Oleh : Miftah Husni, S.Pd, M. I. Kom
Menikah merupakan ibadah yang menuru mayoritas ulama hukumnya adalah sunat sebagaimana dinukil Muhammad Ali As-shobuni dalam tafsir ayat ahkam ketika menerangkan ayat tentang kewajiban menikahkan (QS. An Nuur (24) : 32). Namun meskipun hukumnya sunat, karena sejalan dengan fitrah manusia banyak orang yang berkeinginan untuk menikah bahkan menjadikannya moment bersejarah dalam kehidupannya.
Pernikahan dimulai dengan akad ijab Kabul yang tidak lebih dari lima menit, namun konsekuensinya berlaku hingga seumur hidup. Karena inilah masih banyak orang yang memilih melajang karena menganggap menikah adalah sesuatu yang memberatkan. Konsekuensi dalam setiap pilihan hidup pasti selalu ada, namun bukan berarti tidak ada jalan keluarnya. Jika kita rinci ada beberapa konsekuensi yang akan dihadapi orang yang menikah :
1. Konsekuensi menghadapi berbagai perbedaan
Nikah itu artinya al jim’a dari kata jama’a yang berarti berkumpul, syarat utamannya biasanya adalah perbedaan, beda dalam budaya, kebiasaan, latar belakang pendidikan, hingga hal-hal kecil seperti cara makan dan minum. Karena sudah berkumpul, maka sebenarnya tidak bisa membawa ego masing-masing, sehingga seharusnya dalam pernikahan semangat yang dibawa adalah semangat PEMBAURAN bukan PELEBURAN. Semangat pembauran hakikatnya melepaskan beberapa unsur diri untuk dapat menerima unsur lainnya sebagaimana bercampurnya warna hitam dan putih menghasilkan abu-abu. Contoh sederhana laki-laki yang diposisikan sebagai pemimpin adalah bisa memerintah tapi justru rasul menganjurkan untuk memerintah dengan lemah lembut. Sebaliknya perempuan yang diposisikan menerima perintah adalah menaati.
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus untukmu di atas satu jalan. Bila engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya maka engkau bisa bernikmat-nikmat dengannya namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya. Dan pecahnya adalah talaknya.” (HR. Muslim)
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرٍ مَا يَكْنِزُ ا رْملَْءُ، ا رْملَْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan menaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417.
2. Konsukuensi berani memimpin dan dipimpin
Karena ada dua orang mau tidak mau harus ada yang mengambil peran untuk memimpin dan mengambil peran untuk dipimpin, karena tanpa kedua peran tersebut yang terjadi adalah rivalitas hingga pertengkaran bahkan peperangan. Menjadi pemimpin sepertinya lebih menyenangkan namun jika dilihat, beban tanggung jawabnya lebih besar karena menentukkan nasib yang dipimpinnya. Demikian pula sebaliknya , dipimpin sepertinya tidak menyenangkan sehingga harus mau diperintah, namun sebenarnya tanggung jawabnya sudah diambil oleh pemimpinya. Firman Allah di dalam QS al- Nisa’ : 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“ Kaum laki- laki itu adalah pemimpim kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka ( laki- Laki) atas sebagian yang lain ( wanita ) dan karena mereka menginfakkan sebagian harta mereka “
Konsekuensi masalah kepemimpinan ini digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Mereka shalat untuk kalian, apabila mereka benar maka pahalanya untuk kalian dan juga mereka. Apabila mereka salah/keliru maka pahalanya untuk kalian, sedangkan dosanya untuk mereka.”(HR. al-Bukhari 694)
Maknanya, apabila para imam sudah benar dalam mengerjakan rukun, syarat, kewajiban dan sunah shalat, maka kalian mendapat pahala shalat kalian dan mereka juga mendapat pahala shalat mereka. Akan tetapi apabila mereka melakukan kesalahan dalam shalat, maka kalian mendapat pahala shalat kalian sementara dosa/kesalahan itu akan ditanggung oleh mereka. (Fathul Baari 2/187) ‘
3. Konsukuensi mendapatkan hak dan melaksanakan kewajiban
Hak dan kewajiban bagi orang yang menikah ada pada satu sama lainnya, dengan demikian hak suami akan terpenuhi dengan terlaksananya kewajiban istri, demikian pula sebaliknya. Namun karena posisi yang berbeda, hukum yang muncul akibat tidak terpenuhi dan terlaksanakannya hak masing-masing juga akan berbeda. Bagi istri nusyuz dan bagi suami dzolim atau dayyus. Ketika Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu bila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau jelekkan[1], dan jangan engkau boikot kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no.1830 dan Ibnu Majah no. 1840. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/202)
4. Konsukuensi mendapatkan, mengurus, dan mendidik anak
Ada yang sudah menikah, namun tidak mau mempunyai anak, padahal tujuan besarnya adalah melestarikan keturunan. Maka persepsi terhadap anak harus diposisikan positif sehingga berbuah positif pula.
وَعَلَى ٱلمَولُودِ لَهُۥ رِزقُهُنَّ وَكِسوَتُهُنَّ بِٱلمَعرُوفِۚ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. al-Baqarah: 233)
5. Konsukuensi berkurangnya kesempatan berbuat baik pada orang tua
Selain karena merupakan perintah Allah, berbuat baik kepada orang tua dituntut bagi setiap anak, bagaimana tidak, jasa kedua orang tua adalah yang paling layak untuk dibalas oleh setiap anak. Oleh karena itu, sebagai rewardnya Allah menjanjikan surga bagi setiap anak pada kedua orang tuanya. Namun jika sebelum menikah peluang itu begitu besar dan banyak, setelah menikah peluang itu mau tidak mau berkurang, karena ada kewajiban untuk taat kepada suami bagi seorang istri dan ada kewajiban menafkahi bagi setiap suami.
Tetapi sebenarnya, jika kita menggunakan persepsi positif, maka setelah menikah justru peluang untuk berbuat baik pada kedua orang tua lebih besar karena sekarang berdua dengan pasangan masing-masing, tentu hal ini harus didorong oleh pasangan yang satu sama lain menyanyangi kedua orang tua yang lainnya bukan justru sebaliknya menjadi penghalang bagi pasangannya untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya,karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”
6. Konsekuensi penentu nasib abadi surga dan akhirat.
Jika sebelum menikah surga anak ada pada orangtuanya, maka setelah menikah, surga nya terletak pada pasangannya masing-masing, bahkan menentukan masuk surga secara bersamaan.
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ قَالَ : فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ ؟ قَالَتْ : مَا آلُوهُ إِلاَّ مَا أَعْجَزُ عَنْهُ قَالَ : انْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ ، فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau memiliki suami? Dia berkata: Ya. Beliau bersabda: Bagaimana posisimu baginya? Dia berkata: Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali yang aku tidak mampu untuk menunaikannya. Beliau bersabda: Perhatikan kedudukanmu bagi suamimu, karena sesungguhnya ia adalah surgamu dan nerakamu.” [HR. An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro dari Hushain bin Mihshon radhiyallaahu’anhu, Shahihut Targhib: 1933]
“ Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah istri sholihah dan sebaik-baiknya seorang suami adalah yang memuliakan istrinya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar