I.
Sejarah Dan
Latar Belakang Berdiri
Persatuan
Islam yang sejak awal didirikan merupakan sebuah kelompok tadarus atau kelompok
kajian dari orang-orang yang prihatin terhadap kondisi aakidah, ibadah dan
akhlak umat, yang tenggelam dalam berbagai perbuatan bid’ah, syirik dan
munkarat lainnya, di bawah pimpinan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus,
kemudian membentuk sebuah jam’iyyah dengan misi dan doktrin utama “Ar-Ruju’ ila
Al-Qur’an wa As-Sunah”, dan mengambil peran aktif dalam melakukan tugas tajdid
dalam arti “islahul islam, I’adatul Islam ila ashliha, dan ibanah”. Keberadaan
dewan hisbah yang sebelumnya bernama Majlis Ulama Persis bisa disebutkan
sebagai lanjutan atau mata rantai dari kelompok tadarusan atau kelompok kajian
tersebut di atas. (Amien dkk, 2007: 197).
Menurut
Shiddiq Amien dkk (2007: 197) Majlis ulama Persis baru resmi terbentuk dalam
Muktamar ke-6 yang berlangsung tanggal 15-18 Desember 1956 di Bandung. Mengenai
fungsi dan kedudukan Majlis Ulama Persis termaktub dalam Qanun Asasi Persis
tahun 1957 Bab V Pasal 1 sebagai berikut:
a. Persatuan Islam mempunyai Majlis Ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan pusat menyiarkannya.
b. Majlis Ulama diangkat oleh Pusat buat selama-lamanya.
c. Sesuai dengan kedudukannya sebagai Warasatul anbiya, Majlis Ulama memiliki hak veto (menolak dan membatalkan) segala keputusan dan langkah yang diambil dalam segala instansi organisasi Persatuan Islam.
Cara bekerja Majlis Ulama diatur Qaidah Majlis Ulama.Dalam Pasal 2 dinyatakan :
a. Segala keputusan dan atau ketetapan yang diambil oleh Majlis Ulama dalam lapangan hukum agama wajib dipatuhi oleh Pusat Pimpinan dan segenap anggota Persatuan Islam.
b. Instansi Majlis Ulama hanya diadakan oleh Pusat Pimpinan.
c. Cabang-cabang berhak mencalonkan ulama daerahnya kepada Pusat Pimpinan untuk menjadi anggota Majlis Ulama, disertai riwayat hidup ulama tersebut.
d. Pusat pimpinan berhak menolak calon yang diajukan itu.
Pada
masa kepemimpinan Al-Ustadz KHE. Abdurrahman (1962-1983) Majlis Ulama diganti
menjadi Dewan Hisbah dengan ketua Al-Ustadz KH. Abdul Kadir Hasan. Namun karena kesibukan dan berbagai masalah
kejam’iyyahan, Dewan Hisbah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Berbagai
masalah yang muncul, lebih banyak dijawab dan ditanggapi oleh KHE. Abdurrahman
dengan segala kapasitasnya dan kemampuannya sebagai seorang Ulama yang mumpuni.
Hisbah
artinya pemeriksa. Penggantian
nama tersebut dimaksudkan
agar fungsi para ulama
yang semula hanya melakukan
pembahasan, pengkajian serta melahirkan pemikiran keaamaan, diperluas dengan
melakukan fungsi kontrol terutama terhadap PP PERSIS, beserta anggota
jama‟ahnya, di samping menjawab
persoalan-persoalan keagamaan yang berkembang saat itu.
Pada
masa kepemimpinan Persis di bawah Al-Ustadz KH. Latief Muchtar, MA (1983-1997)
tasykil Dewan Hisbah terbagi menjadi tiga periode. Melalui Musyawarah khusus PP
Persis yang melibatkan seluruh anggota Pimpinan Pusat, Para Ketua Umum PP
bagian Otonom, seluruh Anggota Dewan Hisbah, dan para Ketua PW Persis tanggal
25 Oktober 1997 di Ciganitri Bandung, secara aklamasi menunjuk KH. Drs. Shiddiq
Amien sebagai Ketua Umum Pengganti sampai Muktamar ke-12. Dan pada Muktamar
ke-12 pada tangaal 9-11 September 2000 di Jakarta, Ustadz Shiddiq Amien
terpilih kembali sebagai Ketua Umum untuk masa jihad 2000-2005.
Mengenai
kedudukan, hak, dan kewajiban Dewan Hisbah diatur dalam Qanun Asasi pasal 13
dan Qanun Dakhili Bab VI pasal 34-38. Hasil Muktamar ke-12. Dewan Hisbah yang
terdiri dari: Komisi Ibadah Mahdhah, Komisi Mu’amalah, dan Komisi Aliran sesat.
Tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pada
muktamar ke-13 Dewan Hisbah mengalami perubahan dalam menentukan
keanggotaannya. Anggota Dewan Hisbah diajukan oleh para Ketua Pimpinan daerah,
dan kemudian mengadakan Pemilihan untuk Tasykilnya.
Pada
awal perjalanannya, pemikiran institusional atau ijtihad jama’i Dewan Hisbah
masih kalah menonjol dibanding
pemikiran para tokohnya
seperti A. Hassan,
M. Natsir, KH.
Isa Anshary, Hasbi Ash-Shiddieqy dan KH. E. Abdurahman. Namun, Sejak
kepemimpinan KH. Abdul Latief Muchtar,
M.A Dewan Hisbah ini sudah mulai diberdayakan fungsi-fungsinya.
K.H.E.
Abdurahman, tokoh karismatik PERSIS wafat tanggal 12 April 1983. Kepemimpinan PERSIS
selanjutnya dise¬rahkan kepada KH.A. Latief Muchtar, MA. Pada masa
kepe¬mimpinan KH.A. Latief Muchtar, MA, Dewan Hisbah Persa¬tuan Islam dilakukan
reorganisasi dengan melakukan pembagian tema kajian yang kemudian dirumuskan
bersama dalam Sidang Dewan Hisbah. Pada tahun itu juga (1983) Dewan Hisbah
mulai bersidang. Berikut ini tasykil Dewan Hisbah pada masa kepemimpinan PERSIS
dipegang KHA. Latief Muchtar :
Tahun 1983-1990
Ketua : KH.E . Abdullah (Karena udzur,
diganti oleh KHA. Latief Muchtar. MA)
Wakil Ketua: KH. Eman Sar'an
Sekretaris : KH. Drs. Syarief Sukandi
Wk. Sekretaris : KH.I. Shodikin
Wk. Sekretaris : KH.O. Syamsudin
Anggota :
1. KHA. Hassan (Purwakarta), '
2. KHA. Syuhada (Cianjur),
3. KHA. Ghazali (Cianjur),
4. KH. Ismail Fikri (Jakarta),
5. KH. Usman Sholehuddin (Bandung)
6. KH. Aceng Zakaria (Garut),
7. KH. Drs. Shiddiq Amien (Tasikmalaya),
8. KH. Suraedi (Tasikmalaya).
Tahun 1990-1995
Ketua : KH. Eman Sar'an
Wakil Ketua : KH.A. Syuhada
Sekretaris : KH. Drs. Shiddiq Amien
Anggota:
1. K.HA. Hassan,
2. K.H.O. Syamsudin.
3. K.HA. Latief Muchtar, MA.,
4. K.HA. Ma'sum Nawawi
5. K.HA. Ghazali,
6. Drs. Nasihin bin Sayuti,
7. KH. Usman Shalehudin,
8. K.H.I. Shodikin,
9. K.H.M. Romli,
10. KH. Aceng Zakaria,
11. KH. Ismail Fikri,
12. Drs. H.M. Nurdin, S,H.,
13. K.H. Ghazi Abdul Qodir,
14. KH. Abdul Qodir Shodiq,
15. KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah,
16. K.H. Drs. Moh Syarief Sukandi,
17. K.H.M. Abdurahman, Ks.
Tahun 1995-2000
Ketua : KH. Eman Sar'an (Jakarta)
Wakil Ketua : KHA. Syuhada (Cianjur)
Sekretaris : KH. Drs. Shiddiq Amien
(Tasikmalaya)
Anggota
1. KH.O. Syamsudin (Padalarang),
2. KHA. Latief Muchtar, MA. (Banduiig),
3. KHA. Ma'sum Nawawi (Majalengka),
4. KH.A. Ghazali (Cianjur),
5. KH. Usman Sholehudin (Bandung),
6. KH.I. Shodiqin (Bandumg),
7. KH.M. Romli (Bandung),
8. KH. Aceng Zakaria (Garut),
9. Drs. H.M. Nurdin, SH. (Jakarta),
10. Drs. H.A. Mubin, SH. (Jakarta),
11. KH. Ghazi Abdul Qodir (Bangil),
12. KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung),
13. KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah
(Madura),
14. KH. Drs. Syarief Sukandi (Bandung),
15. KH. Abdurahman Ks.(Tasikmalaya),
16. KH. Mochtar Soemawikata (Sukabumi),
17. KH. Dr. Abdurahman, MA. (Bandung),
18. Luthfi Abdullah Ismail (Bangil).
Pada
tanggal 12 Oktober 1997, Ketua Umum PP Persa¬tuan lslam sekaligus anggota Dewan
Hisbah PERSIS, KHA. Latief Muchtar, M.A. wafat. PERSIS dan Dewan Hisbah kembali
kehilangan putra terbaiknya. Selain beliau selama periode ini, Dewan Hisbah
kehilangan putra-putra terbaiknya, yaitu KH.O. Syamsudin (Padalarang), KH.
Syarief Sukandi (Bandung), KH. Mochtar Soemawikata (Suka¬bumi), KH. Nasihin bin
Sayuti (Purwakarta), KH. Drs. Moh. Nurdin S.H. (Jakarta). Semoga amal ibadah
mereka diterima di sisi Allah Swt.
Sepeninggal
KHA. Latief Muchtar M.A., tampil KH. Drs. Shiddiq Amien sebagai Ketua Umum PP
PERSIS terbaru melalui Musyawarah Luar Biasa di Ciganitri, tanggal 25 Okto¬ber
1997. Pada Muktamar XII PERSIS, 9-11 September 2000 di Asrama Haji Pondok Gede
Jakarta, secara aklamasi KH. Drs. Shiddiq Amien, M.B.A. terpilih kembali. Dewan
Hisbah pasca muktamar ini, tampil di antaranya generasi baru yang muda. Berikut
tasykil Dewan Hisbah masa kepemimpinan KH. Drs. Shiddiq Amien, MB.A. :
Tahun 2000-2005
Ketua: KH.A. Syuhada (Cianjur)
Wakil Ketua : KH. Usman Sholehudin
(Bandumg)
Sekretaris : K.H. Dr. Abdurrahman, MA.
(Bandung)
Wk. Sekretaris : H. Wawan Shafwan
(Bandung)
Anggota
1. KH.A. Ma'sum Nawawi (Majalengka),
2. KH.A. Ghazali (Cianjur),
3. K.H.I. Shodiqin (Bandung),
4. KH.M. Romli (Bandung),
5. K.H. Aceng Zakaria (Garut),
6. Drs. H.A. Mubin , SH. (Jakarta),
7. KH. Ghazi Abdul Qodir K. (Bangil),
8. KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung),
9. KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah (Madura),
10. KH. Abdurrahman Ks.(Tasikmalaya),
11. KH. Luthfi Abdullah Ismail K.
(Bangil),
12. KH. Drs. Shiddiq Amien, MBA.,
13. H. Taufiq Rahman Azhar, S.Ag.,
14. KH. Drs. Entang Muchtar Z.A.,
15. Drs. H. Uus Muhammad Ruhiyat,
16. M. Rahmat Najieb, B.A.
Namun
tak lama setelah Muktamar XII PERSIS, tepatnya tanggal 21 Oktober 2000, PERSIS
dan Dewan Hisbah kembali kehilangan putra terbaiknya, KH. Ma'sum Nawawi,
meninggal di Rumah Sakit Al-Islam Bandung dan dimakamkan di Maja¬lengka.
Beberapa tahun kemudian menyusul KH. A. Ghazali (Cianjur) yang juga pakar hisab
dan rukyat Persatuan Islam serta KH. Ghazi Abdul Qadir (Bangil) berpulang. Inna
Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un.
II. Tugas &
Peran Dewan Hisbah
Dewan
Hisbah Persatuan Islam (Persis) sebagai otonom Persis adalah aset yang sangat
berharga. Kehadirannya di lingkungan Persis sangat urgen dan vital. Dewan
Hisbah merupakan ruh jihad dan ijtihad seluruh gerak langkah Persis. Karena
Persis itu sendiri lahir dari cita-cita tajdid dan kembali pada Al-Quran dan
As-Sunah. Sepak terjangnya selama ini membuktikan bahwa Persis bukanlah
organisasi yang hanya sekedar berdiri tanpa cita-cita yang jelas, melainkan
organisasi militan yang begitu teguh memegang cita-cita kembali dalam Al-Quran
dan As-Sunah.
Dede
Rosyada dalam desertasi Doktornya menyimpulan, bahwa diantara keunggulan metode
Ijtihad Dewan Hisbah yaitu, penentu dan pembuat hukum dalam tema-tema hukum
Islam hanyalah Syari' yakni Allah dan Rasul-Nya, sedangkan mujtahid hanyalah
berusaha mencari ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Syari'
tersebut. Dewan Hisbah menggunakan metode-metode kajian yang dinamis dan
proporsional, tidak terikat oleh satu madzhab tertentu dan menggunakan
kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan kebutuhan tema kajiannya. Oleh sebab itu
mereka dapat dikategorikan aliran thariqah Al-Jama'an, yakni aliran konvergensi
dengan mengkombinasikan metode-metode Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyyah dan Ibn
Hazm Al-Andalusia dari aliran literalisme. (Rosyada, 1999:190)
Dewan
Hisbah bukanlah pembuat hukum atau sumber hukum, karena Sumber hukum hanyalah
Al-Qur'an dan As-Sunnah atau pembuat hukum hanyalah Allah swt. dan Rasul-Nya.
Dewan Hisbah hanyalah pengawas hukum agar hukum berlaku atau diberlakukan
terutama di kalangan anggota Persatuan Islam, sekaligus mengawasi agar tidak
terjadi praktik bid'ah, khurafat dan takhayul di kalangan anggota PERSIS.
Ketua
Dewan Hisbah K.H.A. Syuhada, dalam makalah¬nya tentang Dewan Hisbah menyinggung
sebuah hadits:
"Dari Abu
Hurairah, "Sesungguhnya Rasulullah saw. pada suatu waktu lewat pada
tumpukan makanan (dagangan), lalu beliau memeriksa tumpukan itu, memasukan tangan
padanya. Maka beliau menemukan di bawahnya basah, lalu beliau bersabda,
"Apa ini, hai pedagang makanan?" Pedagang itu menjawab, "Terkena
hujan, wahai Rasulullah". Rasulullah bersabda, "Tidakkah kamu menaruh
di atas agar terlihat orang? Barang siapa yang memalsu, maka dia bukan
golonganku"
(HR. Muslim)
Beliau
menyebutkan bahwa tindakan Rasulullah saw. seperti itulah yang diamanatkan
kepada Dewan Hisbah: menjaga agar jangan terjadi pelanggaran; menegur dan
memperbaiki perbuatan yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Selanjutnya
K.H.A. Syuhada menjelaskan, Dewan Hisbah di zaman Khalifah Umar memeriksa
timbangan dan sukat¬an di pasar-pasar agar tidak terjadi penipuan atau
pemalsuan. Mereka bukan mencari-cari kesalahan orang, melainkan menjaga agar
tidak terjadi pelanggaran yang menjurus kepada dosa besar. Seseorang yang telah
diangkat menjadi anggota Dewan Hisbah zaman Khalifah di namakan
"muhtasib". Ia menyempurnakan amar ma'ruf dan nahyi munkar dengan
lidah dan alat kekuasa¬an negara. Kantornya dikenal dengan nama "Dewan
Hisbah"
Para
muhtasib juga bertugas menjaga ketertiban dan keamanan, seperti halnya alat
keamanan zaman sekarang. Bagian ini kantornya disebut "Dewan
Surthah". Para muhtasib juga ada yang bertugas mengadakan komunikasi dan
penyelidikan (tabayyun); kantomya disebut "Dewan Barid".
III. Kewajiban,
Hak dan Masa Persidangan Dewan Hisbah
Secara
umun tugas Dewan Hisbah sebagaimana disebutkan di atas, yaitu sebagai pengawas
hukum Islam dan menja¬ga agar tidak terjadi pelanggaran hukum Islam. Jika
mengacu pada tujuan awal pendirian PERSIS, tugas Dewan Hisbah secara umum
adalah :
1. Menyelamatkan aqidah umat dan
menyelamatkan umnat dalam beraqidah,
2. Menyelamatkan ibadah umat dan
menyelamatkan umat dalam beribadah,
3. Menyelamatkan mu'amalah umat dan
menyelamatkan umat dalam bermu'malah.
Jika
mengacu pada Qanun Asasi PERSIS, Bab I, pasal 3 bahwa tujuan pendirian PERSIS
adalah terlaksananya Syariat Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah secara
kaffah dalam segala aspek kehidupan, Dewan Hisbah sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari PERSIS, mengemban tugas tersebut.
Tugas
atau kewajiban Dewan Hisbah lebih khusus, sesuai arahan PP Persatuan Islam,
diatur dalam Qanun Dakhili Bab VI pasal 37 :
1. Dewan Hisbah berkewajiban meneliti hukum-hukum
Islam;
2. Dewan Hisbah berkewajiban mengawasi
pelaksanaan hukum Islam;
3. Dewan Hisbah berkewajiban membuat
petunjuk pelaksana¬an ibadah untuk keperluan anggota jam'iyyah.
4. Dewan Hisbah berkewajiban memberi
teguran kepada aggota Persis yang melakukan pelanggaran hukum Islam melalui
Pimpinan Pusat.
Tugas
Dewan Hisbah kini tidak seradikal ketika masih benama Majelis Ulama yang bisa
memveto keputusan semua bagian di PERSIS, termasuk keputusan muktamar.
Adapun
hak Dewan Hisbah sekarang, diatur dalam Qanun Dakhili Persatuan Islam Bab VI
Pasal 30 sebagai berikut :
1. Dewan Hisbah dapat melaksanakan
permusyawaratan dengan sepengetahuan Pimpinan Pusat;
2. Dewan Hisbah berhak mengusulkan
kepada Pimpinan Pusat untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap anggota PERSIS
yang melakukan pelanggaran hukum Islam;
3. Dewan Hisbah berhak mengikuti
musyawarah kerja dan musyawarah khusus Pimpinan Pusat.
Sementara
itu persidangan Dewan Hisbah tidak diten¬tukan waktunya, paling sedikit satu
kali dalam satu semester. Dalam sidangnya, Dewan Hisbah diberi wewenang
mengundang pihak luar yang dibutuhkan untuk membantu pembahasan suatu hukum.
Seluruh keputusan Dewan Hisbah, nantinya menjadi pegangan seluruh anggota
Persatuan Islam. Dengan kata lain, anggota PERSIS tidak berhak memutuskan hukum
sendiri tanpa sepengetahuan Dewan Hisbah. Perihal persidangan ini diatur dalam
Qanun Dakhili PERSIS, Bab VI, pasal 36.
IV.
Komisi-komisi Dewan Hisbah
Kian
lajunya perkembangan zaman, semakin beragam pula masalah yang dihadapi, terutama
yang terkait dengan hukum Islam. Guna lebih mengarahkan kinerja anggota Dewan
Hisbah,
dibentuklah komisi-komisi Dewan Hisbah melalui SK Dewan Hisbah Nomor:
033/I.1.2-C.1/A.1/1994 yang ditandatangani oleh KH. Eman Sar'an sebagai Ketua
dan KH Drs. Shiddiq Amien sebagai Sekretaris. Menurut SK tersebut,
komisi-komisi Dewan Hisbah terdiri dari:
A.
Komisi Ibadah Mahdhah :
1.
KH. Usman Shalehuddin, Ketua
2.
KH.M. Abdurrahman Ks., Sekretaris
3.
KH.O. Syamsudin, anggota
4.
KH.A. Hassan, anggota
5.
KH. Moh. Romli, anggota
7.
KH. Ad-Dailami Abu Hurairah, anggota
B.
Komisi Mu'amlah :
1
. K.H. Ma'sum Nawawi, Ketua
2.
K.H. Drs. Moh. Syarif Sukandi, Sekretaris
3.
K.H. Abdul Qodir Shodiq, anggota
4.
K.H. Ghazali, anggota
5.
K.H. Drs. M. Nurdin, S.H., anggota
6.
K.H. Drs. Ahmad Mubin, anggota
C.
Komisi Aliran Sesat
1
. K.HA. Latief Muchtar, MA. Ketua
2.
K.H.I. Shodiqin, Sekretaris
3.
KH. Ghozi Abdul Qodir, anggota
4.
K.H. Nasihin bin Ahmad, anggota
5.
KH.A. Zakaria, anggota
Komisi-komisi
itu direstrukturisasi tanggal 8 Juni 1996 dengan tasykil sebagai berikut :
A.
Komisi Ibadah Mahdhah :
l.
K.H.O. Syamsudin, Ketua
2.
K.H.A. Zakaria, Sekretaris
3.
K.H. Abdul Qodir Shodiq, anggota
4.
K.H. Usman Shalehuddin,
5.
K.H.M. AbdurahInan Ks., anggota
B.
Komisi Muamalah :
1.
K.H.I. Shodiqin, Ketua
2.
K.H. Moh. Romli, Sekretaris
3.
K.H. Ma'sum Nawawi, anggota
4.
K.H. Ghozi Abdul Qodir, anggota
5.
K.H. Dailami Abu Hurairah, anggota
C.
Komisi Aliran Sesat
l.
K.H.A. Latief Muchtar, M.A. Ketua
2.
K.H. Abdurahman MA., Sekretaris
3.
KH. Drs. Moh. Syarif Sukandi, anggota
4.
K.H. Moechtar Somawikarta,
V. Pedoman Kerja
Komisi-komisi
Tugas-tugas
komisi-komisi tersebut dijelaskan dalam Pedoman Kerja Dewan Hisbah sebagai
berikut :
A. Komisi Ibadah Mahdah
1. Menyusun konsep petunjuk pelaksanaan
ibadah praktis untuk pegangan anggota dan calon anggota;
2. Merumuskan hasil sementara pembahasan
dalam sidang komisi;
3. Mempresentasikan hasil sidang komisi
dalam sidang lengkap.
Sidang-sidang komisi dipimpin oleh Ketua
Komisi dibantu oleh salah seorang anggota komisi.
B. Komisi Mu'amalah
1. Mengadakan pembahasan masalah-masalah
kemasyarakatan (mu'amalah) yang muncul dalam masyarakat, baik atas hasil
pemantauan atau atas dasar masukan dari komisi lain atau dari luar.
2. Merumuskan hasil sementara pembahasan
dalam sidang komisi.
3. Mempresentasikan hasil sidang komisi
dalam sidang lengkap.
Sidang-sidang komisi dipimpin oleh Ketua
Komisi dibantu oleh salah seorang anggota komisi.
C. Komisi Aliran Sesat
1. Melakukan penelitian dan pembahasan
mengenai aliran-aliran yang muncul di masyarakat.
2. Merumuskan hasil sementara pembahasan
dalam sidang komisi
3. Mempresentasikan hasil sidang komisi
dalam sidang lengkap.
Sidang-sidang komisi dipimpin oleh Ketua
Komisi dibantu oleh salah seorang anggota komisi.
VI. Hasil
Keputusan Sidang Dewan Hisbah
Keputusan
Dewan Hisbah sebelum tahun 1983 tidak terlacak dokumentasinya. Namun Majelis
Ulama pada tahun 1953 pernah memutuskan masalah, diantaranya tentang definisi
agama, harta warisan, keharaman memilih atau memasuki partai politik yang
menentang/bertentangan dengan Islam.
Dokumentasi Surat Keputusan Dewan Hisbah
sejak 1983 – 2005 antara lain:
Tahun 1983-1985
I . Sedekap dalam Shalat
2. Shalat Tarawih 4-4-3
3. Fidyah bagi yang Sakit
4. Memperbanyak Umrah pada Masa Haji
5. Shalat Jama' ketika Menunaikan Haji
6. Shalat Qasar di Mekah
7. Shalat. Rawatib di Waktu Shafar
8. Taswib pada Adzan Shubuh
9. Hukum Rokok
10. Miqat di Qornul Manazil
11. Hukum Menghormat Bendera
Tahun 1989
1. Lafadl Ihlal Ihram
2. Mengangkat Tangan ketika Melihat
Baitullah
3. Lafadz Do'a Ketika Melihat Baitullah
4. Tentang Al-Multazam
5. Minum Air Zamzam
6. Tentang Hajar Aswad dan Ruknul Yamani
7. Sa'i setelah thawaf Ifadlah bagi yang
tamatu'
8. Posisi Tangan Ketika I'tidal
(Lanjutan Sedekap)
9. Tentang Cadar
10. Hukum Mabit di Mina dan Singgah di
Namirah
11 . Hukum Thawaf Ifadhah
12. Takbir dan Do'a pada Jamarat
13. Shalat sebelum Ihram
Tahun 1990
1. Bayi Tabung
2. Transplantasi
3. Transeksual
4. Asuransi
5. Sumbangan Dana Sosial Berhadiah
(SDSB)
Tahun 1991
1. Harta yang Wajib Dizakati
2. Pengertian Riba
Tahun 1992
1. Mustahiq Zakat
2. Pengertian 5 Watsaq
3. Sa'i ba'da Thawaf Ifadhah bagi
mutamatti
4. Shalawat pada Tasyahud Awal
5. Qunut Nazilah
6. Salam di Mimbar Pengajian
Tahun 1993
1. Ramal pada Thawaf (Qudum)
2. Menikahkan Wanita Hamil
3. Posisi Imam Wanita dalam Shalat
4. Keluarga Berencana
5. Darul Aitam
Tahun 1994
1. Darul Arqam
2. Shalat Jum'at di Arafah
3. Menjama' Shalat pada Yaum Tarwiyah
4. Kaifiyah Berpakaian Ihram di Luar
Thawaf Qudum
5. Hukum Mabit di Muzdalifah dan
Melontar Jumrah Aqabah
6. Penggunaan Alkohol pada Proses
Produksi Makanan
7. Cara yang Disyari'atkan di Ar-Ruknul
Yamani waktu Thawaf dan di Ar-Ruknul Aswadi ba'da Shalat di Maqam Ibrahim
g. Jama' Melontar Jamrot dam Kaifiyahnya
Tahun 1995
1. Asuransi Takaful
2. Urine Dijadikan Obat
3. Tranplantasi dengan Organ Binatang
Haram
4. Pengurusan Jenazah AIDS
5. Upacara Adat dalam Pernikahan dan
Khitanan
6. Al-Hadyu Diganti Qimah
7. Rahim Titipan / Sewa rahim
8. Siapakah Ahlus Sunah Wal Jamaah itu
Tahun 1996
1. Isbal
2. Euthanasia
3. Waruta yang Nifas di Bulan Ramadhan,
Qadla atau Fidyah ?
4. Thawaf Ifadhah di Luar Tanggal 10
Dzulhijah
5. Do'a di Jumrah Aqabah pada Yaumul
Tasyrik
6. Thuruqul Istimbath Hukum Islam
(Metodologi Pengambilan Keputusam Hukum Islam)
7. Sighat Taklik Thalak
Tahun 1997
1. Isyarat di Hajar Aswad ba'da Shalat
di Maqam Ibrahim
2. Hukum Sa'i bagi Wanita Haidl ba'da
Thawaf
3. Risalah Zakat dan Shaum
Tahun 1998
l . Perempuan Jadi Presiden/Kepala
Negara
2. Isyarat Telunjuk pada Duduk di antara
Dua Sujud
3. Shalat Dhuhur pada Hari Raya 'Ied
yang Jatuh pada Hari Jum'at
4. Hukum Shalat Dua Rakaat ba'da Ashar
7. Posisi Telapak kaki waktu Sujud
Tahun 1999
1. Tasyahud Awal pada Shalat Malam
2. Thawaf Ifadhah Sepulang dari Mina
Tanggal 12 atau 13 Dzulhijah
3. Hukum Menghormat Seseorang dengan
Cara Berdiri
4. Tata Tertib Sumpah (Jabatan) dengan
Memegang Al-Qur'an atau Diletakkan di atas Kepala
Tahun 2000
l . Posisi Zakat dan Pajak
2. Posisi Tasawuf dalam Ajaran Islam
3. Tranplantasi dengan Tubuh non Muslim
4. Jual Beli Saham dan Valas dalam
Rangka Profit Taking
5. Menghajikan Orang yang Lanjut Usia,
yang Sakit, dan Mati
6. Pembuatan Obat atau Kosmetika dari
Organ Tubuh Manusia yang Sudah Mati
7. Perusahaan Padat Modal, Wajib Zakat
atau Infaq
Tahun 2004
1. Hipnotis dan Tayangan-tayangan Ghaib
2. Jadwal Kepulangan Tiba Sebelum Thawaf
Ifadlah Karena Haid
3. Wakaf dengan Uang
4. Mengepalkan Tangan Waktu Bangkit dari
Sujud untuk Berdiri
5. Ihram Haji (Tanggal 8 Tarwiyah) di
Mina
6. Jadwal Kepulangan tiba sebelum Thawaf
Wada
7. Mengangkat Imam diantara Makmum yang
Masbuk
VII. Penerbitan
Hasil-hasil Keputusan Dewan Hisbah
Satu
hal yang sangat disayangkan yaitu kurangnya sosialisasi keputusan-keputusan
tersebut. Banyak umat yang tidak tahu hukum-hukum yang telah diputuskannya. Hal
ini sebagai akibat kurangnya SDM yang berinisiatif menerbitkan
keputusan-keputusan tersebut atau kurang optimalnya kerja Bidang Garapan Penyiaran
dan Publikasi PP PERSIS.
Selama
ini Dewan Hisbah baru menerbitkan kumpulan keputusannya dalam tiga buku, yaitu
Risalah Shalat, Risalah Shaum, Risalah Zakat, dan Risalah Haji. Buku-buku ini
tidak secara langsung memuat keputusan Dewan Hisbah, namun diramu kembali
dengan diperbaiki berbagai kekurangannya.
Guna
menerbitkan buku-buku tersebut, dibentuk tim penyusun yang terbagi dalam empat
tim sesuai dengan jumlah judul buku yang akan diterbitkan. Tasykil tim penyusun
adalah:
A. Tim Buku Risalah Shalat
1. K.H.A. Syuhada (Ketua),
2. K.H. Dr. Abdurahman, M.A.
(Sekretaris),
3. K.H.A. Ghazali (Anggota),
4. K.H. Usman Sholehudin (Anggota),
5. K.H. Muh. Romli (Anggota).
B. Tim Buku Risalah Zakat
1. K.H.E. Sar'an (Ketua),
2. K.H. Drs. Ahmad Mubin (Sekretaris),
3. KH. Ghazi Abdul Qadir (Anggota),
4. KH. Ad-Dailami Abu Hurairah
(Anggota),
5. K.H. Drs. A. Mubin (Anggota).
C. Tim Buku Risalah Shaum
1. K.H.O. Syamsudin (Ketua),
2. K.H. Muchtar Soemadikarta
(Sekretaris),
3. KH. Drs. M. Syarief Sukandi
(Anggota),
4. K.H.A. Ma'sum Nawawi (Anggota),
5. K.H. Abdlurahman Ks. (Anggota).
D. Tim Buku Risalah Haji
1. KH.A. Latief Muchtar, M.A. (Ketua),
2. K.H. Drs. Shiddiq Amien, M.BA.
(Sekretaris),
3. K.H.I. Shodikin (Anggota),
4. K.H. Abdul Qodir Shodiq (Anggota),
5. K.H.A. Zakaria (Anggota).
VIII.
Metodologi Pengambilan Keputusan Hukum Islam Dewan Hisbah
Persatuan Islam
Sebelum
sampai kepada materi pokok, kami Dewan Hisbah, sebagai aparat pusat Pimpinan Persatuan Islam
yang berfungsi sebagai Dewan Peneliti Hukum Islam, sekaligus sebagai pengawas
pelaksanaannya
di kalangan anggota Persis, kami paparkan terlebih dahulu hal-hal berikut ini,
dengan harapan bisa didapat gambaran lebih jelas dalam memahami metode yang
kami pakai,
Ahkamus Syar’i
Ahkam adalah bentuk kata majemuk dari hukum atau hukum. Menurut bahasa, hukum ialah
اِثْبَاتُ شَيْءٍ عَلَىشَيْءٍ اَوْنَفْيِهِ عَنْهُ
"Menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakan
sesuatu darinya."
Ketetapan ada ditentukan oleh Syar’i, akal, dan ada yang oleh adat. Ketetapan yang diatur oleh Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) disebut
hukum Syara’.
Jadi, hukum Syara’ adalah
keputusan yang diatur oleh Syar’i untuk
seluruh manusia Mukallaf yang bersifat tuntutan atau pilihan. Karena itu hukum Syara’ terbagi lima:
1.
Ijab, ialah yang
bersifat tuntutan keras untuk dilakukan, dan perbuatannya disebut wajib;
2.
Nadb, ialah yang bersifat
tuntutan yang tidak keras, dan perbuatannya disebut Mandub;
3.
Tahrim, ialah yang bersifat
tuntutan agar diringgalkan dengan tuntutan yang keras dan disebut haram;
4.
Karahah, ialah tuntutan agar
ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak keras dan disebut makruh;
5.
Ibahah, ialah yang bersifat
pilihan, tidak dilarang untuk dilakukan dan tidak salah bila ditinggalkan,
disebut mubah, halal atau jaiz.
Dilihat dari hukum syara’,
seluruh aspek kehidupan manusia tidak ada yang terlepas dari hukum, baik itu
wajib, haram, dan yang lainnya. Para Ulama dituntut untuk memberi kepastian
hukum dalam semua perilaku hidup manusia, baik dalam hal-hal yang pernah
terjadi ataupun yang tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw.. Seperti
masalah donor darah, bayi tabung, tranplantasi, transeksual, dan
masalah-masalah kontemporer yang lainnya.
Sumber
hukum
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama Islam bahwa
sumber hukum syara’ itu adalah
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Setiap muslim
dituntut untuk menerima ketentuan-ketentuan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah secara
kaffah.
A.
Al-Qur'an
Al-Qur'an
ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang ditulis dalam
mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa
ragu (Al-Wajiz : 152).
Dilalah Al-Qur'an terhadap hukum
Telah
kita yakini bahwa Al-Qur'an itu qath’iyyul
wurud pasti dan meyakinkan periwayatannya, karena sampai kepada kita dengan
jalan mutawatir yang memberi arti ilmu yakin. Oleh karena itu, dukungan
hukumnya pun pasti benar, hanya dilalah-nya terhadap hukum terkadang qath’iyyud dilalah dan terkadang dzaniyyud dilalah.
Qath’iyyul dilalah ialah apabila
lafadz-lafadznya memberi kemungkinan arti lain, tetapi hanya memberikan satu
pengertian saja, seperti ayat:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي
فَاجْلِدُوْاكُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَامِائَةَجَلْدَةٍ ( النور : 2 )
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera." (QS. An-Nur:2)
Dzaniyyud dilalah ialah apabila
lafadz-lafadznya memberikan kemungkinan beberapa arti, dan tidak menunjukkan
kepada satu pengertian yang pasti, seperti ayat:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَوَبَّصْنَ
بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ (
البقرة : 228 )
"Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." (QS.
Al-Baqarah:228)
Kata
quru’ dalam ayat ini dapat diartikan
dengan arti suci dapat pula diartikan
haid.
Dalam
hal-hal yang termasuk qath’iyyul dilalah tentu
tidak ada perbedaan pendapat, sedangkan dalam hal-hal yang bersifat dzaniyyud dilalah memungkinkan timbulnya
perbedaan pendapat karena diperlukan qarinah-qarinah
yang menguatkan salah satu artinya.
B.
As-Sunnah
As-Sunnah adalah apa-apa yang datang dari Nabi saw.
selain Al-Qur'an, baik itu ucapannya, perbuatannya dan sikap diamnya (Taqrir).
Kehujahan
Sunnah
Para Ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujah dalam menentukan hukum, Sunnah
dapat berfungsi seperti Al-Qur'an dalam menentukan hukum halal atau haram,
wajib atau sunnah.
Firman Allah swt.:
وَمَااَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا ( الحشر : 7 )
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr:7)
Sabda Nabi saw.:
اَلاَوَاِنِّي اُتِيْتُ الْقُرْاَنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ( ابوداود )
"Ingatlah, Sesungguhnya aku diberikan Al-Qur'an dan semisilnya besertanya." (HR. Abu
Dawud)
Kedudukan Sunnah dalam Tasyri Islam
Hubungan
Sunnah dengan Al-Qur'an dari segi kandungan hukumnya ada tiga macam:
1.
Sunnah berfungsi
sebagai penguat hukum-hukum yang telah ada dalam Al-quran. Hukum tersebut mempunyai
dua dasar hukum, yaitu Al-qur-an sebagai penetap atau penentu hukum, sementara
As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya, seperti perintah mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, larangan syirik, memakan riba, dsb.
2.
Sunnah berfungsi
sebagai penafsir dan pengikat terhadap ayat-ayat yang masih mujmal atau muthlaq. Ayat-ayat Al-Qur'an yang belum jelas petunjuk
pelaksanaannya kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam sunnah,
seperti perintah shalat dalam Al-Qur'an dijabarkan dalam sabda Nabi saw.:
صَلُّّوْا
كَمَارَاَيْتُمُوْنِي اُصَلِّي
"Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat"
Perintah haji dijelaskan dengan
sabdanya:
خُذُوْا عَنِّي
مَنَاسِكَكُمْ
"Jadikanlah cara berhaji kalian
sesuai denganku."
3.
Sunnah berfungsi
untuk menetapkan hukum, atau syari’at yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur'an,
seperti syar’i tentang aqidah dan
mengurus jenazah, ditetapkan berdasarkan sunnah.
Terhadap fungsi sunnah yang ketiga ini ada kelompok yang
tidak mau menerimanya, seperti faham atau kelompok Inkarus Sunnah.
Klasifikasi Sunnah dari Segi Datangnya kepada Kita
Sunnah ditinjau dari segi banyaknya jalan periwayatan dan
penyandarannya dibagi dua, mutawatir dan
ahad.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan
banyak orang, dan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, diterima dari
banyak orang pula, periwayatannya sampai kepada Nabi saw., melalui penglihatan
atau pendengaran langsung.
Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang
secara terbatas dibawah jumlah mutawatir.
Dengan data seperti itu, hadits pun diklasifikasikan
menjadi dua kelompok, yaitu:
a.
Qath’iyyul Wurud
b.
Dzanniyyul Wurud.
Dilalah Sunnah terhadap Hukum
Sebagaimana dijelaskan diatas, hadits ditinjau dari segi
sampainya ke tangan kita ada yang Qath’iyyul
Wurud dan ada yang Dzanniyyul Wurud. Karena
itu, dilalahnya kepada hukum seperti Al-Qur'an, ada yang qath’i (pasti) apabila lafadnya tidak mengandung beberapa makna, seperti
sabdanya:
فِى خَمْسٍ مِنَ اْلإِبِلِ شَاةٌ
"Pada setiap lima unta, (zakatnya) satu
kambing."
Ada
juga yang dzani (tidak pasti),
apabila lafadznya mengandung beberapa makna, seperti:
لاَ صَلاَة َإِلاَّ بِفَاتِحَةِ
اْلكِتَابِ
"Tidak (sah) shalat kecuali
dengan Fatihatul Kitab)"
Hadits
seperti ini masih memungkinkan adanya ta’wil
sehingga ada yang memaham “tidak sah”, ini pendapat jumhur ulama, dan ada
juga yang memaham “tidak sempurna”, seperti pendapat Hanafiyyah.
Metode Mengistinbat Hukum
Sebagaimana
kita maklumi bahwa nash
Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berbahasa Arab. Untuk menghasilkan pemahaman yang
benar dari nash-nash itu, tentunya harus memperhatikan uslub-uslubnya. Cara-cara yang ditunjuk
oleh nas itu ada makna lafadznya, baik leksikal maupun struktural.
Oleh
karena itu, para ulama Ushul Fiqih telah berupaya menganalisa uslub-uslub
bahasa Arab, disamping ungkapan dan perbendaharaan kata. Kemudian hasil
analisis dan kaidah bahasa yang telah ditetapkan menjadi landasan untuk
mencapai pemahaman yang benar dari nash-nash syar’i.
Untuk
itu, cara intinbath harus dilandasi dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah
bahasa, maksud-maksud tasyri’, secara
menyeluruh, cara-cara menuntaskan dalil-dalil yang tampak bertentangan,
bagaimana menarjih, juga nasikh mansukh, dsb.
Dengan
dasar tersebut maka ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
1.
Qaidah-qaidah ushuliyyah/Pokok Bahasan
Qaidah-qaidah
ini berhubungan dengan lafadz nash ditinjau dari segi qaidahnya untuk beberapa
makna, dan untuk menguasai faidah-faidah ini, mesti dipahami terlebih dahulu
pembagian lafadz yang dinisbatkan sebagai makna:
a.
Pembagian
lafadz ditinjau dari makna yang diciptakan untuknya mencakup khas, ‘am dan musytarak, dan yang terbagi
pada muthlaq dan muqayyad, amar dan nahi;
b.
Pembagian
lafadz dari segi pemakaian arti terbagi pada hakikat, majaz, shorih, dan kinayah;
c.
Pembagian
lafadz dari segi terang dan samarnya makna terbagi kepada dhahir, nash
mufassir, muhkam, khafi, mujmal, musykil, dan mutasyabih;
d.
Pembagian
lafadz ditinjau dari cara memahami makna, baik yang tersurat maupun yang
tersirat. Dalam hal ini ahli Ushul Fiqih membagi dalam empat cara, ialah:
1.
Dilatatul ibarah,
2.
Dilatatul isyarah,
3.
Dilatatul dalalah,
4.
Dilatatul iqtidla'
Agar
menjadi lebih jelasnya, yang berkaitan dengan kaidah-kaidah lughawiyyah, pembagiannya, dan
contoh-contohnya bisa dilihat dari kitab-kitab Ushul Fiqih.
2.
Tujuan Umum
Perundang-undangan Islam
Mengetahui
tujuan-tujuan syari’at yang umum adalah hal yang sangat penting untuk dapat
mengistinbath hukum-hukum dari dalil-dalil dengan cara yang dapat diterima.
Seorang
mujtahid tidak cukup hanya mengetahui dalalah lafadz untuk satu makna saja, ia
meski mengetahui rahasia perundang-undangan dan tujuan umumnya sesuai dengan
tujuan pembuat syara’ dalam
menetapkan hukum yang berbeda.
Tujuan
umum pembuatan undang-undang itu adalah untuk merealisasikan kemaslahatan dan
menolak kemudlaratan bagi manusia. Kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini
terdiri atas al-umurudl-dlaruriyyah, al umuru hajiyah, dan al-Umuru tahsiniyyah. Apabila tiga
persoalan tersebut telah ditempuh, terwujudlah hakikat kemaslahatan umat
tersebut.
Amrudl Dloruri
Ini
adalah hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang wajib ada
demi kemaslahatan mereka. Apabila sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka
akan menjadi kacau, kemaslahatan tidak menjelma, dan akan tersiar di
tengah-tengah mereka kehinaan dan kerusakan.
Amrudl dloruri bagi manusia dengan makna ini terdiri atas:
1.
Urusan
agama,
2.
Urusan
jiwa,
3.
Urusan
akal,
4.
Urusan
turunan,
5.
Urusan
harta.
Islam
menetapkan untuk setiap urusan dlaruri yang lima ini hukum-hukum yang menjamin
eksistensinya dan pemeliharaannya, yang kemudian disebut hukum dlaruri,
misalnya diwajibkan beriman kepada Allah, diwajibkan shalat, shaum, zakat dan
kewajiban lainnya.
Al-Umurul Hajiyat
Ini
adalah hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan
kesulitan-kesulitan dan menolak halangan, dan apabila hal-hal tersebut tidak
ada, maka tidak hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.
Pada
prinsipnya Al-Umurul Hajiyat ini
adalah untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan manusia. Didalam syari’at Islam
misalnya syari’at “rukh-shah”,
seperti boleh berbuka shaum bagi yang sakit atau musafir, boleh shalat sambil
duduk bagi yang sakit, dsb.
Berkenaan
dengan itu Allah swt., berfirman:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah : 185)
Tahsiniyyah
Ini
tindakan dan sifat yang harus dijauhi mesti dihayati dengan kepribadian yang
kuat. Apabila hal-hal tersebut tidak dipenuhi tidak akan mengakibatkan aturan
manusia rusak dan tidak membawa kesulitan bagi mannusia, hanya dianggap kurang
harmonis oleh pertimbangan moral, akhlaq terpuji, dan hati nurani. Yang
berkaitan dengan masalah ini dalam Islam disyari’atkan ibadah-ibadah sunnat
dalam shalat, shaum, shadaqah atau makan dengan tangan kanan dan sebagainya.
Untuk mengetahui secara lebih jelas dan luas silahkan baca kitab-kitab ushul.
3.
Cara Menyelesaikan Nash-nash yang Tampak bertentangan
Adalah
satu kenyataan timbul aneka ragam pendapat dan pengamalan di kalangan umat,
berbeda fatwa di kalangan ulama. Hal ini bukan berarti agama yang tidak
sempurna atau karena petunjuk yang tidak cukup, tetapi akibat pemahaman dan
persepsi yang berbeda, disamping latar belakang dan motivasi yang tidak sama.
Perbedaan
pendapat di kalangan ummat tersebut tentunya bukan untuk diabadikan dan
dilestarikan, apalagi untuk diwariskan, melainkan untuk diselesaikan.
Firman
Allah swt.:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (QS.
An-Nisa : 59)
Para
ulama telah membuat berbagai rumusan untuk menyelesaikan dalil-dalil yang tampak
bertentangan, diantaranya:
a.
Thariqatul jam’i, ialah dengan
menggabungkan dua dalil yang tampak bertentangan, dua-duanya dipakai dan
diamalkan. Thariqatul jam’i adalah penggabungan dua dalil yang sama-sama
shahih.
Bila yang satu shahih dan yang lainnya dlaif, tidak digunakan thariqatul
jam’i, melainkan diambil yang shahih dan yang dlaif ditinggalkan.
b.
Thariqatul tarjih, ialah dengan jalan
mengambil yang paling kuat dari dua dalil yang sama-sama shahih. Misalnya bila ada
hadits Bukhori bertentangan dengan Muslim maka diambil yang dari Bukhori,
itupun jika tidak mungkin di-jam’u.
Dalam menggunakan tarjih ini diperhatikan berbagai segi dan aspeknya, misalnya
sanad, matan, sedikit-banyaknya rawi, dsb.
c.
Thariqatul naskhi, ialah dengan jalan menggugurkan salah
satu dari padanya, apabila diketahui tarikhnya mana yang dahulu dan mana yang
kemudian. Itu pun apabila upaya dengan Thariqatul
jam’i dan tarjih sudah tidak mungkin di tempuh.
Para Ulama dalam membuat satu
rumusan:
مَتىَ
أَمْكَنَ اْلجَمْعُ لاَ يَجُوْزُ النَّسْخُ
"Selama masih memungkinkan
untuk dikorelasikan (Jam'u) tidak boleh dengan nasakh"
Adanya
nasikh mansukh dalam ketentuan Islam telah disepakati oleh kalangan ulama.
Memang kenyataannya
juga ada; Nabi saw. pernah meralat hukum yang semula berlaku dengan hukum yang
datang kemudian, seperti dalam hal ziarah kubur.
Adapun
tentang adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur'an masih terjadi perbedaan pendapat.
Ada yang menerima adanya, dan ada juga yang menolaknya. Di kalangan yang
menerima adanya belum ada hal itu juga kesepakatan mengenai jumlah ayat yang mansukh.
Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan
Pendapat
Untuk
mengkaji lebih jauh tentang perbedaan yang timbul di kalangan ulama, perlu
diketahui sebab-sebabnya, diantaranya:
1.
Perbedaan
data yang diterima, mengingat fasilitasnya dan koleksi hadits yang berbeda.
Perbedaan
pendapat dalam hal menempatkan tangan di dada waktu shalat, Imam Hanafi
berpendapat irsal, karena tidak
mendapat hadits tentang bersedekap, sementara yang lain bersedekap karena
menerima haditsnya. Andaikan Imam Hanafi menerima haditsnya tentu tidak akan
terjadi perbedaan pendapat.
2.
Perbedaan
data tentang keshahihan
atau kedlaifan
suatu hadits seperti masalah Qunut Subuh, di satu pihak mendapatkan hadits
tersebut dengan kedudukan shahih,
sementara data kedaifan belum ditemukan. Pihak lain menemukan data yang lengkap
tentang kedaifan hadits tersebut. Timbullah
perbedaan pendapat karena meluasnya informasi yang diterima tentang kedudukan
hadits tersebut, akibat referensi dan koleksi kitab-kitab hadits yang belum merata di kalangan ulama.
3.
Perbedaan
titik tolak dalam memahami hadits ada yang bertitik tolak dari satu mazhab,
tempat, akal atau perasaan, sementara yang lain bertitik tolak dari nas.
Seperti tambahan “sayyidina” dalam
bacaan shalawat ketika tasyahud, pada satu pihak beranggapan lebih baik memakai
“sayyidina”, karena mesti berlaku
sopan terhadap Nabi saw. (bertitik tolak dari perasaan). Sementara pihak lain
berpendapat tidak mesti ditambah “sayyidina”
sesuai dengan nash
yang ada. Perbedaan titik tolak ini jelas mengakibatkan perbedaan pendapat.
4.
Perbedaan pemahaman atau persepsi dalam
memahami nash
yang telah sepakat keshahihannya.
Misalnya tentang hadits:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا نَهَضَ مِنْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ
بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَلَمْ يَسْكُتْ
"Adalah RAsulullah SAW jika bangkit dari raka'at kedua
memulainya dengan bacaan Al-hamdulillahirabbil'alamin dan tidak berdiam."
(HR. Muslim)
Di satu pihak berpendapat bahwa
bacaan fatihah pada rakaat kedua tidak mesti membaca bismillah, berdasar dzahirnya hadits tersebut.Sementara pihak lain
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Alhamdu
lillahi Rabbil‘alamiin” itu adalah surat Al-Fatihah termasuk bismillah di
dalamnya.
5.
Perbedaan
rumusan, apakah itu rumusan Mushthalah Hadits, Ushul Fiqih
atau rumusan lainnya. Misalnya:
Tentang Al-quran:
a.
Jika
terjadi pertentangan antara Al-Qur'an dan Al-hadits mana yang didahulukan,
Al-Qur'an atau Al-hadits?
b.
Masalah
nasikh mansukh belum ada kesepakatan di kalangan ulama.
c.
Dalam
memahami ayat-ayat mutasyabihat, ada yang menggunakan ta’wil, ada yang menggunakan
tafwidl.
d.
Kedudukan
sunnah dalam tasyri’
Islam apakah berfungsi untuk menetapkan hukum atau hanya sebagai bayan terhadap
Al-Qur'an?
e.
Adanya
tafsir bil-ma’tsur dan ada yang bir-ra’yi.
f.
Aneka
ragamnya tafsir dari shahabat.
Tentang Al-hadits
a. Mengenai kaidah:
الأَحَادِيْثُ
الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا
Hadits-hadits Dla'if itu satu sama lain saling
menguatkan
b. Mengenai kaidah:
الحَدِيْثُ الضَّغِيْفُ يُعْمَلُ فِي فَضَائِلِ
اْلأَعْمَالِ
Hadits
dla'if dapat diamalkan dalam masalah keutamaan perbuatan
c. Mengenai berhujjah dengan
hadits hasan.
d. Mengenai fungsi sunnah.
e. Mengenai mursal shahabi
dan hadits mauquf.
f. Mengenai mursal tabi'in
g. Mengenai kaidah:
الجَرْدُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ
Yang menyatakan cacat (sebuah hadits) lebih
didahulukan daripada yang menganggap 'adil.
h. Mengenai rumusan:
الصَّحَابَةُ
كَلُّهُمْ عُدُوْلٌ
Para
shahabat semuanya 'adil
i.
Mengenai
riwayat orang yang tadlis.
Dalam
berijtihad:
a. Tentang kedudukan ijma’,
ijma’ yang mana yang bisa dijadikan hujjah?
b. Tentang Qiyas, bisakah diterima Qiyas dalam masalah ibadah mahdlah?
c. Apabila terjadi mutsbit dan nafi?
d. Tentang kedudukan istihsan,
mashlahat
mursalat dan
masalah-masalah lain yang masih menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Dalam
rumusan-rumusan yang tersebut tadi, belum ada kesepakatan di kalangan para
ulama. Untuk itu diperlukan penelitian yang lebih mendalam lagi, kajian yang
lebih akurat dan meyakinkan, disertai keikhlasan dan keterbukaan.
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, Dewan Hisbah menentukan manhaj dalam memutuskan
atau mengambil keputusan hukum, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
1.
Didalam
beristidlal dengan Al-quran:
a. Mendahulukan dzahir ayat
Al-Qur'an daripada ta’wil dan memilih cara-cara tafwiedl dalam hal-hal yang
menyangkut masalah i’tiqadiyyah;
b. Menerima dan meyakini isi
kandungan Al-Qur'an sekalipun tampaknya bertentangan dengan aqli dan ‘ady,
seperti masalah Isra dan Mi’raj;
c. Mendahulukan makna haqiqi
daripada makna majazi, kecuali jika ada qarinah, seperti kalimat “Au Lamas tumun nisaa” dengan pengertian
jima;
d. Apabila ayat Al-Qur'an
bertentangan dengan Al-hadits, yang didahulukan ayat Al-Qur'an sekalipun hadits
tersebut muttafaq ‘alaih, seperti dalam menghajikan orang
lain;
e. Menerima adanya nasikh
dalam Al-Qur'an dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskhul
kulli);
f. Menerima tafsir dari para
shahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an (tidak hanya penafsiran ahlul bait),
dan mengambil penafsiran shahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan
penafsiran di kalangan para shahabat;
g. Mengutamakan tafsir
bil ma’tsur
daripada
bir-ra’yi;
h. Menerima hadits-hadits
sebagai bayan terhadap Al-Qur'an,
kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan shigot hasr, seperti ayat
tentang makanan yang diharamkan.
2.
Dalam
beristidlal dengan al-hadits:
a. Menggunakan hadits shahih dan hasan dalam
mengambil keputusan;
b. Menerima kaidah:
Jika dlaifnya hadits tersebut
dari segi dlabth
(hafalan) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an atau hadits lain yang shahih. Adapun jika
dlaifnya itu dari segi fisqur rawi atau “tertuduh dusta” maka kaidah
tersebut tidak dipakai.
c. Tidak menerima:
Karena yang menujukkan fadla’ilul a'mal dalam hadits shahih pun cukup banyak;
d. Menerima hadits shahih sebagai tasyri’ yang
mendiri, sekalipun tidak merupakan bayan Al-Qur'an;
e. Menerima hadits ahad
sebagai dasar hukum selama hadits tersebut shahih;
f. Hadits mursal shahabi dan mauquf bil
hukmil marfu’ dipakai sebagai hujjah selama sanad hadits tersebut shahih dan tidak
bertentangan dengan hadits lain yang shahih.
g. Hadits mursal tabi’i
dijadikan hujjah apabila hadits tersebut disertai qarinah yang menunjukkan
ittishalnya;
h. Menerima kaidah: Al-jarhu
muqaddamun ‘alat ta’dil. Dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Jika
yang menjarah menjelaskan jarahnya didahulukan jarah daripada ta’dil;
2.
Jika
yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya tetapi tidak ada seorangpun yang
menyatakan tsiqat, maka jarahnya bisa
diterima.
i.
Menerima
kaidah tentang shahabat: ............................
j.
riwayat
orang yang sering melakukan tadlis diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang
diriwayatkannya itu jelas sigat
tahamul-nya menunjukkan ittishal, seperti
menggunakan kata “hadzdzatsani”.
3.
Dalam
masalah-masalah yang tidak ditemukan nasnya yang sharih dalam Al-Qur'an dan
Al-hadits, ditempuh dengan jalan ijtihad
jama’i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
a. Tidak menerima ijma’
secara mutlak dalam rumusan ibadah kecuali ijma shahabat;
b. Tidak menerima Qiyas
dalam masalah ibadah mahdlah, sedangkan dalam masalah ibadah ghair mahdlah,
Qiyas diterima selama memenuhi persyaratan Qiyas.
c. Dalam memecahkan “Ta’arudlul Adillah” diupayakan dengan cara:
1.
thariqatul jam’i, selama masih mungkin di
jam’u
2.
thariqatut tarjih, dari berbagai sudut dan
seginya, misalnya:
2.1. Mendahulukan al-mutsbit daripada an-nafi
2.2. Mendahulukan hadits-hadits
yang dalam shahihain daripada di luar
shahihain
2.3. Dalam masalah-masalah
tertentu,
hadits Muslim lebih didahulukan daripada hadits Bukhari, seperti dalam hal
pernikahan Nabi saw. dengan Siti Maemunah
2.4. Meninggalkan sesuatu yang
dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahulukan daripada mengamalkan
sesuatu yang diragukan sunnahnya.
3.
tharuqatun naskhi, jika diketahui mana yang
dahulu dan mana yang kemudian.
a. Dalam membahas masalah
ijtihad Dewan Hisbah Menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya
para fuqaha.
b. Dewan Hisbah tidak
mengikatkan diri pada satu madzhab, tapi pendapat imam madzhab menjadi bahan
pertimbangan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa
Al-Qur'an dan sunnah.
Demikianlah
rumusan-rumusan yang diambil dan dipakai oleh Dewan Hisbah.
Dewan Hisbah pun menyadari bahwa sekalipun para ulama
telah sepakat dengan rumusan yang sama, belum tentu hasil ijtihadnya sama,
karena masih bergantung pada ketepatan, keahlian, kejelian, ketelitian, dalam
mengambil suatu keputusan dan meninjau dari berbagai seginya. Untuk itu
diperlukan sekali jiwa yang terbuka, berani mengoreksi pendapat orang lain, dan
rela menerima koreksi andaikata hasil ijtihadnya keliru.