PENGUNJUNG

Kamis, 21 Januari 2021

Tafsir Ali imran 31-31

 


(31) قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

(32) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran/3: 31-32)


Asbabun Nuzul ayat ini ialah tatkala Rasul SAW mengajak Ka’ab ibnul Asyraf dan pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Yahudi untuk merimanya, ternyata jawabannya mereka adalah seperti yang dikemukakan oleh firman-Nya


نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ

Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya [ QS. Al Maidah : 18 ]


Lalu Allah SWT memerintahkan kepada nabi dengan jawaban firman Allah Surat Al Maidah ayat 31, Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Atau Al mahabbah dapat pula berarti Al Waduud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Hanya saja al waduud, atau dalam firman Allah surat 30:21, disebut mawaddah lebih kearah cinta yang berarti persahabatan, seperti sifat mawaddah yang terjadi pada sepasang suami istri, bukan pengagungan kepada sang khaliq.


Menurut Al Maraghi dalam tafsirnya, Al Mahabbah adalah kecenderungan jiwa terhadap suatu karena adanya kesempurnaan yang dijumpainya di dalamnya, sehingga hal tersebut mengajak jiwa untuk mendekatkan diri kepadanya. Metode pendekatan hamba kepada Allah tentunya ada kaifiyahnya [ tata aturannya].


Maka, kata tuhibuunallah [ mencintai Allah ] yang datang dari seorang hamba kepada Allah,  oleh Allah diberikan  konsekuensinya, yaitu  keharusan hamba untuk mengikuti jejak perilaku nabi SAW atau ajaran Nabi SAW.  Karena itu adalah syarat akan balasan Allah berupa ampunanNya, sebagai zat yang Maha pengampun kepada  semua makhluknya yang mau bertaubat kepadaNya.


Ayat ini sebenarnya menjadi pemisah dan pembeda [ furqon]  antara siapa hamba Allah yang berada di pihak Nabi [ yang benar-benar beriman ], dengan menjalankan seluruh syariat Islam tanpa meresa keberatan sedikitpun,  [ sami’na wa atho’na],  dan dengan mereka yang tetap dalam agama mereka atau dalam kekufurannya, atau bahkan dalam kemunafikannya, karena keragu-raguannya dengan ajaran Islam yang mulia.


Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata di dalam tafsir ayat ini, “Ayat yang mulia ini sebagai hakim terhadap semua orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi dia tidak di atas jalan Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi was sallam, maka sesungguhnya dia itu pendusta di dalam pengakuannya itu. Sampai dia mengikuti syari’at dan agama Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi was sallam di dalam seluruh perkataannya dan keadaannya”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali-‘Imran, ayat 31)


Allah Ta’ala juga berfirman:


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nuur/24: 63)


Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasul sholallohu ‘alaihi was sallam. Apa yang sesuai dengannya diterima, dan apa yang menyelisihinya dikembalikan kepada orang yang mengatakannya atau orang yang melakukannya, siapa saja dia itu”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Nuur: 63)


HADITS NABI


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ» Bu


Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata: Rasulullah sholallohu ‘alaihi was sallam bersabda: “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan darinya, maka sesuatu yang baru itu tertolak”. (HR. Bukhori, no. 2697; Muslim no: 1718/17)


Di dalam riwayat lain disebutkan dengan lafahz:


«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»


“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak”. (HR. Muslim no: 1718/18)


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى


Dari Abu Huroiroh, bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi was sallam bersabda: “Seluruh umatku akan masuk sorga, kecuali yang enggan! Para sahabat bertanya: “Wahai Rasululloh, siapa yang enggan?” Beliau menjawab: “Siapa saja mentaatiku dia masuk sorga, dan siapa saja bermaksiat kepadaku, maka dia benar-benar enggan (masuk sorga)”. (HR. Bukhori, no: 7280)



أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ


” Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya”. (HR. Bukhari, Kitab : Iman, Bab : Mencintai Rasulullah bagian dari iman, No. Hadist : 13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...