SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 28
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ أَمْوَاتاً فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
[Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya (benda) mati, lalu Allah menghidupkanmu, kemudian kalian dimatikan (lagi), lalu dihidupkan-Nya kembali, kemudian (pada akhirnya) kepada-Nya-lah kalian dikembalikan?]
Penolakan kepada Kitab Suci dan keengganan menangkap kebenaran dari hal-hal dan kejadian-kejadian yang ada, bahkan dari makhluk ‘kecil’ seperti nyamuk sekalipun, adalah suatu bentuk arogansi. Karena manusia yang demikian adalah ibarat kacang lupa kulitnya. Mereka tidak menyadari asal-usulnya. Mereka lupa kalau pernah, di suatu waktu tertentu, mereka belum bisa disebut apa-apa. “Bukankah telah datang kepada manusia suatu masa dari (rentang) waktu dimana (saat itu) dia belum menjadi sesuatu yang dapat disebut?” (76:1)
Cobalah renungkan pertanyaan ini lalu jawablah dengan jujur: Secara biologis, siapakah kita dan dimanakah kita sebelum sperma dan ovum terbentuk dan tersimpan di tempatnya masing-masing? Jawaban maksimal yang bisa kita berikan ialah, kita berasal dari apa-apa yang kita makan: nabati dan hewani. Lebih rincinya, kita berasal dari sapi, kambing, ayam, dan ikan; kita berasal dari pohon-pohonan, buah-buahan, umbi-umbian, dan biji-bijian. Sementara nabati dan hewani terebut juga berasal dari tanah. Secara biologis, tanpa mereka semua, kita manusia tidak bisa meng-ada; tapi tanpa kita, mereka tetap meng-ada. Sehingga kitalah yang bergantung kepada mereka dan mereka sama sekali tidak bergantung kepada kita. Artinya, dalam hirarki biologis, mereka (tanah, tumbuhan, dan hewan) itu lebih mulia dari manusia.
Dari ketiadaan itu, fase pertama dalam proses penciptaan manusia secara biologis ialah setetes air. Di sini, manusia juga lupa bahwa mereka pernah menjadi hanyalah setetes air yang hina. “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.” (86:5-7) Telur ikan dan telur unggas jauh lebih berharga ketimbang jenis air ini. Karena telur ikan dan telur unggas sudah bisa ditransaksikan dengan harga sepersekian dari harga induknya, untuk kemudian dikonsumsi dengan kandungan gizi dan nutrisi yang tinggi. Sementara setetes air—yang menjadi cikal bakal manusia itu—tidak berharga sama sekali. Selain yang terbuahkan, selebihnya terbuang begitu saja, tumpah tak terhiraukan, tercecer entah dimana, dan tak mendapat perhatian dari pemiliknya sekalipun, karena dianggap sampah yang menjijikkan yang harus disingkirkan. Itu mungkin sebabnya, Islam mewajibkan bersuci (thaharah) setelah kejadian ini. “Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina?” (77:19-20)
Setelah itu, kita tiba-tiba menjadi seperti sekarang. Yaitu memiliki kemampuan berfikir dan bernalar yang tak terbatas ketika tanah, tumbuhan dan hewan tetap seperti apa adanya sejak awalnya. Manusia tiba-tiba bisa menyadari dan menjangkau seluruh keluasan alam; bahkan bisa menyeruak masuk ke balik hal-hal yang empirik, yang partikular, yang majemuk, hingga ke puncak pendakian wujud yang transenden, yang universal, yang tunggal. Kita kemudian bisa membaca masa lalu, menganalisis, dan mengkonstruknya menjadi bangunan sejarah yang utuh untuk kita gunakan di masa kini serta menyusun masa depan yang lebih baik; yang niscaya tak sanggup dilakukan oleh hewan manapun, termasuk hewan ‘cerdas’-nya Darwin. Inilah yang menyebabkan budaya dan peradaban manusia mengalami kemajuan eksponensial dan tak terbatas. Mungkinkah ini terjadi seandainya kejadian manusia murni dari tanah, tumbuhan dan hewan? Maka saat Allah mengatakan فَأَحْيَاكُمْ (fa ahyākum, lalu Allah menghidupkanmu), di situlah ‘masuk’-nya unsur lain yang murni nonmateri dan transenden. Kalau yang biologis sumbernya jelas: tanah, tumbuhan, dan hewan; lalu darimanakah sumbernya unsur lain ini? Penggalan ayat 28 ini menyebut secara gamblang bahwa yang menghidupkan itu ialah Dia (Allah swt).
Untuk itu Allah ‘menjadi heran’ ketika manusia tiba-tiba ingkar kepada-Nya, tiba-tiba merasa tidak butuh akan PETUNJUK-Nya. Manusia tiba-tiba merasa bisa jalan sendiri, merasa bisa bereksistensi tanpa selain dirinya. Karena Allah tahu persis siapa manusia itu, maka saat mereka ingkar kepada-Nya dan menentang Kitab Suci-Nya, Dia lalu bertanya ‘heran’: Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya (benda) mati, lalu Allah menghidupkanmu… Inilah rahasianya kenapa setelah itu Dia mematikan kita kembali, agar menjadi peringatan bagi kita bahwa, secara biologis, kita tetap memiliki kekurangan yang tak terperikan. Semua manusia bisa melihat dan meyakini bahwa sehebat apapun orang itu, seberprestasi apapun tokoh itu, selegendaris apapun bintang itu, toh semuanya berakhir pada kematian, pada ketidakberdayaan mengusir lalat sekalipun dari tubuhnya. Dan setelah kematian yang kedua itu, Allah akan menghidupkan kita kembali di alam akhirat. “Kemudian kalian dimatikan (lagi), lalu dihidupkan-Nya kembal,” untuk mempertanggungjawabkan semuanya. Baru setelah rampung semua pertanggungjawaban itu, manusia lalu dikembalikan kepada-Nya dalam keadaan bahagia (Surga) atau menderita (Neraka): Kemudian (pada akhirnya) kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.
Ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan reinkarnasi, seperti yang dipahami oleh orang nonislam. Karena reinkarnasi yang difahami mereka, ialah munculnya seseorang dalam kehidupan berikutnya (di dunia ini) pada personalitas-personalitas lain, dalam bentuk hewan-hewan atau sosok-sosok manusia tertentu. Sementara yang terfahami dari ayat ini ialah perjalanan seseorang—yang unik untuk dirinya dan tak bisa diwakili oleh personalitas lain—dalam melintasi alam-alam yang berbeda yang sekaligus menjadi destinasi-destinasi. Destinasi pertama: alam sulbi (أَمْوَاتاً, amwātan, dalam keadaan mati). Destinasi kedua: alam dunia (فَأَحْيَاكُمْ, fa ahyākum, lalu Allah menghidupkanmu, di dunia). Destinasi ketiga: alam barzah atau alam qubur (ثُمَّ يُمِيتُكُمْ , tsumma yumiytukum, kemudian kalian dimatikan-Nya lagi, di alam barzah). Destinasi keempat: alam mahsyar (ثُمَّ يُحْيِيكُمْ, tsumma yuhyiykum, lalu dihidupkan-Nya kembal, di Padang Mahsyar). Destinasi terakhir: Surga dan Neraka (ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ, tsumma ilayhi turja’uwn, kemudian (pada akhirnya) kepada-Nya-lah kalian dikembalikan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar