. Tafsir Ibnu Katsir, III : 38. 

Dalam rangka menjaga kesucian pergaulan remaja agar terhindar dari perbuatan zina, islam telah membuat batasan-batasan sebagai berikut :

a. Laki-laki tidak boleh berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya. 

Jika laki-laki dan perempuan di tempat sepi maka yang ketiga adalah syetan, mula-mula saling berpandangan, lalu berpegangan, dan akhirnya menjurus pada perzinaan, itu semua adalah bujuk rayu syetan.

b. Laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak boleh bersentuhan secara fisik. 

Saling bersentuhan yang dilarang dalam islam adalah sentuhan yang disengaja dan disertai nafsu birahi. Tetapi bersentuhan yang tidak disengaja tanpa disertai nafsu birahi tidaklah dilarang.


Tata Cara Pergaulan Remaja

Semua agama dan tradisi telah mengatur tata cara pergualan remaja. Ajaran islam sebagai pedoman hidup umatnya, juga telah mengatur tata cara pergaulan remaja yang dilandasi nilai-nilai agama. Tata cara itu meliputi :

a. Mengucapkan Salam

Ucapan salam ketika bertemu dengan teman atau orang lain sesama muslim, ucapan salam adalah do’a. Berarti dengan ucapan salam kita telah mendoakan teman tersebut.

b. Meminta Izin

Meminta izin di sini dalam artian kita tidak boleh meremehkan hak-hak atau milik teman apabila kita hendak menggunakan barang milik teman maka kita harus meminta izin terlebih dahulu

c. Menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda

Remaja sebagai orang yang lebih muda sebaiknya menghormati yang lebih tua dan mengambil pelajaran dari hidup mereka. Selain itu, remaja juga harus menyayangi kepada adik yang lebih muda darinya, dan yang paling penting adalah memberikan tuntunan dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang benar dan penuh kasih sayang.

d. Bersikap santun dan tidak sombong

Dalam bergaul, penekanan perilaku yang baik sangat ditekankan agar teman bisa merasa nyaman berteman dengan kita. Kemudian sikap dasar remaja yang biasanya ingin terlihat lebih dari temannya sungguh tidak diterapkan dalam islam bahkan sombong merupakan sifat tercela yang dibenci Allah.

e. Berbicara dengan perkataan yang sopan

Islam mengajarkan bahwa bila kita berkata, utamakanlah perkataan yang bermanfaat, dengan suara yang lembut, dengan gaya yang wajar dan tidak bual.

f. Tidak boleh saling menghina

Menghina / mengumpat hukumnya dilarang dalam islam sehingga dalam pergaulan sebaiknya hindari saling menghina di antara teman.

g. Tak boleh saling membenci dan iri hati

Rasa iri akan berdampak dapat berkembang menjadi kebencian yang pada akhirnya mengakibatkan putusnya hubungan baik di antara teman. Iri hati merupakan penyakit hati yang membuat hati kita dapat merasakan ketenangan serta merupakan sifat tercela baik di hadapan Allah dan manusia.

h. Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat

Masa remaja sebaiknya dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat remaja harus membagi waktunya dengan subjektif dan efisien, dengan cara membagi waktu menjadi 3 bagian yaitu : sepertiga untuk beribadah kepada Allah, sepertiga untuk dirinya dan sepertiga lagi untuk orang lain.

i. Mengajak untuk berbuat kebaikan

Orang yang memberi petunjuk kepada teman ke jalan yang benar akan mendapatkan pahala seperti teman yang melakukan kebaikan itu, dan ajakan untuk berbuat kebajikan merupakan suatu bentuk kasih sayang terhadap teman.


Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...