"Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya" (Shahih. Bukhari Bab: Al-Istifaf ‘anil mas’alati No. 1470)
Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa harta zakat walau pun sudah terdapat mustahiknya, tetapi menjadi kewajiban kaum muslimin khususnya amilin untuk mendidik mustahiq sehingga ia dapat keluar dari keterpurukannya. Oleh karena itu, Ahmad Hasan Ridwan (2008) menyatakan bahwa bagi lembaga amil zakat, yang menjadi tujuan awal usahanya adalah pengelolaan dan pendistribusian zakat.
Pengelolaan zakat dalam artian mengusahakan agar dana zakat yang berhasil dihimpunnya bisa disalurkan kepada post-post (ashnaf) yang sesuai dengan yang dianjurkan dan ditetapkan oleh syari’at Islam. Dalam Lembaga Amil Zakat, usaha pendistribusian zakat ini terdapat dalam program pendayagunaan zakat. Pendayagunaan sendiri secara konseptual terdiri dari dua kata yaitu: kata “daya” dan “guna”. Kata “daya” berarti power, energy, dan capacity. Kata "daya" mengisyaratkan kekuatan atau tenaga untuk menggerakkan. Sementara daya guna berarti daya kerja yang mendatangkan hasil yang sebanyak-banyaknya dengan penuh manfaat (using, efficiency, usefulness). Dengan demikian program pendayagunaan berarti program yang di dalam pendistribusiannya itu tidak hanya memastikan dana zakat sampai kepada mustahik, melainkan juga bernilai produktif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat dalam konteks negara dewasa ini dapat dilihat dari besarnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI). IPM sendiri diperoleh dengan menggabungkan tiga nilai indeks yang terdiri dari indeks harapan hidup, indeks pendidikan, dan indeks daya beli.
Di sisi lain, Indonesia sebagai negara berpopulasi Muslim terbesar, juga dikenal sebagai bangsa yang paling dermawan (Charities Aid Foundation, 2018) dan negara dengan tingkat kesukarelawanan tertinggi di dunia (Legatum Institute, 2019). Hal ini menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam bersama-sama mengentaskan kemiskinan. Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, mengartikulasikan aspirasi tersebut dan terbukti berhasil dalam memberikan kesejahteraan kepada yang miskin. Dana zakat tidak hanya berhasil membantu kondisi ekonomi mustahik, tetapi juga memiliki dampak dengan membaiknya tingkat kehidupannya pada dimensi tingkat pendidikan, kesehatan serta nilai keislaman seorang mustahik. Zakat juga diekspektasikan dapat menggerus kemiskinan struktural dengan meningkatkan kemandirian mustahik sehingga ketika bantuan zakat tidak lagi disalurkan, mereka dapat mempertahankan kemandirian ekonomi.
Lebih jauh, terbukti
secara empiris, kemiskinan dalam standar BPS juga telah terentaskan dengan
lebih efektif dengan penggunaan zakat. Dalam jangka satu tahun dari September
2018 hingga September 2019, jumlah penduduk miskin turun 880.000 jiwa dan zakat
berkontribusi sebesar 126.704 jiwa atau sebesar 16% dari upaya pengentasan
kemiskinan tersebut. Penurunan total kemiskinan nasional tersebut menggunakan
dana APBN yang tersebar di 19 Kementrian/Lembaga sekitar 382,4 triliun dan dana
zakat sebesar 6,4 triliun. Dengan kata lain, 98,4% total dana yang ditujukan
untuk kemiskinan oleh APBN mengurangi kemiskinan 84%, sedangkan hanya 1,6%
total dana oleh zakat berhasil mengentaskan kemiskinan dengan porsi 16%. Ini
menegaskan efektifitas zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan. Apalagi jika
potensi zakat di Indonesia yang mencapai 233 triliun dan sebagian besarnya di
Jawa Barat dapat dimaksimalkan, maka hitungan kasar kemiskinan di Indonesia
dapat ditanggulangi.
Jawa Barat merupakan provinsi terpadat dengan jumlah penduduk sebanyak 51.096.908. Provinsi Jawa Barat sendiri memiliki 18 Kabupaten dan 9 Kota. Kabupaten Bogor menjadi wilayah dengan kemiskinan tertinggi pada 415.020 penduduk yang meliputi 5,7% dari kemiskinan di Provinsi Jawa Barat. Untuk zakat, Kabupaten Bandung Barat berhasil membantu mustahik dengan jumlah tertinggi di Jawa Barat, yaitu 153.000 jiwa. Kabupaten Bandung Barat juga menjadi wilayah dengan muzaki terdaftar tertinggi yang berkontribusi 41% muzaki terdaftar di Jawa Barat sebesar 454.823 jiwa. Sedangkan cakupan mustahik Jawa Barat yang terdata telah terbantu 15% dari jumlah total mustahik yang ada di provinsi tersebut.[1]
Zakat dan pendidikan adalah dua hal yang sebenarnya berkaitan erat. Zakat menurut bahasa artinya tumbuh, bersih. Karena melalui zakat, seorang mustahik diharapkan akan tumbuh dan berkembang dalam kesejahteraan hidupnya dan akan bersih mentalnya dari penyakit “meminta-minta”. Sedangkan pendidikan dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer diartikan sebagai proses pengubahan cara berpikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan, dan latihan
Dari pengertian zakat dan pendidikan di atas, dapat diambil satu benang merah yaitu bahwa baik zakat mau pun pendidikan mempunyai potensi besar untuk mengubah seseorang baik dari cara berfikir, mental, mau pun kondisi kesejahteraan.
Di Indonesia, kesempatan pendidikan orang-orang dhu’afa masih terbilang rendah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional(2013), angka kesempatan belajar ke perguruan tinggi baru mencapai 17,3 %. Hal tersebut masih jauh di bawah standar rata-rata negara maju yang mencapai angka minimal 30 %. Demikian pula dengan angka putus sekolah SD yang juga masih besar, meski berhasil dikurangi dari 2,5 % menjadi 1,7 % dalam lima tahun terakhir.
Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah. Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332. Di situs resminya, TNP2K mengungkap bahwa konsentrasi terbesar dari anak Indonesia yang tidak bersekolah atau putus sekolah berada di Provinsi Jawa Barat, dengan angka 958,599 anak. Disusul oleh provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, masing-masing di angka 677,642 dan 609,131 anak.
Berkurangnya kesempatan pendidikan bagi sebagian masyarakat juga akan menurunkan produktivitas perekonomian secara keseluruhan. Sejumlah studi, seperti yang dilakukan oleh Loening (2002), Park (2004), serta Haouas dan Yagoubi (2005), telah membuktikan adanya hubungan positif antara pembangunan SDM dengan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara di seluruh dunia. Lemahnya SDM berimplikasi pada tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Hal ini pula yang telah lama disadari oleh lembaga amil zakat bahwa pendidikan bagi mustahik adalah sesuatu yang sangat berpengaruh besar terhadap peningkatan kesejahteraan mustahik. Lembaga amil zakat baik Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat telah membuat program-program pendayagunaan pendidikan seperti Rumah Zakat dengan Sekolah Juaranya atau Dompet Dhuafa dengan Smart Ekselensianya.
Lalu bagaimana
tinjauan syari’ah penggunaan dana zakat untuk pendidikan?
Yusuf Qardhawi dalam Fiqh Zakat mengatakan "Mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri, dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup JIHAD. Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran Islam yang murni, mendidik anak-anak kaum muslimin dan memeliharanya dari pencangkokan kehancuran fikiran dan akhlaq, serta menjaganya dari racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan”.
Demikian pula
Fatwa MUI yang ditetapkan pada 29 Ramadhan 1416/19 Februari 1996,
ditandatangani oleh Ketua Umum MUI KH Hasan Basri dan Ketua Komisi Fatwa Prof
KH Ibrahim Hosen, LML (Surat Keputusan Fatwa Nomor 120/MUI/1996).
Fatwa MUI itu, antara lain menyatakan, Memberikan uang zakat untuk keperluan
pendidikan, khususnya dalam bentuk beasiswa, hukumnya adalah sah karena
termasuk dalam asnaf sabilillah, yaitu bantuan yang dikeluarkan dari
dana zakat berdasarkan Al-Quran surat At-Taubah ayat 60 dengan alasan bahwa
pengertian fi sabilillah menurut sebagian ulama fiqih dari beberapa
mazhab dan ulama tafsir adalah lafaznya umum.” Lebih tegas dalam pembatasannya
M. Romli, Usman Sholehudin, A. Ghazali, dan A. Syuhada pada tahun 1992 telah
menetapkan kriteria mustahik zakat fi sabilillah yaitu “Kemaslahatan umum
kaum muslimin yang dengan itunya berdiri Islam dan daulahnya dan bukan untuk
kepentingan pribadi” dasar nash Rasulullah yang kuat menjelaskan persoalan
tersebut adalah hadits Riwayat Abu Daud.” Ya Ummu Ma'qil! Apa yang
menghalangimu keluar (Pergi mengerjakan Haji)? Ia menjawab: Kami telah
bersedia, tetapi tiba-tiba Abu Ma'qil meninggal dunia, sementara onta kami yang
kami kendarai untuk naik haji itu telah diwakafkan oleh Abu Ma'qil untuk Fi
sabilillah. Maka sabda Rasul: "Sayang! Mengapa engkau tidak berangkat
dengan menunggangnya, padahal hajji itu sebahagian dari sabilillah"
HR. Abu Dawud. (A. Hassan dalam Soal-Jawab Masalah Agama). Ingin umat
sejahtera? Tunggu apalagi ayo kita berzakat ke lembaga.
[1] Peta Kemiskinan Dan Zakat Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah Dan Jawa Timur, Pusat Kajian Strategis Baznas