PENGUNJUNG

Sabtu, 22 Januari 2022

Zakat dan Pendidikan Untuk Kesejahteraan Umat


"Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya" (Shahih. Bukhari Bab: Al-Istifaf ‘anil mas’alati No. 1470) 

Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa harta zakat walau pun sudah terdapat mustahiknya, tetapi menjadi kewajiban kaum muslimin khususnya amilin untuk mendidik mustahiq sehingga ia dapat keluar dari keterpurukannya. Oleh karena itu, Ahmad Hasan Ridwan (2008) menyatakan bahwa bagi lembaga amil zakat, yang menjadi tujuan awal usahanya adalah pengelolaan dan pendistribusian zakat.

Pengelolaan zakat dalam artian mengusahakan agar dana zakat yang berhasil dihimpunnya bisa disalurkan kepada post-post (ashnaf) yang sesuai dengan yang dianjurkan dan ditetapkan oleh syari’at Islam. Dalam Lembaga Amil Zakat, usaha pendistribusian zakat ini terdapat dalam program pendayagunaan zakat. Pendayagunaan sendiri secara konseptual terdiri dari dua kata yaitu: kata “daya” dan “guna”. Kata “daya” berarti power, energy, dan capacity. Kata "daya" mengisyaratkan kekuatan atau tenaga untuk menggerakkan. Sementara daya guna berarti daya kerja yang mendatangkan hasil yang sebanyak-banyaknya dengan penuh manfaat (using, efficiency, usefulness). Dengan demikian program pendayagunaan berarti program yang di dalam pendistribusiannya itu tidak hanya memastikan dana zakat sampai kepada mustahik, melainkan juga bernilai produktif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kesejahteraan masyarakat dalam konteks negara dewasa ini dapat dilihat dari besarnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI). IPM sendiri diperoleh dengan menggabungkan tiga nilai indeks yang terdiri dari indeks harapan hidup, indeks pendidikan, dan indeks daya beli.  

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara berpopulasi Muslim terbesar, juga dikenal sebagai bangsa yang paling dermawan (Charities Aid Foundation, 2018) dan negara dengan tingkat kesukarelawanan tertinggi di dunia (Legatum Institute, 2019). Hal ini menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam bersama-sama mengentaskan kemiskinan. Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, mengartikulasikan aspirasi tersebut dan terbukti berhasil dalam memberikan kesejahteraan kepada yang miskin. Dana zakat tidak hanya berhasil membantu kondisi ekonomi mustahik, tetapi juga memiliki dampak dengan membaiknya tingkat kehidupannya pada dimensi tingkat pendidikan, kesehatan serta nilai keislaman seorang mustahik. Zakat juga diekspektasikan dapat menggerus kemiskinan struktural dengan meningkatkan kemandirian mustahik sehingga ketika bantuan zakat tidak lagi disalurkan, mereka dapat mempertahankan kemandirian ekonomi.

        Lebih jauh, terbukti secara empiris, kemiskinan dalam standar BPS juga telah terentaskan dengan lebih efektif dengan penggunaan zakat. Dalam jangka satu tahun dari September 2018 hingga September 2019, jumlah penduduk miskin turun 880.000 jiwa dan zakat berkontribusi sebesar 126.704 jiwa atau sebesar 16% dari upaya pengentasan kemiskinan tersebut. Penurunan total kemiskinan nasional tersebut menggunakan dana APBN yang tersebar di 19 Kementrian/Lembaga sekitar 382,4 triliun dan dana zakat sebesar 6,4 triliun. Dengan kata lain, 98,4% total dana yang ditujukan untuk kemiskinan oleh APBN mengurangi kemiskinan 84%, sedangkan hanya 1,6% total dana oleh zakat berhasil mengentaskan kemiskinan dengan porsi 16%. Ini menegaskan efektifitas zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan. Apalagi jika potensi zakat di Indonesia yang mencapai 233 triliun dan sebagian besarnya di Jawa Barat dapat dimaksimalkan, maka hitungan kasar kemiskinan di Indonesia dapat ditanggulangi.

Jawa Barat merupakan provinsi terpadat dengan jumlah penduduk sebanyak 51.096.908. Provinsi Jawa Barat sendiri memiliki 18 Kabupaten dan 9 Kota. Kabupaten Bogor menjadi wilayah dengan kemiskinan tertinggi pada 415.020 penduduk yang meliputi 5,7% dari kemiskinan di Provinsi Jawa Barat. Untuk zakat, Kabupaten Bandung Barat berhasil membantu mustahik dengan jumlah tertinggi di Jawa Barat, yaitu 153.000 jiwa. Kabupaten Bandung Barat juga menjadi wilayah dengan muzaki terdaftar tertinggi yang berkontribusi 41% muzaki terdaftar di Jawa Barat sebesar 454.823 jiwa. Sedangkan cakupan mustahik Jawa Barat yang terdata telah terbantu 15% dari jumlah total mustahik yang ada di provinsi tersebut.[1]   

Zakat dan pendidikan adalah dua hal yang sebenarnya berkaitan erat. Zakat menurut bahasa artinya tumbuh, bersih. Karena melalui zakat, seorang mustahik diharapkan akan tumbuh dan berkembang dalam kesejahteraan hidupnya dan akan bersih mentalnya dari penyakit “meminta-minta”. Sedangkan pendidikan dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer  diartikan sebagai proses pengubahan cara berpikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan, dan latihan

Dari pengertian zakat dan pendidikan di atas, dapat diambil satu benang merah yaitu bahwa baik zakat mau pun pendidikan mempunyai potensi besar untuk mengubah seseorang baik dari cara berfikir, mental, mau pun kondisi kesejahteraan.

Di Indonesia, kesempatan pendidikan orang-orang dhu’afa masih terbilang rendah.   Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional(2013), angka kesempatan belajar ke perguruan tinggi baru mencapai 17,3 %. Hal tersebut masih jauh di bawah standar rata-rata negara maju yang mencapai angka minimal 30 %. Demikian pula dengan angka putus sekolah SD yang juga masih besar, meski berhasil dikurangi dari 2,5 % menjadi 1,7 % dalam lima tahun terakhir.

Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah. Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332. Di situs resminya, TNP2K mengungkap bahwa konsentrasi terbesar dari anak Indonesia yang tidak bersekolah atau putus sekolah berada di Provinsi Jawa Barat, dengan angka 958,599 anak. Disusul oleh provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, masing-masing di angka 677,642 dan 609,131 anak.

Berkurangnya kesempatan pendidikan bagi sebagian masyarakat juga akan menurunkan produktivitas perekonomian secara keseluruhan. Sejumlah studi, seperti yang dilakukan oleh Loening (2002), Park (2004), serta Haouas dan Yagoubi (2005), telah membuktikan adanya hubungan positif antara pembangunan SDM dengan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara di seluruh dunia. Lemahnya SDM berimplikasi pada tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Hal ini pula yang telah lama disadari oleh lembaga amil zakat bahwa pendidikan bagi mustahik adalah sesuatu yang sangat berpengaruh besar terhadap peningkatan kesejahteraan mustahik. Lembaga amil zakat baik Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat telah membuat program-program pendayagunaan pendidikan seperti Rumah Zakat dengan Sekolah Juaranya atau Dompet Dhuafa dengan Smart Ekselensianya.

Lalu bagaimana tinjauan syari’ah penggunaan dana zakat untuk pendidikan?

Yusuf Qardhawi dalam Fiqh Zakat mengatakan "Mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri, dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup JIHAD.  Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran Islam yang murni, mendidik anak-anak kaum muslimin dan memeliharanya dari pencangkokan kehancuran fikiran dan akhlaq, serta menjaganya dari racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan”.

Demikian pula Fatwa MUI yang ditetapkan pada 29 Ramadhan 1416/19 Februari 1996, ditandatangani oleh Ketua Umum MUI KH Hasan Basri dan Ketua Komisi Fatwa Prof KH Ibrahim Hosen, LML (Surat Keputusan Fatwa Nomor 120/MUI/1996).
Fatwa MUI itu, antara lain menyatakan, Memberikan uang zakat untuk keperluan pendidikan, khususnya dalam bentuk beasiswa, hukumnya adalah sah karena termasuk dalam asnaf sabilillah, yaitu bantuan yang dikeluarkan dari dana zakat berdasarkan Al-Quran surat At-Taubah ayat 60 dengan alasan bahwa pengertian fi sabilillah menurut sebagian ulama fiqih dari beberapa mazhab dan ulama tafsir adalah lafaznya umum.” Lebih tegas dalam pembatasannya M. Romli, Usman Sholehudin, A. Ghazali, dan A. Syuhada pada tahun 1992 telah menetapkan kriteria mustahik zakat fi sabilillah yaitu
“Kemaslahatan umum kaum muslimin yang dengan itunya berdiri Islam dan daulahnya dan bukan untuk kepentingan pribadi” dasar nash Rasulullah yang kuat menjelaskan persoalan tersebut adalah hadits Riwayat Abu Daud.” Ya Ummu Ma'qil! Apa yang menghalangimu keluar (Pergi mengerjakan Haji)? Ia menjawab: Kami telah bersedia, tetapi tiba-tiba Abu Ma'qil meninggal dunia, sementara onta kami yang kami kendarai untuk naik haji itu telah diwakafkan oleh Abu Ma'qil untuk Fi sabilillah. Maka sabda Rasul: "Sayang! Mengapa engkau tidak berangkat dengan menunggangnya, padahal hajji itu sebahagian dari sabilillah" HR. Abu Dawud. (A. Hassan dalam Soal-Jawab Masalah Agama). Ingin umat sejahtera? Tunggu apalagi ayo kita berzakat ke lembaga.

 

 


[1] Peta Kemiskinan Dan Zakat Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah Dan Jawa Timur, Pusat Kajian Strategis Baznas

Jumat, 21 Januari 2022

Tanda Kekuasaan Penciptaan Manusia dan Pasangannya

 Ar-Rum, ayat 20-21


{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ (20) وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21) }


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia men­ciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

Allah Swt. berfirman:


{وَمِنْ آيَاتِهِ}


Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya. (Ar-Rum: 20)

Yakni tanda-tanda yang menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya yang Mahasempurna ialah bahwa Dia telah menciptakan bapak moyang kalian (Adam) dari tanah liat.


{ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ}


kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Ar-Rum: 20)


Asal mula kalian dari tanah liat, kemudian dari air yang hina, lalu menjadi 'alaqah, kemudian menjadi segumpal daging, lalu menjadi tulang-tulang yang berbentuk manusia, setelah itu Allah memakaikan daging kepadanya dan meniupkan roh ke dalamnya, maka tiba-tiba ia menjadi manusia yang mempunyai pendengaran dan penglihatan. Kemudian ia keluar dari perut ibunya dalam keadaan kecil lagi lemah. Selanjutnya setiap kali bertambah usianya, maka bertambah kekuatannya, dan bertambah kuat pula gerakannya. Pada akhirnya ia menjadi manusia yang sempurna dan mampu membangun kota-kota dan benteng-benteng serta mengadakan perjalanan ke berbagai kawasan, menempuh jalan laut menaiki perahu dan keliling dunia. Dia mampu berusaha dan mengumpulkan harta. Dia mempunyai akal, berwawasan, serta mempunyai daya nalar, berpengetahuan, dan berilmu dalam menganalisis perkara-perkara duniawi dan ukhrawi, masing-masing dianugerahi oleh Allah sesuai dengan kemampuannya. Mahasuci Allah Yang telah membuat mereka berkemampuan, menjadikan mereka dapat menyesuaikan diri dan mempunyai kepandaian dalam menjalani roda kehidupan dan aneka ragam mata pencaharian. Allah telah membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ilmu, pemikiran, bentuk, dan rupa. Ada yang tampan, ada yang buruk, juga ada yang kaya, ada yang miskin, serta ada yang bahagia, ada pula yang sengsara. 


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وغُنْدَر، قَالَا حَدَّثَنَا عَوْف، عَنْ قَسَامَةَ بْنِ زُهَيْرٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيعِ الْأَرْضِ، فَجَاءَ بَنُو آدَمَ عَلَى قَدْرِ الْأَرْضِ، جَاءَ مِنْهُمُ الْأَبْيَضُ وَالْأَحْمَرُ وَالْأَسْوَدُ وَبَيْنَ ذَلِكَ، وَالْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ، وَالسَّهْلُ وَالْحَزَنُ، وَبَيْنَ ذَلِكَ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dan Gundar. Mereka berdua mengatakan, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Qasamah ibnu Zuhair, dari Abu Musa yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam tanah yang Dia ambil dari semua penjuru bumi, maka jadilah anak-anak Adam sesuai dengan kadar dari tanah itu; di antara mereka ada yang berkulit putih, ada yang berkulit merah, dan ada yang berkulit hitam serta ada yang campuran di antara warna-warna tersebut; ada pula yang buruk, yang baik, yang mudah, dan yang susah serta yang campuran di antara perangai-perangai tersebut.Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Auf Al-A'rabi dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.


Firman Allah Swt.:


{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا}


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia men­ciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri. (Ar-Rum: 21)

Dia menciptakan bagi kalian kaum wanita dari jenis kalian sendiri yang kelak mereka menjadi istri-istri kalian.


{لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا}


supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (Ar-Rum: 21)


Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:


{هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا}


Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepada­nya. (Al-A'raf: 189)


Yang dimaksud adalah ibu Hawa. Allah menciptakannya dari Adam, yaitu dari tulang rusuknya yang terpendek dari sebelah kirinya.

Seandainya Allah menjadikan semua Bani Adam terdiri dari laki-laki, dan menjadikan pasangan mereka dari jenis lain yang bukan dari jenis manusia, misalnya jin atau hewan, maka pastilah tidak akan terjadi kerukunan dan kecenderungan di antara mereka dan tidak akan terjadi pula perkawinan. Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah saling bertentangan dan saling berpaling, seandainya mereka berpasangan bukan dari makhluk sesama manusia.


Termasuk di antara rahmat Allah yang sempurna kepada anak-anak Adam ialah Dia menjadikan pasangan (istri) mereka dari jenis mereka sendiri, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara pasangan-pasangan itu. Karena adakalanya seorang lelaki itu tetap memegang wanita karena cinta kepadanya atau karena sayang kepadanya, karena mempunyai anak darinya, atau sebaliknya kerena si wanita memerlukan perlindungan dari si lelaki atau memerlukan nafkah darinya, atau keduanya saling menyukai, dan alasan lainnya.


{إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ}


Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Rum: 21)



وَمَعْنَى: (خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْواجاً) أَيْ نِسَاءً تَسْكُنُونَ إِلَيْهَا. "مِنْ أَنْفُسِكُمْ" أَيْ مِنْ نُطَفِ الرِّجَالِ وَمِنْ جِنْسِكُمْ. وَقِيلَ: الْمُرَادُ حَوَّاءُ، خَلَقَهَا مِنْ ضِلْعِ آدَمَ، قَالَهُ قَتَادَةُ.


(وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٌ: الْمَوَدَّةُ الْجِمَاعُ، وَالرَّحْمَةُ الْوَلَدُ، وَقَالَهُ الْحَسَنُ. وَقِيلَ:


 الْمَوَدَّةُ وَالرَّحْمَةُ عَطْفُ قُلُوبِهِمْ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ. 


وَقَالَ السُّدِّيُّ: الْمَوَدَّةُ: الْمَحَبَّةُ، وَالرَّحْمَةُ: الشَّفَقَةُ، وَرُوِيَ مَعْنَاهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: الْمَوَدَّةُ حُبُّ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ، وَالرَّحْمَةُ رَحْمَتُهُ إِيَّاهَا أَنْ يُصِيبَهَا بِسُوءٍ. وَيُقَالُ: إِنَّ الرَّجُلَ أَصْلُهُ مِنَ الْأَرْضِ، وَفِيهِ قُوَّةُ الْأَرْضِ، وَفِيهِ الْفَرْجُ الَّذِي مِنْهُ بُدِئَ خَلْقُهُ فَيَحْتَاجُ إِلَى سَكَنٍ، وَخُلِقَتِ الْمَرْأَةُ سَكَنًا لِلرَّجُلِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: "وَمِنْ آياتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرابٍ" الْآيَةَ. وَقَالَ: "وَمِنْ آياتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْواجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْها" فَأَوَّلُ ارْتِفَاقِ الرَّجُلِ بِالْمَرْأَةِ سُكُونُهُ إِلَيْهَا مِمَّا فِيهِ مِنْ غَلَيَانِ الْقُوَّةِ، وَذَلِكَ أَنَّ الْفَرْجَ إِذَا تَحَمَّلَ  فِيهِ هَيَّجَ مَاءَ الصُّلْبِ إِلَيْهِ، فَإِلَيْهَا يَسْكُنُ وَبِهَا يَتَخَلَّصُ مِنَ الْهِيَاجِ، وَلِلرِّجَالِ خُلِقَ الْبُضْعُ مِنْهُنَّ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْواجِكُمْ﴾ [الشعراء: ١٦٦] 


قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿أَتَأْتُونَ الذُّكْرانَ مِنَ الْعالَمِينَ﴾ كَانُوا يَنْكِحُونَهُمْ فِي أَدْبَارِهِمْ وَكَانُوا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ بِالْغُرَبَاءِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ "فِي الْأَعْرَافِ" .

(وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْواجِكُمْ) يَعْنِي فُرُوجَ النِّسَاءِ فَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَهَا لِلنِّكَاحِ.


 قَالَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُهَاجِرٍ: قَالَ لِي مُجَاهِدٌ كَيْفَ يَقْرَأُ عَبْدُ اللَّهِ "وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْواجِكُمْ" قُلْتُ: "وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْواجِكُمْ" قَالَ: الْفَرْجُ، كَمَا قَالَ: "فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ" .


فَأَعْلَمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الرِّجَالَ أَنَّ ذَلِكَ الْمَوْضِعَ خُلِقَ مِنْهُنَّ لِلرِّجَالِ، فَعَلَيْهَا بَذْلُهُ فِي كُلِّ وَقْتٍ يَدْعُوهَا الزَّوْجُ، فَإِنْ مَنَعَتْهُ فَهِيَ ظَالِمَةٌ وَفِي حَرَجٍ عَظِيمٍ، وَيَكْفِيكَ مِنْ ذَلِكَ مَا ثَبَتَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: (وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا (. وَفِي لَفْظٍ آخَرَ:) إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ (.

(وَمِنْ آياتِهِ خَلْقُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ) تقدم فِي "الْبَقَرَةِ"  وَكَانُوا يَعْتَرِفُونَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْخَالِقُ.

Pengikut Millah Ibrahim Sebenarnya

 نَزَّهَهُ تَعَالَى مِنْ دَعَاوِيهِمُ الْكَاذِبَةِ، وَبَيَّنَ أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْحَنِيفِيَّةِ الْإِسْلَامِيَّةِ وَلَمْ يَكُنْ مُشْرِكًا. وَالْحَنِيفُ: الَّذِي يُوَحِّدُ وَيَحُجُّ وَيُضَحِّي وَيَخْتَتِنُ وَيَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ. وَقَدْ مَضَى فِي "الْبَقَرَةِ" اشْتِقَاقُهُ . وَالْمُسْلِمُ فِي اللُّغَةِ: الْمُتَذَلِّلُ لِأَمْرِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُنْطَاعُ لَهُ. وَقَدْ تَقَدَّمَ فِي "الْبَقَرَةِ" مَعْنَى الْإِسْلَامِ»

مستوفى والحمد لله.

Ali Imran, ayat 65-68


{يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنزلَتِ التَّوْرَاةُ وَالإنْجِيلُ إِلا مِنْ بَعْدِهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ (65) هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (66) مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (67) إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ (68) }


Hai Ahli Kitab, mengapa kalian bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kalian tidak berpikir? Beginilah kalian, kalian ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kalian ketahui, maka mengapa kalian bantah-membantah tentang hal yang tidak kalian ketahui? Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik." Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang yang beriman.



Allah Swt. mengingkari perbuatan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani yang saling berbantah-bantahan tentang hal Ibrahim, kekasih Allah Swt. Masing-masing pihak mengakui bahwa Ibrahim adalah salah seorang dari mereka. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar; ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair atau Berimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa orang-orang Nasrani Najran dan para pendeta Yahudi berkumpul di hadapan Rasulullah Saw., lalu mereka saling berbantahan di antara mereka di hadapan Nabi Saw.

Para pendeta Yahudi berkata bahwa Ibrahim itu tiada lain adalah seorang Yahudi. Sedangkan orang-orang Nasrani berkata bahwa Ibrahim tiada lain adalah seorang Nasrani. Maka Allah menurunkan firman-Nya:


يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ


Hai Ahli Kitab, mengapa kalian berbantah-bantahan tentang hal Ibrahim. (Ali Imran: 65), hingga akhir ayat.


Yakni mengapa kalian mengakui, hai orang-orang Yahudi, bahwa dia (Nabi Ibrahim) adalah seorang Yahudi; padahal masa Nabi Ibrahim jauh sebelum Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa. Bagaimana pula kalian, hai orang-orang Nasrani, mengakui bahwa dia adalah seorang Nasrani; padahal Nasrani baru ada jauh sesudah Nabi Ibrahim dalam jarak zaman yang jauh sekali. Karena itulah dalam akhir ayat ini disebutkan:


{أَفَلا تَعْقِلُونَ}


Apakah kalian tidak berpikir? (Ali Imran: 65)


*******************


Kemudian Allah Swt. berfirman:


هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ


Beginilah kalian, kalian ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kalian ketahui, maka mengapa kalian bantah-membantah tentang hal yang tidak kalian ketahui? (Ali Imran: 66), hingga akhir ayat.


Hal ini merupakan sikap ingkar terhadap orang-orang yang melakukan bantah-berbantah tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui. Karena sesungguhnya orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani berbantah-bantahan tentang hal Ibrahim tanpa ilmu. Seandainya mereka berbantah-bantahan tentang kitab yang ada di tangan mereka yang sebagiannya terdapat hal-hal yang berkaitan dengan agama mereka yang disyariatkan buat mereka hingga masa Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi seorang utusan, maka hal tersebut lebih utama bagi mereka.



 Sesungguhnya mereka hanyalah membicarakan hal-hal yang tidak mereka ketahui. Maka Allah Swt. mengingkari perbuatan mereka itu, dan memerintahkan kepada mereka agar mengembalikan hal-hal yang tidak mereka ketahui kepada Tuhan Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata yang mengetahui semua perkara sesuai dengan hakikat dan kejelasannya. Karena itulah Allah Swt. berfirman dalam akhir ayat ini:


{وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}


Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (Ali Imran: 66)


*******************


Kemudian Allah Swt. berfirman:


{مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا}


Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim. (Ali Imran: 67)


Yakni menyimpang dari kemusyrikan dan cenderung kepada iman.


{وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}


dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. (Ali Imran: 67).

Makna ayat ini sama dengan ayat terdahulu di dalam surat Al-Baqarah yang mengatakan:


وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا


Dan mereka berkata, "Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk." (Al-Baqarah: 135)


*******************


Kemudian Allah Swt. berfirman:


{إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ}


Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 68)



Allah Swt. berfirman bahwa orang yang paling berhak mengakui Nabi Ibrahim ialah orang-orang yang mengikuti agamanya dan Nabi ini —yakni Nabi Muhammad Saw.— serta orang-orang yang beriman dari kalangan sahabat-sahabatnya, yaitu kaum Muhajirin dan kaum Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka sesudah mereka tiada.


قَالَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ: أَخْبَرَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ، عَنْ أَبِي الضُّحَى، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: "إنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ وُلاةً مِنَ النَّبِيِّينَ، وإنَّ وَليِّي مِنْهُمْ أَبِي وخَلِيلُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ". ثُمَّ قَرَأَ: {إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ [وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ]}


Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sa'id ibnu Masruq.'dari Abud Duha, dari Masruq, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiap-tiap nabi mempunyai seorang pelindung dari kalangan para nabi sendiri, dan sesungguhnya pelindungku dari kalangan mereka (para nabi) adalah ayahku, yaitu kekasih Tuhanku (Nabi Ibrahim a.s.). Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya. (Ali Imran: 68), hingga akhir ayat.


Imam Turmuzi dan Imam Al-Bazzar meriwayatkan hal yang sama melalui hadis Abu Ahmad Az-Zubairi, dari Sufyan As-Sauri, dari ayahnya.

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh selain Abu Ahmad, dari Sufyan, dari ayahnya, dari Abud Duha, dari Abdullah, tanpa menyebut nama Masruq.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi melalui jalur Waki', dari Sufyan; kemudian ia mengatakan bahwa sanad ini lebih sahih.

Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan oleh Waki' di dalam kitab tafsirnya. Untuk itu ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Abu Ishaq, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: .. kemudian menyebutkan hadits tersebut.


*******************


Firman Allah Swt.:


وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ


dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 68)

Yakni Pelindung semua orang yang beriman kepada rasul-rasul-Nya.


Kalimat Tidak Berselisih Islam dan Ahli Kitab

 Ali Imran, ayat 64


{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (64) }


Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)'."

Khitab (perintah) ini bersifat umum mencakup semua Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sealiran dengan mereka.


{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ}


Katakanlah, "Hat Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat." (Ali Imran: 64)


Definisi kalimat ialah sebuah jumlah (kalimat) yang memberikan suatu faedah (pengertian). Demikian pula yang dimaksud dengan kalimat dalam ayat ini. Kemudian kalimat tersebut diperjelas pengertiannya oleh firman selanjutnya, yaitu:


{سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ}


yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian. (Ali Imran: 64),


Yakni kalimat yang adil, pertengahan, dan tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian mengenainya. Kemudian diperjelas lagi oleh firman selanjutnya:


{أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا}


bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun. (Ali Imran: 64).


Yaitu baik dengan berhala, salib, wasan, tagut, api atau sesuatu yang selain-Nya, melainkan kita Esakan Allah dengan menyembah-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Hal ini merupakan seruan yang dilakukan oleh semua rasul. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ


Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami mewahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku." (Al-Anbiya: 25)


وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ


Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.” (An-Nahl: 36)


*******************


Adapun firman Allah Swt.:


وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنا بَعْضاً أَرْباباً مِنْ دُونِ اللَّهِ


dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. (Ali Imran: 64)


Ibnu Juraij mengatakan, makna yang dimaksud ialah sebagian kita menaati sebagian yang lain dalam bermaksiat kepada Allah Swt. Sedangkan menurut Ikrimah, makna yang dimaksud ialah sebagian kita bersujud kepada sebagian yang lain.


*******************


{فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}


Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), "Saksikanlah bahwa kami  orang-orang yang menyerahkan did (kepada Allah)." (Ali Imran: 64)


Yakni jika mereka berpaling dari keadilan ini dan seruan ini, hendaklah mereka mempersaksikan kalian bahwa kalian tetap berada dalam agama Islam yang telah disyariatkan oleh Allah untuk kalian.


Kami menyebutkan di dalam syarah Bukhari pada riwayatnya yang ia ketengahkan melalui jalur Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Ibnu Abbas, dari Abu Sufyan tentang kisahnya ketika masuk menemui kaisar, lalu kaisar menanyakan kepadanya tentang nasab Rasulullah Saw., sifat-sifatnya, dan sepak terjangnya, serta apa yang diserukan olehnya. Lalu Abu Sufyan menceritakan hal tersebut secara keseluruhan dengan jelas dan apa adanya. Padahal ketika itu Abu Sufyan masih musyrik dan belum masuk Islam, hal ini terjadi sesudah adanya Perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum penaklukan kota Mekah, seperti yang dijelaskan oleh hadis yang dimaksud. Juga ketika ditanyakan kepadanya, apakah Nabi Saw. pernah berbuat khianat? Maka Abu Sufyan menjawab, "Tidak. Dan kami berpisah dengannya selama suatu masa, dalam masa itu kami tidak mengetahui apa yang dilakukannya." Kemudian Abu Sufyan mengatakan, "Aku tidak dapat menambahkan suatu berita pun selain dari itu."


Tujuan utama dari pengetengahan kisah ini ialah bahwa surat Rasulullah Saw. disampaikan kepada kaisar yang isinya adalah seperti berikut:


"بِسْمِ اللهِ الرَّحمَنِ الرَّحِيم، مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللهِ إلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ، سَلامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى. أَمَّا بَعْدُ، فَأَسْلِمْ تَسْلَمْ، وَأَسْلِمْ يُؤْتِكَ اللهُ أَجْرَك مَرَّتَيْنِ فَإِن تَوَلَّيْتَ فإنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأريسيِّين، وَ {يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}


Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasulullah, ditujukan kepada Heraklius, pembesar kerajaan Romawi, semoga keselamatan terlimpah kepada orang yang mengikuti petunjuk. Amma Ba'du: Maka masuk Islamlah, niscaya engkau akan selamat; dan masuk Islamlah, niscaya Allah akan memberimu pahala dua kali. Tetapi jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau menanggung dosa kaum arisin (para petani). Dan di dalamnya disebutkan pula firman-Nya: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)." (Ali Imran: 64)


Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lainnya 

yang bukan hanya seorang saja telah menyebutkan bahwa permulaan surat Ali Imran sampai dengan ayat delapan puluh lebih sedikit diturunkan berkenaan dengan delegasi Najran.


Az-Zuhri mengatakan bahwa mereka adalah orang yang mula-mula membayar jizyah.

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ayat jizyah ini, bahwa ia diturunkan sesudah penaklukan kota Mekah. Maka timbul pertanyaan, bagaimanakah dapat digabungkan antara peristiwa penulisan ayat ini —yang terjadi sebelum peristiwa kemenangan atas kota Mekah dalam surat yang ditujukan kepada Heraklius, sebagai bagian dari surat tersebut— dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq dan Az-Zuhri?

Sebagai jawabannya dapat dikemukakan alasan-alasan berikut, yaitu:


Pertama. Dapat dihipotesiskan bahwa adakalanya ayat ini diturunkan dua kali; sekali sebelum Perjanjian Hudaibiyyah, dan yang lainnya sesudah peristiwa kemenangan atas kota Mekah.


Kedua. Adakalanya permulaan surat Ali Imran diturunkan berkenaan dengan delegasi Najran sampai dengan ayat ini, yang berarti ayat ini diturunkan sebelum peristiwa itu. Dengan demikian, berarti pendapat Ibnu Ishaq yang mengatakan sampai ayat delapan puluh lebih beberapa ayat kurang dihafal, mengingat pengertian yang ditunjukkan oleh hadis Abu Sufyan di atas tadi.


Ketiga. Adakalanya kedatangan delegasi Najran terjadi sebelum Perjanjian Hudaibiyyah, dan orang-orang yang memberikan bayaran kepada Nabi Saw. sebagai ganti dari mubahalah bukan dianggap sebagai jizyah, melainkan sebagari gencatan senjata dan perdamaian. Sesudah itu turunlah ayat mengenai jizyah yang sesuai dengan peristiwa tersebut. Perihalnya sama dengan peristiwa difardukannya seper-lima dan empat perlima yang bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Jahsy terhadap sariyyah (pasukan) yang bersangkutan sebelum Perang Badar. Kemudian diturunkanlah hukum fardu pembagian ganimah yang sesuai dengan kebijakan tersebut.


Keempat. Adakalanya ketika Rasulullah Saw. Memerintahkan untuk menulis surat tersebut kepada Herakklius, ayat Itu masih belum diturunkan.


 Sesudah itu baru Al-Qur'an mengenai masalah ini diturunkan bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. Sebagaimana diturunkan ayat mengenai hijab dan tawanan perang yang isinya bersesuaian dengan kebijakan yang diputuskan oleh Umar ibnul Khattab, begitu pula ayat yang melarang menyalatkan jenazah orang-orang munafik. Juga dalam firman-Nya:


وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقامِ إِبْراهِيمَ مُصَلًّى


Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)


Peristiwa yang menyangkut firman-Nya:


عَسى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْواجاً خَيْراً مِنْكُنَ


Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian. (At-Tahrim: 5), hingga akhir ayat.


Ibadah Menyembelih

  Pada dasarnya, memakan daging sembelihan itu dibolehkan (mubah), karena segala sesuatu yang ada di bumi ini boleh untuk dimakan dan boleh untuk digunakan selama tidak ada dalil al-Qur’an atau al-hadis yang melarangnya, sebagaimana kaidah usuliyah:


اَلْاَصْلُ فِي اْلاَشْيَاءِ اْلاِبَاحَةُ


Artinya: “Asalnya sesuatu itu mubah/boleh.”


Jika diklasifikasikan, maka penyembelihan  dapat dikategorikan sebagai berikut :


1. Penyembelihan Dalam Rangka Beribadah 

2. Penyembelihan Dalam Rangka Penghormatan Baik pihak yang dihormati adalah seorang tamu, atau untuk acara pernikahan. 


Pada asalnya, ini hukumnya mubah. Karena seseorang diperintahkan untuk menghormati tamu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ 

Barang siapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya [HR. al-Bukhâri no. 6018, Muslim no. 47] 


3. Penyembelihan Dilakukan Untuk Memanfaatkan Sembelihannya Untuk Dikonsumsi Maupun dijual. Ini hukumnya mubah 


4.Penyembelihan Untuk Selain Allâh Azza wa Jalla Dengan Tujuan Beribadah Penyembelihan yang dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) dan ibadah untuk selain Allâh Azza wa Jalla merupakan perbuatan syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Baik dipersembahkan kepada malaikat, jin, rasul, nabi, wali ataupun benda mati seperti patung dan berhala. Memakan daging sembelihan dengan peruntukan seperti ini juga haram, karena disembelih bukan untuk Allâh Azza wa Jalla . Allah berfirman 


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ


 Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh… [al-Mâidah/5:3] 



Tentang pengklasifikasian ini, silahkan lihat Syarhun Nawawi ‘ala Shahîh Muslim (13/141), Raudhatut Thâlibîn karya an-Nawawy (2/474-475), al-Muwafaqât karya asy-Syathiby (2/346-350), Taisîrul ‘Azizil Hamîd karya Syaikh Sulaiman Alu Syaikh hlm. 147 al-Qaul Mufîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd oleh Syaikh Ibn Utsaimin (1/214), Majmû Fatâwa Syaikh Ibni ‘Utsaimîn (7/27-28).


kurban untuk orang yang sudah meninggal


Dalam kondisi normal, orang hiduplah yang dikenai taklif (beban) untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, termasuk berkurban. Karena itu, ibadah kurban tidak sah dilakukan untuk orang yang sudah meninggal, kecuali jika orang yang sudah meninggal itu telah bernazar atau berwasiat untuk melakukan qurban sebelum kematiannya. Jika ada wasiat maka ahli warisnya bertugas memenuhi dengan berkurban.

 

Sementara jika tanpa ada wasiat dari orang yang meninggal maka kurban itu tidak sah. Sebab tak sahnya kurban untuk orang yang meninggal dijelaskan Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi, ulama dari mazhab Syafi'i, dalam kitab Minhaj ath-Thalibin. Penyebabnya adalah berkurban mensyaratkan adanya niat ibadah.


orang yang meninggal sudah terlepas dari persyaratan ibadah. Artinya, ia tidak termasuk orang mukallaf.


Ada riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Ubadah meninta fatwa kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”'Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia masih memiliki tanggungan nazar namun tidak sempat berwasiat'. Maka Rasulullah saw bersabda, 'Tunaikanlah untuknya'” (HR. Abu Daud).


Disebutkan dalam kitab ‘Al Muwattho’ dan selainnya bahwa Sa’ad bin Ubadah pergi menemui Nabi SAW dan berkata kepadanya, ”Sesungguhnya ibuku berwasiat, beliau (ibuku) mengatakan, ’Hartanya harta Saad dan dia meninggal sebelum menunaikannya.’ Kemudian Sa’ad mengatakan, ’Wahai Rasulullah apakah jika aku bersedekah baginya akan bermanfaat untuknya? Beliau saw menjawab. ’Ya.”


Tidak ada riwayat bahasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau saw . Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang berqurban untuk orang lain tanpa seizinnya, tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak mewasiatkannya berdasarkan firman Allah swt: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39) .


Dan jika orang yang sudah meninggal itu mewasiatkannya maka diperbolehkan, hal itu karena wasiatnya. Kemudian seluruh (sembelihannya itu) wajib disedekahkan untuk orang-orang miskin. Para ulama Maliki berpendapat makruh bagi seseorang berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia jika orang itu tidak menyebutkan (meniatkannya) sebelum kematiannya, dan jika ia meniatkannya namun bukan nadzar maka disunnahkan bagi para ahli warisnya untuk melaksanakannya (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 - 2744).




Tahlilan

 Tiga hari kematian


Diadakan pula pesta kematian, ruh masih ada di sekitar peti dan makan sari makanan yang tersedia. Pada suku Tsen purba di daerah tenggara negeri Cina, pada masa itu diadakan pembantaian kerbau dengan menebas leher kerbau dari depan, ketika kerbau tengah dilarikan, ada kalanya sampai berpuluh ekor. Kini masih berbekas pada suku Toraja.



Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.


Terima kasih kami ucapkan atas pertanyaan saudara. Pada dasarnya, memakan daging sembelihan itu dibolehkan (mubah), karena segala sesuatu yang ada di bumi ini boleh untuk dimakan dan boleh untuk digunakan selama tidak ada dalil al-Qur’an atau al-hadis yang melarangnya, sebagaimana kaidah usuliyah:


اَلْاَصْلُ فِي اْلاَشْيَاءِ اْلاِبَاحَةُ


Artinya: “Asalnya sesuatu itu mubah/boleh.”


 Adapun  yang saudara tanyakan itu mengenai memakan daging sembelihan yang digunakan untuk selamatan 3 hari, 7 hari dan lain-lain. Sedangkan upacara selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu mengakar dalam masyarakat. Tahlilan atau selamatan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur pendeta dalam sebuah acara berikut ini:


“Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jawa Timur, diselenggarakan kongres Asia para penganut agama Hindu, Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka, karena bermanfaatnya salah satu ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblake dalam istilah Jawa, untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam.”


Selain itu, karena hal semacam ini ada hubungan dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam. Dan terkadang upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya yang besar, yang kadang-kadang harus meminjam uang kepada tetangga atau saudaranya, sehingga selamatan ini akan semakin memberatkan pihak keluarga si mayit.


Muhammadiyah pernah menetapkan hukum tahlilan ini dalam fatwa tarjih yang dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003, bahwa upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu, ditambah lagi harus mengeluarkan biaya besar, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir) itu dilarang, karena tidak ada dalil al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang menjelaskan kebolehannya. Senada dengan itu, pada fatwa tarjih yang dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 24 tahun 2005, bahwa setelah jenazah selesai dimakamkan, tuntunan Rasulullah saw yang ada adalah tentang pemberian tanda dengan batu atau benda lain yang tahan lama, berdoa kepada Allah memohon kebaikan kepada kedua orang tua yang sudah meninggal dan ziarah kubur. Selain itu tidak ditemukan tuntunan dari Nabi saw di dalam hadis-hadis yang maqbul.


Pada masa Rasulullah saw pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi.Tetapi Nabi Muhammad saw tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah ayat:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”[QS. al-Baqarah (2): 208]


Dalam syari’at Islam, ketika ada orang yang meninggal dunia, seharusnya kita bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian dengan membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Hal ini seperti yang pernah diajarkan Nabi saw ketika Ja’far bin Abi Thalib syahiddalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para sahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum, seperti sabda Nabi saw:


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفرٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إصْنَعُوْا لِأهْلِجَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ. [أخرجه أبو داود والترمذي]


Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ja’far, ia berkata: Ketika datang berita kematian Ja’far, Rasulullah saw bersabda: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang suatu urusan yang menyibukkan mereka’.” [HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi]


Selain itu, makan hidangan yang berasal dari upacara selamatan 3 hari, 7 hari, hal ini termasuk dari nihayah (ratapan), sebagaimana dalil-dalil berikut ini:


1.      Hadist mauqûf atau âtsar yang sahih:


عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلبَجَلِي قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلإجْتِمَاعَ إِلَي أهْلِ الْمَيِّتِ وَ صَنْعَةُ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ.  [رواه ابن ماجه]


Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajaly dia berkata: Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit serta menghidangkan makanan merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” [HR. Ibnu Majah]


2.      Dalam kitab Mushannif Ibnu Abi Syaibah hal 291 dengan susunan sanad yang sahih disebutkan:


عَنْ طَلْحَةَ، قَالَ: قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ قِبَلَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ؟ قَالَ: لاَ، قَالَ: فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ: تِلْكَ النِّيَاحَةُ.


Artinya: “Diriwayatkan dari Thalhah ia berkata: Jarir mendatangi Umar. Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit? Jarir menjawab: Tidak. Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya. Umar berkata: Hal itu sama dengan niyahah (meratap)”.


3.      Dalam atsar lain yang juga sahih menyebutkan:


حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ هِلاَلِ بْنِ خَبَّابٍ، عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ، قَالَ: الطَّعَامُ عَلَى الْمَيِّتِ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ وَالنَّوْحُ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ.


Artinya: “Diceritakan oleh Waki’ bin Jarrah dari Sufyan, dari Hilal bin Khabbab, dari Abi al-Bakhtari, ia berkata: Makanan atas mayit itu termasuk perbuatan jahiliyah dan niyahah (ratapan) itu termasuk perbuatan jahiliyah.


Dalam kaidah usuliyah juga disebutkan:


لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ اْلمَقَاصِدِ


Artinya: “Hukum sarana itu menyesuaikan maksud atau tujuannya.”


Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya, bisa jadi daging sembelihan tersebut halal secara zatnya, karena tetap disembelih dengan menyebut nama Allah, namun karena maksud atau tujuan dari penyembelihan tersebut adalah untuk dihidangkan pada upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya, maka penyembelihan tersebut tidak dapat dibenarkan, sehingga daging hewan yang disembelih pun tidak boleh dimakan. Penyembelihan dan menghidangkan daging hewan sembelihan untuk upacara selamatan tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena tuntunan Nabi saw justru menganjurkan kita membawa makanan pada keluarga yang berduka, bukan sebaliknya, yaitu makan-makan di rumah keluarga yang berduka. Bahkan hal tersebut juga termasuk dalam kategori niyahah (ratapan) yang dilarang.


Oleh karena itu, sebagai langkah untuk ihtiyat (berhati-hati), lebih baik memakan daging dari hewanyang disembelih untuk acara selamatan itu tidak dilakukan.


Wallahu a’lam bish-shawab. putmpi*)



Perbedaan Nasib Penghuni Surga dan Neraka

 Muhammad, ayat 14-15


{أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ (14) مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ (15) }


Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya? (Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhannya, sama dengan orang yang kekal di dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?

Firman Allah Swt.:


{أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ}


Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya. (Muhammad: 14)

Yakni berada dalam keyakinan dan pengetahuan tentang perintah Allah dan agama-Nya melalui apa yang diturunkan oleh Allah Swt. di dalam Kitab-Nya, berupa hidayah dan ilmu serta fitrah yang lurus yang telah dijadikan oleh Allah Swt. di dalam dirinya.


{كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ}


sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya. (Muhammad: 14)

Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa jelas tidak sama, semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:


{أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى}


Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? (Ar-Ra'd: 19)

Dan firman Allah Swt.:


{لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ}


Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Hasyr: 20)

Kemudian Allah Swt. berfirman:


{مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ}


(Apakah) perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa. (Muhammad: 15)

Menurut Ikrimah, makna yang dimaksud ialah sifat-sifat surga.


{فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ}


yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya. (Muhammad: 15)

Menurut Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan Qatadah, makna yang dimaksud ialah airnya tidak berubah rasa dan baunya.

Qatadah, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak bau.

Orang-orang Arab mengatakan terhadap air yang berubah baunya dengan sebutan asin. Di dalam hadis yang marfu' yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim, gairu asin artinya yang jernih dan tidak keruh.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Masruq yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud r.a. telah mengatakan bahwa sungai-sungai di surga itu berhulu dari gunung minyak kesturi.


{وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ}


dan sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya. (Muhammad: 15)

Bahkan warnanya sangat keruh dan rasanya sangat manis lagi berlemak Di dalam sebuah hadis marfu' disebutkan:


"لَمْ يَخْرُجْ مِنْ ضُرُوع الْمَاشِيَةِ".


Tidak dikeluarkan dari tetek hewan ternak.

Firman Allah Swt.:


{وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ}


dan sungai-sungai dari khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya. (Muhammad: 15)

Yakni bau dan rasanya tidak buruk seperti yang ada pada khamr di dunia melainkan warna, bau, rasa, dan pengaruhnya sangat baik. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:


{لَا فِيهَا غَوْلٌ وَلا هُمْ عَنْهَا يُنزفُونَ}


Tidak ada dalam khamr itu alkohol dan mereka tiada mabuk karena (meminum)nya. (Ash-Shaffat: 47)


{لَا يُصَدَّعُونَ عَنْهَا وَلا يُنزفُونَ}


mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk (Al-Waqi'ah: 19)

Dan firman Allah Swt.:


{بَيْضَاءَ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ}


(Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang vanz minum. (Ash-Shaffat: 46)

Di dalam hadis Marfu’ disebutkan:


"لَمْ تَعْصُرْهَا الرِّجَالُ بِأَقْدَامِهَا".


Tidak diperas dengan kaki-kaki kaum lelaki.


*******************


{وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى}


dan sungai-sungai dari madu yang disaring. (Muhammad: 15)

Yaitu sangat jernih, indah warnanya, rasanya, dan baunya. Di dalam hadis yang marfu' disebutkan:


"لَمْ يَخْرُجْ مِنْ بُطُونِ النَّحْلِ"


yang bukan dikeluarkan dari perut lebah.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا الجُريري، عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "فِي الْجَنَّةِ بَحْرُ اللَّبَنِ، وَبَحْرُ الْمَاءِ، وَبَحْرُ الْعَسَلِ، وَبَحْرُ الْخَمْرِ، ثُمَّ تَشَقَّقُ الْأَنْهَارُ مِنْهَا بَعْدُ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Al-Jariri, dari Hakim ibnu Mu'awiyah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Di dalam surga terdapat sungai susu, sungai air, sungai madu, dan sungai khamr, kemudian semua sungai terbelah darinya sesudah itu.

Imam Turmuzi telah meriwayatkannya di dalam Sifatul Jannah, dari Muhammad ibnu Yasar, dari Yazid ibnu Harun, dari Sa'id ibnu Abu Iyas Al-Jariri, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.


قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَاصِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ عُبَيْدٍ أَبُو قُدَامَةَ الْإِيَادِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَذِهِ الْأَنْهَارُ تَشخُبُ مِنْ جَنَّةِ عَدْنٍ فِي جَوْبَة، ثُمَّ تَصَدَّعُ بَعْدُ أَنْهَارًا"


Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnunNu'man, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Ubaid Abu Qudamah Al-Ayadi, telah menceritakan kepada kami Abu Imran Al-Juni, dari Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Qais, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sungai-sungai ini mengalir dari surga 'Adn dari mata air yang ada di dalamnya, kemudian terbelah menjadi banyak sungai sesudahnya.

Di dalam hadis sahih disebutkan:


"إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ، وَمِنْهُ تُفَجَّر أَنْهَارُ الْجَنَّةِ، وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ"


Apabila kalian meminta kepada Allah, mintalah surga Firdaus kepada-Nya, karena sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi; darinya mengalir semua sungai di surga, dan di atasnya terdapat Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah.


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ حَمْزَةَ الزُّبَيْرِيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الصفر السُّكَّرِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ دَلْهَمِ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاجِبِ بْنِ عَامِرِ بْنِ الْمُنْتَفِقِ الْعُقَيْلِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَمِّهِ لَقِيطِ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ دَلْهَمٌ: وَحَدَّثَنِيهِ أَيْضًا أَبُو الْأَسْوَدِ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ لَقِيطٍ أَنَّ لقيط بْنَ عَامِرٍ خَرَجَ وَافِدًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قلت: يا رسول اللَّهِ، فَعَلَامَ نَطَّلِعُ مِنَ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: "عَلَى أَنْهَارِ عَسَلٍ مُصَفًّى، وَأَنْهَارٍ مِنْ خَمْرٍ مَا بِهَا صُدَاعٌ وَلَا نَدَامَةٌ، وَأَنْهَارٍ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ، وَمَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ، وَفَاكِهَةٍ، لَعَمْرُ إِلَهِكَ مَا تَعْلَمُونَ وَخَيْرٍ مِنْ مِثْلِهِ، وأزواج مطهرة" قلت: يا رسول الله، أو لنا فِيهَا أَزْوَاجٌ مُصْلِحَاتٌ؟ قَالَ: "الصَّالِحَاتُ لِلصَّالِحِينَ تَلَذُّونَهُنَّ مِثْلَ لَذَّاتِكُمْ فِي الدُّنْيَا وَيَلَذُّونَكُمْ، غَيْرَ أَلَّا تَوَالُدَ"


Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Ibrahim ibnu Hamzah Az-Zubairi dan Abdullah ibnus Safar As-Sukari. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir Al-Hizami, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnul Mugirah, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Iyasy, dari Dalham ibnul Aswad; dan Dalham menerima hadis ini pula dari Abul Aswad, dari Asim ibnu Laqit yang mengatakan bahwa sesungguhnya Laqit ibnu Amir berangkat sebagai delegasi kaumnya kepada Rasulullah Saw. Aku (Laqit ibnu Amir) bertanya, "Wahai Rasulullah, pemandangan apakah yang akan kita lihat di dalam surga itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Sungai-sungai dari madu yang disaring, sungai-sungai dari khamr yang tidak memabukkan dan tidak pula membuat kecanduan, dan sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai dari air yang tiada berubah bau dan rasanya, dan berbagai macam buah-buahan, demi usia Tuhanmu, seperti yang pernah kalian ketahui, tetapi jauh lebih baik daripadanya, dan juga istri-istri yang disucikan. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah bagi kita ada istri-istri yang saleh di dalam surga?' Rasulullah Saw. menjawab: Istri-istri yang saleh untuk orang-orang yang saleh, kalian merasakan kenikmatan mereka sebagaimana kenikmatan kalian di dunia dan mereka pun merasakan kenikmatan dari kalian, hanya saja tiada beranak.

Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ubaid, dari Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepadaku Al-Jariri, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari ayahnya, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan, "Barangkali kalian mengira bahwa sungai-sungai surga itu mengalir di parit-parit sebagaimana di bumi. Demi Allah, sesungguhnya sungai-sungai di surga itu benar-benar mengalir bebas di permukaan tanah; kedua sisinya adalah kubah-kubah dari mutiara dan tanahnya adalah minyak kesturi yang harum sekali."

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Mahdi ibnu Hakim, dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama secara marfu'.


*******************


Firman Allah Swt.:


{وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ}


dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan. (Muhammad: 15)

Semakna dengan firman-Nya:


{يَدْعُونَ فِيهَا بِكُلِّ فَاكِهَةٍ آمِنِينَ}


Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran). (Ad-Dukhan: 55)


{فِيهِمَا مِنْ كُلِّ فَاكِهَةٍ زَوْجَانِ}


Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan. (Ar-Rahman: 52)

Adapun firman Allah Swt.:


{وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ}


dan ampunan dari Tuhan mereka. (Muhammad: 15)

selain dari semua kenikmatan surgawi itu.

Firman Allah Swt.:


{كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ}


sama dengan orang yang kekal dalam neraka. (Muhammad: 15)

Apakah mereka yang telah disebutkan kedudukan mereka di dalam surga sama dengan orang-orang yang kekal di dalam neraka? Tentu saja tidak sama, orang yang berada di tingkat yang tinggi tidaklah sama dengan orang yang berada di dasar neraka.


{وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا}


dan diberi minum dengan air yang mendidih. (Muhammad: 15)

Yakni air yang sangat panas yang panasnya tak terperikan.


{فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ}


sehingga memotong-motong ususnya? (Muhammad: 15)

Yaitu menghancurleburkan semua isi perut dan usus yang bersangkutan. Semoga Allah melindungi kita dari siksa neraka.




Keringanan Pergaulan dalam Rumah Tangga

 An-Nur, ayat 61


{لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (61) }


Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri, atau di rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-saudara kalian yang laki-laki, di rumah saudara-saudara kalian yang perempuan, di rumah saudara bapak kalian yang laki-laki, di rumah saudara bapak kalian yang perempuan, di rumah saudara ibu kalian yang laki-laki, di rumah saudara ibu kalian yang perempuan, di rumah yang kalian miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawan kalian. Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian agar kalian memahaminya.


Ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna yang menjadi penyebab bagi terhapusnya dosa dari orang yang buta, orang yang pincang, dan orang yang sakit dalam ayat ini.


1. Ata Al-Khurrasani dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah jihad. Mereka mengkategorikan ayat ini sama dengan apa yang terdapat di dalam surat Al-Fath yang menerangkan dengan jelas masalah jihad. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa tiada dosa atas mereka dalam meninggalkan kewajiban berjihad karena kondisi mereka yang lemah dan tidak mampu. Semakna pula dengan apa yang disebutkan di dalam surat At-Taubah melalui firman-Nya:


{لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ}


Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tiada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila datang k, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian!" (At-Taubah: 91-92)

sampai dengan firman-Nya:


أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ


lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (At-Taubah: 92)



2. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah pada mulanya mereka merasa keberatan bila makan bersama orang yang buta. Karena orang buta tidak dapat melihat makanan dan lauk-pauk yang ada dalam hidangan, dan barangkali orang lain (yang tidak buta) mendahuluinya dalam menyantap hidangan yang disuguhkan. Tidak pula bersama orang yang pincang, sebab orang yang pincang tidak dapat duduk dengan baik sehingga teman-teman sekedudukannya menjauh darinya. Tidak pula orang yang sedang sakit, sebab orang yang sedang sakit tidak dapat menyantap hidangan dengan sempurna sebagaimana yang lainnya. Maka dari itu mereka tidak mau makan bersama orang-orang tersebut, agar mereka tidak berbuat aniaya terhadap orang-orang itu. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat ini sebagai kemurahan dari-Nya dalam masalah ini. Demikianlah menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Miqsam.


Ad-Dahhak mengatakan bahwa dahulu sebelum Nabi Saw. diutus, mereka merasa keberatan bila makan bersama-sama orang-orang itu karena merasa jijik dan enggan serta menghindari agar orang-orang itu tidak tersinggung. Lalu Allah menurunkan ayat ini (sesudah Islam datang).

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61), hingga akhir ayat.


 Dahulu seseorang pergi membawa seorang yang tuna netra, atau seorang yang pincang atau seorang yang sakit, ke rumah ayahnya atau rumah saudara laki-lakinya atau rumah saudara perempuannya atau rumah saudara perempuan ayahnya atau rumah saudara perempuan ibunya. Sedangkan orang-orang yang sakit merasa keberatan dengan hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang mengajak mereka ke rumah keluarga mereka sendiri (yakni mau mengajak hanya ke rumah keluarganya sendiri), lalu turunlah ayat ini sebagai rukhsah buat mereka.


As-Saddi mengatakan bahwa seseorang masuk ke dalam rumah ayahnya atau saudara lelakinya atau anak lelakinya, lalu istri pemilik rumah menyuguhkan makanan kepadanya, tetapi ia tidak mau makan karena pemilik rumah tidak ada di tempat. Maka Allah Swt. berfirman: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61), hingga akhir ayat.


*******************


Firman Allah Swt.:


{وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ}


dan tidak pula bagi diri kalian sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri. (An-Nur: 61)


Sesungguhnya makan di rumah sendiri disebutkan dalam ayat ini tiada lain agar di- 'ataf-kan kepadanya lafaz lain yang disebutkan sesudahnya supaya mempunyai hukum yang sama dengannya. Termasuk pula ke dalam pengertian rumah sendiri ialah rumah anak, sekalipun tidak disebutkan dalam nas ayat ini (tetapi pengertiannya tersirat di dalamnya). Karena itu, ada sebagian ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa harta milik anak sama dengan harta milik ayahnya. Di dalam kitab musnad dan kitab sunan telah disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:


"أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ"


Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.


*******************


Firman Allah Swt.:


{أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ}


atau rumah bapak-bapak kalian, atau rumah ibu-ibu kalian. (An-Nur: 61)

sampai dengan firman-Nya:


{أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ}


atau di rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur: 61)


Makna ayat ini sudah jelas, dan ada sebagian ulama yang mewajibkan memberi nafkah kepada kaum kerabat, sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain. Seperti yang ada pada mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal menurut pendapat yang terkenal dari keduanya.

Mengenai makna firman-Nya:


{أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ}


atau di rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur: 61)


Menurut Sa'id ibnu Jubair dan As-Saddi, yang dimaksud adalah pelayan seseorang. Diperbolehkan baginya memakan sebagian dari makanan yang disimpan oleh tuannya dengan cara yang makruf.


Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Urwah, dari Aisyah r.a. yang telah mengatakan bahwa dahulu kaum muslim berangkat berjihad bersama Rasulullah Saw. Maka mereka menyerahkan kunci-kunci rumah mereka kepada orang-orang kepercayaannya masing-masing. Dan mereka mengata­kan, "Kami halalkan bagi kalian memakan apa yang kalian perlukan." Sedangkan orang-orang kepercayaan mereka mengatakan, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami memakan makanan mereka, karena sesungguhnya mereka memberikan izinnya kepada kami tidak berdasarkan keikhlasan hati, dan sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang dipercaya untuk memegang amanat." Maka Allah menurunkan firman-Nya: atau di rumah-rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur. 61)


*******************


Adapun firman Allah Swt.:


{أَوْ صَدِيقِكُمْ}


atau di rumah kawan-kawan kalian. (An-Nur: 61)

Yakni rumah teman-teman kalian dan rumah sahabat-sahabat kalian, maka tiada dosa bagi kalian bila makan dari apa yang ada padanya, jika kalian mengetahui bahwa hal tersebut tidak memberatkan pemilik rumah dan para pemilik rumah merelakannya.

Qatadah mengatakan, "Apabila kamu memasuki rumah temanmu, maka tidak ada halangan bagimu bila makan di dalamnya tanpa seizin temanmu."

Firman Allah Swt.:


{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا}


Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An-Nur: 61)


Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya:


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ}


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)


Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita saling memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta yang paling utama. Karena itu, tidak halal bagi seseorang di antara kita makan di rumah orang lain." Maka orang-orang menahan dirinya dari hal tersebut, lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61) sampai dengan firman-Nya: atau di rumah kawan-kawan kalian.(An-Nur: 61)


Dahulu mereka merasa enggan dan berdosa bila makan sendirian, melain­kan bila ditemani oleh orang lain, kemudian Allah memberikan kemurahan (dispensasi) bagi mereka dalam hal tersebut melalui firman-Nya: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama atau sendirian. (An-Nur: 61)


Qatadah mengatakan bahwa sebagian orang dari Bani Kinanah sejak masa Jahiliah menganggap sebagai suatu perbuatan yang hina bila seseorang dari mereka makan sendirian, sehingga seseorang dari mereka terpaksa masih terus menggiring unta gembalaannya dalam keadaan lapar hingga bersua dengan seseorang yang mau makan dan minum bersamanya. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya (sesudah masa Islam), yaitu: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An-Nur: 61)


Ini merupakan suatu kemurahan dari Allah Swt. yang mengizinkan se­seorang makan sendirian atau secara berjamaah, sekalipun makan dengan berjamaah lebih berkah dan lebih utama. Seperti yang telah disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad:


حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ وَحْشيّ بْنِ حَرْب، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّا نأكلُ وَلَا نشبَع. قَالَ: "فَلَعَلَّكُمْ تَأْكُلُونَ مُتَفَرِّقِينَ، اجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ يُبَاركْ لَكُمْ فِيهِ".


telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Wahsyi ibnu Harb, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa pernah ada seorang lelaki berkata kepada Nabi Saw., "Sesungguhnya kami makan, tetapi tidak pernah merasa kenyang." Maka Nabi Saw. bersabda: Barangkali kalian makan sendiri-sendiri, makanlah dengan berjamaah dan sebutlah nama Allah (sebelumnya), niscaya kalian akan diberkati dalam makanan kalian.


Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim dengan sanad yang sama.


Ibnu Majah telah meriwayatkan pula melalui hadis Amr ibnu Dinar-Al-Qahramani, dari Salim, dari ayahnya, dari Umar, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:


"كُلُوا جَمِيعًا وَلَا تَفَرّقُوا؛ فَإِنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْجَمَاعَةِ".


Makanlah bersama-sama, janganlah kalian makan sendiri-sendiri, karena sesungguhnya keberkatan itu ada bersama jamaah.


*******************


Firman Allah Swt.:


{فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ}


Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri. (An-Nur: 61)


Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan Az-Zuhri telah mengatakan, hendaklah sebagian dari kalian memberi salam kepada sebagian yang lain. Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair yang pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah berkata, "Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka dengan ucapan salam penghormatan yang diberkati lagi baik di sisi Allah." Abuz Zubair mengatakan, "Menurut hemat saya, maksud Jabir tiada lain mewajibkan hal tersebut."

Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ziyad, dari Ibnu Tawus yang mengatakan, "Apabila seseorang diantar", kalian memasuki rumahnya, hendaklah ia mengucapkan salam." Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata, "Apakah wajib bagiku bila keluar dari rumah, lalu memasukinya lagi, mengucapkan salam kepada mereka?" Ata menjawab, "Saya tidak mengharuskannya kepada seseorang, tetapi hal itu lebih aku sukai dan saya tidak pernah mengabaikannya terkecuali bila saya lupa."

Mujahid mengatakan, "Apabila kamu memasuki masjid, ucapkanlah salam kepada Rasulullah; dan apabila kamu masuk ke rumah keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka; dan apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada penghuninya, ucapkanlah salam berikut, 'Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh'."


As-Sauri telah meriwayatkan dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Mujahid, "Apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka ucapkanlah salam berikut, 'Dengan menyebut nama Allah, dan segala puji bagi Allah. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dari Tuhan kita, semoga kesejahteraan terlimpah-kan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh'.'"


Qatadah mengatakan,"Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, maka ucapkanlah salam kepada mereka. Dan apabila kamu memasuki suatu rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka ucapkanlah, 'Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh,' karena sesungguhnya dia diperintahkan untuk mengucapkan salam tersebut." Dan telah menceritakan kepada kami Qatadah, bahwa para malaikat menjawab salamnya itu.


وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَوْبَدُ بْنُ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: أَوْصَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ خِصَالٍ، قَالَ: "يَا أَنَسُ، أَسْبِغِ الْوُضُوءَ يُزَد فِي عُمْرِكَ، وسَلّم عَلَى مَنْ لَقِيَكَ مِنْ أُمَّتِي تكْثُر حَسَنَاتُكَ، وَإِذَا دَخَلْتَ -يَعْنِي: بَيْتَكَ -فَسَلِّمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتِكَ، يَكْثُرْ خَيْرُ بَيْتِكَ، وَصَلِّ صَلَاةَ الضُّحى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ قَبْلَكَ. يَا أَنَسُ، ارْحَمِ الصَّغِيرَ، ووقِّر الْكَبِيرَ، تَكُنْ مِنْ رُفَقَائِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ".


Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Uwaid ibnu Abu Imran Al-Juni, dari ayahnya, dari Anas yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah berwasiat kepadanya (yakni memerintahkan kepadanya untuk mengamalkan) lima pekerti.


 Beliau bersabda: Hai Anas, kerjakanlah wudu dengan sempurna, niscaya umurmu akan bertambah; dan ucapkanlah salam kepada orang yang engkau jumpai dari kalangan umatku, niscaya bertambah banyaklah kebaikan-kebaikanmu; dan apabila engkau memasuki rumahmu, ucapkanlah salam kepada keluargamu, niscaya menjadi banyaklah kebaikan rumahmu; dan kerjakanlah salat duha, karena sesungguhnya salat duha adalah salatnya orang-orang yang suka bertobat di masa sebelummu. Hai Anas, kasihanilah anak kecil dan hormatilah orang dewasa, niscaya engkau termasuk teman-temanku kelak di hari kiamat.


*******************


Firman Allah Swt.:


{تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً}


sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah yang diberkati lagi baik. (An-Nur: 61)


Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, "Tiada lain tasyahhud itu diambil dari Kitabullah. Saya telah mendengar Allah berfirman: Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah yang diberi berkat lagi baik' (An-Nur: 61)." Bacaan tasyahhud dalam salat ialah;


التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ.


"Semua salam penghormatan dan semua salawat adalah milik Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepadamu, wahai Nabi; begitu pula rahmat Allah dan semua berkah-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh,"

kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri, selanjutnya salam.


Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Ibnu Ishaq. Tetapi menurut apa yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw. berbeda dengan riwayat ini, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.


*******************


Firman Allah Swt.:


{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ}


Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian, agar kalian memahaminya. (An-Nur: 61)

Setelah menyebutkan semua yang terkandung di dalam surat ini berupa hukum-hukum yang muhkam dan syariat-syariat yang kokoh dan pasti, lalu Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya, bahwa Dia menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya ayat-ayat yang terang lagi gamblang agar mereka merenungkan dan memikirkannya, mudah-mudahan mereka dapat memahaminya.


Etika Pergaulan dalam Rumah Tangga

 An-Nur, ayat 58-60


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (58) }


Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari) yaitu: Sebelum salat Subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian di tengah hari, dan sesudah salat Isya. (Itulah) tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani, sebagian kalian (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan apabila anak-anak kalian telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin berkawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.


Ayat-ayat yang mulia ini mengandung etika meminta izin masuk untuk menemui kaum kerabat, sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain. Sedangkan apa yang telah disebutkan pada permulaan surat ini menyangkut meminta izin untuk menemui orang lain, sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain. Allah Swt. memerintahkan kepada kaum mukmin agar para pelayan mereka yang terdiri atas budak-budak yang mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum berusia balig meminta izin kepada mereka bila hendak menemui mereka dalam tiga keadaan, yaitu sebelum menunaikan salat Subuh, karena pada saat itu orang-orang masih dalam keadaan tidur di peraduannya masing-masing.


وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ}


ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian di tengah hari. (An-Nur: 58)


Karena orang-orang biasanya berkumpul bersama keluarganya pada waktu itu dengan menanggalkan pakaian luar mereka.


{وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ}


dari sesudah salat Isya. (An-Nur: 58)

Karena waktu itu adalah waktunya tidur, maka para pelayan dan anak-anak diperintahkan agar jangan mendatangi suatu ahli bait dalam waktu tersebut, sebab dikhawatirkan seseorang sedang bersama istrinya atau sedang melakukan pekerjaan lainnya. Karena itulah disebutkan oleh firman berikutnya:


{ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ}


(Itulah) tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. (An-Nur: 58)


Yakni apabila mereka masuk di lain ketiga waktu tersebut, maka tidak ada dosa bagi kalian mempersilakan mereka masuk. Tidak ada dosa pula bagi mereka jika mereka mempunyai sesuatu keperluan untuk masuk di saat selain ketiga waktu itu; karena mereka mendapat izin untuk masuk, juga karena mereka adalah orang-orang yang sering keluar masuk kepada kalian, untuk keperluan pelayanan dan keperluan lainnya. Telah dimaafkan pula bagi orang-orang yang bertugas menjadi pelayan banyak hal yang tidak dimaafkan bagi selain mereka.

Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta Ahlus Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda sehubungan dengan kucing:


"إِنَّهَا لَيْسَتْ بنجَس؛ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ -أَوْ -وَالطَّوَّافَاتِ"


Sesungguhnya kucing itu tidak najis, sesungguhnya kucing itu termasuk yang banyak keluar masuk kepada kalian, atau hewan yang jinak (dengan kalian).


Mengingat ayat ini muhkam dan tiada yang me-nasakh-nya, sedangkan orang-orang sedikit yang mengamalkannya, maka Abdullah ibnu Abbas mengingkari sikap mereka yang demikian itu. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah berkata, "Orang-orang meninggalkan tiga ayat, mereka tidak mau mengamalkannya," yaitu firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki meminta izin kepada kalian. (An-Nur: 58), hingga akhir ayat.


 Dan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisa, yaitu: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8), hingga akhir ayat. 


Dan firman Allah Swt. di dalam surat Al-Hujurat, yaitu: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (Al-Hujurat: 13)



Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Amr ibnu Abu Umar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa pernah ada dua orang lelaki menanyakan kepadanya tentang masalah meminta izin pada tiga aurat yang telah diperintahkan oleh Allah Swt. di dalam Al-Qur'an. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya Allah itu suka menutupi diri-Nya Dia menyukai penutup. Dahulu orang-orang tidak memakai kain penutup pada pintu-pintu rumah mereka, tidak pula memakai kain gordin pada rumah-rumah mereka. Adakalanya seseorang dikejutkan oleh kedatangan pelayannya, atau anaknya, atau anak yatim yang ada dalam pengasuhannya sedangkan dia dalam keadaan bersama istrinya. Maka Allah memerintah­kan kepada mereka untuk meminta izin terlebih dahulu pada ketiga waktu tersebut yang telah dijelaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya."

Kemudian sesudah itu Allah meluaskan rezeki mereka. Akhirnya mereka membuat kain-kain penutup dan kain-kain gordin pada rumah-rumah mereka. Maka orang-orang memandang bahwa hal tersebut sudah cukup bagi mereka tanpa memakai izin yang diperintahkan kepada mereka untuk menggalakkannya. Sanad asar ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas. 



As-Saddi mengatakan bahwa dahulu ada segolongan orang dari kalangan para sahabat suka menyetubuhi istrinya di waktu-waktu ter­sebut, sekalian mereka mandi, lalu keluar untuk melakukan salat berjamaah.

Maka Allah memerintahkan kepada mereka agar menganjurkan kepada budak-budak mereka dan anak-anak kecil mereka jangan masuk menemui mereka di saat-saat tersebut, kecuali dengan izin mereka.

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, telah sampai kepada kami suatu hadis —hanya Allah Yang Maha Mengetahui kebenarannya— yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan Ansar dan istrinya yang bernama Asma binti Marsad membuat jamuan makanan untuk Nabi Saw. Maka orang-orang masuk tanpa izin. Lalu Asma binti Marsad berkata, "Wahai Rasulullah, alangkah buruknya hal ini, sesungguhnya masuk menemui sepasang suami istri yang sedang berada dalam satu pakaian, anak-anak keduanya tanpa izin terlebih dahulu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki meminta izin kepada kalian. (An-Nur: 58), hingga akhir ayat.


Termasuk di antara hal yang menunjukkan bahwa ayat ini muhkam tidak di-mansukh adalah firman berikutnya yang mengatakan:


{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ}


Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 59)

Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ}


Dan apabila anak-anak kalian telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. (An-Nur: 59)


Yaitu bilamana anak-anak yang telah mencapai usia balig diharuskan meminta izin dalam ketiga waktu tersebut, berarti diwajibkan kepada selain mereka meminta izin untuk masuk dalam setiap waktu di luar ketiga waktu tersebut, saat-saat seseorang sedang bersama istrinya, sekalipun bukan pada ketiga waktu tersebut.


Al-Auza'i telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Kasir, bahwa apabila seorang anak menjelang usia balig, dianjurkan untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya bila hendak menemui mereka pada ketiga waktu tersebut. Dan apabila dia telah mencapai usia balig, maka dianjurkan meminta izin dalam waktu mana pun. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair.


Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebagaimana orang-orang sebelum mereka meminta izin. (An-Nur: 59) Yakni seperti orang-orang dewasa dari kalangan anak seseorang dan kaum kerabatnya meminta izin masuk terlebih dahulu untuk menemuinya.


*******************


Firman Allah Swt.:


{وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ}


Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung). (An-Nur: 60)


Sa'id ibnu Jubair, Mu'qatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, dan Qatadah telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah wanita-wanita yang tidak berhaid lagi dan sudah tidak beranak lagi.


{اللاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا}


yang tiada ingin berkawin (lagi). (An-Nur: 60)

Artinya, mereka tidak mempunyai keinginan dan selera untuk berkawin.


{فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ}


tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. (An-Nur: 60)


Yakni tiada larangan bagi mereka dalam masalah tersebut berbeda halnya dengan wanita lainnya.


Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya. (An-Nur: 31), hingga akhir ayat. Maka di-nasakh-lah, lalu dikecualikan dari hal ini wanita-wanita tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung yang tiada ingin berkawin lagi.


Ibnu Mas'ud telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka. (An-Nur: 60) Yakni meletakkan jilbab atau kain selendangnya. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, dan Al-Auza'i serta lain-lainnya.


Abu Saleh mengatakan, diperbolehkan baginya berdiri di hadapan lelaki lain dengan memakai baju kurung dan memakai kerudung.

Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya sesuai dengan qiraat Ibnu Mas'ud, "Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan sebagian dari pakaiannya." yaitu jilbab yang dipakai di luar kain kerudung. Maka tidak mengapa jika mereka menanggalkannya di hadapan lelaki lain atau lainnya sesudah ia memakai kain kerudung yang tebal.


Sa'id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. (An-Nur: 60) Yaitu janganlah mereka ber-tabarruj dengan menanggalkan kain jilbab (baju kurung)nya agar perhiasannya kelihatan.


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada­ku Siwar ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Asim, dari Ummul Masa'in (Ummud Diya) yang mengatakan bahwa ia pernah masuk menemui Siti Aisyah r.a., lalu bertanya, "Hai Ummul Mu’minin, bagaimanakah pendapatmu tentang pacar, mengibaskan kain, kain celupan, anting-anting, gelang kaki, cincin emas, dan pakaian yang tipis?" Siti Aisyah menjawab, "Hai kaum wanita, kisah (pengalaman) kalian adalah sama. Allah telah menghalalkan bagi kalian memakai perhiasan, tetapi bukan untuk tabarruj (ditampakkan)."


Dengan kata lain, tidak dihalalkan bagi kalian memperlihatkan perhiasan kalian yang tidak boleh dilihat oleh mahram.



Firman Allah Swt.:


{وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ}


dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. (An-Nur: 60)


Yakni tidak menanggalkan pakaian luar mereka adalah lebih baik, sekalipun hal itu diperbolehkan. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.



Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...