Salah satu cara untuk mendapatkan khasiat dari suatu obat adalah mengetahui cara kerja obat tersebut sehingga cara kerja tersebut membuat obat dapat bekerja sebagaimana mestinya dan dapat diambil khasiatnya. Demikian pula salat salah satu hasiat yang paling banyak disebutkan adalah bahwa salat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar hal ini sebagaimana disebutkan dalam surah alankabut ayat 45:
Namun sering muncul pertanyaan Apakah benar salat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar karena terkadang Masih banyak orang yang mengerjakan salat tetapi tidak meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.
Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah cara kerja salat Seperti apa dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Makna Fahsya dan Munkar
Jika dikaitkan dengan kata fahsyâ’, maka makna dasarnya adalah sesuatu yang keji, buruk, dan amat hina dipandang. Sedangkan makna relasional dari fahsyâ’ dapat diklasifikasikan menjadi beberapa makna. Pertama, fahsyâ’ merupakan perbuatan buruk yang berhubungan dengan dosa besar, seperti syirik (QS. Al-A’raf: 28).
Kedua, dosa-dosa yang berorientasi kepada penyimpangan seksual semisal, zina (QS. Al-Baqarah: 169, QS. Al-Nisa: 15, 19, dan 25), inses (QS. Al-Nisa: 22), dan homoseksual (QS. Al-A’raf: 80-81).
Ketiga, makna fahsyâ’ terkadang juga mengarah kepada dosa-dosa sosial, seperti bakhil atau enggan membayar zakat (QS. Al-Baqarah: 268) dan penyebaran berita hoaks/ hadis ifk (QS. Al-Nûr: 21).
Menurut istilah, munkâr adalah segala sesuatu yang melanggar norma-norma agama, sosial dan budaya atau istiadat satu masyarakat. Sangat banyak sekali perbuatan yang tergolong kemunkaran. Dalam Al-Qur’an setidaknya didapati beberapa perbuatan buruk yang tergolong munkâr, seperti: pembunuhan (QS. Al-Kahfi: 74), pembegalan (QS. Al-Ankabut: 29), melampaui batas dalam beragama (guluw) (QS. Al-Maidah: 79) dan lainnya.
Implikasi yang pertama yakni secara teoritik, kata fah}syâ’ dan munkâr memiliki penekanan makna sendiri-sendiri. Ini menegaskan bahwa setiap kata arab atau kata dalam Al-Qur’an memiliki konteks masing-masing. Misalnya kata fahsyâ’lebih menekankan kepada perbuatan buruk yang tidak bisa diterima oleh syariat dan akal sehat manusia sedangkan kata munkâr lebih menekankan kepada perbuatan buruk yang dilarang oleh agama, akal sehat dan budaya manusia. Artinya pengertian kata yang kedua lebih luas bidanding yang pertama.
Kedua, implikasi teori anti-sinonimitas yang berpengaruh terhadap sisi aplikatifnya. Kata fahsyâ’ dan munkâr memiliki perbedaan dalam ranah penerapannya dalam beberapa hal. Pertama, kata fahsyâ’ cenderung menampilkan dosa-dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, misal zina, selingkuh, menyebarkan berita bohong atau memfitnah. Berbeda dengan kata munkâr yang perbuatannya dilakukan secara terang-terangan, misal pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir kepada seorang anak saat bertemu dengan Nabi Musa.
Contoh lainnya juga bisa dilihat dari redaksi teks hadis berikut:
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
Dari Abu Sa’id al-khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah dia merubahnya dengantangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemahiman” (HR. Muslim)
Hadis di atas menjelaskan tentang kewajiban mencegah perbuatan dosa, dan redaksi teksnya menggunakan kata munkâr bukan fahsyâ’. Artinya, hal tersebut menngindikasikan bahwa kemungkaran yang dimaksud dalam hadis ini adalah suatu kejahatan atau perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan atau terlihat.
Implikasi kedua, perbuatan dosa fahsyâ’ dalam hukum Islam, akan menyebabkan pelakunya mendapatkan hukuman berupa had secara mutlak. Sedangkan hukuman bagi pelaku munkâr adalahhukuman bertahap, misalnya pembunuhan Di dalam Islam terjadi perbedaan pentapan sanksi kepada pembunuh, tergantung dengan jenis pembunuhan yang dilakukan; ada tiga jenis pembunuhan dalam Islam.
Di samping perbedaan-perbedaan di atas, antara kata fahsyâ’dan munkâr juga memiliki korelasi makna. Setidaknya ada dua keterkaitan atau irisan persamaan antara keduanya.
Pertama, fahsyâ’ dan munkâr adalah dua perbuatan dosa yang sama-sama bersumber dari setan. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Nûr: 21.
Kedua, fahsyâ’ merupakan bagian dari munkâr, hal ini dapat dikaitkan dengan macam dosa fahsyâ’yang mengarah kepada dosa-dosa sosial dan ini berkorelasi dengan makna munkâr yang lebih luas.
Cara Kerja Salat Mencegah Perbuatan Keji dan Munkar
قوله تعالى: (إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهى عَنِ الْفَحْشاءِ وَالْمُنْكَرِ) يُرِيدُ إن الصلاة الْخَمْسَ هِيَ الَّتِي تُكَفِّرُ مَا بَيْنَهَا مِنَ الذُّنُوبِ، كَمَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامَ: "أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شي" قالوا: لا يبقى من درنه شي، قَالَ: "فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا" خَرَّجَهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ،
Ayat salat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar maksudnya bahwa salat yang lima waktu itu akan menghapus dosa-dosa di antara waktu-waktu shalat sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam Bagaimana pendapat kalian kalau ada sebuah sungai di depan rumah kalian kemudian kalian mandi setiap hari 5 kali sehari Apakah tersisa dari kotorannya sedikitpun maka para sahabat menjawab tidak Ya Rasulallah maka demikianlah salat akan menghapus dosa-dosa hadits dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiallahu anhu
وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: الصَّلَاةُ هُنَا الْقُرْآنُ. وَالْمَعْنَى: الَّذِي يُتْلَى فِي الصَّلَاةِ يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، وعن الزنى وَالْمَعَاصِي
Dan telah berkata Ibnu Umar makna salat dalam ayat ini adalah Alquran yaitu Apa yang dibaca dari AlQuran di dalam salat akan mencegah perbuatan keji dan mungkar dan dari zina juga maksiat.
. وَقَالَ حَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَابْنُ جُرَيْجٍ وَالْكَلْبِيُّ: الْعَبْدُ مَا دَامَ فِي صَلَاتِهِ لَا يَأْتِي فَحْشَاءَ وَلَا مُنْكَرًا، أَيْ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى مَا دُمْتَ فِيهَا.
Dan telah berkata Imam Muhammad dan Nabi Sulaiman dan Ibnu juraij serta Imam Al Kalbi seorang hamba selama dia dalam shalatnya tidak akan bisa melakukan perbuatan keji dan mungkar yakni sesungguhnya salat bisa mencegahnya selama ia melakukan salat.
قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ مِمَّا رَوَاهُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ فَتًى مِنِ الْأَنْصَارِ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ ﷺ وَلَا يَدَعُ شَيْئًا مِنَ الْفَوَاحِشِ وَالسَّرِقَةِ إِلَّا رَكِبَهُ، فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: "إن الصلاة ستنهاه" فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ تَابَ وَصَلُحَتْ حَالُهُ.
Ibnu Athiyah telah berkata dari hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik ia telah berkata adalah seorang pemuda dari kaum Anshar yang salat bersama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam Tetapi dia tidak meninggalkan perbuatan keji dan juga mencuri kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad maka nabi menjawab sesungguhnya salat akan mencegahnya suatu waktu maka tidak lama dia bertobat dan memperbaiki keadaannya.
.وَقِيلَ: هُوَ خَبَرٌ بِمَعْنَى الْأَمْرِ أَيْ لِيَنْتَهِ الْمُصَلِّي عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. وَالصَّلَاةُ بِنَفْسِهَا لَا تَنْهَى، وَلَكِنَّهَا سَبَبُ الِانْتِهَاءِ. وَهُوَ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: "هَذَا كِتابُنا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ" وَقَوْلُهُ: "أَمْ أَنْزَلْنا عَلَيْهِمْ سُلْطاناً فَهُوَ يَتَكَلَّمُ بِما كانُوا بِهِ يُشْرِكُونَ
Dan juga dikatakan bahwa ayat ini adalah kabar tetapi maknanya adalah perintah yakni perintah supaya orang yang salat berhenti dari perbuatan keji dan mungkar dan salat itu sendiri tidak mencegahnya tetapi ia adalah sebab berhentinya sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala Apakah telah aku turunkan kepada mereka kekuasaan maka dia berkata apa yang sebelumnya mereka musrik kan
. وَعَلَى هَذَا يُخَرَّجُ الْحَدِيثُ الْمَرْوِيُّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنِ وَالْأَعْمَشِ قَوْلُهُمْ: "مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرُ لَمْ تَزِدْهُ مِنَ اللَّهِ إِلَّا بُعْدًا"
Dan berkaitan dengan ayat ini pula sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas dan Hasan dan emas ucapan mereka barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar tidak ada yang bertambah kecuali semakin jauh dari Allah
فَالْمَعْنَى الْمَقْصُودُ بِالْحَدِيثِ: "لَمْ تَزِدْهُ مِنَ اللَّهِ إِلَّا بُعْدًا وَلَمْ يَزْدَدْ بِهَا مِنَ اللَّهِ إِلَّا مَقْتًا" إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ مُرْتَكِبَ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَا قَدْرَ لِصَلَاتِهِ، لِغَلَبَةِ الْمَعَاصِي عَلَى صَاحِبِهَا.
Maka makna yang dimaksud dengan hadits ini yaitu tidak ada yang ditambah dari Allah kecuali semakin jauh dan tidak ditambah dari Allah kecuali murkanya ini adalah isyarat bahwa siapapun yang melakukan salat tidak ada kekuatan salatnya untuk menghalangi pelakunya dari kemaksiatan
Sesungguhnya di dalam salat itu terkandung tiga pekerti, setiap salat yang tidak mengandung salah satu dari ketiga pekerti tersebut bukan salat namanya; yaitu ikhlas, khusyuk, dan zikrullah (mengingat Allah). Ikhlas akan mendorongnya untuk mengerjakan perkara yang baik, khusyuk akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan munkar, dan zikrullah yakni membaca Al-Qur'an menggerakkannya untuk amar makruf dan nahi munkar.
اقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ﴾ أَيْ ذِكْرُ اللَّهِ لَكُمْ بِالثَّوَابِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْكُمْ أَكْبَرُ مِنْ ذِكْرِكُمْ لَهُ فِي عِبَادَتِكُمْ وَصَلَوَاتِكُمْ.
firman Allah ta'ala dan mengingat Allah lebih besar yaitu mengingatnya Allah dengan pahala dan Sanjungan kepada kalian lebih besar dari mengingatnya kalian kepada-Nya dalam ibadah dan salat salat kalian
. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ وَقَتَادَةُ: ولذكر الله أكبر من كل شي أَيْ أَفْضَلُ مِنَ الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا بِغَيْرِ ذِكْرٍ. وَقِيلَ: ذِكْرُ اللَّهِ يَمْنَعُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ فَإِنَّ مَنْ كَانَ ذَاكِرًا لَهُ لَا يُخَالِفُهُ.
Dan telah berkata Ibnu Zaid dan qotadah dan mengingat Allah lebih besar dari segala sesuatu yakni lebih utama dari seluruh ibadah tanpa mengingatnya dan juga dikatakan mengingat Allah akan menghalangi dari maksiat karena sesungguhnya Siapa yang mengingatnya tidak akan menyalahi aturannya
قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ: وَعِنْدِي أَنَّ الْمَعْنَى وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ عَلَى الْإِطْلَاقِ، أَيْ هُوَ الَّذِي يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، فَالْجُزْءُ الَّذِي مِنْهُ فِي الصَّلَاةِ يَفْعَلُ ذَلِكَ، وَكَذَلِكَ يَفْعَلُ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ، لِأَنَّ الِانْتِهَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا مِنْ ذَاكِرٍ اللَّهَ مُرَاقِبٍ لَهُ.
Dan telah berkata Ibnu Athiyah menurutku makna dan dzikir pada Allah lebih besar secara mutlak yaitu Pikirlah yang bisa melarang perbuatan keji dan mungkar maka balasan pahala dari melakukan salat adalah hal itu demikian pula jika dikir dikerjakan di luar salat karena sesungguhnya berhenti dari perbuatan tidak akan terjadi dari orang yang berdzikir pada Allah dan mendekatkan diri kepada-nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar