PENGUNJUNG

Sabtu, 30 Januari 2021

Jumlah Takbir Pada Iqomat


Berapa kali kah jumlah takbir ketika iqomat untuk sholat?

Imam Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:

أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبَا مَحْذُوْرَةَ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَيُوْتِرَ الإِقَامَةَ

“Rasulullah saw. memerintah Abu Mahdzurah agar menggenapkan adzan dan mewitirkan qomat.”

Sedangkan pada riwayat Ibnu Khuzaimah dengan redaksi:

فَأُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَيُوْتِرَ الإِقَامَةَ إِلاَّ قَوْلَهُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
“Maka Bilal diperintah untuk menggenapkan adzan dan mewitirkan iqomat kecuali perkataan qod qomatis solah.”


Berdasarkan hadis di atas, Imam Al-Bukhari membuat dua bab dengan judul

بَابٌ اَلأِذَانُ مَثْنَى مَثْنىَ dan باب الإِقَامَةُ وَاحِدَةٌ إِلاَّ قَوْلَهُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat matsna matsna adalah marratain marratain (dua kali, dua kali). (Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, II:100)

 Dalam riwayat Al-Baihaqi dengan lafal

كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَثْنَى مَثْنَى وَالإِقَامَةُ فُرَادًى
“Adzan di jaman Rasulullah saw. itu dua kali-dua kali dan iqomat satu kali.”

Sedangkan pada riwayat Abu Awanah dengan lafal
كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَثْنَى مَثْنَى وَالإِقَامَةُ مَرَّةً مَرَّةً غَيْرَ أَنَّ الْمُؤَذِنَ إِذَا قَالَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ مَرَّتَيْنِ

“Adzan di zaman Rasulullah saw. itu dua kali-dua kali dan iqomat satu kali-satu kali. Hanya muadzin apabila mengucapkan Qad qamatis salah dua kali.”
 
Sementara dalam riwayat ad-Daraquthni diterangkan oleh Salamah bin al-Akwa’ sebagai berikut:
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ قَالَ: كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثْنَى مَثْنَى وَالإِقَامَةُ فَرْدًا رواه الدارقطني

Dari Salamah bin Al Akwa, ia mengatakan adzan pada jaman Rasulullah saw. dua kali-dua kali dan iqamah satu kali. H.r. Ad-Daruquthni

 Dan pada riwayat Ad-Daraquthni ditegaskan dengan redaksi:

وَأَمَرَهُ أَنْ يُقِيْمَ وَاحِدَةً وَاحِدَةً
“Dan Beliau memerintahnya agar qamat satu kali-satu kali.” 

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dilihat dari aspek periwayatan, iqomat dengan takbir (Allahu Akbar) satu kali lebih kuat.

 

Jumat, 22 Januari 2021

BID’AH


Pengertian Bid’ah

Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Allah berfirman.

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ 

"Allah pencipta langit dan bumi" [Q.s. Al-Baqarah : 117]

Artinya Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya..

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنْ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ 

"Katakanlah : 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul". [Q.s. Al-Ahqaf : 9].

Maksudnya: Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.

Kata Bada’a secara bahasa mempunyai dua makna; 

Pertama, bermakna sesuatu yang diciptakan (diadakan) tanpa ada contoh sebelumnya. Makna ini sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Al-Ahqaf ayat 9 di atas.

Ibnu Rajab berkata, “Adapun yang terdapat dalam perkataan ulama salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah adalah bid’ah dalam pengertian bahasa. Bukan bid’ah dalam pengertian syari’at. Di antaranya perkataan Umar tatkala memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan di satu tempat dengan dipimpin seorang imam, maka beliau berkata, “Inilah sebaik-baiknya bid’ah”   

Kedua, bermakna lelah dan bosan, dikatakan “Abda’at Al-ibilu” artinya unta bersimpuh di tengah jalan, karena kurus atau (terkena) penyakit atau lelah.

Di antara penggunaan kata bid’ah dalam makna ini adalah perkataan seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah, 

إِنِّي أُبْدِعَ بِي فَاحْمِلْنِي فَقَالَ مَا عِنْدِي فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَدُلُّهُ عَلَى مَنْ يَحْمِلُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ 

Sesungguhnya saya kelelahan, tolong berilah saya bekal, maka Rasulullah berkata, ‘Saya tidak punya”. Maka seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, saya akan tunjukan dia kepada orang yang bisa membantunya”. Maka Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya’.” H.r. Muslim 

Sedangkan secara istilah, sebagaimana diterangkan oleh as-Syatibi

قَالَ اْلاِمَامُ الشَّاِطِبُّي : أَلْبِدْعَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِى التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Imam Asy Syatibi mengatakan, ”Bid’ah itu adalah keterangan tentang satu  cara dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syari’at, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan agar lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah swt”. 

Dalam perkataan lain bid’ah adalah

اْلأَمْرُ اْلمُحْدَثُ فِى الدِّيْنِ عَقِيْدَةً أَوْعِبَادَةً أَوْ صِفَةً لِلْعِبَادَةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

urusan yang diada-adakan dalam agama, baik berupa aqidah, ibadah, maupun cara ibadah yang tidak terdapat pada zaman Rasulullah saw.


 Macam-macam Bid’ah

Bid'ah dalam Ad-Dien (Islam) ada dua macam :

[1] Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

[2] Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :

[A]. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.


[B]. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.


[C]. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

[D]. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.


 Kelompok Ahli Bid’ah

Para ulama membagi ahli bid’ah ke dalam dua kelompok. Pertama, ahli bid’ah yang mukaffirah (menjadi kafir akibat bid'ahnya). Kedua, ahli bid’ah yang mufassiqah (menjadi fasik karena bid'ahnya).

(1) Bid’ah Mukaffirah

Bid'ah Mukaffirah terjadi karena 

(a) mengingkari suatu perkara yang telah disepakati, telah mutawatir (khabarnya), serta secara pasti bisa diketahui dari agama. Seperti mengingkari sesuatu yang sudah difardhukan, atau menfardhukan sesuatu yang tidak difardhukan, atau menghalalkan sesuatu yang haram, atau mengharamkan sesuatu yang halal, menafikan asma' wa Shifat Allah (karena ini merupakan pendustaan terhadap nash-nash yang mutawatir dan secara pasti bisa diketahui dari agama, dan ini sama halnya menyamakan Allah dengan sesuatu yang tidak berwujud). Dan termasuk juga ucapan seseorang : "Akal pikiran, perasaan dan politik merupakan hujjah yang qath'i, dan syari'at bertentangan dengannya", dan ucapan : "Saya tidak membutuhkan Muhammad - dalam perkara-perkara agama - ", atau : "saya dengannya seperti halnya Nabi Khidir 'alaihis salam dengan Musa 'alaihis salam, yakni syari'atnya tidak wajib atas saya". Dan lain sebagainya dari ucapan-ucapan yang kufur 

(b) meyakini sifat ketuhanan pada sebagian manusia sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nashara terhadap Isa alaihis salam, 

(c) sikap melampaui batas yang dilakukan orang-orang Syi'ah terhadap Ali radhiyallahu 'anhu, atau sikap orang-orang Syufi terhadap sebagian Masyaikh mereka. 

Kesimpulan:

Bid'ah Mukaffirah adalah bid’ah yang menodai ushuluddin (pokok-pokok keimanan)

Ahli bid’ah mukaffirah terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu, (1) ahli bid’ah yang memperbolehkan dusta untuk menguatkan pendapatnya. (2) ahli bid’ah yang tak membolehkan dusta. (3) ahli bid’ah yang da’iyyah (mempropagandakan) bid'ahnya, (4) ahli bid’ah yang tidak da’iyyah bid'ahnya.

Tanda-tanda Ahli Bid’ah Mukaffirah

Ahli Sunah membedakan antara suatu pendapat dengan pelakunya. Suatu pendapat adakalanya berupa kekufuran dan kefasikan, tetapi pelakunya tidak Kafir dan tidak pula Fasik. seperti halnya suatu pendapat adakalanya berupa ketauhidan dan keimanan, akan tetapi pelakunya tidak beriman dan tidak pula bertauhid.

Suatu pendapat kekufuran dapat dikategorikan sesuai dengan pelakunya, apabila memenuhi beberapa syarat dan harus hilang penghalang-penghalangnya.

Ahli bid’ah mukaffirah memiliki tanda-tanda yang lengkap dan nampak sehingga mereka mudah dikenal, antara lain

Adapun Syarat-syaratnya, antara lain :

1. Hendaknya pendapatnya itu secara jelas menunjukkan kekufuran yang dilakukan berdasarkan pilihannya dan bukan karena terpaksa.

2. Hendaknya dia terus beregangan dengan pendapatnya yang kufur tersebut, dan ketika ditunjukkan kepadanya (al-haq) dia tetap memeganginya. Adapun jika dia tidak memegangi pendapatnya tersebut, bahkan dia menolak dan mengingkarinya, maka dia tidak kafir. 

3. Hendaknya telah ditegakkan hujjah kepadanya dan dia telah jelas terhadap perkara tersebut. Hal ini berdasar firman Allah ta'ala :

"Dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang Rasul ". (Al-Israa' : 15)

Allah ta'ala berfirman :

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya .....". (An- Nisaa' : 115)

Adapun Penghalang-penghalangnya, antara lain :

1. Dia baru masuk Islam

2. Dia hidup di Gurun yang jauh. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang tidak mempunyai Ulama selain Ulama' bid'ah yang mereka mintai fatwa dan mereka ikuti.

3. Dia kehilangan akalnya karena gila atau karena yang lain.

4. Belum sampai kepadanya nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunah , atau telah sampai (nash-nash tersebut) tetapi belum jelas baginya - kalau itu dari Sunah -, atau dia belum tuntas dalam memahaminya.

5. (Nash-nash tersebut) telah sampai kepadanya, dia telah jelas dalam memahaminya, akan tetapi disodorkan kepadanya sesuatu yang bertentangan dengan nash-nash tersebut - baik yang berasal dari akal pikiran maupun perasaan - yang mengharuskan penta'wilan, walaupun dia akan berbuat kesalahan. Termasuk (kelompok) ini adalah Mujtahid 'Ahli Ijtihad' yang salah dalam ijtihadnya. Karena Allah akan mengampuni kesalahannya dan memberinya pahala atas ijtihadnya itu apabila niatnya baik.

Dengan demikian, tidak boleh menghukumi orang tertentu dengan kekufuran kecuali setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan telah hilang penghalang-penghalangnya. Adapun yang dinukil dari Salaf tentang pemutlakan kufur dan laknat , maka hal itu tetap berada pada kemutlakan dan keumumannya.Tidaklah ditetapkan kekufuran pada orang tertentu kecuali harus dengan dalil. Berkata Ibnu Taimiah rahimahullah : "Sesungguhnya para Imam - seperti Imam Ahmad rahimahullah telah berhubungan langsung dengan Jahmiah, golongan yang mengajaknya kepada pendapat (yang mengatakan bahwa) Al-Qur'an adalah makhluk, dan kepada penafian Sifat-sifat Allah. Dan yang telah mengujinya beserta para Ulama' semasanya, mereka telah memfitnah orang-orang Mukmin dan Mukminah yang tidak sefaham dengan mereka , baik dengan pukulan, penjara, pembunuhan, pengusiran dari daerah, embargo ekonomi, menolak persaksian mereka , dan tidak membebaskan mereka dari cengkraman musuh. (Hal itu bisa terjadi) karena kebanyakan dari Ulil Amri-nya berasal dari mereka, baik para Wali , Hakim, maupun yang lainnya. Mereka mengkafirkan setiap orang yang tidak menganut faham Jahmiah dan yang tidak setuju dengan pendapat mereka dalam menafikan Sifat-sifat Allah dan pendapat (yang mengatakan) bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Mereka menghukumi (selain mereka) seperti halnya mereka menghukumi orang-orang Kafir.


Kemudian (ternyata) Imam Ahmad rahimahullah mendo'akan Khalifah dan selainnya dari orang-orang yang memukul dan memenjarakannya. Dia memintakan ampun buat mereka dan menganggap selesai perbuatan yang telah mereka lakukan kepadanya, baik yang berupa kedzaliman dan seruan kepada pendapat yang kufur. Kalau seandainya mereka telah Murtad dari Islam, maka tidak boleh memintakan ampun buat mereka. Karena memintakan ampun buat orang-orang Kafir tidak diperbolehkan Al-Kitab , As-Sunah dan Ijma'.

Beberapa pendapat dan perbuatan yang berasal dari beliau ini dan juga yang berasal dari para Imam lainnya secara jelas (menunjukkan ) bahwa mereka tidak mengkafirkan orang tertentu dari Jahmiah yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, dan Allah tidak bisa dilihat di Akhirat...." 1 .

Jadi orang yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunah , adakalanya seorang Mujtahid yang salah, atau orang Jahil yang diampuni, atau seorang pelanggar yang dzalim seperti pelaku dosa besar, atau seorang Munafik Zindik seperti orang yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman, atau orang Musyrik yang sesat yaitu orang yang melakukan kekufuran dengan teranng-terangan. Dan masing-masing mereka mendapat muamalah sesuai kedudukannya.

Walaupun demikian, seyogyanya tidak difahami bahwa orang yang mendapat tameng yang bisa menghalangi dirinya dari ancaman, kemudian dia menganggap bahwa amalnya ini - perselisihannya terhadap Sunah - merupakan perbuatan yang mubah atau disyari'atkan, apalagi kalau sampai menganggapnya sesuatu yang wajib atau sunah.


Udzur dengan Kebodohan .

Di sini harus ada pembeda antara orang bodoh yang kokoh ilmunya dan mengenal al-haq kemudian dia berpaling darinya, dengan orang bodoh yang tidak kokoh ilmunya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa segi :

Orang yang kokoh ilmunya, tetapi dia berpaling dan lalai, dia meninggalkan hal-hal yang wajib, maka tidak ada udzur baginya di sisi Allah. Adapun orang yang tidak mampu bertanya dan lemah ilmunya sehingga ilmunya tidak kokoh dalam beberapa hal, maka orang semacam ini ada dua jenis : 

1. Orang yang menginginkan hidayah, dia terpengaruh dengannya, dan dia mencintainya, akan tetapi dia tidak mampu untuk mendapatkan dan mencarinya, karena tidak adanya orang yang membimbingnya. Maka orang semacam ini hukumanya sama dengan orang yang mengalami masa fatrah ' masa terputusnya pengiriman Rasul' dan sama dengan orang yang tidak sampai dakwah kepadanya .

2. Orang yang berpaling dan tidak menginginkan hidayah, dan dia sendiri tidak pernah berkomunikasi dengan sesuatu diluar keyakinannya.

Orang pertama mengatakan : " Ya Rabbi, seandainya saya tahu bahwa Engkau memiliki agama yang lebih baik dari agama yang saya anut ini, maka saya pasti memeluknya dan saya akan meninggalkan agama yang telah saya anut. Tetapi saya tidak tahu selain yang saya anut ini, saya tidak mampu untuk mencarinya, kesungguhan saya dalam mencarinya sudah finish, dan ini adalah batas pengetahuan saya.

Orang kedua hanya menerima sesuatu yang dianutnya saja, orang lain tidak bisa mempengaruhinya, dan dia tidak berusaha mencarinya. Tidak ada beda baginya antara waktu mampunya dan waktu lemahnya. Orang semacam ini tidak bisa disamakan dengan orang pertama, karena keduanya terdapat perbedaan.

Orang pertama seperti orang yang mencari agama pada masa fatrah, tetapi dia tidak sabar dalam mencarinya, sehingga dia berpaling - setelah menghabiskan tenaga dalam mencarinya - karena ketidakmampuan dan ketidaktahuannya.

Orang kedua seperti orang yang tidak ada usaha dalam mencarinya, bahkan dia mati dalam kesyirikannya, dan walaupun dia mencarinya maka dia tidak akan mampu. Maka bedakanlah orang lemah yang berusaha mencarinya dengan orang lemah yang berpaling ( dari mencarinya).

Rincian pembahasan diatas adalah untuk menjelaskan bahwa orang yang menyelisihi Manhaj Ahli Sunah dalam masalah-masalah I'tiqad adakalanya seorang yang jelas kekufurannya dan adakalanya tidak demikian.

Orang yang menyelisihi (Manhaj Ahli Sunah ) kadang-kadang orang Kafir yang menunjukkan kekufurannya, atau orang Munafik yang menyembunyikan kekufurannya, atau orang yang dzalim, atau orang Jahil yang diampuni, atau Mujtahid yang salah (dalam berijtihad). Ibnu Taimiah rahimahullah mengatakan : "Tidak semua orang yang menyelisihi sesuatu dari permasalahan i'tiqad ini pasti binasa. Karena orang yang menyelisihi itu adakalanya orang salah yang diampuni kesalahannya oleh Allah, adakalanya belum sampai ilmu dan hujjah kepadanya, adakalanya dia memiliki banyak kebaikan sehingga Allah menghapus kesalahannya dengan (kebaikannya tersebut)....Kesimpulan dari pembahasan ini adalah barangsiapa yang meyakini Manhaj ini , maka selamatlah keyakinannya itu, dan barangsiapa yang meyakini selainnya, adakalanya dia selamat dan adakalanya dia tidak selamat ".1 r 


(2) Bid’ah Mufassiqah

Bid'ah Mufassiqah atau Ghairu Mukaffirah (bid'ah yang tidak menyebabkan kekafiran) ialah bid'ah yang tidak menodai ushuluddin, serta tidak membatalkan sesuatu yang mutawatir dari syar'i dan secara otomatis bisa diketahui dari agama. Akan tetapi bid'ah ini sesat dan menyimpang dari al-haq dan dari As-Sunah. Bid'ah ini ada beberapa tingkatan. Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, "Dan seyogyanya diketahui - juga - bahwa kelompok-kelompok yang menisbatkan (diri) mereka kepada pengikut Ushulud Din 'Pokok-pokok agama' dan kepada Ilmu Kalam, mereka berada pada beberapa tingkatan : Di antara mereka ada yang menyalahi pokok-pokok Sunah yang prinsip, dan di antara mereka ada yang menyalahinya dalam perkara-perkara yang lebih rinci".   

Kesimpulan:

Bid'ah Mufassiqah adalah bid’ah yang menodai hal-hal yang wajib atau sunah. Bid'ah semacam ini berada pada tingkatan dosa besar atau dosa kecil

Ahli bid’ah mufassiqah terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu, (1) ahli bid’ah yang da’iyyah (mempropagandakan) bid'ahnya, (2) ahli bid’ah yang tidak da’iyyah bid'ahnya.


Wisata Alam Kubur


 Himpitan Kubur

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إِنَّ لِلْقَبْرِ ضَغْطَةً لَوْ كَانَ أَحَدٌ نَاجِيًا مِنْهَا نَجَا سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ

Dari Aisyah, bahwa dia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Dalam kubur ada sebuah himpitan, seandainya ada seorang yang selamat darinya, maka Sa'ad bin Muadz termasuk orangnya."


Pertanyaan Kubur

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مِنْهَال بْنِ عَمْرٍو، عَنْ زَاذَانَ، عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ ولَمَّا يُلْحَد. فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ كَأَنَّ عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرَ، وَفِي يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فِي الْأَرْضِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: "اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ". مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ: "إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا، وَإِقْبَالٍ إِلَى الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ، كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الشَّمْسُ، مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ، وحَنُوط مِنْ حَنُوط الْجَنَّةِ، حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ بَصَرِهِ. ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ، حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ".قَالَ: "فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ، فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعوها فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ، حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ، وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ. وَيَخْرُجَ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ. فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلَا يَمُرُّونَ -يَعْنِي-بِهَا عَلَى مَلَأٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِلَّا قَالُوا: مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ؟ فَيَقُولُونَ: فَلَانٌ بن فُلَانٍ، بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِي كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِي الدُّنْيَا، حَتَّى يَنْتَهُوا بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَسْتَفْتِحُونَ لَهُ، فَيُفْتَحُ لَهُ، فَيُشَيِّعُهُ مِنْ كُلِّ سَمَاءٍ مُقَرَّبُوهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِي تَلِيهَا، حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ، فَيَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: اكْتُبُوا كِتَابَ عَبْدِي فِي عِليِّين،وَأَعِيدُوهُ إِلَى الْأَرْضِ، فَإِنِّي مِنْهَا خَلَقْتُهُمْ، وَفِيهَا أُعِيدُهُمْ وَمِنْهَا أخرجهم تارة أخرى".قَالَ: "فَتُعَادُ رُوحُهُ، فَيَأْتِيهِ مَلَكان فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ: رَبِّيَ اللَّهُ. فَيَقُولَانِ لَهُ مَا دِينُكَ؟ فَيَقُولُ: دِينِي الْإِسْلَامُ. فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟ فَيَقُولُ: هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَيَقُولَانِ لَهُ: وَمَا عِلْمُكَ؟ فَيَقُولُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ. فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ صَدَقَ عَبْدِي، فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ". "فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا وَطِيبِهَا، وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدّ بَصَرِهِ".قَالَ: "وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ، حَسَنُ الثِّيَابِ، طَيِّبُ الرِّيحِ، فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يسُرك، هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ. فَيَقُولُ لَهُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ. فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ. فَيَقُولُ: رَبِّ أَقِمِ السَّاعَةَ، رَبِّ أَقِمِ السَّاعَةَ، حَتَّى أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي وَمَالِي".قَالَ: "وَإِنَّ الْعَبْدَ الْكَافِرَ، إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مِنَ السَّمَاءِ مَلَائِكَةٌ سُودُ الْوُجُوهِ مَعَهُمُ الْمُسُوحُ، فَيَجْلِسُونَ مِنْهُ مَدّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ، اخْرُجِي إِلَى سُخْطِ اللَّهِ وَغَضَبٍ". قَالَ: "فَتُفَرّق فِي جَسَدِهِ، فَيَنْتَزِعُهَا كَمَا يُنْتَزَعُ السَّفُّود مِنَ الصُّوفِ الْمَبْلُولِ، فَيَأْخُذُهَا، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوها فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَجْعَلُوهَا فِي تِلْكَ الْمُسُوحِ، وَيَخْرُجَ مِنْهَا كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ. فَيَصْعَدُونَ بِهَا، فَلَا يَمُرُّونَ بِهَا عَلَى مَلَأٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِلَّا قَالُوا: مَا هَذَا الرُّوحُ الْخَبِيثُ؟ فَيَقُولُونَ: فَلَانٌ ابْنُ فُلَانٍ، بِأَقْبَحِ أَسْمَائِهِ الَّتِي كَانَ يُسَمَّى بِهَا فِي الدُّنْيَا، حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَسْتَفْتِحَ لَهُ، فَلَا يُفْتَحَ ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ} فَيَقُولَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: اكْتُبُوا كِتَابَهُ فِي سِجِّينٍ فِي الْأَرْضِ السُّفْلَى. فَتُطْرَحَ رُوحُهُ طَرْحًا". ثُمَّ قَرَأَ: {وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ} [الْحَجِّ:31] "فَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ. وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ: هَاهْ هَاهْ! لَا أَدْرِي. فَيَقُولَانِ مَا دِينُكَ؟ فَيَقُولُ: هَاهْ هَاهْ! لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟ فَيَقُولُ: هَاهْ هَاهْ! لَا أَدْرِي. فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ كَذَبَ، فَأَفْرِشُوهُ مِنَ النَّارِ، وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ. فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرّها وَسُمُومِهَا، ويُضيق عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ، وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ، قَبِيحُ الثِّيَابِ، مُنْتِنُ الرِّيحِ، فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُوؤُكَ؛ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ فَيَقُولُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالشَّرِّ. فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ. فَيَقُولُ: رَبِّ لَا تقم الساعة"

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Zazan, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan: Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. untuk mengantarkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Ansar. Ketika kami sampai di kuburan dan jenazah sudah dilianglahadkan, maka Rasulullah Saw. duduk; kami pun duduk pula di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung, sedangkan di tangan Rasulullah Saw. terdapat setangkai kayu yang ia ketuk-ketukkan ke tanah. Lalu beliau Saw. mengangkat kepalanya dan bersabda: 

Mohon perlindunganlah kalian kepada Allah dari azab kubur! Ucapan ini dikatakannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau Saw. bersabda:

Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin apabila ajalnya di dunia sudah habis dan akan menghadap ke akhirat, maka turunlah kepadanya para malaikat yang semua wajahnya putih seakan-akan seperti matahari. Mereka turun dengan membawa kain kafan dari surga dan wewangian pengawet jenazah dari surga, hingga mereka semua duduk di dekatnya sampai sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut dan duduk di dekat kepalanya, lalu malaikat maut berkata, "Hai jiwa yang tenang, keluarlah menuju kepada ampunan dan rida Allah!" 

Nabi Saw. melanjutkan sabdanya: Maka keluarlah rohnya, mengucur sebagaimana mengucurnya tetesan air dari mulut (lubang) wadah penyiram. Kemudian malaikat maut memegangnya; dan apabila malaikat maut telah memegangnya, maka tidak dibiarkan pada tangannya barang sekejap pun. melainkan ia langsung mencabutnya, mengafankan, serta mewangikannya dengan kafan dan wewangian yang dibawanya Sedangkan dari roh itu tercium bau wewangian minyak kesturi yang paling harum di muka bumi. Lalu mereka membawanya naik ke langit. Maka tidak sekali-kali mereka yang membawanya melewati sejumlah malaikat, melainkan mereka bertanya, "Siapakah roh yang harum ini?” Mereka menjawab, "Si Fulan, " yakni dengan menyebutkan nama terbaiknya yang biasa dipakai untuk memanggilnya ketika di dunia Hingga sampailah mereka ke langit yang paling rendah, lalu mereka memintakan izin masuk untuknya, dan pintu langit dibukakan untuknya. Maka ia diiringi oleh semua malaikat penghuni setiap lapis langit untuk mengantarkannya sampai kepada lapis langit yang lainnya, hingga sampai kepada langit yang ketujuh. 

Maka Allah Swt. berfirman, "Catatkanlah di dalam kitab {catatan amal) hamba-Ku ini bahwa dia termasuk orang-orang yang menghuni surga yang tinggi; dan kembalikanlah ia ke bumi, karena sesungguhnya Aku telah menciptakan mereka dari tanah, dan kepadanya Aku kembalikan mereka, serta darinya Aku keluarkan mereka di kesempatan yang lain.” Nabi Saw. melanjutkan sabdanya: Maka rohnya dikembalikan, lalu datanglah kepadanya dua malaikat, dan kedua malaikat itu mempersilakannya duduk. Keduanya bertanya kepadanya.”Siapakah Tuhanmu?” Maka ia menjawab, "Tuhanku adalah Allah.” Keduanya menanyainya lagi, "Apakah agamamu?” Ia menjawab, "Agamaku Islam.” Keduanya bertanya kepadanya, "Siapakah lelaki ini yang diutus di antara kalian?” Ia menjawab, "Dia adalah utusan Allah." Kedua malaikat bertanya lagi kepadanya, "Apakah amal perbuatanmu?” Ia men­jawab, "Saya membaca Kitabullah, maka saya beriman dan membenarkannya.” Maka ada suara yang menyerukan dari langit, "Benarlah apa yang dikatakan oleh hamba-Ku. Maka hamparkanlah baginya hamparan dari surga, berilah ia pakaian dari surga, dan bukakanlah baginya suatu pintu yang menghubungkan ke surga.” Maka kesegaran dan wewangian dari surga datang kepadanya serta dilapangkan baginya kuburnya hingga sejauh mata memandang. 

Nabi Saw. melanjutkan kisahnya: Dan datanglah kepadanya seorang lelaki yang berwajah tampan, berpakaian indah lagi harum baunya, lalu lelaki itu berkata, "Bergembiralah engkau dengan berita yang akan membuatmu bahagia. Inilah hari yang pernah dijanjikan kepadamu.” Ia bertanya kepada lelaki itu.”Siapakah engkau ini? Penampilanmu merupakan penampilan orang yang membawa kebaikan.”Lelaki itu menjawab, "Saya adalah amal salehmu.” Maka ia berkata.”Ya Tuhanku, segerakanlah kiamat. Ya Tuhanku, segerakanlah kiamat agar aku dapat berkumpul kembali dengan keluarga dan harta bendaku.” 


Nabi Saw. melanjutkan kisahnya: Sesungguhnya seorang hamba yang kafir apabila ajalnya sudah habis di dunia ini dan hendak menghadap ke alam akhirat, maka turunlah kepadanya para malaikat yang berwajah hitam dengan membawa karung, lalu mereka duduk sejauh mata memandang darinya.

 Kemudian datanglah malaikat maut yang langsung duduk di dekat kepalanya. Lalu malaikat maut berkata, "Hai jiwa yang jahat, keluarlah engkau menuju kepada kemurkaan dan marah Allah" Nabi Saw. melanjutkan kisahnya: Maka rohnya bercerai-berai keseluruh tubuhnya (bersembunyi), kemudian malaikat maut mencabutnya sebagaimana seseorang mencabut besi pemanggang daging dari kain wol yang basah (mencabut kain kerudung dari dahan yang beronak duri, pent.). 

Malaikat maut mencabut rohnya; dan apabila ia telah mencabutnya, maka mereka tidak membiarkan roh itu berada di tangan malaikat maut barang sekejap pun, melainkan langsung mereka masukkan ke dalam karung tersebut, dan tercium darinya bau bangkai yang paling busuk di muka bumi ini. Kemudian mereka membawanya naik, dan tidak sekali-kali mereka yang membawanya bersua dengan segolongan malaikat, melainkan mereka mengatakan, "Siapakah yang memiliki roh yang buruk ini?” Mereka menjawab, "Si Fulan bin Fulan, " dengan menyebut nama panggilan terburuknya ketika di dunia, hingga sampailah roh itu ke langit yang paling bawah. Kemudian dimintakan izin untuk naik, tetapi pintu langit tidak dibukakan untuknya. 

Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. (Al-A'raf: 40)

 Maka Allah Swt. berfirman, "Catatkanlah pada kitab catatan amalnya bahwa dia dimasukkan ke dalam Sijjin bagian bumi yang paling dasar!" Lalu rohnya dicampakkan dengan kasar (ke tempat tersebut). Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Dan barang siapa mempersekutukan Allah dengan sesuatu, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (Al-Hajj: 31) 

Maka dikembalikanlah rohnya ke dalam jasadnya dan datang kepadanya dua malaikat yang langsung mendudukkannya. Kedua malaikat itu bertanya kepadanya, "Siapakah Tuhanmu?” Ia hanya mengatakan, "Ha, ha, tidak tahu.” Keduanya bertanya kepadanya, "Apakah agamamu?” Ia menjawab, "Ha, ha, tidak tahu." Kedua malaikat bertanya kepadanya, "Siapakah lelaki yang diutus di kalangan kalian ini?” Ia menjawab, "Ha, ha, tidak tahu.” Maka terdengarlah suara dari langit menyerukan, "Hamba-Ku telah berdusta, maka hamparkanlah untuknya hamparan dari neraka, dan bukakanlah baginya sebuah pintu yang menuju ke neraka." Lalu panas neraka dan anginnya yang membakar datang kepadanya, serta kuburan tempat tinggalnya disempitkan sehingga tulang-tulang iganya berantakan. Kemudian datanglah seorang lelaki yang buruk rupanya, buruk pakaiannya lagi busuk baunya seraya berkata, "Rasakanlah apa yang akan membuatmu tersiksa. Hari ini adalah hari yang pernah dijanjikan kepadamu.” Maka ia bertanya, "Siapakah kamu? Penampilanmu merupakan penampilan orang yang membawa kejahatan.” Lelaki itu menjawab, "Saya adalah amal burukmu.” Maka ia berkata, "Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan hari kiamat."

HR. Imam Ahmad dalam Tafsir Ibnu Katsir Surat Al A'raf : 40-41

Tempat ketetapan Ruh

مسند أحمد ٢٢٦٧: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أُصِيبَ إِخْوَانُكُمْ بِأُحُدٍ جَعَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَرْوَاحَهُمْ فِي أَجْوَافِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَرِدُ أَنْهَارَ الْجَنَّةِ تَأْكُلُ مِنْ ثِمَارِهَا وَتَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مِنْ ذَهَبٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ فَلَمَّا وَجَدُوا طِيبَ مَشْرَبِهِمْ وَمَأْكَلِهِمْ وَحُسْنَ مُنْقَلَبِهِمْ قَالُوا يَا لَيْتَ إِخْوَانَنَا يَعْلَمُونَ بِمَا صَنَعَ اللَّهُ لَنَا لِئَلَّا يَزْهَدُوا فِي الْجِهَادِ وَلَا يَنْكُلُوا عَنْ الْحَرْبِ فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أُبَلِّغُهُمْ عَنْكُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَؤُلَاءِ الْآيَاتِ عَلَى رَسُولِه{ وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ

Ahmad 2267: Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ketika sahabat-sahabat kalian meninggal pada perang Uhud, Allah azza wa jalla menjadikan ruh-ruh mereka di dalam rongga burung-burung hijau, yang berterbangan di sepanjang sungai-sungai surga, makan dari buah-buahannya dan kembali ke lampu-lampu dari emas di bawah bayangan 'Arsy. Ketika mendapatkan lezatnya makanan dan minuman serta tempat tinggalnya yang baik, mereka berkata: 'Duhai sekiranya saudara-saudara kami mengetahui apa yang diperbuat Allah bagi kami, tentulah mereka tidak akan zuhud (menolak) terhadap jihad dan tidak menjadi pengecut dalam peperangan.' Maka Allah azza wa jalla berfirman; 'Aku akan menyampaikan perkataan kalian pada mereka.' Lalu Allah azza wa jalla menurunkan ayat-ayat tersebut kepada Rasul-Nya: " (Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.) " Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Muhammad bin Ishaq dari Isma'il bin Umayyah dari Abu Az Zubair dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti itu.

Adzab dan Nikmat Kubur dan tempat ketetapan Abadi

صحيح مسلم ٥١١١: عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ الرَّجُلُ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَالْجَنَّةُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَالنَّارُ قَالَ ثُمَّ يُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ الَّذِي تُبْعَثُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Shahih Muslim 5111: dari Ibnu Umar berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Bila seseorang meninggal dunia, tempatnya diperlihatkan pada pagi dan sore hari, bila termasuk penghuni surga, ia termasuk penghuni surga dan bila termasuk penghuni neraka, ia termasuk penghuni neraka. Dikatakan: 'Inilah tempatmu yang akan kau tuju pada hari kiamat'."

Kebangkitan

وَأَنَّ السَّاعَةَ آَتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ (7)

Al-HAJJ : 7. dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.

Kamis, 21 Januari 2021

Rumah Serasa Kuburan


Dalam bahasa Inggris ada ungkapan "House made with material, and home made with love", rumah (dalam artian fisik) dibuat dengan material bangunan, sedangkan rumah (dalam artian fungsi) dibuat dengan cinta. Adanya ini yang dimaksud dalam ucapan "back to home" dan "home sweet home" adalah bahwa rumah bukan sekedar indah dan mewahnya, namun ada harapan besar yang ingin didapatkan dari rumah berupa ketenangan, ketenteraman dan kenyamanan setelah penat nya beraktivitas di luar.


Dalam Alquran, rumah dilukiskan dengan dua kata. Pertama, bait yang berarti 'tempat tinggal di waktu malam.' Kedua, sakan atau maskan yang berarti 'tempat ketenangan'. Di sanalah orang dapat menenangkan diri setelah sebelumnya sibuk dalam rutinitas atau emosinya bergejolak.

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا

"Allah menjadikan untuk kamu rumah-rumah sebagai tempat ketenangan." (QS an-Nahl [16]: 80). 


Terkadang rumah juga menjadi ujian keimanan dan kecintaan kepada allah dan rasul sebagaimana ayat ini

قُلْ إِنْ كانَ آباؤُكُمْ وَأَبْناؤُكُمْ وَإِخْوانُكُمْ وَأَزْواجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوالٌ اقْتَرَفْتُمُوها وَتِجارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسادَها وَمَساكِنُ تَرْضَوْنَها أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي  الْقَوْمَ الْفاسِقِينَ (24)

Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak. saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik


Terkadang, Allah ta’ala menghukum dan menyiksa suatu kaum dengan cara menghancurkan rumah-rumah mereka.

Lihatlah bagaimana Allah menghukum Bani Nadhir dengan menghancurkan rumah-rumah mereka

هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ (2)

Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama kali. Kamu tiada menyangka bahwa mereka akan keluar, dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (Q.S. Al-Hasyr: 2).

Lihat pula, bagaimana Allah menyiksa kaum Tsamud dengan meruntuhkan rumah tempat tinggal mereka, padahal sebelumnya mereka berbangga-bangga dengan rumah tersebut! (Cermati: Q.S. An-Naml: 51,52, Q.S. Al-A’raf: 74 dan Q.S. Al-Fajr: 9).


Jika rumah hanya dijadikan bait, maka tidak jarang rumah dirasakan seperti di neraka. Itulah yang digambarkan dalam surat al-Ankabut [29]: 41

...وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Artinya: “…Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah (rapuh) adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”

Rumah laba-laba bukan hanya rapuh secara struktur, karena tidak mampu melindungi penghuninya dari segala macam gangguan luar seperti panas, dingin dan sebagainya. Namun, rumah laba-laba juga rapuh dari sisi penghuninya. Hasil penelitian membuktikan, bahwa laba-laba betina setelah melakukan perkawinan langsung membunuh laba-laba jantan. Begitu juga anak laba-laba, berjumlah sangat banyak namun diletakan dalam wadah yang kecil dan sempit, sehingga seluruh anaknya terlibat saling injak dan saling tindas, yang menyebabkan lebih separuh anaknya mati karena pertarungan sesamanya. Begitulah perumpamaan rumah yang rapuh, jauh dari kebahagian dan ketenangan.


Salah satu cara menjadikan rumah sebagai tempat memperoleh ketenangan, atau menjadikan rumah sebagai tempat yang menyenangkan, adalah seperti yang diajarkan Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya

اكثروا من تلاوة القرآن في بيوتكم فإن البيت الذى لا يقرأ فيه القرآن يقل خيره ويكثر شره ويضيق على اهله

Artinya: “Perbanyaklah membaca al-Qur’an di rumah kamu, sebab rumah yang tidak pernah dibaca al-Qur’an padanya sangat sedikit kebaikan rumah itu, sangat banyak kejahatannya, dan membuat penghuninya merasa sempit.”

Rumah bagi orang beriman sudah seharusnya dimaknai sebagai tempat mengunduh ketenangan. Karena itu selain tempat tinggal berteduh dari panas dan hujan, ada fungsi berharga rumah bagi orang beriman sebagai berikut :

Pertama, bisa sebagai "al-Musholla", rumah ibadah sebagai upaya meraih keridhaan Allah SWT. Rasulullah bersabda, "Terangilah rumah tanggamu dengan bacaan Alquran dan shalat," (yang dimaksud dengan shalat di sini adalah shalat sunah, sementara untuk shalat fardhu adalah wajib berjamaah di masjid kecuali bagi Muslimah).

Kedua, sebagai "al-Madrasah", rumah yang meniscayakan proses tarbiyah dan edukasi di mana ayah ibu sebagai gurunya dan anak-anak menjadi muridnya.

Ketiga, "al-Junnah" atau benteng untuk menjaga iman keluarga dari kerusakan akidah dan penyakit sosial.

Keempat sebagai "al-Maskanah", pelipur lara dan pelepas duka dan kepenatan. Rutinitas dunia terkadang membawa efek jenuh. Rumah menjadi tempat terbaik menghilangkan kejenuhan dan menghadirkan ketenangan.

Kelima, "al-Maulud", tempat memperbanyak keturunan umat Nabi Muhammad SAW. 

Keenam, "al-Markaz", mempersiapkan generasi dakwah yang tangguh. 

Ketujuh, "al-Mahya-us Sunnah", untuk menghidupkan amal sunah Rasulullah, seperti cara makan, minum, adab hubungan suami istri, dan sebagainya. 

Kedelapan, "al-Marham", forum liqa, silaturahim dengan tetangga, dan sahabat mukmin.


Selain itu, ada beberapa hukum berkaitan dengan arah Jamban yang tidak menghadap atau membelakangi Qiblat, tidak boleh terdapat patung-patung, gambar-gambar yang berkaitan dengan kemusyrikan dan kemaksiatan, juga tidak boleh mengadakan sebab terhalangnya rahmat Allah yang dibawa malaikat dengan memelihara anjing yang tidak diperuntukkan menjaga rumah atau untuk berburu. 


Terakhir, senyaman apa pun rumah kita dengan pengisi yang lain, ingatlah suatu waktu kita akan meninggalkannya, maka selain pada rumah nyaman di dunia, fokuslah membangun rumah di surga dengan mewakafkan dan memakmurkan mesjid sekemampuan kita, atau minimal dengan menjaga sholat sunat rawatib sehari semalam sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Tafsir Ali imran 31-31

 


(31) قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

(32) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran/3: 31-32)


Asbabun Nuzul ayat ini ialah tatkala Rasul SAW mengajak Ka’ab ibnul Asyraf dan pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Yahudi untuk merimanya, ternyata jawabannya mereka adalah seperti yang dikemukakan oleh firman-Nya


نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ

Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya [ QS. Al Maidah : 18 ]


Lalu Allah SWT memerintahkan kepada nabi dengan jawaban firman Allah Surat Al Maidah ayat 31, Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Atau Al mahabbah dapat pula berarti Al Waduud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Hanya saja al waduud, atau dalam firman Allah surat 30:21, disebut mawaddah lebih kearah cinta yang berarti persahabatan, seperti sifat mawaddah yang terjadi pada sepasang suami istri, bukan pengagungan kepada sang khaliq.


Menurut Al Maraghi dalam tafsirnya, Al Mahabbah adalah kecenderungan jiwa terhadap suatu karena adanya kesempurnaan yang dijumpainya di dalamnya, sehingga hal tersebut mengajak jiwa untuk mendekatkan diri kepadanya. Metode pendekatan hamba kepada Allah tentunya ada kaifiyahnya [ tata aturannya].


Maka, kata tuhibuunallah [ mencintai Allah ] yang datang dari seorang hamba kepada Allah,  oleh Allah diberikan  konsekuensinya, yaitu  keharusan hamba untuk mengikuti jejak perilaku nabi SAW atau ajaran Nabi SAW.  Karena itu adalah syarat akan balasan Allah berupa ampunanNya, sebagai zat yang Maha pengampun kepada  semua makhluknya yang mau bertaubat kepadaNya.


Ayat ini sebenarnya menjadi pemisah dan pembeda [ furqon]  antara siapa hamba Allah yang berada di pihak Nabi [ yang benar-benar beriman ], dengan menjalankan seluruh syariat Islam tanpa meresa keberatan sedikitpun,  [ sami’na wa atho’na],  dan dengan mereka yang tetap dalam agama mereka atau dalam kekufurannya, atau bahkan dalam kemunafikannya, karena keragu-raguannya dengan ajaran Islam yang mulia.


Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata di dalam tafsir ayat ini, “Ayat yang mulia ini sebagai hakim terhadap semua orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi dia tidak di atas jalan Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi was sallam, maka sesungguhnya dia itu pendusta di dalam pengakuannya itu. Sampai dia mengikuti syari’at dan agama Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi was sallam di dalam seluruh perkataannya dan keadaannya”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali-‘Imran, ayat 31)


Allah Ta’ala juga berfirman:


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nuur/24: 63)


Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasul sholallohu ‘alaihi was sallam. Apa yang sesuai dengannya diterima, dan apa yang menyelisihinya dikembalikan kepada orang yang mengatakannya atau orang yang melakukannya, siapa saja dia itu”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Nuur: 63)


HADITS NABI


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ» Bu


Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata: Rasulullah sholallohu ‘alaihi was sallam bersabda: “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan darinya, maka sesuatu yang baru itu tertolak”. (HR. Bukhori, no. 2697; Muslim no: 1718/17)


Di dalam riwayat lain disebutkan dengan lafahz:


«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»


“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak”. (HR. Muslim no: 1718/18)


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى


Dari Abu Huroiroh, bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi was sallam bersabda: “Seluruh umatku akan masuk sorga, kecuali yang enggan! Para sahabat bertanya: “Wahai Rasululloh, siapa yang enggan?” Beliau menjawab: “Siapa saja mentaatiku dia masuk sorga, dan siapa saja bermaksiat kepadaku, maka dia benar-benar enggan (masuk sorga)”. (HR. Bukhori, no: 7280)



أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ


” Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya”. (HR. Bukhari, Kitab : Iman, Bab : Mencintai Rasulullah bagian dari iman, No. Hadist : 13)

Rabu, 20 Januari 2021

Timbangan Amal Manusia


Amal manusia baik dan buruknya di dunia ini belum sempurna, hal ini karena balasan dari kebaikan dan keburukannya belum ia dapatkan, orang baik masih banyak yang bersemangat melakukan kebaikan walau pun belum mendapatkan balasannya, demikian pula masih banyak orang jahat masih konsisten dengan kejahatannya karena meras belum atau mungkin tidak akan mendapatkan balasan kejahatannya dari Allah SWT.


Maka, keistiqomahan berbuat baik dan ketakutan yang mendorong berhenti berbuat maksiat harus didorong oleh keimanan terhadap adanya hari penghisaban dimana seluruh amal manusia sekecil apa pun akan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu beriman kepada hari penghisaban bukan hanya beriman akan terjadinya hari tersebut, tetapi harus dibuktikan dengan semangatnya manusia melakukan kebaikan dan terhindarnya manusia melakukan kemaksiatan, karena semua itu akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Allah SWT mengingatkan kepada kita :

وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (8) وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ (9) }


Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.


Senada dengan ayat di atas tak kalah jelasnya ayat di bawah ini :

 

{وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ}


Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun, pasti Kami mendatangkan (pahalanya. Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang membuat perhitungan. (Al-Anbiya: 47)


LALU APA YANG DILETAKAN KELAK DALAM TIMBANGAN AMAL?


Yang diletakkan pada timbangan amal perbuatan kelak di hari kiamat —menurut suatu pendapat— adalah amal-amal perbuatan, sekalipun berupa sesuatu yang abstrak, tetapi Allah Swt. mengubah bentuknya menjadi jasad yang kongkret kelak di hari kiamat.


Al-Bagawi mengatakan bahwa hal tersebut telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, bahwa surat Al-Baqarah dan Ali Imran kelak di hari kiamat datang (dalam bentuk) seakan-akan seperti dua awan, atau dua naungan, atau dua kumpulan burung-burung yang terbang berbaris.

Termasuk ke dalam pengertian ini ialah apa yang disebut di dalam hadis sahih lainnya tentang kisah Al-Qur'an, bahwa Al-Qur'an kelak akan datang kepada pemiliknya dalam rupa seorang pemuda yang pucat warna (kulit)nya. Maka pemiliknya bertanya, "Siapakah kamu?" Ia menjawab, "Aku adalah Al-Qur'an yang membuatmu tidak dapat tidur di malam harimu dan membuatmu haus di siang harimu."


Di dalam hadis Al-Barra mengenai kisah pertanyaan kubur disebutkan:

"فَيَأْتِي الْمُؤْمِنَ شابٌّ حَسَنُ اللَّوْنِ طَيِّبُ الرِّيحِ، فَيَقُولُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ"

Maka orang mukmin didatangi oleh seorang pemuda yang bagus warna kulitnya lagi harum baunya. Maka orang mukmin itu bertanya, "Siapakah kamu?” Ia menjawab, "Saya adalah amal salehmu."

Lalu disebutkan hal yang sebaliknya tentang orang kafir dan orang munafik.


Jadi pertanyaannya, mengapa amal dikonversikan dalam sesuatu yang konkrit? dalam pandangan pribadi, hal ini dikarenakan hal yang bersifat konkrit merupakan wasilah atau perantara dirasakannya suatu kebaikan atau keburukan, bukankah untuk merasakan cinta kita dianjurkan saling memberi hadiah atau minimal memberikan senyuman yang tulus? Bukankankah ketidaknyamanan dari seseorang dapat kita rasakan meskipun hanya dari cemberutnya muka?


Menurut pendapat yang lain, yang ditimbang adalah kitab catatan amal perbuatan, seperti yang disebutkan di dalam hadis tentang bitaqah (kartu) mengenai seorang lelaki yang dihadapkan, lalu diletakkan baginya pada salah satu sisi timbangan sebanyak sembilan puluh sembilan catatan amal, setiap catatan amal tebalnya sejauh mata memandang. Kemudian bitaqah tersebut didatangkan yang di dalam­nya bertuliskan kalimah "Tidak ada Tuhan selain Allah". Lalu lelaki itu bertanya, "Wahai Tuhanku, apakah bitaqah dan semua catatan ini?" Allah Swt. menjawab, "Sesungguhnya engkau tidak akan dianiaya." Lalu bitaqah tersebut diletakkan di sisi timbangan yang lainnya. Rasulullah Saw. bersabda:

فَطاشَت السِّجِلَّاتُ، وثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ"

Maka catatan-catatan itu menjadi ringan dan bitaqah itu menjadi berat.

Imam Turmuzi meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur ini, dan ia menilainya sahih.


Darimana catatan amal tersebut didapatkan, jauh-jauh Hari Allah SWT memperingatkan kepada kita tentang dua petugas pencatat amal dari malaikat yang tidak pernah lalai sedikitpun.

{ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ}

Padahal sesungguhnya bagi kalian ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaan kalian), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu), mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan (Al-Infithar: 10-12)


Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan kalimat "Sesungguhnya pada kalian ada para malaikat pencatat amal perbuatan, mereka mulia-mulia. Maka janganlah kalian menghadapi mereka dengan amal-amal keburukan, karena sesungguhnya mereka mencatat semua amal perbuatan kalian".


Kemulian mereka sampai digambarkan dalam hadits ini, mereka tidak menyertai kita dalam hal privasi kita, namun tidak juga difahami mereka tidak bisa mengawasi kita karena ini hanya berkaitan dengan gambaran kemuliaan mereka.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الطُّنَافِسِيّ، حَدَّثَنَا وَكيع، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ومِسْعَر، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَد، عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ:: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَكْرِمُوا الكرام الكاتبين الذين لا يفارقونكم إلا عند إِحْدَى حَالَتَيْنِ: الْجَنَابَةِ وَالْغَائِطِ. فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ بِحَرَمِ حَائِطٍ أَوْ بِبَعِيرِهِ، أَوْ لِيَسْتُرْهُ أَخُوهُ".


Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan dan Mis'ar, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hormatilah malaikat-malaikat yang mulia pencatat amal perbuatan, mereka tidak pernah meninggalkan kalian kecuali dalam salah satu dari dua keadaan, yaitu di saat jinabah dan buang air besar. Maka apabila seseorang dari kalian mandi, hendaklah ia memakai penutup dengan tembok penghalang atau dengan tubuh hewan untanya atau hendaklah saudaranya yang menutupinya.


Setelah beranjak akil baligh maka dimulai lah catatan amal seorang manusia, tidak luput satu ucapan pun melainkan mereka akan mencatatnya sampai akhir hayatnya.

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ}

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Qaf: 18)


Al-Ahnaf ibnu Qais mengatakan bahwa malaikat sebelah kanan tugasnya mencatat kebaikan, dan dia adalah kepercayaan malaikat yang sebelah kiri. Apabila hamba yang bersangkutan melakukan suatu dosa, malaikat yang di sebelah kanan berkata, "Tahan dulu," jika dia memohon ampun kepada Allah, maka malaikat sebelah kanan melarangnya mencatat. Tetapi jika hamba yang bersangkutan tidak memohon ampun, maka malaikat sebelah kiri mencatatnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.


Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. (Qaf: 17) Lalu ia mengatakan, "Hai anak Adam, lembaran catatan telah dibuka untukmu dan telah ditugaskan kepadamu dua malaikat yang mulia; salah satunya berada di sebelah kananmu dan yang lain berada di sebelah kirimu. Malaikat yang ada di sebelah kananmu bertugas mencatat semua amal baikmu, dan yang di sebelah kirimu bertugas mencatat dosa-dosamu. Maka beramallah menurut kehendakmu, sedikit atau banyak; apabila kamu telah mati, lembaran itu ditutup, lalu dibebankan di lehermu bersama­ sama denganmu di dalam kubur, hingga kamu keluar dari kubur dengan membawanya di hari kiamat nanti." Hal inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:


{وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا}


Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka, "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (Al-Isra: 13-14)


Bahwa semua yang diucapkan oleh hamba Allah berupa kebaikan atau keburukan dicatat, hingga benar-benar dicatat ucapannya yang mengatakan, "Aku telah makan dan minum, aku telah pergi dan aku baru datang, dan aku telah melihat anu," dan lain sebagainya. Apabila hari Kamis, maka ucapan dan amal perbuatannya itu ditampilkan di hadapannya, lalu ia mengakuinya, apakah itu yang baik ataupun yang buruk, sedangkan selain dari itu tidak dianggap. Yang demikian itulah yang dimaksud oleh firman-Nya:

{يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ}

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Manfuz). (Ar-Ra'd: 39)


Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa ia merintih di saat sakitnya, lalu disampaikan kepadanya berita dari Tawus yang mengatakan bahwa malaikat pencatat amal perbuatan menulis segala sesuatu hingga rintihan. Maka sejak saat itu Imam Ahmad tidak merintih lagi sampai ia meninggal dunia, rahimahullah.


Kitab catatan amal manusia adalah dokumentasi yang lengkap untuk dapat dipertanggungjawabkan sebagai bukti yang nyata, hal ini diperlukan karena manusia itu sendiri tidak pernah mencatat sedetail apa pun amalan kebaikan dan keburukannya, yang disengaja atau pun tidak, yang disadari atau tidak, maka bukti ke Maha adilan-Nya catatan amal inilah yang akan ditimbang kelak di hari penghisaban, bahkan catatan itu kelak dihadapkan kepada yang bersangkutan hingga ia gemetar melihat catatan yang begitu detail lengkap tidak ada yang terlewat kecil besarnya kecuali telah tertuliskan.


Jika point nya dalam penimbangan adalah lebih berat dan ringan, maka secara sederhana dapat difahami orang yang banyak catatan amal baiknya maka otomatis akan berat pula lah timbangan kebaikannya sejalan dengan banyaknya yang dicatat dari kebaikan, demikian pula sebaliknya.


Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang ditimbang itu adalah diri orang yang bersangkutan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis berikut:


"يُؤتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالرَّجُلِ السَّمِين، فَلَا يَزِن عِنْدَ اللَّهِ جَنَاح بَعُوضَة" ثُمَّ قَرَأَ: {فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا}


Kelak di hari kiamat didatangkan seorang lelaki yang gemuk, tetapi di sisi Allah timbangannya tidaklah seberat sebuah sayap nyamuk kecil pun. Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (Al-Kahfi: 105)

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ صَالِحٍ مَوْلَى التَّوْأمة، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْأَكُولِ الشَّرُوبِ الْعَظِيمِ، فَيُوزَنُ بِحَبَّةٍ فَلَا يَزِنُهَا". قَالَ: وَقَرَأَ: {فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا}

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Saleh maulana Tau'amah, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kelak akan didatangkan seorang lelaki yang banyak makan dan minumnya lagi bertubuh besar, lalu ditimbang dengan sebuah biji sawi, ternyata masih berat biji sawi. Abu Hurairah mengatakan, bahwa lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya: dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (Al-Kahfi: 105)


Di dalam manaqib (riwayat hidup) sahabat Abdullah ibnu Mas'ud disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


"أَتَعْجَبُونَ مِنْ دِقَّة ساقَيْهِ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُمَا فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ أُحُدٍ"

Apakah kalian merasa aneh dengan kedua betisnya (Ibnu Mas'ud) yang kecil itu. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kedua betisnya itu dalam timbangan amal perbuatan jauh lebih berat daripada Bukit Uhud.


Penimbangan manusia itu sendiri seolah memberikan gambaran pada kita, amal kebaikan itu dilihat bukan pada besar dan kecilnya tubuh manusia, namun sebanyak apakah jejak atau atsar yang menempel dari kebaikan dan keburukan pada tubuh manusia. Bukankah kita diingatkan bahwa umat nabi Muhammad SAW akan datang pada hari kiamat dengan muka yang bersih cemerlang dari bekas wudlunya? Bukankah kita juga telah diingatkan bahwa dahi dan lutut yang dipakai seorang hamba bersujud waktu sholat diharamkan untuk disentuh api neraka?


Bukankah kita juga diingatkan dalam surat Ali Imran : 106 bahwa wajah-wajah manusia ada yang menjadi hitam kelam karena bekas kekafirannya?


Dari ketiga pendapat mengenai apa yang akan ditimbang kelak di hari penghisaban,  dapat digabungkan pengertian dari semua asar tersebut, misalnya semuanya dinilai benar karena adakalanya yang ditimbang adalah amal perbuatannya, adakalanya catatan-catatan amalnya, dan adakalanya diri orang yang bersangkutan.


Saya jadi ingat dalam penelitian kualitatif, untuk metode validasi data ada yang disebut triangulasi sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Jika Metode ini cukup tinggi tingkat validitas untuk penelitian manusia, tak terbayang ketika amal yang akan ditimbang dari manusia dengan 3 bentuk sudut pandang, tidak ada alasan apapun manusia mengelak dari validitasnya hisaban Sang Maha Penghisab.


Wallahu 'alam bisshowwab

Selasa, 19 Januari 2021

Gak Ada Akhlaq


 Oleh Miftah Husni


Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda : 

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab,“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)


Dari hadits ini kita dapat mengambil kesimpulan :


Pertama; bahwa orang yang akan masuk surga hanyalah orang-orang yang sehat baik fisik dan jiwanya, sehat fisik agar manusia merasakan kesempurnaan kenikmatan surga, karena apalah artinya nikmatnya makanan jika kita sakit. Inilah kenapa Allah akan memudakan lagi fisik dan umur kita karena muda adalah puncak kesempurnaan fisik untuk merasakan kesempuranaan nikmat sebagaimana dalam ayat :

لَهُمْ فِيها أَزْواجٌ مُطَهَّرَةٌ

mereka di dalamnya mempunyai istri-istri yang suci. (An-Nisa: 57).

Yaitu suci dari haid, nifas, dan segala penyakit, akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat yang kurang. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud ialah suci dari semua kotoran dan penyakit. Hal yang sama dikatakan oleh Ata, Al-Hasan, Ad-Dahhak, An-Nakha'i, Abu Saleh, Atiyyah, dan As-Saddi.


Dari segi psikis juga orang-orang yang masuk surga adalah mereka yang sudah sehat dari penyakit-penyakit hati, seperti hasad, suudzon, syirik termasuk kesombongan dalam hadits di atas. Penyakit ini harus hilang bagi calon penghuni surga, jika tidak hilang dengan keimanan melalui sifat kebalikannya di dunia, maka api neraka lah yang akan membersihkannya.


Bukti nyata adalah pengusiran Iblis dari surga karena penyakit hati kesombongannya. Allah Swt. berfirman, ditujukan kepada iblis mengenai takdir yang harus di jalani iblis:

{فَاهْبِطْ مِنْهَا}

Turunlah kamu dari surga itu! (Al-A'raf: 13)

Yakni karena kedurhakaanmu terhadap perintah-Ku dan pembang­kanganmu yang menyimpang dari jalan ketaatan kepada-Ku. Tidak layak bagimu bersikap sombong di dalam surga.


Kedua; dari hadits ini juga kita bisa menyimpulkan bahwa amal yang baik berupa ibadah mahdhoh atau ghair mahdhoh, bahkan tauhid sekalipun, fokus orientasinya adalah pembentukan akhlaq, karena ibadah, aqidah, dan muamalah harus ber atsar pada pembentukan akhlaq. Orang yang suka beribadah jika akhlaq nya tercela, besar kemungkinan ibadah nya tidak berorientasi pada pembentukan akhlaq, bisa jadi penggugur kewajiban semata atau kepuasaan pribadi sahaja.


Kesimpulan ini dapat kita fahami dari beberapa hadits rasul yang masyhur seperti bukankah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir adalah mereka yang menjaga lisannya, baik kepada tetangga nya, bahkan memuliakan tamunya?

Bukan kah sholat secara tegas mengatakan bisa mencegah terhadap keji dan mungkar sebagai manifestasi pembentukan akhlaq

Bukan kah dalam bermuamalah pun kita dituntut untuk amanah, jujur, dan tidak curang?

Maka tidak aneh kalau ada keterangan "Akhlaq itu adalah wadahnya agama", karena agama yang sudah baik tidak akan kelihatan baik jika dibawa oleh orang yang akhlaqnya buruk.


Jadi, Tauhid Dulu baru insyaalloh akan berakhlak baik, sholat dulu insyaalloh akan menjadi orang baik, berhijab dulu, insyaalloh akan menjadi orang baik, naik haji dulu, insyalloh jadi orang baik, jangan sampai sholat tidak baik engga, hijab tidak baik engga. Kan capek..


Apa itu Akhlaq?


Akhlaq adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang daripadanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melalui melalui proses pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Jika keadaan tersebut melahirkan perbuatan yang baik dan terpuji menurut pandangan akal dan syara, maka disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, jika yang timbul adalah perbuatan yang tidak baik, maka disebut akhlak yang buruk.


Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat di dalam jiwa, maka suatu perbuatan baru disebut akhlak kalau memenuhi beberapa syarat. (1) Perbuatan itu dilakukan secara berulang-ulang. Bila dilakukan sesekali saja, maka tidak dapat disebut akhlak. (2) Perbuatan itu timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dulu sehingga benar-benar telah menjadi suatu kebiasaan.


Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut akhlaqul karimah. Hal ini antara lain tercantum dalam hadis Rasulullah SAW, 

Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.

 “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR Ahmad, Baihaki, dan Malik). Pada riwayat lain Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin yang paling sempurna akhlaknya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR Tirmizi)


Akhlak mulia diperoleh dengan cara bermujahadah (bersusah payah) pada awalnya agar menjadi kebiasaan pada akhirnya. Seperti orang yang ingin tulisannya baik, maka ia akan menulis terus menerus dan mengulangi berkali-kali. Ini bukanlah hal yang aneh bagi manusia, apalagi mereka diberikan akal dan pikiran. Binatang juga mengalami hal serupa ketika akan dirubah kebiasaannya. Kuda pada awalnya tidak bisa ditunggangi. Ia akan lari dan meronta ketika ada sesuatu di punggungnya. Kuda harus dipaksa membawa pelana, ditunggangi dan dicambuk untuk berjalan, berlari, atau berhenti sesuai permintaan tuannya. Pada akhirnya, kuda akan menjadi kendaraan yang bisa digunakan untuk melayani manusia. Begitu juga dengan anjing pemburu atau pelacak, pada awalnya tidak punya keahlian khusus dalam berburu atau mendeteksi benda-benda berbahaya. Tetapi, setelah melalui latihan terus menerus, akhirnya bisa menjadi anjing yang bisa diandalkan.


Akhlaq yang baik akan memberikan keutamaan kepada orang yang beriman, jangan kan dengan orang kafir, dengan sesama mukmin pun ia istimewa.

أَفْضَلُ الْمُؤْمِنِينَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُم لِلمَوتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُم لَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاس

“Orang mukmin yang paling utama adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka adalah orang-orang yang berakal."

(HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy. Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata : hadits hasan)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ. 

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji dan kotor.” HR. At-Tirmidzi (no. 2002)


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Surga, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْج


“Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Neraka, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Lidah dan kemaluan.”HR. At-Tirmidzi (no. 2004)


Akhlaq yang baik itu sulit dibentuk karena bertentangan dengan hawa nafsu, sedangkan akhlaq yang buruk sangat mudah dibentuk karena sejalan dengan hawa nafsu, ketundukan terhadap aturan agama seperti tauhid dan ibadah adalah prosesi penaklukan hawa nafsu yang berbuah manis akhlaq yang terpuji. Ingat lah bahwa kita adalah umat Nabi Muhammad nabi yang sangat mulia akhlaqnya, jika tidak ada akhlaq seperti beliau dari mana kita diakui sebagai umatnya?.


Wallahu 'alam bisshowwab



Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...