PENGUNJUNG

Jumat, 21 Januari 2022

Ibadah Menyembelih

  Pada dasarnya, memakan daging sembelihan itu dibolehkan (mubah), karena segala sesuatu yang ada di bumi ini boleh untuk dimakan dan boleh untuk digunakan selama tidak ada dalil al-Qur’an atau al-hadis yang melarangnya, sebagaimana kaidah usuliyah:


اَلْاَصْلُ فِي اْلاَشْيَاءِ اْلاِبَاحَةُ


Artinya: “Asalnya sesuatu itu mubah/boleh.”


Jika diklasifikasikan, maka penyembelihan  dapat dikategorikan sebagai berikut :


1. Penyembelihan Dalam Rangka Beribadah 

2. Penyembelihan Dalam Rangka Penghormatan Baik pihak yang dihormati adalah seorang tamu, atau untuk acara pernikahan. 


Pada asalnya, ini hukumnya mubah. Karena seseorang diperintahkan untuk menghormati tamu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ 

Barang siapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya [HR. al-Bukhâri no. 6018, Muslim no. 47] 


3. Penyembelihan Dilakukan Untuk Memanfaatkan Sembelihannya Untuk Dikonsumsi Maupun dijual. Ini hukumnya mubah 


4.Penyembelihan Untuk Selain Allâh Azza wa Jalla Dengan Tujuan Beribadah Penyembelihan yang dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) dan ibadah untuk selain Allâh Azza wa Jalla merupakan perbuatan syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Baik dipersembahkan kepada malaikat, jin, rasul, nabi, wali ataupun benda mati seperti patung dan berhala. Memakan daging sembelihan dengan peruntukan seperti ini juga haram, karena disembelih bukan untuk Allâh Azza wa Jalla . Allah berfirman 


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ


 Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh… [al-Mâidah/5:3] 



Tentang pengklasifikasian ini, silahkan lihat Syarhun Nawawi ‘ala Shahîh Muslim (13/141), Raudhatut Thâlibîn karya an-Nawawy (2/474-475), al-Muwafaqât karya asy-Syathiby (2/346-350), Taisîrul ‘Azizil Hamîd karya Syaikh Sulaiman Alu Syaikh hlm. 147 al-Qaul Mufîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd oleh Syaikh Ibn Utsaimin (1/214), Majmû Fatâwa Syaikh Ibni ‘Utsaimîn (7/27-28).


kurban untuk orang yang sudah meninggal


Dalam kondisi normal, orang hiduplah yang dikenai taklif (beban) untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, termasuk berkurban. Karena itu, ibadah kurban tidak sah dilakukan untuk orang yang sudah meninggal, kecuali jika orang yang sudah meninggal itu telah bernazar atau berwasiat untuk melakukan qurban sebelum kematiannya. Jika ada wasiat maka ahli warisnya bertugas memenuhi dengan berkurban.

 

Sementara jika tanpa ada wasiat dari orang yang meninggal maka kurban itu tidak sah. Sebab tak sahnya kurban untuk orang yang meninggal dijelaskan Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi, ulama dari mazhab Syafi'i, dalam kitab Minhaj ath-Thalibin. Penyebabnya adalah berkurban mensyaratkan adanya niat ibadah.


orang yang meninggal sudah terlepas dari persyaratan ibadah. Artinya, ia tidak termasuk orang mukallaf.


Ada riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Ubadah meninta fatwa kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”'Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia masih memiliki tanggungan nazar namun tidak sempat berwasiat'. Maka Rasulullah saw bersabda, 'Tunaikanlah untuknya'” (HR. Abu Daud).


Disebutkan dalam kitab ‘Al Muwattho’ dan selainnya bahwa Sa’ad bin Ubadah pergi menemui Nabi SAW dan berkata kepadanya, ”Sesungguhnya ibuku berwasiat, beliau (ibuku) mengatakan, ’Hartanya harta Saad dan dia meninggal sebelum menunaikannya.’ Kemudian Sa’ad mengatakan, ’Wahai Rasulullah apakah jika aku bersedekah baginya akan bermanfaat untuknya? Beliau saw menjawab. ’Ya.”


Tidak ada riwayat bahasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau saw . Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang berqurban untuk orang lain tanpa seizinnya, tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak mewasiatkannya berdasarkan firman Allah swt: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39) .


Dan jika orang yang sudah meninggal itu mewasiatkannya maka diperbolehkan, hal itu karena wasiatnya. Kemudian seluruh (sembelihannya itu) wajib disedekahkan untuk orang-orang miskin. Para ulama Maliki berpendapat makruh bagi seseorang berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia jika orang itu tidak menyebutkan (meniatkannya) sebelum kematiannya, dan jika ia meniatkannya namun bukan nadzar maka disunnahkan bagi para ahli warisnya untuk melaksanakannya (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 - 2744).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...