PENGUNJUNG

Senin, 29 Mei 2017

Shalat Jumat bagi yang safar



Selain menuntut terpenuhinya rukun dan syarat,  maka sebab wujudnya hukum bagi ibadah tersebut harus ada,  seperti ibadah jumat sebab wujud hukumnya adalah adanya jamaah,  dimana kita fahami bahwa jamaah untuk  shalat minimal 2 orang.

Selain sebab  wujud hukum, ilat penghalang terjadinya hukum (mani') juga harus diperhatikan  seperti tidak diwajibkan sholat jumat  untuk 4 golongan yaitu hamba sahaya,  orang sakit,  perempuan  dan anak kecil.  Sebagai mana hadits berikut :

ﻋَﻦْ ﻃَﺎﺭِﻕِ ﺑْﻦِ ﺷِﻬَﺎﺏٍ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔُ ﺣَﻖٌّ ﻭَﺍﺟِﺐٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻓِﻲ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔٍ ﺇِﻻَّ ﺃَﺭْﺑَﻌَﺔً ﻋَﺒْﺪٌ ﻣَﻤْﻠُﻮﻙٌ ﺃَﻭِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﺃَﻭْ ﺻَﺒِﻲٌّ ﺃَﻭْ ﻣَﺮِﻳﺾٌ

Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw. saw. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I:347

Namun terkecuali bagi empat golongan di atas ada hukum yang berbeda bagi musafir yaitu boleh tidak shalat jumat dan kembali kepada hukum kewajiban  asal yaitu shalat dzuhur . Hal ini berdasarkan riwayat  berikut :

ﻓَﺄَﺟَﺎﺯَ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺗَﻰ ﻋَﺮَﻓَﺔَ ﻓَﻮَﺟَﺪَ ﺍﻟْﻘُﺒَّﺔَ ﻗَﺪْ ﺿُﺮِﺑَﺖْ ﻟَﻪُ ﺑِﻨَﻤِﺮَﺓَ ﻓَﻨَﺰَﻝَ ﺑِﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺯَﺍﻏَﺖِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﺃَﻣَﺮَ ﺑِﺎﻟْﻘَﺼْﻮَﺍﺀِ ﻓَﺮُﺣِﻠَﺖْ ﻟَﻪُ ﻓَﺄَﺗَﻰ ﺑَﻄْﻦَ ﺍﻟْﻮَﺍﺩِﻱ ﻓَﺨَﻄَﺐَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺛُﻢَّ ﺃَﻗَﺎﻡَ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮَ ﺛُﻢَّ ﺃَﻗَﺎﻡَ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮَ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺼَﻞِّ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺷَﻴْﺌًﺎ…

… Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, terus beliau memberi hutbah pada manusia, kemudian dikumandangkan adzan selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu. H.r. Muslim, Shahih Muslim, II:88.

Kejadian itu bertepatan dengan hari jumat berdasarkan riwayat muslim 2312 tentang turun nya surat al maidah ayat 3.

Jadi, bagi yang safar boleh tidak shalat jumat,  namun bila shalat jumat maka syarat dan rukun serta sebab nya harus terpenuhi dan ilat mani'nya tidak ada.

Shalat di belakang  ahli bidah

Bagi yang safar biasanya  kesulitan menemukan masjid yang kaifiyat ibadahnya tidak sesuai dengan sunnah rasul maka dalam hal ini,  Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullah pernah ditanya tentang boleh atau tidaknya shalat di belakang ahlul bid’ah, beliau menjawab: “Shalatlah di belakangnya dan baginya bid’ahnya.” Imam al-Bukhari memberikan bab tentang perkataan Hasan al-Bashri dalam Shahiihnya (bab Imamatul Maftuun wal Mubtadi’ dalam Kitaabul Aadzaan).

Dengan demikian  dapat diambil kesimpulan bahwa shalat di belakang ahli  bidah diperbolehkan  dan shalatnya tetap sah selama rukun dan syaratnya terpenuhi.  Namun juga perlu dicatat tidak boleh amalan bidahnya diikuti cukup diam saja berdasarkan perkataan "shalat saja dan baginya bidahnya".

Lalu bagaimana  dengan hitungan benar salah dan pahalanya?  Hal ini diutarakan dalam sebuah riwayat :

ﻳُﺼَﻠُّﻮْﻥَ ﻟَﻜُﻢْ، ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑُﻮْﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ، ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺧْﻄَﺄُﻭْﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ .

“Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.”HR. Al-Bukhari (no. 694) dan Ahmad (II/355, 537), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.

Memahami masaqah dan madharat

Kesulitan lahir dari adanya suatu tuntutan pelaksanaan perintah karena perintah itu tholabu izadul fi'li (menuntut terwujudnya perbuatan). Berbeda dengan larangan yang justru menuntut meninggalkan sehingga tidak mungkin adanya kesulitan untuk meninggalkan.

Kesulitan dalam melaksanakan perintah dikenal  dalam kajian qawaid fiqiyyah sebagai al masaqotu. Dan Imam asy-syafi'i secara gamblang mengatakan "al amru idza doqot ittasa'at".(mabadi awwaliyah hal 30) . Urusan itu jika menyempit (sulit)  maka akan menjadi luas (longgar ). Praktiknya kita kenal dengan berbagai  macam keringanan dalam agama.

Bahaya itu dikenal dengan istilah madharat sebagaimana  ungkapan rasul la dharara wa la dhirara. Adanya kemadharatan berkaitan dengan adanya larangan yang menuntut untuk meninggalkan  sesuatu. Namun karena kondisi yang menyulitkan maka ia terpaksa melakukan larangan tersebut.  Sebagaimana dalam QS Al baqarah 173 tentang tidak berdosanya seseorang  makan yang diharamkan karena kemudharatan. 

Dalam hal shalat jumat di belakang ahli bidah tidak ada kesulitan dalam pelaksanaannya karena sholat jumatnya saja boleh tidak dilaksanakan.  Namun jika difahami sholat di belakang ahli bidah sebagai  suatu larangan dan berpotensi  menimbulkan madharat,  maka hemat saya melaksanakan bidahnya yang berkaitan dengan madharat sementara  shalat di belakang ahli bidah sama sekali  tidak berpotensi menuntut kita melakukan bidah karena kita bisa meninggalkan nya dengan tidak mengikutinya. 

Wallahu 'ala bisshawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...