PENGUNJUNG

16962

Senin, 28 Februari 2022

Sihir dan Malaikat Harut dan Marut

 Al-Baqarah, ayat 103

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (102) وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (103) }

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut; sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir" Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat; dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.


Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan. (Al-Baqarah: 102) Tersebutlah bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman terlepas dari tangannya, maka murtadlah segolongan jin dan manusia; mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Setelah mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman, maka orang-orang pun berjalan sesuai dengan hukum agama seperti semula. Sesungguhnya Sulaiman dapat menemukan kitab-kitab mereka, lalu menguburnya di bawah singgasananya; tidak lama kemudian Nabi Sulaiman a.s. meninggai dunia. Akan tetapi, manusia dan jin dapat menemukan kitab-kitab tersebut setelah Nabi Sulaiman wafat. Lalu mereka berkata, "Kitab inilah yang diturunkan oleh Allah kepada Sulaiman, tetapi Sulaiman menyembunyikannya." Maka mereka mengambil kitab tersebut dan menjadikannya sebagai agama. Lalu turunlah firman Allah Swt.: Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101), hingga akhir ayat. Maka mereka mengikuti kemauan hawa nafsu mereka yang dibacakan oleh setan-setan, yaitu alat-alat musik dan permainan serta segala sesuatu yang melalaikan berzikir kepada Allah Swt.


Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Asif adalah juru tulis Nabi Sulaiman. Dia adalah orang yang mengetahui Ismul A'zam, dan mencatat segala sesuatu atas izin Nabi Sulaiman, lalu Nabi Sulaiman mengubur catatan tersebut di bawah singgasananya. Ketika Nabi Sulaiman wafat, catatan tersebut dikeluarkan oleh setan-setan, lalu mereka menyisipkan catatan mengenai sihir dan kekufuran di antara tiap dua barisnya. Mereka mengatakan, inilah yang dahulu diamalkan oleh Sulaiman. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ada keterangan dari setan, maka orang-orang yang tidak mengerti mengafirkan Sulaiman dan mencacimakinya, tetapi para ulama dari kalangan mereka hanya diam. Orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka terus-menerus mencaci maki Nabi Sulaiman, hingga Allah Swt. menurunkan ayat berikut kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)


Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abus Sa'ib Salimah ibnu Junadah As-Sawa-i menceritakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan riwayat berikut: Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman apabila hendak memasuki kamar mandi atau menggauli salah seorang istrinya, terlebih dahulu ia menyerahkan cincinnya kepada pembantu pribadinya, yaitu seorang wanita. Ketika Allah hendak menguji Nabi Sulaiman a.s. dengan ujian yang dikehendaki-Nya, maka di suatu hari Sulaiman menyerahkan cincinnya kepada pembantunya. Lalu datanglah setan dalam rupa Sulaiman dan berkata kepada pembantu Sulaiman, "Serahkanlah cincinku." Si pembantu menyerahkan cincin itu kepadanya, dan ia segera memakainya. Ketika setan memakainya, maka tunduklah semua setan, jin, dan manusia kepadanya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Sulaiman datang kepada pembantunya itu dan berkata kepadanya, "Berikanlah cincinku kepadaku." Si pembantu berkata, "Engkau dusta, engkau bukan Sulaiman." Maka sejak saat itu Nabi Sulaiman mengetahui bahwa hal ini merupakan cobaan yang ditimpakan kepada dirinya. Ibnu Abbas berkata bahwa di hari-hari (kekuasaannya itu) setan-setan menulis berbagai macam kitab yang di dalamnya terkandung sihir dan kekufuran, lalu mereka menguburnya di bawah singgasana Raja Sulaiman. (Setelah Sulaiman wafat) mereka mengeluarkan kitab-kitab itu dan membacakannya di hadapan semua orang, lalu mereka berkata, "Sesungguhnya dahulu Sulaiman dapat berkuasa atas manusia melalui kitab-kitab ini." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu semua orang berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan mengafirkannya. Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw., maka diturunkan-Nyalah ayat berikut, yakni firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)


Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, sesungguhnya orang-orang Yahudi pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. di suatu masa mengenai hal-hal yang terkandung di dalam kitab Taurat, Tiada suatu pertanyaan pun darinya yang mereka ajukan melainkan Allah Swt. menurunkan wahyu kepada beliau apa yang dijadikan senjata oleh beliau untuk membantah mereka. Setelah mereka melihat jawaban tersebut, mereka berkata, "Orang ini lebih mengetahui daripada kami tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada kami."


Bahwa sepertiganya berisikan syair, sepertiganya lagi berisikan sihir, sedangkan sepertiga yang terakhir berisikan ramalan.


وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102)


Yang dimaksud dengan mereka ialah orang-orang Yahudi yang telah diberi Al-kitab (Taurat). Hal ini terjadi setelah mereka berpaling dari ajaran Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka dan setelah mereka menentang Rasulullah Saw. Sesudah kesemuanya itu mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan. Yang dimaksud dengan bacaan setan ialah riwayat, berita, dan kisah yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.


Dalam ungkapan ini fi'il tatlu ber-muta'addi dengan huruf 'ala karena di dalamnya terkandung pengertian membaca secara dusta.


Ibnu Jarir mengatakan bahwa huruf 'ala dalam ayat ini mengandung makna sama dengan huruf fi, yakni tatlu fi mulki Sulaiman, artinya: Yang dibacakan oleh setan-setan dalam kerajaan Sulaiman. Ibnu Jarir menukil pendapat ini dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq.


Mengenai pendapat Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa dahulu sebelum masa Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud sihir itu telah ada, pendapat ini memang benar dan tidak diragukan lagi. Mengingat tukang-tukang sihir banyak didapat di masa Nabi Musa a.s., sedangkan zaman Sulaiman ibnu Daud sesudah itu, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسى

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 246).


Kemudian dalam kisah selanjutnya disebutkan melalui firman-Nya:

وَقَتَلَ داوُدُ جالُوتَ وَآتاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ

Dan (dalam peperangan ini) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah. (Al-Baqarah: 251)


Kaum Nabi Saleh —yang ada sebelum Nabi Ibrahim a.s.— berkata kepada Nabi mereka (yaitu Nabi Saleh), seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:

إِنَّمَا أَنْتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ

Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang terkena sihir. (Asy-Syu'ara: 153)


Menurut pendapat yang masyhur, lafaz mas-hur artinya orang yang terkena sihir.


Karena dahulu orang-orang Yahudi menduga bahwa ilmu sihir tersebut diturunkan oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Maka Allah Swt. membantah kedustaan mereka itu melalui firman-Nya:

{هَارُوتَ وَمَارُوتَ}

yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)


Bentuk kalimat secara lengkap menurut Al-Qurtubi ialah seperti berikut: "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut." Kemudian Al-Qurtubi mengatakan, "Takwil inilah yang menurut pendapatku merupakan takwil yang paling utama dan paling sahih pada ayat ini, sedangkan yang lainnya tidak perlu diperhatikan lagi."


Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil. (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat. 


Orang-orang yang mengajarkan sihir kepada mereka adalah dua orang lelaki, salah seorangnya bernama Harut, sedangkan yang lain adalah Marut.


Berdasarkan takwil ini berarti Harut dan Marut adalah nama manusia, sekaligus sebagai bantahan terhadap apa yang mereka tuduhkan terhadap kedua malaikat (Jibril dan Mikail). Demikianlah nukilan dari Ibnu Jarir secara harfiah.


Sesungguhnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah menceritakan riwayat berikut dari Ubaidillah ibnu Musa yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini," bahwa Allah sama sekali tidak menurunkan ilmu sihir kepada Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ya’la (yakni Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Bakr (yakni Ibnu Mus'ab), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, bahwa Abdur Rahman ibnu Abza selalu membaca ayat berikut dengan bacaan: Wa ma unzila 'alal malakaini Dawuda wa Sulaimana.


Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan ilmu sihir kepada keduanya (Daud dan Sulaiman). Keduanya mengajarkan kepada iman dan memperingatkan terhadap kekufuran, sedangkan sihir termasuk perbuatan kafir. Keduanya selalu melarang perbuatan kufur dengan larangan yang sangat keras. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Kemudian Ibnu Jarir melanjutkan kata-katanya sehubungan dengan bantahannya terhadap pendapat Al-Qurtubi tadi, bahwa huruf ma dalam ayat ini bermakna al-lazi; lalu ia membahasnya dengan pembahasan yang panjang lebar. Ia menduga bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat yang diturunkan ke bumi oleh Allah Swt. Allah mengizinkan keduanya untuk mengajarkan ilmu sihir sebagai cobaan buat hamba-hamba-Nya, sekaligus sebagai ujian, sesudah Allah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan rasul-rasul-Nya bahwa melakukan sihir itu merupakan perbuatan terlarang.


Tetapi ada pendapat yang lebih garib lagi dari itu, yaitu pendapat orang yang mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah dua kabilah dari kalangan makhluk jin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan berikut sanadnya melalui Ad-Dahhak ibnu Muzahim, bahwa ia pernah membacakan wama unzila 'alal malakaini, lalu ia mengatakan bahwa keduanya adalah dua orang kafir dari kalangan penduduk negeri Babil. Alasan yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah bahwa al-inzal di sini bermakna menciptakan, bukan menurunkan; seperti pengertian yang terkandung di dalarn firman Allah Swt. lainnya, yaitu:

وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْأَنْعامِ ثَمانِيَةَ أَزْواجٍ

Dia ciptakan bagi kalian delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. (Az-Zumar: 6)

وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ

Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat. (Al-Hadid: 25)

وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّماءِ رِزْقاً

Dan Dia menciptakan untuk kalian rezeki dari langit. (Al-Mu’min: 13)

Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:

«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً»

Tidak sekali-kali Allah menciptakan penyakit melainkan Dia menciptakan pula obat penawarnya.


Sebagaimana dikatakan dalam suatu pepatah, "Allah menciptakan kebaikan dan keburukan."


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad ketika ditanya mengenai takwil firman-Nya oleh seorang lelaki, yaitu: Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102) Bahwa keduanya adalah dua orang lelaki, mereka mengajarkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada keduanya. Menurut yang lainnya, keduanya mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diturunkan kepada keduanya. Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, "Aku tidak pedulikan lagi mana yang dimaksud di antara keduanya."


Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Yunus, dari Anas ibnu Iyad, dari sebagian teman-temannya, bahwa Al-Qasim ibnu Muhammad sehubungan dengan kisah ini mengatakan, "Aku tidak mempedulikan mana yang dimaksud di antaranya, pada prinsipnya aku tetap beriman kepadanya."


Kebanyakan ulama Salaf berpendapat bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat dari langit, dan bahwa keduanya diturunkan ke bumi, kemudian terjadilah apa yang dialami oleh keduanya. Kisah keduanya itu disebutkan di dalam hadis marfu'' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya, seperti yang akan kami kemukakan nanti, insya Allah.


Berdasarkan pengertian ini, berarti dari penggabungan antara pendapat ini dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa para malaikat itu terpelihara dari kesalahan dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang dialami oleh kedua malaikat ini sejak zaman azali telah diketahui oleh ilmu Allah. Dengan demikian, berarti peristiwa ini merupakan kekhususan bagi keduanya; maka tidak ada pertentangan pada kedua dalilnya, seperti juga yang telah diketahui oleh ilmu Allah mengenai perkara iblis dalam keterangan terdahulu. Tidak bertentangan pula dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya iblis merupakan segolongan dari malaikat, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya:

{وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى}

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan. (Al-Baqarah: 34)


dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan makna tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa apa yang dilakukan oleh Harut dan Marut —bila ditinjau dari kisah keduanya— jauh lebih ringan daripada apa yang dialami oleh iblis yang dilaknat Allah. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ka'b Al-Ahbar, As-Saddi, dan Al-Kalbi.



Hadis yang menceritakan Harut dan Marut


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ [أَبِي] بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ آدَمَ -عَلَيْهِ السَّلَامُ-لَمَّا أَهْبَطَهُ اللَّهُ إِلَى الْأَرْضِ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: أَيْ رَبِّ {أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 30] ، قَالُوا: رَبَّنَا، نَحْنُ أَطْوَعُ لَكَ مِنْ بَنِي آدَمَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْمَلَائِكَةِ: هَلُموا مَلَكَيْنِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ حَتَّى نُهْبِطَهُمَا إِلَى الْأَرْضِ، فَنَنْظُرَ كَيْفَ يَعْمَلَانِ؟ قَالُوا: برَبِّنا، هاروتَ وماروتَ. فَأُهْبِطَا إِلَى الْأَرْضِ ومثُلت لَهُمَا الزُّهَرة امْرَأَةً مِنْ أَحْسَنِ الْبَشَرِ، فَجَاءَتْهُمَا، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَتَكَلَّمَا بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ مِنَ الْإِشْرَاكِ. فَقَالَا وَاللَّهِ لَا نُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا أَبَدًا. فَذَهَبَتْ عَنْهُمَا ثُمَّ رَجَعَتْ بِصَبِيٍّ تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَقْتُلَا هَذَا الصَّبِيَّ. فَقَالَا لَا وَاللَّهِ لَا نَقْتُلُهُ أَبَدًا. ثُمَّ ذَهَبَتْ فَرَجَعَتْ بقَدَح خَمْر تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَشْرَبَا هَذَا الْخَمْرَ. فَشَرِبَا فَسَكِرَا، فَوَقْعَا عَلَيْهَا، وَقَتَلَا الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَفَاقَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ: وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُمَا شَيْئًا أَبَيْتُمَاهُ عَلِيَّ إِلَّا قَدْ فَعَلْتُمَاهُ حِينَ سَكِرْتُمَا. فخيرَا بَيْنَ عَذَابِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ، فَاخْتَارَا عَذَابَ الدُّنْيَا".

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Musa ibnu Jubair, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Adam a.s. ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, "Wahai Tuhan, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Mereka bermaksud, "Wahai Tuhan kami, kami lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam." Allah berfirman kepada para malaikat, "Datangkanlah dua malaikat oleh kalian untuk Kami turunkan ke bumi, lalu Kami lihat apa yang akan dikerjakan oleh keduanya." Mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, Harut dan Marut." Kemudian keduanya diturunkan ke bumi, dan diciptakan bagi keduanya Zahrah, yaitu seorang wanita yang paling cantik di masanya. Lalu Zahrah datang kepada keduanya, maka keduanya meminta agar Zahrah menyerahkan diri kepadanya. Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua mengucapkan kalimat-kalimat ini (yang mengandung makna kemusyrikan)." Kedua malaikat itu menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak mau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun untuk selama-lamanya." Zahrah pergi dari keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa seorang bayi laki-laki yang digendongnya. Kedua malaikat itu meminta Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya, maka Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua membunuh bayi kecil ini." Keduanya menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak akan membunuhnya selama-lamanya." Zahrah pergi meninggalkan keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah wadah yang berisikan khamr. Ketika keduanya meminta agar ia menyerahkan diri kepada keduanya, maka ia menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya meminum khamr itu hingga mabuk, dan akhirnya keduanya menggauli Zahrah, lalu membunuh anak kecil itu." Ketika keduanya sadar, si wanita itu (yakni Zahrah) berkata kepada keduanya, "Demi Allah, tiada sesuatu pun" yang pada mulanya kamu berdua menolak kepadaku tidak mau melakukannya, melainkan sekarang .kamu telah melakukannya di saat kamu berdua mabuk." Akhirnya kedua malaikat itu disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.


Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Al-Hasan, dari Sufyan, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Bukair. Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini; semua perawinya berpredikat siqah, semuanya dari kalangan para perawi kitab Sahihain, kecuali Musa ibnu Jubair. Dia adalah seorang dari Ansar, dari kabilah As-Sulami; maula mereka adalah Al-Madini Al-Hazza.


Musa ibnu Jubair ini meriwayatkan hadisnya dari Ibnu Abbas, Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, Nafi', dan Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik. Orang-orang yang telah mengambil hadis darinya ialah anak lelakinya sendiri (yaitu Abdus Salam), Bakr ibnu Mudar, Zuhair ibnu Muhammad, Sa'id ibnu Salamah, Abdullah ibnu Luhai'ah, Amr ibnul Haris, dan Yahya ibnu Ayyub. Orang-orang yang meriwayatkan hadisnya ialah Abu Daud dan Ibnu Majah. Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarhu wat Ta'dil menyebutkannya, tetapi dia tidak sedikit pun menceritakan perihal pribadinya, baik yang menyangkut hadis ini atau pun yang lainnya. Pada kesimpulannya dia adalah perawi yang keadaannya tidak diketahui. Sesungguhnya dia menyendiri dengan hadis ini, dari Nafi' maula Ibnu Umar r.a., dari Nabi Saw. Tetapi menurut Ibnu Murdawaih, ada seorang mutabi’ yang meriwayatkan hadis ini melalui Nafi' dari jalur lain, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Raja', telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sarjis, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda mengatakan hadis ini. Lalu ia menyebut hadis ini secara panjang lebar.


Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada Al-Husain (yakni Sunaid ibnu Daud, penulis kitab tafsir), telah menceritakan kepada kami Al-Faraj ibnu Fudalah, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Nafi' menceritakan bahwa ia pernah bepergian bersama Ibnu Umar. Ketika malam hari sampai pada penghujung waktunya, Ibnu Umar berkata, "Hai Nafi', lihatlah apakah bintang merah telah terbit?" Aku menjawab, "Belum," sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian aku katakan, "Ia telah terbit." Ibnu Umar menjawab, "Tiada selamat terbit dan tiada selamat datang baginya." Aku berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), bintang itu diciptakan dalam keadaan tunduk dan taat (kepada perintah Allah)." Ia menjawab bahwa tidak sekali-kali ia mengatakan demikian melainkan setelah ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda kepadanya menceritakan kisah berikut, yaitu:

«إِنَّ الْمَلَائِكَةَ قَالَتْ يَا رَبِّ كَيْفَ صَبْرُكَ عَلَى بَنِي آدَمَ فِي الْخَطَايَا وَالذُّنُوبِ؟ قَالَ: إِنِّي ابْتَلَيْتُهُمْ وَعَافِيَتُكُمْ، قَالُوا: لَوْ كُنَّا مَكَانَهُمْ مَا عَصَيْنَاكَ، قَالَ: فَاخْتَارُوا مَلَكَيْنِ مِنْكُمْ، قَالَ: فَلَمْ يَأْلُوا جُهْدًا أَنْ يَخْتَارُوا فَاخْتَارُوا هَارُوتَ وَمَارُوتَ»

Sesungguhnya para malaikat pernah berkata, "Wahai Tuhan, bagaimanakah Engkau sabar terhadap Bani Adam yang gemar melakukan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa itu?" Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan kepada mereka, sedangkan kalian Kubebaskan dari cobaan." Mereka berkata, "Seandainya kami menggantikan mereka, niscaya kami tidak akan durhaka kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat dari kalangan kalian.” Maka mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan pilihan, akhirnya mereka memilih Harut dan Marut.


Riwayat ini pun sangat garib, dan yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini ialah yang bersumber dari riwayat Abdullah ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar, bukan dari Nabi Saw. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq di dalam kitab tafsirnya, dari As-Sauri, dari Musa ibnu Uqbah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan riwayat berikut:


Para malaikat membicarakan tentang amal perbuatan anak-anak Adam dan dosa-dosa yang dilakukan mereka. Maka dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan kalian.” Lalu mereka memilih Harut dan Marut, dan Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan mengirimkan para rasul kepada Bani Adam, tetapi antara Aku dan kamu berdua tidak ada rasul. Turunlah kamu berdua (ke bumi); janganlah kamu sekutukan Aku dengan sesuatu pun, jangan berzina, dan jangan minum khamr." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, tidak sekali-kali keduanya mengalami sore hari pada hari mereka diturunkan ke bumi, melainkan keduanya telah rampung mengerjakan semua hal yang keduanya dilarang melakukannya."


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Hazza'i, telah menceritakan kepada kami Yazid (yakni Al-Farisi), dari Ibnu Abbas yang menceritakan asar berikut: Bahwa penduduk langit dunia memandang kepada penduduk bumi, maka penduduk langit (para malaikat) melihat mereka sering mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan. Lalu para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, penduduk bumi gemar mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat." Allah Swt. berfirman, "Kalian selalu bersama-Ku, sedangkan mereka dalam keadaan tidak dapat melihat Aku." Lalu dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dari kalian tiga malaikat," maka mereka memilih tiga malaikat dari kalangan mereka untuk turun ke bumi dengan syarat hendaknya mereka memutuskan perkara-perkara di antara manusia penduduk bumi. Allah menjadikan dalam diri mereka syahwat seperti yang ada pada manusia. Mereka diperintahkan agar jangan minum khamr, jangan membunuh jiwa, jangan berzina, dan jangan sujud kepada berhala. Akan tetapi, salah satu dari ketiga malaikat itu mengundurkan diri, hingga akhirnya hanya tinggal dua malaikat saja yang diturunkan ke bumi.

Keduanya kedatangan seorang wanita yang paling cantik di masanya, namanya Manahiyah. Keduanya sama-sama jatuh cinta kepada wanita itu. Kemudian keduanya mendatangi rumah wanita tersebut, lalu berkumpul di dalam rumahnya, dan akhirnya keduanya menginginkan wanita itu. Maka wanita itu berkata kepada keduanya, "Aku tidak mau melayani kalian sebelum kalian minum khamrku, membunuh anak tetanggaku, dan sujud kepada berhalaku."


Keduanya berkata, "Kami tidak akan sujud." Kemudian keduanya minum khamr. Akhirnya keduanya melakukan pembunuhan dan sujud kepada berhala itu. Maka semua penduduk langit (para malaikat) melihat perbuatan keduanya itu. Selanjutnya si wanita itu berkata kepada keduanya, "Ceritakanlah kepadaku mantera-mantera yang bila kalian baca, maka kalian dapat terbang." Keduanya menceritakan mantera-mantera tersebut kepadanya, akhirnya ia terbang. Setelah ia terbang, maka ia dikutuk menjadi bara api, yaitu menjadi bintang Zahrah (Venus). Sedangkan kepada kedua malaikat tersebut diutus Nabi Sulaiman ibnu Daud, lalu Nabi Sulaiman menceritakan kepadanya apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya; keduanya disuruh memilih antara siksa di dunia atau siksa di akhirat Ternyata keduanya memilih siksa di dunia, maka keduanya digantungkan di antara langit dan bumi.


Di dalam konteks riwayat ini terdapat banyak tambahan. keanehan, dan hal-hal yang tidak masuk akal.


Abdur Razzaq mengatakan, Ma'mar pernah menceritakan bahwa Qatadah dan Az-Zuhri pernah menceritakan kisah berikut dari Ubaidillah bin Abdullah sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)


Keduanya adalah dari kalangan para malaikat, mereka diturunkan ke bumi untuk memutuskan hukum di antara manusia. Demikian itu karena pada mulanya para malaikat memperolok-olokkan para hakim dari kalangan Bani Adam. (Setelah keduanya menjadi hakim di antara manusia), maka datanglah seorang wanita kepada keduanya untuk meminta peradilan, tetapi keduanya berbuat zalim terhadapnya. Setelah itu keduanya pergi naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat terbang lagi, seakan-akan ada penghalangnya. Kemudian keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Maka keduanya memilih azab di dunia.

Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah berkata, "Kedua malaikat tersebut mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, maka disyaratkan bagi keduanya tidak boleh mengajarkan ilmu sihir kepada seseorang sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut, 'Sesungguhnya kami hanyalah cobaan, maka janganlah kamu berbuat kekufuran'."


Asbat meriwayatkan dari As-Saddi yang mengatakan bahwa pada awalnya perkara yang dialami oleh Harut dan Marut adalah, keduanya mencela penduduk bumi karena keputusan-keputusan hukum yang mereka laksanakan. Dikatakan kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku memberikan sepuluh macam syahwat kepada Bani Adam. Karena syahwat itulah mereka berbuat durhaka kepada-Ku." Harut dan Marut berkata, "Wahai Tuhan kami, seandainya Engkau memberikan kepada kami nafsu-nafsu syahwat tersebut, lalu kami turun ke bumi, niscaya kami akan menghukumi mereka dengan cara yang adil." Maka Allah berfirman kepada keduanya, "Sekarang turunlah kamu berdua ke bumi, sesungguhnya Aku telah memberimu kesepuluh nafsu syahwat tersebut, dan putuskanlah hukum di antara manusia!"


Keduanya turun di negeri Babil, yaitu di Dainawan. Lalu keduanya menjalankan hukum peradilan, dan apabila sore hari keduanya kembali naik ke langit. Apabila pagi hari, keduanya turun untuk melaksanakan tugasnya. Keduanya terus dalam keadaan demikian selama beberapa masa, hingga datanglah kepada keduanya seorang wanita yang mengadukan masalah suaminya. Keduanya tertarik oleh kecantikan wanita itu, nama wanita tersebut menurut bahasa Arab adalah Zahrah, menurut bahasa Nabat Baidakhat, sedangkan menurut bahasa Persia disebut Anahid. 


Salah seorang dari kedua malaikat berkata kepada yang lainnya, "Sesungguhnya wanita ini benar-benar memikat hatiku." Malaikat yang lain berkata, "Sesungguhnya aku pun bermaksud mengatakan hal yang sama kepadamu, tetapi aku merasa malu." Maka malaikat pertama berkata, "Bagaimanakah pendapatmu jika aku kemukakan kepadanya kemauan kita terhadap dirinya?" Malaikat yang kedua menjawab, "Setuju." Malaikat pertama bertanya, "Akan tetapi, bagaimana dengan azab Allah?" Malaikat yang kedua menjawab, "Sesungguhnya kita berharap akan rahmat (ampunan) Allah."


Ketika wanita itu datang kepada keduanya mengadukan perkara suaminya, maka dikemukakan kepada si wanita tersebut maksud dan keinginan keduanya terhadap diri si wanita itu. Tetapi wanita itu menjawab, "Tidak, sebelum kamu berdua memutuskan perkara suamiku untuk kemenangan diriku." Lalu keduanya memutuskan perkara untuk kemenangan si wanita atas suaminya, kemudian wanita itu menjanjikan kepada kedua malaikat tersebut bahwa dirinya akan datang menemui keduanya di suatu tempat yang sepi di antara tempat-tempat yang tak berpenghuni.


Lalu keduanya datang ke tempat tersebut memenuhi janji wanita itu. Tetapi ketika keduanya hendak melampiaskan keinginannya, si wanita berkata, "Aku tidak akan memenuhi keinginanmu sebelum kamu berdua menceritakan kepadaku mantera yang menyebabkan kamu berdua dapat terbang naik ke langit, juga mantera yang menyebabkan kamu dapat turun darinya." Lalu keduanya menceritakan mantera tersebut kepada si wanita. Wanita itu membacanya, lalu ia dapat terbang ke langit. Akan tetapi, Allah membuatnya lupa kepada mantera yang menyebabkan dia dapat turun. Maka ia tetap berada di tempatnya, dan Allah mengutuknya menjadi bintang.

Tersebutlah bahwa apabila Abdullah ibnu Umar melihat bintang tersebut, dia melaknatnya dan mengatakan, "Bintang inilah yang telah memfitnah Harut dan Marut."


Sedangkan yang dialami oleh kedua malaikat tersebut adalah: Ketika sore hari keduanya hendak naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak mampu melakukannya, hingga keduanya merasakan bahwa dirinya pasti binasa. Maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya digantung di negeri Babil; dan sejak itu keduanya menceritakan kepada orang-orang tentang perkataan yang telah diucapkan oleh si wanita tersebut, yakni ilmu sihir.


Asar ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa ilmu sihir itu mempunyai kemampuan untuk membalikkan benda-benda dari keadaan yang sebenarnya, karena wanita tersebut menyemaikan benih, lalu tanamannya menjadi masak dengan seketika. Sedangkan menurut yang lainnya, ilmu sihir tidak mempunyai kemampuan untuk itu selain hanya sekadar membalikkan kenyataan melalui imajinasi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيمٍ

Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116)

يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّها تَسْعى

Terbayang di mata Musa karena pengaruh sihir mereka seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66)


Asar ini menurut As-Saddi dan lain-lainnya merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Babil yang disebut di dalam Al-Qur'an adalah Babil yang ada di negeri Irak, bukan yang ada di Dainawan.

Asar lain yang memperkuat pendapat bahwa yang dimaksud adalah Babil negeri Irak ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hatim. Disebut bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Ali r.a. pernah lewat di negeri Babil dalam suatu perjalanannya. Kemudian datang kepadanya juru azan yang akan mengumandangkan azan salat Asar, tetapi Ali diam saja. Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan tadi untuk mengumandangkan azannya, lalu didirikanlah salat Asar. Setelah selesai dari salatnya, ia berkata:

إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ الْمَقْبَرَةِ وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِبَابِلَ فَإِنَّهَا ملعونة

Sesungguhnya kekasihku (Nabi Muhammad Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan dan melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ لَهِيعة وَيَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ الْمُرَادِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ: أَنَّ عَلِيًّا مَرَّ بِبَابِلَ، وَهُوَ يَسِيرُ، فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُهُ بِصَلَاةِ الْعَصْرِ، فَلَمَّا بَرَزَ مِنْهَا أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلَاةَ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ فِي الْمَقْبَرَةِ، وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ بَابِلَ، فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Khalifah Ali r.a. pernah melewati kota Babil dalam suatu perjalanannya. Maka datanglah kepadanya juru azan yang memberitahukan bahwa waktu asar telah masuk. Ketika ia telah keluar dari kota Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan untuk mengiqamahkan salat. Setelah selesai dari salatnya ia mengatakan: Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan, dan beliau telah melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ وَابْنُ لَهِيعَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ، بِمَعْنَى حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ، قَالَ: فَلَمَّا "خَرَجَ" مَكَانَ "بَرَزَ"

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Azar dan Ibnu Luhai'ah, dari Hajjaj ibnu Syaddad, dari Abu Saleh Al-Gifari, dari sahabat Ali. Hadis yang diketengahkannya kali ini semakna dengan hadis Sulaiman ibnu Daud. Disebutkan di dalamnya, "Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia menampakkan dirinya (menyerukan kepada kaum)."


Hadis ini berpredikat hasan menurut Imam Abu Daud, karena ia meriwayatkannya dan tidak memberinya penilaian; berarti ia setuju.


Di dalam asar ini terkandung hukum fiqih yang menyimpulkan bahwa makruh melakukan salat di negeri Babil, sebagaimana makruh pula melakukannya di negeri kaum Samud; karena ada larangan dari Rasulullah Saw. yang memerintahkan tidak boleh memasuki negeri kaum Samud kecuali bila mereka sambil menangis (ketika memasukinya).


Menurut ahli ilmu geografi, Babil adalah salah satu daerah bawahan negeri Irak. Jarak antara Babil sampai kepada laut yang ada di sebelah baratnya —yang dikenal dengan nama Auqiyanius— diperkirakan tujuh puluh derajat garis lintangnya, sedangkan garis bujurnya diperkirakan tiga puluh dua derajat.

**************

Firman Allah Swt.:

{وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ}

sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)


Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa apabila ada seseorang yang datang kepada keduanya (Harut dan Marut) dengan maksud mau belajar ilmu sihir, maka keduanya melarangnya dengan larangan yang keras dan mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir." Demikian itu karena keduanya mengetahui kebaikan, keburukan, kekufur-an, dan iman. Keduanya mengetahui bahwa ilmu sihir merupakan suatu kekufuran.


Apabila orang yang datang itu membandel, tidak mau mengikuti nasihat keduanya, maka keduanya memerintahkan kepadanya agar mendatangi tempat anu dan tempat anu. Apabila orang tersebut mendatangi tempat yang

Jumat, 25 Februari 2022

WARISAN KELUARGA NABI YA’KUB AS

 


Miftah Husni

Dalam Al-Qur'an (kitab suci Islam), nama Ya'qub disebutkan enam belas kali.  Dia juga disebut dengan Israil sebanyak dua kali. Kisahnya yang disebutkan dalam Al-Qur'an hanya tentang kaitan dirinya dengan Yusuf dan wasiatnya sebelum wafat kepada anak-anaknya, sedangkan bagian kisahnya yang lain biasanya disadur dari sumber Yahudi dan Kristen. Dalam Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen), kisah Ya'qub disebutkan dalam Kitab Kejadian pasal 25-37 dan 42-50.

Ya'qub adalah putra Ishaq. Ishaq sendiri adalah putra Ibrahim (disebut Abraham dalam Yahudi dan Kristen), salah satu tokoh terpenting dalam agama samawi. Ibu Ya'qub adalah Ribka.

Disebutkan bahwa ternyata Ribka adalah seorang wanita mandul. Maka Ishaq berdoa pada Allah agar dikaruniai anak sehingga Ribka dapat mengandung. Ribka kemudian melahirkan dua putra kembar. Putra pertama dinamai Esau (Aishu), tubuhnya berwarna merah dan seperti jubah berbulu. Putra kedua dinamai Ya'qub dan saat lahir memegang tumit kakaknya. Mereka lahir saat Ishaq berusia enam puluh tahun. Saat besar, Esau menjadi pemburu handal dan suka tinggal di padang, sedangkan Ya'qub lebih suka tinggal di kemah. Ishaq lebih menyayangi Esau, sementara Ribka lebih menyayangi Ya'qub. Ibnu Katsir juga menuliskan kisah ini dalam karyanya, menyadur dari Alkitab

Ya'kub lahir dan tumbuh di tanah Palestina. Sewaktu dewasa, ia pindah ke Babilonia ikut ke tempat pamannya, Laban, seorang yang berpengaruh di daerah itu. Laban bermaksud mengawinkan Ya'kub dengan putrinya pertamanya, Layya. Tapi Ya'kub lebih ingin menikahi putri kedua Laban yang cantik, Rahiel.

Ya'kub memang berhasil menikahi Rahiel setelah sebelumnya menikahi Layya. Pernikahan dengan Rahiel terjadi setelah Ya'kub memenuhi persyaratan yang diajukan Laban, yakni menggembalakan kambing serta mengolah kebun Laban selama tujuh tahun. Selain kakak beradik itu, Ya'kub juga menikahi dua orang budak. Mereka adalah Zulfa dan Balhah. Keempat istri tersebut melahirkan 12 anak bagi Ya'kub. Merekalah yang kemudian menjadi 12 kelompok orang Yahudi.

Yakub mempunyai 12 anak laki-laki dan paling sedikit 1 anak perempuan, yang disebutkan namanya di Alkitab. Dari Lea Yakub mendapatkan 6 putra: Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar, Zebulon dan paling sedikit 1 putri: Dina. Dari Rahel ia mendapatkan 2 putra: Yusuf dan Benyamin. Dari Bilha, budak perempuan Rahel, ia mendapatkan 2 putra: Dan dan Naftali, dan dari Zilpa, budak perempuan Lea, ia mendapatkan Gad dan Asyer. 

Dari 12 anak itu, dua orang diantaranya mendapat tempat istimewa di hati Ya'kub. Mereka adalah Yusuf yang kelak menjadi rasul pula, serta adiknya. Bunyamin. Keduanya adalah anak Rahiel. Merekalah -terutama Yusuf-yang terus menjadi sasaran iri hati saudara-saudaranya. Namun Yusuf bukan satu-satunya keturunan Ya'kub yang menjadi rasul. Seorang keturunan Ya'kub dari Bunyamin adalah Yunus yang juga menjadi rasul. Lawi dan Yahudza -keduanya anak Ya'kub dengan Layya-juga menurunkan para rasul. Musa, Harun, Ilyas dan Ilyasa adalah keturunan Lawi. Sedangkan Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Isa adalah para rasul Yahudi anak cucu Yahudza.

Yakub meninggal di Mesir pada usia 147 tahun, setelah ia dan anak-anaknya pindah ke sana untuk bergabung dengan Yusuf yang menjadi raja muda di negeri itu, ketika Kanaan mengalami bencana kelaparan. Namun ia dikuburkan bersama nenek moyangnya di dalam gua Makhpela, Hebron, di tanah Kanaan.


WARISAN PARA NABI

Warisan adalah berpindahnya apa yang engkau usahakan kepada orang lain tanpa aqad, dan yang biasa terjadinya akad. Warisan juga disebutkan orang yang mendapatkan sesuatu tanpa susah atau capek dan menyenangkan.

Kaf Ha Ya 'Ain Shad. (yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridai.” Surat Maryam, ayat 1-6

Menurut riwayat yang bersumber dari Amirul Mu-Minin 'Usman ibnu Affan r.a., ia membaca ayat ini dengan men-tasydid-kan huruf fa dari lafaz khiftu, sehingga bacaannya menjadi khaffat, artinya kekurangan, yakni tiada pewaris laki-laki sesudahku.

Berdasarkan qiraat pertama, alasan ketakutan Zakaria ialah bahwa dia merasa khawatir bila orang-orang yang akan menggantikannya nanti akan berlaku buruk terhadap  manusia. Maka ia memohon kepada Allah agar dikaruniai seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi nabi sesudahnya, untuk memimpin mereka dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. 

Sesungguhnya dalam hal ini Zakaria tidak mengkhawatirkan siapa yang bakal mewarisi harta peninggalannya, karena kenabian merupakan kedudukan yang paling besar dan paling mulia tingkatannya dibandingkan dengan kekhawatirannya akan pewaris dari darah dagingnya terhadap harta peninggalannya. Dan ia berkeinginan agar kenabiannya itu diwarisi oleh ahli waris 'asabah-nya; untuk itu ia memohon kepada Allah agar dikaruniai seorang putra yang kelak akan mewarisi kenabiannya.

Tiada suatu kisah pun yang menyebutkan bahwa Zakaria mempunyai harta, bahkan dia adalah seorang tukang kayu, yang makan dari hasil keringatnya sendiri. Orang yang bermatapencaharian seperti itu tidaklah banyak memiliki harta, terlebih lagi seorang nabi, karena sesungguhnya para nabi adalah orang yang paling berzuhud terhadap duniawi. Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "لَا نُورَث، مَا تَرَكْنَا فَهُوَ صَدَقَةٌ" Kami tidak diwaris, semua yang kami tinggalkan adalah sedekah. Bahwa yang dimaksud tiada lain adalah mewarisi kenabiannya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: Dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qub. (Maryam: 6) Pengertiannya sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman lainnya: {وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ} Dan Sulaiman telah mewarisi Daud. (An-Naml: 16)

Yakni kenabiannya. Karena seandainya yang diwarisi itu adalah hartanya, tentulah tidak disebutkan Sulaiman secara khusus tanpa melibatkan saudara-saudaranya. Juga karena mengingat penyebutan mewarisi harta benda tidaklah begitu penting, sebab sudah dimaklumi sebagai suatu ketetapan dalam semua syariat (hukum) dan agama, bahwa anak mewarisi harta ayahnya. Seandainya pewarisan ini bukanlah pewarisan khusus, tentulah Allah tidak akan menyebutkannya. 

Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. (Maryam: 6) bahwa peninggalan Zakaria adalah ilmu, dan dia termasuk keturunan Ya'qub.

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Saleh sehubungan dengan makna firman-Nya: yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. (Maryam: 6) Yaitu hendaknya anak itu kelak akan menjadi nabi, sebagaimana bapak-bapaknya yang menjadi nabi.

Maksudnya, mewarisi hartaku dan mewarisi kenabian dari keluarga Ya'qub. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.

قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ قَتَادَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: "يَرْحَمُ اللَّهُ زَكَرِيَّا، وَمَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ وَرَثَةٍ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ لُوطًا، إِنْ كَانَ لَيَأْوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Semoga Allah merahmati Zakaria, tiadalah dia meninggalkan harta warisan. Dan semoga Allah merahmati Luth, sesungguhnya dia benar-benar berlindung kepada keluarga yang kuat.

وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.”

عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ -صلى الله عليه وسلم- لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ »

Dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Diceritakan, sepeninggal Nabi SAW, putrinya, Siti Fatimah, meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar diberikan warisan dari harta peninggalan Nabi. Namun, Abu Bakar menolak permintaannya. Dasarnya, sabda Rasulullah SAW, “Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah [milik umat].” (HR Bukhari dari Aisyah).

Dalam riwayat lain, dikisahkan pula bahwa sahabat Abu Hurairah merasa heran melihat banyak orang di salah satu pasar di Madinah, yang begitu sibuk berbisnis. Lalu, ke pada mereka Abu Hurairah bertanya, “Kalian di sini, tahukah kalian bahwa warisan Nabi sedang dibagikan di Masjid Nabawi?”

Mereka pun bergegas menuju masjid. Merasa tak ada pembagian warisan di sana, mereka dengan rasa kecewa kembali menemui Abu Hurairah. “Tak ada pembagian warisan di masjid,” sanggah mereka.

Jawab Abu Hurairah, “Apa kalian tidak melihat di sana ada orang-orang yang sedang shalat, membaca Alquran, dan belajar tentang hukum-hukum Allah? Itulah warisan Nabi.” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).

Dua kisah ini menegaskan kepada kita bahwa warisan penting yang ditinggalkan Nabi SAW bukanlah harta, tetapi ajaran Islam. Karenanya, ahli waris Nabi bukanlah keturunannya an sich, tetapi para ulama. Nabi SAW, seperti diungkapkan para perawi hadis (ash-hab al-Sunan), berkata, Ulama adalah ahli waris para Nabi.

Sebagai ahli waris nabi, para ulama memikul beban dan tanggung jawab dakwah, yaitu kewajiban menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah, ila sabil-i rabbik(QS an-Nahl [16]: 125) melalui tabligh , amar makruf, dan nahi munkar, serta beramal saleh dan keluhuran budi pekerti (QS Fu shshilat [41]: 33). Hal inilah yang ditunjukkan sahabat Abu Bakar Shiddiq dan Abu Hurai rah, dalam kisah di atas.

Aku mewarisi ilmu dari seseorang artinya aku mengambil manfaat darinya.

Orang shalih mewarisi surga karena hakikatnya menghasilkan bagi manusia tanpa ada tanggung jawab dan perhitungan. Ia juga tidak mendapatkan dunia kecuali seukuran apa yang diwajibkan, dan pada waktu yang diwajibkan dengan cara yang diwajibkan juga. 

Sehingga ia tidak akan dihisab dan disiksa bahkan ia akan mendapatkan ampunan  dan kebersihan. 

Barangsiapa yang menghisab dirinya di dunia, Maka Allah tidak akan menghisabnya di akhirat

Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan kepada mereka agar antre dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.

Dan memang ada tiga harta yang tak akan kena hisab, yakni satu rumah yang hanya berupa satu kamar untuk bernaung, pakaian selembar untuk dipakai dan satu porsi makanan setiap hari yang sekadar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan burung.

Rabu, 16 Februari 2022

Hidup Bertaqwa Seutuhnya, Mati dalam Keislaman

 Ali Imran, ayat 102

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sufyan dan Syu'bah, dari Zubaid Al-Yami, dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: Bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.(Ali Imran: 102 ) 

رَوَى الْبُخَارِيُّ  عَنْ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: (حَقَّ تُقَاتِهِ أَنْ يُطَاعَ فَلَا يُعْصَى وَأَنْ يُذْكَرَ فَلَا يُنْسَى وَأَنْ يُشْكَرَ فَلَا يُكْفَرَ.
Yaitu dengan taat kepada-Nya dan tidak maksiat terhadapnya, selalu mengingat-Nya dan tidak lupa kepada-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap nikmat-Nya.
elah diriwayatkan pula dari sahabat Anas; ia pernah mengatakan bahwa seorang hamba masih belum dikatakan benar-benar bertakwa kepada Allah sebelum mengekang (memelihara) lisannya.
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هُوَ أَلَّا يُعْصَى طَرْفَةَ عَيْنٍ

Dan Ibnu Abbas berkata maknanya supaya tidak bermaksiat walaupun sekejap mata
وَذَكَرَ الْمُفَسِّرُونَ أَنَّهُ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ يَقْوَى عَلَى هَذَا؟ وَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾ [التغابن: ١٦]  فَنَسَخَتْ هَذِهِ الْآيَةَ، عَنْ قَتَادَةَ وَالرَّبِيعِ وَابْنِ زَيْدٍ. قَالَ مُقَاتِلٌ: وَلَيْسَ فِي آلِ عِمْرَانَ من المنسوخ شي إِلَّا هَذِهِ الْآيَةُ. وَقِيلَ: إِنَّ قَوْلَهُ "فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ" بَيَانٌ لِهَذِهِ الْآيَةِ. وَالْمَعْنَى: فَاتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَهَذَا أَصْوَبُ ، لِأَنَّ النَّسْخَ إِنَّمَا يَكُونُ عِنْدَ عَدَمِ الْجَمْعِ 
وَالْجَمْعُ مُمْكِنٌ فَهُوَ أَوْلَى. 
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zur'ah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Ata alias Ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran: 102) Bahwa ketika ayat ini diturunkan, kaum muslim beramal dengan sekuat-kuatnya. Mereka terus-menerus mengerjakan qiyam (salat sunat) hingga tumit kaki mereka bengkak dan kening mereka bernanah. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk meringankan mereka (kaum muslim), yaitu firman-Nya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, (At-Taghabun: 16) Maka ayat ini merevisi pengertian yang terdapat pada ayat yang di atas tadi.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Abul Aliyah, Zaid ibnu Aslam, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.


وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam
(Ali Imran: 102)
Artinya, peliharalah Islam dalam diri kalian sewaktu kalian sehat dan sejahtera agar kalian nanti mati dalam keadaan beragama Islam, karena sesungguhnya sifat dermawan itu terbina dalam diri seseorang berkat kebiasaannya dalam berderma. Barang siapa yang hidup menjalani suatu hal, maka ia pasti mati dalam keadaan berpegang kepada hal itu; dan barang siapa yang mati dalam keadaan berpegang kepada suatu hal, maka kelak ia dibangkitkan dalam keadaan tersebut. Kami berlindung kepada Allah dari kebalikan hal tersebut.

Artinya, berbuat baiklah selama kalian hidup, dan berpegang teguhlah kalian kepada agama ini agar kalian diberi rezeki wafat dengan berpegang teguh padanya; karena sesungguhnya manusia itu biasanya meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama yang dijalankannya, dan kelak dibangkitkan berdasarkan agama yang ia bawa mati. Sesungguhnya Allah telah memberlakukan kebiasaan-Nya, bahwa barang siapa yang mempunyai tujuan baik, maka Dia akan menuntunnya ke arah kebalkan itu dan memudahkan jalan baginya ke arah kebaikan. Barang siapa yang berniat melakukan kesalehan, maka Allah akan meneguhkannya dalam kesalehan itu. 

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْب، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ رَبِّ الْكَعْبَةِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ أَحَبَّ أنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّار وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ، فَلْتُدْرِكْهُ مَنِيَّتُهُ، وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، ويَأْتِي إلَى النَّاسِ مَا يُحِبُّ أنْ يُؤتَى إلَيْهِ "

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka'bah, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang suka bila dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah di saat kematian menyusulnya ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah ia memberikan kepada orang lain apa yang ia sukai bila diberikan kepada dirinya sendiri.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ قَبْلَ مَوْتِهِ بِثَلَاثٍ: "لَا يَمُوتَنَّ أحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ".

Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir yang menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda tiga hari sebelum wafat, yaitu: Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian meninggal dunia melainkan ia dalam keadaan berbaik prasangka kepada Allah Swt.
Imam Muslim meriwayatkannya melalui jalur Al-A'masy dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا [أَبُو] يُونُسَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إنَّ اللهَ قَالَ: أنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فإنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإنْ ظَنَّ شَرا فَلَهُ "

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah telah berfirman, "Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku. Maka jika dia menyangka balk kepada-Ku, itulah yang didapatinya. Dan jika dia berprasangka buruk terhadap-Ku, maka itulah yang didapatinya."
Asal hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui jalur lain dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"يَقُولُ اللهُ [عَزَّ وَجَلَّ] أنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي"

Allah berfirman, "Aku menuruti prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku."

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ القُرَشي، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ ثَابِتٍ -وَأَحْسَبُهُ-عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ مَرِيضًا، فَجَاءَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعودُه، فَوَافَقَهُ فِي السُّوقِ فسلَّم عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ: "كَيْفَ أنْتَ يَا فُلانُ؟ " قَالَ بِخَيْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أرجو الله أخاف ذُنُوبِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أعْطَاهُ اللهُ مَا يَرْجُو وآمَنَهُ ممَّا يَخَافُ".

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit —menurut dugaanku dari Anas— yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Ansar mengalami sakit, maka Nabi Saw. datang menjenguknya. Dan di lain waktu Nabi Saw. bersua dengannya di pasar, lalu beliau mengucapkan salam kepadanya dan bertanya kepadanya, "Bagaimanakah keadaanmu, hai Fulan?" Lelaki itu menjawab, "Dalam keadaan baik, wahai Rasulullah. Aku berharap kepada Allah, tetapi aku takut akan dosa-dosaku." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali berkumpul di dalam kalbu seorang hamba yang dalam keadaan seperti ini (yakni sakit), melainkan Allah memberinya apa yang diharapkannya, dan mengamankannya dari apa yang dikhawatirkannya.

Jumat, 11 Februari 2022

Didikan Menghormati Ilmu dan yang Mempunyai Ilmu

 قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ}

Allah berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan." (Al-Baqarah: 33)

Ini adalah Ujian ketaatan untuk menghormati pada yang  diperintahkan karena memandang yang memerintah

Zaid ibnu Aslam mengatakan, Adam menyebutkan semua nama, antara lain: "Kamu Jibril, kamu Mikail, dan kamu Israfil," dan nama semua makhluk satu persatu hingga sampai pada nama burung gagak.

Mujahid mengatakan, sehubungan dengan firman-Nya: Allah berfirman, "Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini" (Al-Baqarah: 33) Menurutnya, yang disebut adalah nama burung merpati, burung gagak, dan nama-nama segala sesuatu. 

Penghormatan yang diajarkan adalah karena ilmunya, oleh karena itu diberikan pahala ketika mencari ilmu

Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan makna firman-Nya: dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Makna ayat ini tidaklah seperti apa yang kami sebutkan di atas.

Sehubungan dengan pendapat ini Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya, "Wa a'lamu ma tubduna wama kuntum taktumun," bahwa makna yang dimaksud ialah 'Aku mengetahui rahasia sebagaimana Aku mengetahui hal-hal yang lahir'. Dengan kata lain, Allah mengetahui apa yang tersembunyi di balik hati iblis, yaitu perasaan takabur dan tinggi diri.

As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan ucapan para malaikat yang disitir oleh 

fi.rman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30) hingga akhir ayat. Hal inilah yang dimaksudkan dengan apa yang mereka lahirkan. Sedangkan mengenai firman-Nya: dan (Aku mengetahui) apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Maksudnya, apa yang disembunyikan oleh iblis di dalam hatinya berupa sifat takabur.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan As-Sauri. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.

Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan Qatadah me-ngatakan bahwa yang dimaksud adalah ucapan para malaikat yang mengatakan, "Tidak sekali-kali Tuhan kami menciptakan suatu makhluk melainkan kami lebih alim dan lebih mulia di sisi-Nya daripada dia."

Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Disebutkan bahwa termasuk di antara apa yang dilahirkan oleh mereka (para malaikat) ialah ucapan mereka.”Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan mengalirkan darah?" Sedangkan di antara apa yang mereka sembunyikan ialah ucapan mereka di antara sesamanya, yaitu "tidak sekali-kali Tuhan kita menciptakan suatu makhluk kecuali kita lebih alim dan lebih mulia daripadanya". Tetapi akhirnya mereka mengetahui bahwa Allah mengutamakan Adam di atas diri mereka dalam hal ilmu dan kemuliaan.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam kisah para malaikat dan Adam, bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sebagaimana kalian tidak mengetahui nama-nama benda-benda ini, maka kalian pun tidak mempunyai ilmu. Sesungguhnya Aku hanya bermaksud menjadikan mereka agar membuat kerusakan di bumi, dan hal ini sudah Kuketahui dan telah berada di dalam pengetahuan-Ku. Akan tetapi, Aku pun menyembunyikan dari kalian suatu hal, yaitu bahwa Aku hendak menjadikan di bumi itu orang-orang yang durhaka kepada-Ku dan orang-orang yang taat kepada-Ku." Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, telah ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya:

{لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ}

Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama. (As-Sajdah: 13, Hud: 119)

Sedangkan para malaikat belum mengetahui dan belum mengerti hal ini. Ketika mereka melihat apa yang telah dianugerahkan Allah kepada Adam berupa ilmu, akhirnya mereka mengakui kelebihan Adam atas diri mereka.

Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling utama sehubungan dengan masalah ini ialah pendapat Abbas, yaitu yang mengatakan bahwa makna firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan.... (Al-Baqarah: 33) Artinya "Aku, di samping pengetahuan-Ku tentang hal yang gaib di langit dan di bumi, mengetahui apa yang kalian lahirkan melalui lisan kalian dan apa yang kalian sembunyikan di dalam diri kalian. Maka tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Ku. Rahasia dan terang-terangan kalian bagi-Ku sama saja, tidak ada bedanya, semuanya Kuketahui." Hal yang mereka lahirkan melalui lisan mereka adalah ucapan mereka yang mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?" Apa yang mereka sembunyikan ialah hal-hal yang tersimpan di dalam diri iblis (yang pada asalnya adalah dari kalangan malaikat pula), yaitu menentang Allah dalam perintah-perintah-Nya dan bersikap takabur, tidak mau taat kepada-Nya.


Mana yang lebih mulia, manusia atau malaikat?


Perkara ghaib : rasul tidak tau seperti hukum dzihar, para jin tidak tau seperti jin nabi sulaiman

Inilah agaknya yang tidak difahami oleh Hafsah binti Umar bin Khattab ketika merasa heran kepada suaminya (Rasulullah Muhammad saw) yang tiba-tiba mengetahui pembicaraan rahasianya dengan Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq, padahal Nabi sebelumnya telah meminta kepadanya untuk merahasiakannya dan tidak menyampaikannya kepada siapapun. “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".” (66:3)


Sabtu, 05 Februari 2022

Batasan Safar Untuk Mendapatkan Rukhsoh

Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. (Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472. Nabi saw. menyebut bepergian selama sehari semalam sebagai safar.

Pendapat para ulama mengenai batasan safar :

1.      Jarak minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan Asy- Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas

2.      Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap/disebut safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta). Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, Asy-Sya’bi,An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah haditsIbnu ‘Umar : “Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”1 (HR. Al-Bukhari, Kitabul Jum’ah, Bab Fi Kam Yaqshuru Ash-Shalah no. 1034)

3.      Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap safar adalah sejauh perjalanan sehari penuh. Pendapat ini dipilih oleh Al-Auza’i dan Ibnul Mundzir.

وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَال ٍ أَوْ فَرَاسِخَ, صَلَّى رَكْعَتَيْنِ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila keluar bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau sholat dua rakaat. Riwayat Muslim.

عَنْهُ قَالَ: ( خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ اَلْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى اَلْمَدِينَةِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Pernah kami keluar bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dari Madinah ke Mekkah. Beliau selalu sholat dua rakaat-dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari,

ََوَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( أَقَامَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ )  وَفِي لَفْظٍ: ( بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ ُوَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُدَ: ( سَبْعَ عَشْرَةَ ) وَفِي أُخْرَى: ( خَمْسَ عَشْرَةَ )

Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetap selama 19 hari, beliau mengqashar sholat. Dalam lafadz hadits lain: Di Mekkah selama 19 hari. Riwayat Bukhari. Dan dalam suatu riwayat menurut Abu Dawud: Tujuh belas hari. Dalam riwayat lain: Lima belas hari

Hukum Asal dan Keringanan

 

 (oleh: Miftah Husni)

Hukum Taklif, yaitu hukum yang dibebankan kepada manusia untuk dilaksanakan, merupakan ketetapan yang harus dilaksanakan seutuhnya dan sebagaimana mestinya dalam keadaan apa pun. Prinsip inilah yang disebut oleh ulama ushul Fiqh sebagai konsep Azimah yaitu “Apa yang telah disyari’atkan dalam bentuk awal tanpa memperhatikan halangan yang dialami oleh hamba”(As-Sulam, Abdul Hamid Hakim hal:10). Seperti halnya sholat diwajibkan dalam pelaksanaannya secara berdiri bagi muslim mana pun dalam keadaan bagaimana pun termasuk orang yang sakit, atau pun lumpuh.

Konsep Azimah ini tidak memberatkan hamba,  karena konsep awal kewajiban dari suatu perintah dalam agama adalah tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada seorang pun kecuali orang tersebut mempunyai kemampuan untuk melaksanakan itu (QS. Al-BAqarah:286). Karena suatu hukum itu berlaku universal untuk semua, maka dalam permasalahan azimah suatu hukum berlaku untuk semua orang yang mendapatkan kewajiban tanpa terkecuali, setiap orang yang mendapatkan kewajiban shalat adalah mendapatkan kewajiban melaksanakan shalat  dalam keadaan berdiri tanpa kecuali.

Permasalahan khusus bagi tiap individu dalam hal melaksanakan azimah dapat menghalangi pelaksanaan azimah secara benar. Orang yang lumpuh atau sakit tidak dapat melaksanakan shalat dalam keadaan berdiri. Namun permasalahan ini sifatnya khusus dan tidak membawa efek berarti terhadap hukum azimah secara keseluruhan sehingga perubahan azimah yang dikenal dengan nasikh atau pun penghapusan hukum tidak berlaku. Tetapi Allah SWT memberikan alternatif dalam pelaksanaannya yang kita kenal sebagai rukhsoh.

Rukhsoh adalah hukum yang berubah dari kesulitan kepada kemudahan dikarenakan adannya sebab yang menghalangi terlaksananya hukum asal (azimah). Bolehnya berbuka puasa ramadhan bagi orang yang sakit bukan penghapusan hukum namun merupakan keringanan yang diberikan karena adanya kesulitan dalam melaksanakan shaum. Dalam istilah awam,  rukhsoh dikenal sebagai keringanan yang berlaku dalam hukum syara, padahal keringanan yang berlaku dalam pelaksanaan kewajiban syara disebut dengan Takhfif. Rukhsoh berlaku karena ada kesulitan sedangkan takhfif tanpa kesulitan pun dapat berlaku. Takhfif dalam agama bukan hanya rukhsoh saja tetapi ada 7 macam, yaitu :

1.      Keringanan dengan bentuk pengguguran kewajiban seperti gugurnya kewajiban haji karena ketidakmampuan berangkat secara fisik atau pun materil.

2.      Keringanan dengan bentuk pengurangan seperti qashar shalat dzuhur, ahshar dan isya dari empat menjadi dua bagi yang safar

3.      Keringanan dengan bentuk penggantian seperti penggantian wudlu dan  mandi dengan tayammum atau pun berdiri dengan duduk dan berbaring dalam sholat.

4.      Keringanan dengan mendahulukan pelaksanaan kewajiban sebelum waktunya, seperti melaksanakan sholat ashar di waktu dzuhur bagi yang safar

5.      Keringanan dengan mengakhirkan pelaksanaan kewajiban dari waktunya, seperti melaksanakan shalat dzuhur di waktu ashar bagi yang safar.

6.      Keringanan dalam bentuk penurunan kadar atau ukuran seperti istijmar (menggunakan 3 batu  dalam bersuci setelah buang hajat). Inilah yang dikenal dengan rukhsoh.

7.      Keringan dalam bentuk perubahan seperti berubahnya susunan gerakan shalat ketika berperang yang dikenal dengan shalat khauf

Dari beberapa nash Al-Qur’an dan Hadits udzur yang diperbolehkan syara untuk mendapatkan rukhsoh yaitu  : Safar, sakit, lupa, kebodohan, kesulitan, paksaan, dan kekurangan akal. Pelaksanaan kewajiban bagi yang mendapatkan rukhsoh adalah sama bagi yang tidak mendapatkan dalam hal gugur kewajiban dan pahala sehingga tidak ada keharusan qadla berdasarkan hadits Jika hamba-Ku sakit atau safar maka dicatat pahalanya sebagaimana ia sembuh dan tidak safar.

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...