Miftah Husni
Dalam Al-Qur'an (kitab suci Islam), nama Ya'qub disebutkan enam belas kali. Dia juga disebut dengan Israil sebanyak dua kali. Kisahnya yang disebutkan dalam Al-Qur'an hanya tentang kaitan dirinya dengan Yusuf dan wasiatnya sebelum wafat kepada anak-anaknya, sedangkan bagian kisahnya yang lain biasanya disadur dari sumber Yahudi dan Kristen. Dalam Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen), kisah Ya'qub disebutkan dalam Kitab Kejadian pasal 25-37 dan 42-50.
Ya'qub adalah putra Ishaq. Ishaq sendiri adalah putra Ibrahim (disebut Abraham dalam Yahudi dan Kristen), salah satu tokoh terpenting dalam agama samawi. Ibu Ya'qub adalah Ribka.
Disebutkan bahwa ternyata Ribka adalah seorang wanita mandul. Maka Ishaq berdoa pada Allah agar dikaruniai anak sehingga Ribka dapat mengandung. Ribka kemudian melahirkan dua putra kembar. Putra pertama dinamai Esau (Aishu), tubuhnya berwarna merah dan seperti jubah berbulu. Putra kedua dinamai Ya'qub dan saat lahir memegang tumit kakaknya. Mereka lahir saat Ishaq berusia enam puluh tahun. Saat besar, Esau menjadi pemburu handal dan suka tinggal di padang, sedangkan Ya'qub lebih suka tinggal di kemah. Ishaq lebih menyayangi Esau, sementara Ribka lebih menyayangi Ya'qub. Ibnu Katsir juga menuliskan kisah ini dalam karyanya, menyadur dari Alkitab
Ya'kub lahir dan tumbuh di tanah Palestina. Sewaktu dewasa, ia pindah ke Babilonia ikut ke tempat pamannya, Laban, seorang yang berpengaruh di daerah itu. Laban bermaksud mengawinkan Ya'kub dengan putrinya pertamanya, Layya. Tapi Ya'kub lebih ingin menikahi putri kedua Laban yang cantik, Rahiel.
Ya'kub memang berhasil menikahi Rahiel setelah sebelumnya menikahi Layya. Pernikahan dengan Rahiel terjadi setelah Ya'kub memenuhi persyaratan yang diajukan Laban, yakni menggembalakan kambing serta mengolah kebun Laban selama tujuh tahun. Selain kakak beradik itu, Ya'kub juga menikahi dua orang budak. Mereka adalah Zulfa dan Balhah. Keempat istri tersebut melahirkan 12 anak bagi Ya'kub. Merekalah yang kemudian menjadi 12 kelompok orang Yahudi.
Yakub mempunyai 12 anak laki-laki dan paling sedikit 1 anak perempuan, yang disebutkan namanya di Alkitab. Dari Lea Yakub mendapatkan 6 putra: Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar, Zebulon dan paling sedikit 1 putri: Dina. Dari Rahel ia mendapatkan 2 putra: Yusuf dan Benyamin. Dari Bilha, budak perempuan Rahel, ia mendapatkan 2 putra: Dan dan Naftali, dan dari Zilpa, budak perempuan Lea, ia mendapatkan Gad dan Asyer.
Dari 12 anak itu, dua orang diantaranya mendapat tempat istimewa di hati Ya'kub. Mereka adalah Yusuf yang kelak menjadi rasul pula, serta adiknya. Bunyamin. Keduanya adalah anak Rahiel. Merekalah -terutama Yusuf-yang terus menjadi sasaran iri hati saudara-saudaranya. Namun Yusuf bukan satu-satunya keturunan Ya'kub yang menjadi rasul. Seorang keturunan Ya'kub dari Bunyamin adalah Yunus yang juga menjadi rasul. Lawi dan Yahudza -keduanya anak Ya'kub dengan Layya-juga menurunkan para rasul. Musa, Harun, Ilyas dan Ilyasa adalah keturunan Lawi. Sedangkan Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Isa adalah para rasul Yahudi anak cucu Yahudza.
Yakub meninggal di Mesir pada usia 147 tahun, setelah ia dan anak-anaknya pindah ke sana untuk bergabung dengan Yusuf yang menjadi raja muda di negeri itu, ketika Kanaan mengalami bencana kelaparan. Namun ia dikuburkan bersama nenek moyangnya di dalam gua Makhpela, Hebron, di tanah Kanaan.
WARISAN PARA NABI
Warisan adalah berpindahnya apa yang engkau usahakan kepada orang lain tanpa aqad, dan yang biasa terjadinya akad. Warisan juga disebutkan orang yang mendapatkan sesuatu tanpa susah atau capek dan menyenangkan.
Kaf Ha Ya 'Ain Shad. (yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridai.” Surat Maryam, ayat 1-6
Menurut riwayat yang bersumber dari Amirul Mu-Minin 'Usman ibnu Affan r.a., ia membaca ayat ini dengan men-tasydid-kan huruf fa dari lafaz khiftu, sehingga bacaannya menjadi khaffat, artinya kekurangan, yakni tiada pewaris laki-laki sesudahku.
Berdasarkan qiraat pertama, alasan ketakutan Zakaria ialah bahwa dia merasa khawatir bila orang-orang yang akan menggantikannya nanti akan berlaku buruk terhadap manusia. Maka ia memohon kepada Allah agar dikaruniai seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi nabi sesudahnya, untuk memimpin mereka dengan wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sesungguhnya dalam hal ini Zakaria tidak mengkhawatirkan siapa yang bakal mewarisi harta peninggalannya, karena kenabian merupakan kedudukan yang paling besar dan paling mulia tingkatannya dibandingkan dengan kekhawatirannya akan pewaris dari darah dagingnya terhadap harta peninggalannya. Dan ia berkeinginan agar kenabiannya itu diwarisi oleh ahli waris 'asabah-nya; untuk itu ia memohon kepada Allah agar dikaruniai seorang putra yang kelak akan mewarisi kenabiannya.
Tiada suatu kisah pun yang menyebutkan bahwa Zakaria mempunyai harta, bahkan dia adalah seorang tukang kayu, yang makan dari hasil keringatnya sendiri. Orang yang bermatapencaharian seperti itu tidaklah banyak memiliki harta, terlebih lagi seorang nabi, karena sesungguhnya para nabi adalah orang yang paling berzuhud terhadap duniawi. Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "لَا نُورَث، مَا تَرَكْنَا فَهُوَ صَدَقَةٌ" Kami tidak diwaris, semua yang kami tinggalkan adalah sedekah. Bahwa yang dimaksud tiada lain adalah mewarisi kenabiannya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: Dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qub. (Maryam: 6) Pengertiannya sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman lainnya: {وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ} Dan Sulaiman telah mewarisi Daud. (An-Naml: 16)
Yakni kenabiannya. Karena seandainya yang diwarisi itu adalah hartanya, tentulah tidak disebutkan Sulaiman secara khusus tanpa melibatkan saudara-saudaranya. Juga karena mengingat penyebutan mewarisi harta benda tidaklah begitu penting, sebab sudah dimaklumi sebagai suatu ketetapan dalam semua syariat (hukum) dan agama, bahwa anak mewarisi harta ayahnya. Seandainya pewarisan ini bukanlah pewarisan khusus, tentulah Allah tidak akan menyebutkannya.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. (Maryam: 6) bahwa peninggalan Zakaria adalah ilmu, dan dia termasuk keturunan Ya'qub.
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Saleh sehubungan dengan makna firman-Nya: yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. (Maryam: 6) Yaitu hendaknya anak itu kelak akan menjadi nabi, sebagaimana bapak-bapaknya yang menjadi nabi.
Maksudnya, mewarisi hartaku dan mewarisi kenabian dari keluarga Ya'qub. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ قَتَادَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: "يَرْحَمُ اللَّهُ زَكَرِيَّا، وَمَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ وَرَثَةٍ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ لُوطًا، إِنْ كَانَ لَيَأْوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Semoga Allah merahmati Zakaria, tiadalah dia meninggalkan harta warisan. Dan semoga Allah merahmati Luth, sesungguhnya dia benar-benar berlindung kepada keluarga yang kuat.
وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.”
عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ -صلى الله عليه وسلم- لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ »
Dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Diceritakan, sepeninggal Nabi SAW, putrinya, Siti Fatimah, meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar diberikan warisan dari harta peninggalan Nabi. Namun, Abu Bakar menolak permintaannya. Dasarnya, sabda Rasulullah SAW, “Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah [milik umat].” (HR Bukhari dari Aisyah).
Dalam riwayat lain, dikisahkan pula bahwa sahabat Abu Hurairah merasa heran melihat banyak orang di salah satu pasar di Madinah, yang begitu sibuk berbisnis. Lalu, ke pada mereka Abu Hurairah bertanya, “Kalian di sini, tahukah kalian bahwa warisan Nabi sedang dibagikan di Masjid Nabawi?”
Mereka pun bergegas menuju masjid. Merasa tak ada pembagian warisan di sana, mereka dengan rasa kecewa kembali menemui Abu Hurairah. “Tak ada pembagian warisan di masjid,” sanggah mereka.
Jawab Abu Hurairah, “Apa kalian tidak melihat di sana ada orang-orang yang sedang shalat, membaca Alquran, dan belajar tentang hukum-hukum Allah? Itulah warisan Nabi.” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).
Dua kisah ini menegaskan kepada kita bahwa warisan penting yang ditinggalkan Nabi SAW bukanlah harta, tetapi ajaran Islam. Karenanya, ahli waris Nabi bukanlah keturunannya an sich, tetapi para ulama. Nabi SAW, seperti diungkapkan para perawi hadis (ash-hab al-Sunan), berkata, Ulama adalah ahli waris para Nabi.
Sebagai ahli waris nabi, para ulama memikul beban dan tanggung jawab dakwah, yaitu kewajiban menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah, ila sabil-i rabbik(QS an-Nahl [16]: 125) melalui tabligh , amar makruf, dan nahi munkar, serta beramal saleh dan keluhuran budi pekerti (QS Fu shshilat [41]: 33). Hal inilah yang ditunjukkan sahabat Abu Bakar Shiddiq dan Abu Hurai rah, dalam kisah di atas.
Aku mewarisi ilmu dari seseorang artinya aku mengambil manfaat darinya.
Orang shalih mewarisi surga karena hakikatnya menghasilkan bagi manusia tanpa ada tanggung jawab dan perhitungan. Ia juga tidak mendapatkan dunia kecuali seukuran apa yang diwajibkan, dan pada waktu yang diwajibkan dengan cara yang diwajibkan juga.
Sehingga ia tidak akan dihisab dan disiksa bahkan ia akan mendapatkan ampunan dan kebersihan.
Barangsiapa yang menghisab dirinya di dunia, Maka Allah tidak akan menghisabnya di akhirat
Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan kepada mereka agar antre dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.
Dan memang ada tiga harta yang tak akan kena hisab, yakni satu rumah yang hanya berupa satu kamar untuk bernaung, pakaian selembar untuk dipakai dan satu porsi makanan setiap hari yang sekadar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan burung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar