PENGUNJUNG

Rabu, 31 Maret 2021

DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM

 


I.                   Sejarah Dan Latar Belakang Berdiri

Persatuan Islam yang sejak awal didirikan merupakan sebuah kelompok tadarus atau kelompok kajian dari orang-orang yang prihatin terhadap kondisi aakidah, ibadah dan akhlak umat, yang tenggelam dalam berbagai perbuatan bid’ah, syirik dan munkarat lainnya, di bawah pimpinan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, kemudian membentuk sebuah jam’iyyah dengan misi dan doktrin utama “Ar-Ruju’ ila Al-Qur’an wa As-Sunah”, dan mengambil peran aktif dalam melakukan tugas tajdid dalam arti “islahul islam, I’adatul Islam ila ashliha, dan ibanah”. Keberadaan dewan hisbah yang sebelumnya bernama Majlis Ulama Persis bisa disebutkan sebagai lanjutan atau mata rantai dari kelompok tadarusan atau kelompok kajian tersebut di atas. (Amien dkk, 2007: 197).

 

Menurut Shiddiq Amien dkk (2007: 197) Majlis ulama Persis baru resmi terbentuk dalam Muktamar ke-6 yang berlangsung tanggal 15-18 Desember 1956 di Bandung. Mengenai fungsi dan kedudukan Majlis Ulama Persis termaktub dalam Qanun Asasi Persis tahun 1957 Bab V Pasal 1 sebagai berikut:

a.       Persatuan Islam mempunyai Majlis Ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan pusat menyiarkannya.

b.      Majlis Ulama diangkat oleh Pusat buat selama-lamanya.

c.       Sesuai dengan kedudukannya sebagai Warasatul anbiya, Majlis Ulama memiliki hak veto (menolak dan membatalkan) segala keputusan dan langkah yang diambil dalam segala instansi organisasi Persatuan Islam.

Cara bekerja Majlis Ulama diatur Qaidah Majlis Ulama.Dalam Pasal 2 dinyatakan :

a.       Segala keputusan dan atau ketetapan yang diambil oleh Majlis Ulama dalam lapangan hukum agama wajib dipatuhi oleh Pusat Pimpinan dan segenap anggota Persatuan Islam.

b.      Instansi Majlis Ulama hanya diadakan oleh Pusat Pimpinan.

c.       Cabang-cabang berhak mencalonkan ulama daerahnya kepada Pusat Pimpinan untuk menjadi anggota Majlis Ulama, disertai riwayat hidup ulama tersebut.

d.      Pusat pimpinan berhak menolak calon yang diajukan itu.

Pada masa kepemimpinan Al-Ustadz KHE. Abdurrahman (1962-1983) Majlis Ulama diganti menjadi Dewan Hisbah dengan ketua Al-Ustadz KH. Abdul Kadir Hasan.  Namun karena kesibukan dan berbagai masalah kejam’iyyahan, Dewan Hisbah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Berbagai masalah yang muncul, lebih banyak dijawab dan ditanggapi oleh KHE. Abdurrahman dengan segala kapasitasnya dan kemampuannya sebagai seorang Ulama yang mumpuni.

Hisbah artinya  pemeriksa.  Penggantian  nama  tersebut  dimaksudkan  agar  fungsi  para ulama  yang  semula hanya melakukan pembahasan, pengkajian serta melahirkan pemikiran keaamaan, diperluas dengan melakukan fungsi kontrol terutama terhadap PP PERSIS, beserta anggota jama‟ahnya,  di samping menjawab persoalan-persoalan keagamaan yang berkembang saat itu.

Pada masa kepemimpinan Persis di bawah Al-Ustadz KH. Latief Muchtar, MA (1983-1997) tasykil Dewan Hisbah terbagi menjadi tiga periode. Melalui Musyawarah khusus PP Persis yang melibatkan seluruh anggota Pimpinan Pusat, Para Ketua Umum PP bagian Otonom, seluruh Anggota Dewan Hisbah, dan para Ketua PW Persis tanggal 25 Oktober 1997 di Ciganitri Bandung, secara aklamasi menunjuk KH. Drs. Shiddiq Amien sebagai Ketua Umum Pengganti sampai Muktamar ke-12. Dan pada Muktamar ke-12 pada tangaal 9-11 September 2000 di Jakarta, Ustadz Shiddiq Amien terpilih kembali sebagai Ketua Umum untuk masa jihad 2000-2005.

Mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban Dewan Hisbah diatur dalam Qanun Asasi pasal 13 dan Qanun Dakhili Bab VI pasal 34-38. Hasil Muktamar ke-12. Dewan Hisbah yang terdiri dari: Komisi Ibadah Mahdhah, Komisi Mu’amalah, dan Komisi Aliran sesat. Tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

 

Pada muktamar ke-13 Dewan Hisbah mengalami perubahan dalam menentukan keanggotaannya. Anggota Dewan Hisbah diajukan oleh para Ketua Pimpinan daerah, dan kemudian mengadakan Pemilihan untuk Tasykilnya.

 

Pada awal perjalanannya, pemikiran institusional atau ijtihad jama’i Dewan Hisbah masih kalah  menonjol  dibanding  pemikiran  para  tokohnya  seperti  A.  Hassan,  M.  Natsir,  KH.  Isa Anshary, Hasbi Ash-Shiddieqy dan KH. E. Abdurahman. Namun, Sejak kepemimpinan KH.  Abdul Latief Muchtar, M.A Dewan Hisbah ini sudah mulai diberdayakan fungsi-fungsinya.

 

K.H.E. Abdurahman, tokoh karismatik PERSIS wafat tanggal 12 April 1983. Kepemimpinan PERSIS selanjutnya dise¬rahkan kepada KH.A. Latief Muchtar, MA. Pada masa kepe¬mimpinan KH.A. Latief Muchtar, MA, Dewan Hisbah Persa¬tuan Islam dilakukan reorganisasi dengan melakukan pembagian tema kajian yang kemudian dirumuskan bersama dalam Sidang Dewan Hisbah. Pada tahun itu juga (1983) Dewan Hisbah mulai bersidang. Berikut ini tasykil Dewan Hisbah pada masa kepemimpinan PERSIS dipegang KHA. Latief Muchtar :

 

Tahun 1983-1990

Ketua : KH.E . Abdullah (Karena udzur, diganti oleh KHA. Latief Muchtar. MA)

Wakil Ketua: KH. Eman Sar'an

Sekretaris : KH. Drs. Syarief Sukandi

Wk. Sekretaris : KH.I. Shodikin

Wk. Sekretaris : KH.O. Syamsudin

Anggota :

1. KHA. Hassan (Purwakarta), '

2. KHA. Syuhada (Cianjur),

3. KHA. Ghazali (Cianjur),

4. KH. Ismail Fikri (Jakarta),

5. KH. Usman Sholehuddin (Bandung)

6. KH. Aceng Zakaria (Garut),

7. KH. Drs. Shiddiq Amien (Tasikmalaya),

8. KH. Suraedi (Tasikmalaya).

 

Tahun 1990-1995

Ketua : KH. Eman Sar'an

Wakil Ketua : KH.A. Syuhada

Sekretaris : KH. Drs. Shiddiq Amien

Anggota:

1. K.HA. Hassan,

2. K.H.O. Syamsudin.

3. K.HA. Latief Muchtar, MA.,

4. K.HA. Ma'sum Nawawi

5. K.HA. Ghazali,

6. Drs. Nasihin bin Sayuti,

7. KH. Usman Shalehudin,

8. K.H.I. Shodikin,

9. K.H.M. Romli,

10. KH. Aceng Zakaria,

11. KH. Ismail Fikri,

12. Drs. H.M. Nurdin, S,H.,

13. K.H. Ghazi Abdul Qodir,

14. KH. Abdul Qodir Shodiq,

15. KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah,

16. K.H. Drs. Moh Syarief Sukandi,

17. K.H.M. Abdurahman, Ks.

 

Tahun 1995-2000

Ketua : KH. Eman Sar'an (Jakarta)

Wakil Ketua : KHA. Syuhada (Cianjur)

Sekretaris : KH. Drs. Shiddiq Amien (Tasikmalaya)

Anggota

1. KH.O. Syamsudin (Padalarang),

2. KHA. Latief Muchtar, MA. (Banduiig),

3. KHA. Ma'sum Nawawi (Majalengka),

4. KH.A. Ghazali (Cianjur),

5. KH. Usman Sholehudin (Bandung),

6. KH.I. Shodiqin (Bandumg),

7. KH.M. Romli (Bandung),

8. KH. Aceng Zakaria (Garut),

9. Drs. H.M. Nurdin, SH. (Jakarta),

10. Drs. H.A. Mubin, SH. (Jakarta),

11. KH. Ghazi Abdul Qodir (Bangil),

12. KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung),

13. KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah (Madura),

14. KH. Drs. Syarief Sukandi (Bandung),

15. KH. Abdurahman Ks.(Tasikmalaya),

16. KH. Mochtar Soemawikata (Sukabumi),

17. KH. Dr. Abdurahman, MA. (Bandung),

18. Luthfi Abdullah Ismail (Bangil).

 

Pada tanggal 12 Oktober 1997, Ketua Umum PP Persa¬tuan lslam sekaligus anggota Dewan Hisbah PERSIS, KHA. Latief Muchtar, M.A. wafat. PERSIS dan Dewan Hisbah kembali kehilangan putra terbaiknya. Selain beliau selama periode ini, Dewan Hisbah kehilangan putra-putra terbaiknya, yaitu KH.O. Syamsudin (Padalarang), KH. Syarief Sukandi (Bandung), KH. Mochtar Soemawikata (Suka¬bumi), KH. Nasihin bin Sayuti (Purwakarta), KH. Drs. Moh. Nurdin S.H. (Jakarta). Semoga amal ibadah mereka diterima di sisi Allah Swt.

Sepeninggal KHA. Latief Muchtar M.A., tampil KH. Drs. Shiddiq Amien sebagai Ketua Umum PP PERSIS terbaru melalui Musyawarah Luar Biasa di Ciganitri, tanggal 25 Okto¬ber 1997. Pada Muktamar XII PERSIS, 9-11 September 2000 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, secara aklamasi KH. Drs. Shiddiq Amien, M.B.A. terpilih kembali. Dewan Hisbah pasca muktamar ini, tampil di antaranya generasi baru yang muda. Berikut tasykil Dewan Hisbah masa kepemimpinan KH. Drs. Shiddiq Amien, MB.A. :

 

Tahun 2000-2005

Ketua: KH.A. Syuhada (Cianjur)

Wakil Ketua : KH. Usman Sholehudin (Bandumg)

Sekretaris : K.H. Dr. Abdurrahman, MA. (Bandung)

Wk. Sekretaris : H. Wawan Shafwan (Bandung)

Anggota

1. KH.A. Ma'sum Nawawi (Majalengka),

2. KH.A. Ghazali (Cianjur),

3. K.H.I. Shodiqin (Bandung),

4. KH.M. Romli (Bandung),

5. K.H. Aceng Zakaria (Garut),

6. Drs. H.A. Mubin , SH. (Jakarta),

7. KH. Ghazi Abdul Qodir K. (Bangil),

8. KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung),

9. KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah (Madura),

10. KH. Abdurrahman Ks.(Tasikmalaya),

11. KH. Luthfi Abdullah Ismail K. (Bangil),

12. KH. Drs. Shiddiq Amien, MBA.,

13. H. Taufiq Rahman Azhar, S.Ag.,

14. KH. Drs. Entang Muchtar Z.A.,

15. Drs. H. Uus Muhammad Ruhiyat,

16. M. Rahmat Najieb, B.A.

 

Namun tak lama setelah Muktamar XII PERSIS, tepatnya tanggal 21 Oktober 2000, PERSIS dan Dewan Hisbah kembali kehilangan putra terbaiknya, KH. Ma'sum Nawawi, meninggal di Rumah Sakit Al-Islam Bandung dan dimakamkan di Maja¬lengka. Beberapa tahun kemudian menyusul KH. A. Ghazali (Cianjur) yang juga pakar hisab dan rukyat Persatuan Islam serta KH. Ghazi Abdul Qadir (Bangil) berpulang. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un.

 

II. Tugas & Peran Dewan Hisbah

 

Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis) sebagai otonom Persis adalah aset yang sangat berharga. Kehadirannya di lingkungan Persis sangat urgen dan vital. Dewan Hisbah merupakan ruh jihad dan ijtihad seluruh gerak langkah Persis. Karena Persis itu sendiri lahir dari cita-cita tajdid dan kembali pada Al-Quran dan As-Sunah. Sepak terjangnya selama ini membuktikan bahwa Persis bukanlah organisasi yang hanya sekedar berdiri tanpa cita-cita yang jelas, melainkan organisasi militan yang begitu teguh memegang cita-cita kembali dalam Al-Quran dan As-Sunah.

 

Dede Rosyada dalam desertasi Doktornya menyimpulan, bahwa diantara keunggulan metode Ijtihad Dewan Hisbah yaitu, penentu dan pembuat hukum dalam tema-tema hukum Islam hanyalah Syari' yakni Allah dan Rasul-Nya, sedangkan mujtahid hanyalah berusaha mencari ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Syari' tersebut. Dewan Hisbah menggunakan metode-metode kajian yang dinamis dan proporsional, tidak terikat oleh satu madzhab tertentu dan menggunakan kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan kebutuhan tema kajiannya. Oleh sebab itu mereka dapat dikategorikan aliran thariqah Al-Jama'an, yakni aliran konvergensi dengan mengkombinasikan metode-metode Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyyah dan Ibn Hazm Al-Andalusia dari aliran literalisme. (Rosyada, 1999:190)

 

Dewan Hisbah bukanlah pembuat hukum atau sumber hukum, karena Sumber hukum hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah atau pembuat hukum hanyalah Allah swt. dan Rasul-Nya. Dewan Hisbah hanyalah pengawas hukum agar hukum berlaku atau diberlakukan terutama di kalangan anggota Persatuan Islam, sekaligus mengawasi agar tidak terjadi praktik bid'ah, khurafat dan takhayul di kalangan anggota PERSIS.

 

Ketua Dewan Hisbah K.H.A. Syuhada, dalam makalah¬nya tentang Dewan Hisbah menyinggung sebuah hadits:

"Dari Abu Hurairah, "Sesungguhnya Rasulullah saw. pada suatu waktu lewat pada tumpukan makanan (dagangan), lalu beliau memeriksa tumpukan itu, memasukan tangan padanya. Maka beliau menemukan di bawahnya basah, lalu beliau bersabda, "Apa ini, hai pedagang makanan?" Pedagang itu menjawab, "Terkena hujan, wahai Rasulullah". Rasulullah bersabda, "Tidakkah kamu menaruh di atas agar terlihat orang? Barang siapa yang memalsu, maka dia bukan golonganku" (HR. Muslim)

Beliau menyebutkan bahwa tindakan Rasulullah saw. seperti itulah yang diamanatkan kepada Dewan Hisbah: menjaga agar jangan terjadi pelanggaran; menegur dan memperbaiki perbuatan yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

 

Selanjutnya K.H.A. Syuhada menjelaskan, Dewan Hisbah di zaman Khalifah Umar memeriksa timbangan dan sukat¬an di pasar-pasar agar tidak terjadi penipuan atau pemalsuan. Mereka bukan mencari-cari kesalahan orang, melainkan menjaga agar tidak terjadi pelanggaran yang menjurus kepada dosa besar. Seseorang yang telah diangkat menjadi anggota Dewan Hisbah zaman Khalifah di namakan "muhtasib". Ia menyempurnakan amar ma'ruf dan nahyi munkar dengan lidah dan alat kekuasa¬an negara. Kantornya dikenal dengan nama "Dewan Hisbah"

 

Para muhtasib juga bertugas menjaga ketertiban dan keamanan, seperti halnya alat keamanan zaman sekarang. Bagian ini kantornya disebut "Dewan Surthah". Para muhtasib juga ada yang bertugas mengadakan komunikasi dan penyelidikan (tabayyun); kantomya disebut "Dewan Barid".

 

 

 

III. Kewajiban, Hak dan Masa Persidangan Dewan Hisbah

 

Secara umun tugas Dewan Hisbah sebagaimana disebutkan di atas, yaitu sebagai pengawas hukum Islam dan menja¬ga agar tidak terjadi pelanggaran hukum Islam. Jika mengacu pada tujuan awal pendirian PERSIS, tugas Dewan Hisbah secara umum adalah :

1. Menyelamatkan aqidah umat dan menyelamatkan umnat dalam beraqidah,

2. Menyelamatkan ibadah umat dan menyelamatkan umat dalam beribadah,

3. Menyelamatkan mu'amalah umat dan menyelamatkan umat dalam bermu'malah.

 

Jika mengacu pada Qanun Asasi PERSIS, Bab I, pasal 3 bahwa tujuan pendirian PERSIS adalah terlaksananya Syariat Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, Dewan Hisbah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari PERSIS, mengemban tugas tersebut.

 

Tugas atau kewajiban Dewan Hisbah lebih khusus, sesuai arahan PP Persatuan Islam, diatur dalam Qanun Dakhili Bab VI pasal 37 :

1. Dewan Hisbah berkewajiban meneliti hukum-hukum Islam;

2. Dewan Hisbah berkewajiban mengawasi pelaksanaan hukum Islam;

3. Dewan Hisbah berkewajiban membuat petunjuk pelaksana¬an ibadah untuk keperluan anggota jam'iyyah.

4. Dewan Hisbah berkewajiban memberi teguran kepada aggota Persis yang melakukan pelanggaran hukum Islam melalui Pimpinan Pusat.

 

Tugas Dewan Hisbah kini tidak seradikal ketika masih benama Majelis Ulama yang bisa memveto keputusan semua bagian di PERSIS, termasuk keputusan muktamar.

 

Adapun hak Dewan Hisbah sekarang, diatur dalam Qanun Dakhili Persatuan Islam Bab VI Pasal 30 sebagai berikut :

 

1. Dewan Hisbah dapat melaksanakan permusyawaratan dengan sepengetahuan Pimpinan Pusat;

2. Dewan Hisbah berhak mengusulkan kepada Pimpinan Pusat untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap anggota PERSIS yang melakukan pelanggaran hukum Islam;

3. Dewan Hisbah berhak mengikuti musyawarah kerja dan musyawarah khusus Pimpinan Pusat.

 

Sementara itu persidangan Dewan Hisbah tidak diten¬tukan waktunya, paling sedikit satu kali dalam satu semester. Dalam sidangnya, Dewan Hisbah diberi wewenang mengundang pihak luar yang dibutuhkan untuk membantu pembahasan suatu hukum. Seluruh keputusan Dewan Hisbah, nantinya menjadi pegangan seluruh anggota Persatuan Islam. Dengan kata lain, anggota PERSIS tidak berhak memutuskan hukum sendiri tanpa sepengetahuan Dewan Hisbah. Perihal persidangan ini diatur dalam Qanun Dakhili PERSIS, Bab VI, pasal 36.

 

IV. Komisi-komisi Dewan Hisbah

 

Kian lajunya perkembangan zaman, semakin beragam pula masalah yang dihadapi, terutama yang terkait dengan hukum Islam. Guna lebih mengarahkan kinerja anggota Dewan

Hisbah, dibentuklah komisi-komisi Dewan Hisbah melalui SK Dewan Hisbah Nomor: 033/I.1.2-C.1/A.1/1994 yang ditandatangani oleh KH. Eman Sar'an sebagai Ketua dan KH Drs. Shiddiq Amien sebagai Sekretaris. Menurut SK tersebut, komisi-komisi Dewan Hisbah terdiri dari:

A. Komisi Ibadah Mahdhah :

1. KH. Usman Shalehuddin, Ketua

2. KH.M. Abdurrahman Ks., Sekretaris

3. KH.O. Syamsudin, anggota

4. KH.A. Hassan, anggota

5. KH. Moh. Romli, anggota

7. KH. Ad-Dailami Abu Hurairah, anggota

 

B. Komisi Mu'amlah :

1 . K.H. Ma'sum Nawawi, Ketua

2. K.H. Drs. Moh. Syarif Sukandi, Sekretaris

3. K.H. Abdul Qodir Shodiq, anggota

4. K.H. Ghazali, anggota

5. K.H. Drs. M. Nurdin, S.H., anggota

6. K.H. Drs. Ahmad Mubin, anggota

 

C. Komisi Aliran Sesat

1 . K.HA. Latief Muchtar, MA. Ketua

2. K.H.I. Shodiqin, Sekretaris

3. KH. Ghozi Abdul Qodir, anggota

4. K.H. Nasihin bin Ahmad, anggota

5. KH.A. Zakaria, anggota

 

Komisi-komisi itu direstrukturisasi tanggal 8 Juni 1996 dengan tasykil sebagai berikut :

A. Komisi Ibadah Mahdhah :

l. K.H.O. Syamsudin, Ketua

2. K.H.A. Zakaria, Sekretaris

3. K.H. Abdul Qodir Shodiq, anggota

4. K.H. Usman Shalehuddin,

5. K.H.M. AbdurahInan Ks., anggota

 

B. Komisi Muamalah :

1. K.H.I. Shodiqin, Ketua

2. K.H. Moh. Romli, Sekretaris

3. K.H. Ma'sum Nawawi, anggota

4. K.H. Ghozi Abdul Qodir, anggota

5. K.H. Dailami Abu Hurairah, anggota

 

C. Komisi Aliran Sesat

l. K.H.A. Latief Muchtar, M.A. Ketua

2. K.H. Abdurahman MA., Sekretaris

3. KH. Drs. Moh. Syarif Sukandi, anggota

4. K.H. Moechtar Somawikarta,

 

V. Pedoman Kerja Komisi-komisi

 

Tugas-tugas komisi-komisi tersebut dijelaskan dalam Pedoman Kerja Dewan Hisbah sebagai berikut :

A. Komisi Ibadah Mahdah

1. Menyusun konsep petunjuk pelaksanaan ibadah praktis untuk pegangan anggota dan calon anggota;

2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi;

3. Mempresentasikan hasil sidang komisi dalam sidang lengkap.

Sidang-sidang komisi dipimpin oleh Ketua Komisi dibantu oleh salah seorang anggota komisi.

 

B. Komisi Mu'amalah

1. Mengadakan pembahasan masalah-masalah kemasyarakatan (mu'amalah) yang muncul dalam masyarakat, baik atas hasil pemantauan atau atas dasar masukan dari komisi lain atau dari luar.

2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi.

3. Mempresentasikan hasil sidang komisi dalam sidang lengkap.

Sidang-sidang komisi dipimpin oleh Ketua Komisi dibantu oleh salah seorang anggota komisi.

 

C. Komisi Aliran Sesat

1. Melakukan penelitian dan pembahasan mengenai aliran-aliran yang muncul di masyarakat.

2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi

3. Mempresentasikan hasil sidang komisi dalam sidang lengkap.

Sidang-sidang komisi dipimpin oleh Ketua Komisi dibantu oleh salah seorang anggota komisi.

 

VI. Hasil Keputusan Sidang Dewan Hisbah

 

Keputusan Dewan Hisbah sebelum tahun 1983 tidak terlacak dokumentasinya. Namun Majelis Ulama pada tahun 1953 pernah memutuskan masalah, diantaranya tentang definisi agama, harta warisan, keharaman memilih atau memasuki partai politik yang menentang/bertentangan dengan Islam.

 

Dokumentasi Surat Keputusan Dewan Hisbah sejak 1983 – 2005 antara lain:

Tahun 1983-1985

I . Sedekap dalam Shalat

2. Shalat Tarawih 4-4-3

3. Fidyah bagi yang Sakit

4. Memperbanyak Umrah pada Masa Haji

5. Shalat Jama' ketika Menunaikan Haji

6. Shalat Qasar di Mekah

7. Shalat. Rawatib di Waktu Shafar

8. Taswib pada Adzan Shubuh

9. Hukum Rokok

10. Miqat di Qornul Manazil

11. Hukum Menghormat Bendera

 

Tahun 1989

1. Lafadl Ihlal Ihram

2. Mengangkat Tangan ketika Melihat Baitullah

3. Lafadz Do'a Ketika Melihat Baitullah

4. Tentang Al-Multazam

5. Minum Air Zamzam

6. Tentang Hajar Aswad dan Ruknul Yamani

7. Sa'i setelah thawaf Ifadlah bagi yang tamatu'

8. Posisi Tangan Ketika I'tidal (Lanjutan Sedekap)

9. Tentang Cadar

10. Hukum Mabit di Mina dan Singgah di Namirah

 

11 . Hukum Thawaf Ifadhah

12. Takbir dan Do'a pada Jamarat

13. Shalat sebelum Ihram

 

Tahun 1990

1. Bayi Tabung

2. Transplantasi

3. Transeksual

4. Asuransi

5. Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB)

 

Tahun 1991

1. Harta yang Wajib Dizakati

2. Pengertian Riba

 

Tahun 1992

1. Mustahiq Zakat

2. Pengertian 5 Watsaq

3. Sa'i ba'da Thawaf Ifadhah bagi mutamatti

4. Shalawat pada Tasyahud Awal

5. Qunut Nazilah

6. Salam di Mimbar Pengajian

 

Tahun 1993

1. Ramal pada Thawaf (Qudum)

2. Menikahkan Wanita Hamil

3. Posisi Imam Wanita dalam Shalat

4. Keluarga Berencana

5. Darul Aitam

 

Tahun 1994

1. Darul Arqam

2. Shalat Jum'at di Arafah

3. Menjama' Shalat pada Yaum Tarwiyah

4. Kaifiyah Berpakaian Ihram di Luar Thawaf Qudum

5. Hukum Mabit di Muzdalifah dan Melontar Jumrah Aqabah

6. Penggunaan Alkohol pada Proses Produksi Makanan

7. Cara yang Disyari'atkan di Ar-Ruknul Yamani waktu Thawaf dan di Ar-Ruknul Aswadi ba'da Shalat di Maqam Ibrahim

g. Jama' Melontar Jamrot dam Kaifiyahnya

 

Tahun 1995

1. Asuransi Takaful

2. Urine Dijadikan Obat

3. Tranplantasi dengan Organ Binatang Haram

4. Pengurusan Jenazah AIDS

5. Upacara Adat dalam Pernikahan dan Khitanan

6. Al-Hadyu Diganti Qimah

7. Rahim Titipan / Sewa rahim

8. Siapakah Ahlus Sunah Wal Jamaah itu

 

Tahun 1996

1. Isbal

2. Euthanasia

3. Waruta yang Nifas di Bulan Ramadhan, Qadla atau Fidyah ?

4. Thawaf Ifadhah di Luar Tanggal 10 Dzulhijah

5. Do'a di Jumrah Aqabah pada Yaumul Tasyrik

6. Thuruqul Istimbath Hukum Islam (Metodologi Pengambilan Keputusam Hukum Islam)

7. Sighat Taklik Thalak

 

Tahun 1997

1. Isyarat di Hajar Aswad ba'da Shalat di Maqam Ibrahim

2. Hukum Sa'i bagi Wanita Haidl ba'da Thawaf

3. Risalah Zakat dan Shaum

 

Tahun 1998

l . Perempuan Jadi Presiden/Kepala Negara

2. Isyarat Telunjuk pada Duduk di antara Dua Sujud

3. Shalat Dhuhur pada Hari Raya 'Ied yang Jatuh pada Hari Jum'at

4. Hukum Shalat Dua Rakaat ba'da Ashar

7. Posisi Telapak kaki waktu Sujud

 

Tahun 1999

1. Tasyahud Awal pada Shalat Malam

2. Thawaf Ifadhah Sepulang dari Mina Tanggal 12 atau 13 Dzulhijah

3. Hukum Menghormat Seseorang dengan Cara Berdiri

4. Tata Tertib Sumpah (Jabatan) dengan Memegang Al-Qur'an atau Diletakkan di atas Kepala

 

Tahun 2000

l . Posisi Zakat dan Pajak

2. Posisi Tasawuf dalam Ajaran Islam

3. Tranplantasi dengan Tubuh non Muslim

4. Jual Beli Saham dan Valas dalam Rangka Profit Taking

5. Menghajikan Orang yang Lanjut Usia, yang Sakit, dan Mati

6. Pembuatan Obat atau Kosmetika dari Organ Tubuh Manusia yang Sudah Mati

7. Perusahaan Padat Modal, Wajib Zakat atau Infaq

 

Tahun 2004

1. Hipnotis dan Tayangan-tayangan Ghaib

2. Jadwal Kepulangan Tiba Sebelum Thawaf Ifadlah Karena Haid

3. Wakaf dengan Uang

4. Mengepalkan Tangan Waktu Bangkit dari Sujud untuk Berdiri

5. Ihram Haji (Tanggal 8 Tarwiyah) di Mina

6. Jadwal Kepulangan tiba sebelum Thawaf Wada

7. Mengangkat Imam diantara Makmum yang Masbuk

 

VII. Penerbitan Hasil-hasil Keputusan Dewan Hisbah

 

Satu hal yang sangat disayangkan yaitu kurangnya sosialisasi keputusan-keputusan tersebut. Banyak umat yang tidak tahu hukum-hukum yang telah diputuskannya. Hal ini sebagai akibat kurangnya SDM yang berinisiatif menerbitkan keputusan-keputusan tersebut atau kurang optimalnya kerja Bidang Garapan Penyiaran dan Publikasi PP PERSIS.

Selama ini Dewan Hisbah baru menerbitkan kumpulan keputusannya dalam tiga buku, yaitu Risalah Shalat, Risalah Shaum, Risalah Zakat, dan Risalah Haji. Buku-buku ini tidak secara langsung memuat keputusan Dewan Hisbah, namun diramu kembali dengan diperbaiki berbagai kekurangannya.

Guna menerbitkan buku-buku tersebut, dibentuk tim penyusun yang terbagi dalam empat tim sesuai dengan jumlah judul buku yang akan diterbitkan. Tasykil tim penyusun adalah:

A. Tim Buku Risalah Shalat

1. K.H.A. Syuhada (Ketua),

2. K.H. Dr. Abdurahman, M.A. (Sekretaris),

3. K.H.A. Ghazali (Anggota),

4. K.H. Usman Sholehudin (Anggota),

5. K.H. Muh. Romli (Anggota).

 

B. Tim Buku Risalah Zakat

1. K.H.E. Sar'an (Ketua),

2. K.H. Drs. Ahmad Mubin (Sekretaris),

3. KH. Ghazi Abdul Qadir (Anggota),

4. KH. Ad-Dailami Abu Hurairah (Anggota),

5. K.H. Drs. A. Mubin (Anggota).

 

C. Tim Buku Risalah Shaum

1. K.H.O. Syamsudin (Ketua),

2. K.H. Muchtar Soemadikarta (Sekretaris),

3. KH. Drs. M. Syarief Sukandi (Anggota),

4. K.H.A. Ma'sum Nawawi (Anggota),

5. K.H. Abdlurahman Ks. (Anggota).

 

D. Tim Buku Risalah Haji

1. KH.A. Latief Muchtar, M.A. (Ketua),

2. K.H. Drs. Shiddiq Amien, M.BA. (Sekretaris),

3. K.H.I. Shodikin (Anggota),

4. K.H. Abdul Qodir Shodiq (Anggota),

5. K.H.A. Zakaria (Anggota).

 

 

VIII. Metodologi Pengambilan Keputusan Hukum Islam Dewan Hisbah Persatuan Islam

 

Sebelum sampai kepada materi pokok, kami Dewan Hisbah, sebagai aparat pusat Pimpinan Persatuan Islam yang berfungsi sebagai Dewan Peneliti Hukum Islam, sekaligus sebagai pengawas pelaksanaannya di kalangan anggota Persis, kami paparkan terlebih dahulu hal-hal berikut ini, dengan harapan bisa didapat gambaran lebih jelas dalam memahami metode yang kami pakai,

 

Ahkamus Syar’i

Ahkam adalah bentuk kata majemuk dari hukum atau hukum. Menurut bahasa, hukum ialah

  اِثْبَاتُ شَيْءٍ عَلَىشَيْءٍ اَوْنَفْيِهِ عَنْهُ  

"Menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakan sesuatu darinya."

Ketetapan ada ditentukan oleh Syar’i, akal, dan ada yang oleh adat. Ketetapan yang diatur oleh Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) disebut hukum Syara’.

Jadi, hukum Syara’ adalah keputusan yang diatur oleh Syar’i untuk seluruh manusia Mukallaf yang bersifat tuntutan atau pilihan. Karena itu hukum Syara’ terbagi lima:

1.      Ijab, ialah yang bersifat tuntutan keras untuk dilakukan, dan perbuatannya disebut wajib;

2.      Nadb, ialah yang bersifat tuntutan yang tidak keras, dan perbuatannya disebut Mandub;

3.      Tahrim, ialah yang bersifat tuntutan agar diringgalkan dengan tuntutan yang keras dan disebut haram;

4.      Karahah, ialah tuntutan agar ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak keras dan disebut makruh;

5.      Ibahah, ialah yang bersifat pilihan, tidak dilarang untuk dilakukan dan tidak salah bila ditinggalkan, disebut mubah, halal atau jaiz.

Dilihat dari hukum syara’, seluruh aspek kehidupan manusia tidak ada yang terlepas dari hukum, baik itu wajib, haram, dan yang lainnya. Para Ulama dituntut untuk memberi kepastian hukum dalam semua perilaku hidup manusia, baik dalam hal-hal yang pernah terjadi ataupun yang tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw.. Seperti masalah donor darah, bayi tabung, tranplantasi, transeksual, dan masalah-masalah kontemporer yang lainnya.

 

Sumber hukum

Tidak ada perselisihan di kalangan ulama Islam bahwa sumber hukum syara’ itu adalah Al-Qur'an  dan As-Sunnah. Setiap muslim dituntut untuk menerima ketentuan-ketentuan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah secara kaffah.

A.    Al-Qur'an

Al-Qur'an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ragu (Al-Wajiz : 152).

 

Dilalah Al-Qur'an terhadap hukum

Telah kita yakini bahwa Al-Qur'an itu qath’iyyul wurud pasti dan meyakinkan periwayatannya, karena sampai kepada kita dengan jalan mutawatir yang memberi arti ilmu yakin. Oleh karena itu, dukungan hukumnya pun pasti benar, hanya dilalah-nya terhadap hukum terkadang qath’iyyud dilalah dan terkadang dzaniyyud dilalah.

Qath’iyyul dilalah ialah apabila lafadz-lafadznya memberi kemungkinan arti lain, tetapi hanya memberikan satu pengertian saja, seperti ayat:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوْاكُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَامِائَةَجَلْدَةٍ   ( النور : 2 )

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera." (QS. An-Nur:2)

Dzaniyyud dilalah ialah apabila lafadz-lafadznya memberikan kemungkinan beberapa arti, dan tidak menunjukkan kepada satu pengertian yang pasti, seperti ayat:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَوَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ   ( البقرة : 228 )

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." (QS. Al-Baqarah:228)

Kata quru’ dalam ayat ini dapat diartikan dengan arti suci dapat pula diartikan haid.

Dalam hal-hal yang termasuk qath’iyyul dilalah tentu tidak ada perbedaan pendapat, sedangkan dalam hal-hal yang bersifat dzaniyyud dilalah memungkinkan timbulnya perbedaan pendapat karena diperlukan qarinah-qarinah yang menguatkan salah satu artinya.

 

B.     As-Sunnah

As-Sunnah adalah apa-apa yang datang dari Nabi saw. selain Al-Qur'an, baik itu ucapannya, perbuatannya dan sikap diamnya (Taqrir).

 

Kehujahan Sunnah

Para Ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujah dalam menentukan hukum, Sunnah dapat berfungsi seperti Al-Qur'an dalam menentukan hukum halal atau haram, wajib atau sunnah.

Firman Allah swt.:

وَمَااَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا  ( الحشر : 7 )

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr:7)

Sabda Nabi saw.:

اَلاَوَاِنِّي اُتِيْتُ الْقُرْاَنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ  ( ابوداود )

"Ingatlah, Sesungguhnya aku diberikan Al-Qur'an  dan semisilnya besertanya." (HR. Abu Dawud)

 

Kedudukan Sunnah dalam Tasyri Islam

Hubungan Sunnah dengan Al-Qur'an dari segi kandungan hukumnya ada tiga macam:

1.      Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum-hukum yang telah ada dalam Al-quran. Hukum tersebut mempunyai dua dasar hukum, yaitu Al-qur-an sebagai penetap atau penentu hukum, sementara As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya, seperti perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, memakan riba, dsb.

2.      Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pengikat terhadap ayat-ayat yang masih mujmal atau muthlaq. Ayat-ayat Al-Qur'an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam sunnah, seperti perintah shalat dalam Al-Qur'an dijabarkan dalam sabda Nabi saw.:

صَلُّّوْا كَمَارَاَيْتُمُوْنِي اُصَلِّي

"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat"

Perintah haji dijelaskan dengan sabdanya:

خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

            "Jadikanlah cara berhaji kalian sesuai denganku."

3.      Sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum, atau syari’at yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur'an, seperti syar’i tentang aqidah dan mengurus jenazah, ditetapkan berdasarkan sunnah.

 

Terhadap fungsi sunnah yang ketiga ini ada kelompok yang tidak mau menerimanya, seperti faham atau kelompok Inkarus Sunnah.

 

Klasifikasi Sunnah dari Segi Datangnya kepada Kita

Sunnah ditinjau dari segi banyaknya jalan periwayatan dan penyandarannya dibagi dua, mutawatir dan ahad.

Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan banyak orang, dan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, diterima dari banyak orang pula, periwayatannya sampai kepada Nabi saw., melalui penglihatan atau pendengaran langsung.

Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang secara terbatas dibawah jumlah mutawatir.

Dengan data seperti itu, hadits pun diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:

a.       Qath’iyyul Wurud

b.      Dzanniyyul Wurud.

 

Dilalah Sunnah terhadap Hukum

Sebagaimana dijelaskan diatas, hadits ditinjau dari segi sampainya ke tangan kita ada yang Qath’iyyul Wurud dan ada yang Dzanniyyul Wurud. Karena itu, dilalahnya kepada hukum seperti Al-Qur'an, ada yang qath’i (pasti) apabila lafadnya tidak mengandung beberapa makna, seperti sabdanya:

 

فِى خَمْسٍ مِنَ اْلإِبِلِ شَاةٌ

 

"Pada setiap lima unta, (zakatnya) satu kambing."

Ada juga yang dzani (tidak pasti), apabila lafadznya mengandung beberapa makna, seperti:

لاَ صَلاَة َإِلاَّ بِفَاتِحَةِ اْلكِتَابِ

"Tidak (sah) shalat kecuali dengan Fatihatul Kitab)"

Hadits seperti ini masih memungkinkan adanya ta’wil sehingga ada yang memaham “tidak sah”, ini pendapat jumhur ulama, dan ada juga yang memaham “tidak sempurna”, seperti pendapat Hanafiyyah.

 

Metode Mengistinbat Hukum

Sebagaimana kita maklumi bahwa nash Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berbahasa Arab. Untuk menghasilkan pemahaman yang benar dari nash-nash itu, tentunya harus memperhatikan uslub-uslubnya. Cara-cara yang ditunjuk oleh nas itu ada makna lafadznya, baik leksikal maupun struktural.

Oleh karena itu, para ulama Ushul Fiqih telah berupaya menganalisa uslub-uslub bahasa Arab, disamping ungkapan dan perbendaharaan kata. Kemudian hasil analisis dan kaidah bahasa yang telah ditetapkan menjadi landasan untuk mencapai pemahaman yang benar dari nash-nash syar’i.

Untuk itu, cara intinbath harus dilandasi dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa, maksud-maksud tasyri’, secara menyeluruh, cara-cara menuntaskan dalil-dalil yang tampak bertentangan, bagaimana menarjih, juga nasikh mansukh, dsb.

Dengan dasar tersebut maka ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

 

1.      Qaidah-qaidah ushuliyyah/Pokok Bahasan

Qaidah-qaidah ini berhubungan dengan lafadz nash ditinjau dari segi qaidahnya untuk beberapa makna, dan untuk menguasai faidah-faidah ini, mesti dipahami terlebih dahulu pembagian lafadz yang dinisbatkan sebagai makna:

a.       Pembagian lafadz ditinjau dari makna yang diciptakan untuknya mencakup khas, ‘am dan musytarak,  dan yang terbagi pada muthlaq dan muqayyad, amar dan nahi;

b.      Pembagian lafadz dari segi pemakaian arti terbagi pada hakikat, majaz, shorih, dan kinayah;

c.       Pembagian lafadz dari segi terang dan samarnya makna terbagi kepada dhahir, nash mufassir, muhkam, khafi, mujmal, musykil, dan mutasyabih;

d.      Pembagian lafadz ditinjau dari cara memahami makna, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dalam hal ini ahli Ushul Fiqih membagi dalam empat cara, ialah:

1.      Dilatatul ibarah,

2.      Dilatatul isyarah,

3.      Dilatatul dalalah,

4.      Dilatatul iqtidla'

Agar menjadi lebih jelasnya, yang berkaitan dengan kaidah-kaidah lughawiyyah, pembagiannya, dan contoh-contohnya bisa dilihat dari kitab-kitab Ushul Fiqih.

 

2.      Tujuan Umum Perundang-undangan Islam

Mengetahui tujuan-tujuan syari’at yang umum adalah hal yang sangat penting untuk dapat mengistinbath hukum-hukum dari dalil-dalil dengan cara yang dapat diterima.

Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengetahui dalalah lafadz untuk satu makna saja, ia meski mengetahui rahasia perundang-undangan dan tujuan umumnya sesuai dengan tujuan pembuat syara’ dalam menetapkan hukum yang berbeda.

Tujuan umum pembuatan undang-undang itu adalah untuk merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemudlaratan bagi manusia. Kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri atas al-umurudl-dlaruriyyah, al umuru hajiyah, dan al-Umuru tahsiniyyah. Apabila tiga persoalan tersebut telah ditempuh, terwujudlah hakikat kemaslahatan umat tersebut.

 

Amrudl Dloruri

Ini adalah hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang wajib ada demi kemaslahatan mereka. Apabila sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka akan menjadi kacau, kemaslahatan tidak menjelma, dan akan tersiar di tengah-tengah mereka kehinaan dan kerusakan.

Amrudl dloruri  bagi manusia dengan makna ini terdiri atas:

1.      Urusan agama,

2.      Urusan jiwa,

3.      Urusan akal,

4.      Urusan turunan,

5.      Urusan harta.

Islam menetapkan untuk setiap urusan dlaruri yang lima ini hukum-hukum yang menjamin eksistensinya dan pemeliharaannya, yang kemudian disebut hukum dlaruri, misalnya diwajibkan beriman kepada Allah, diwajibkan shalat, shaum, zakat dan kewajiban lainnya.

 

Al-Umurul Hajiyat

Ini adalah hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan, dan apabila hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.

Pada prinsipnya Al-Umurul Hajiyat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan manusia. Didalam syari’at Islam misalnya syari’at “rukh-shah”, seperti boleh berbuka shaum bagi yang sakit atau musafir, boleh shalat sambil duduk bagi yang sakit, dsb.

Berkenaan dengan itu Allah swt., berfirman:

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah : 185)

 

Tahsiniyyah

Ini tindakan dan sifat yang harus dijauhi mesti dihayati dengan kepribadian yang kuat. Apabila hal-hal tersebut tidak dipenuhi tidak akan mengakibatkan aturan manusia rusak dan tidak membawa kesulitan bagi mannusia, hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan moral, akhlaq terpuji, dan hati nurani. Yang berkaitan dengan masalah ini dalam Islam disyari’atkan ibadah-ibadah sunnat dalam shalat, shaum, shadaqah atau makan dengan tangan kanan dan sebagainya. Untuk mengetahui secara lebih jelas dan luas silahkan baca kitab-kitab ushul.

 

3.      Cara Menyelesaikan Nash-nash yang Tampak bertentangan

Adalah satu kenyataan timbul aneka ragam pendapat dan pengamalan di kalangan umat, berbeda fatwa di kalangan ulama. Hal ini bukan berarti agama yang tidak sempurna atau karena petunjuk yang tidak cukup, tetapi akibat pemahaman dan persepsi yang berbeda, disamping latar belakang dan motivasi yang tidak sama.

Perbedaan pendapat di kalangan ummat tersebut tentunya bukan untuk diabadikan dan dilestarikan, apalagi untuk diwariskan, melainkan untuk diselesaikan.

Firman Allah swt.:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (QS. An-Nisa : 59)

Para ulama telah membuat berbagai rumusan untuk menyelesaikan dalil-dalil yang tampak bertentangan, diantaranya:

a.      Thariqatul jam’i, ialah dengan menggabungkan dua dalil yang tampak bertentangan, dua-duanya dipakai dan diamalkan. Thariqatul jam’i adalah penggabungan dua dalil yang sama-sama shahih. Bila yang satu shahih dan yang lainnya dlaif, tidak digunakan thariqatul jam’i, melainkan diambil yang shahih dan yang dlaif ditinggalkan.

b.      Thariqatul tarjih, ialah dengan jalan mengambil yang paling kuat dari dua dalil yang sama-sama shahih. Misalnya bila ada hadits Bukhori bertentangan dengan Muslim maka diambil yang dari Bukhori, itupun jika tidak mungkin di-jam’u. Dalam menggunakan tarjih ini diperhatikan berbagai segi dan aspeknya, misalnya sanad, matan, sedikit-banyaknya rawi, dsb.

c.       Thariqatul naskhi, ialah dengan jalan menggugurkan salah satu dari padanya, apabila diketahui tarikhnya mana yang dahulu dan mana yang kemudian. Itu pun apabila upaya dengan Thariqatul jam’i dan tarjih sudah tidak mungkin di tempuh.

Para Ulama dalam membuat satu rumusan:

 

 

مَتىَ أَمْكَنَ اْلجَمْعُ لاَ يَجُوْزُ النَّسْخُ

"Selama masih memungkinkan untuk dikorelasikan (Jam'u) tidak boleh dengan nasakh"

Adanya nasikh mansukh dalam ketentuan Islam telah disepakati oleh kalangan ulama. Memang kenyataannya juga ada; Nabi saw. pernah meralat hukum yang semula berlaku dengan hukum yang datang kemudian, seperti dalam hal ziarah kubur.

Adapun tentang adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur'an masih terjadi perbedaan pendapat. Ada yang menerima adanya, dan ada juga yang menolaknya. Di kalangan yang menerima adanya belum ada hal itu juga kesepakatan mengenai jumlah ayat yang mansukh.

 

Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat

Untuk mengkaji lebih jauh tentang perbedaan yang timbul di kalangan ulama, perlu diketahui sebab-sebabnya, diantaranya:

1.      Perbedaan data yang diterima, mengingat fasilitasnya dan koleksi hadits yang berbeda.

Perbedaan pendapat dalam hal menempatkan tangan di dada waktu shalat, Imam Hanafi berpendapat irsal, karena tidak mendapat hadits tentang bersedekap, sementara yang lain bersedekap karena menerima haditsnya. Andaikan Imam Hanafi menerima haditsnya tentu tidak akan terjadi perbedaan pendapat.

2.      Perbedaan data tentang keshahihan atau kedlaifan suatu hadits seperti masalah Qunut Subuh, di satu pihak mendapatkan hadits tersebut dengan kedudukan shahih, sementara data kedaifan belum ditemukan. Pihak lain menemukan data yang lengkap tentang kedaifan hadits tersebut. Timbullah perbedaan pendapat karena meluasnya informasi yang diterima tentang kedudukan hadits tersebut, akibat referensi dan koleksi kitab-kitab hadits yang belum merata di kalangan ulama.

3.      Perbedaan titik tolak dalam memahami hadits ada yang bertitik tolak dari satu mazhab, tempat, akal atau perasaan, sementara yang lain bertitik tolak dari nas. Seperti tambahan “sayyidina” dalam bacaan shalawat ketika tasyahud, pada satu pihak beranggapan lebih baik memakai “sayyidina”, karena mesti berlaku sopan terhadap Nabi saw. (bertitik tolak dari perasaan). Sementara pihak lain berpendapat tidak mesti ditambah “sayyidina” sesuai dengan nash yang ada. Perbedaan titik tolak ini jelas mengakibatkan perbedaan pendapat.

4.       Perbedaan pemahaman atau persepsi dalam memahami nash yang telah sepakat keshahihannya. Misalnya tentang hadits:

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَهَضَ مِنْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَلَمْ يَسْكُتْ

"Adalah RAsulullah SAW jika bangkit dari raka'at kedua memulainya dengan bacaan Al-hamdulillahirabbil'alamin dan tidak berdiam." (HR. Muslim)

Di satu pihak berpendapat bahwa bacaan fatihah pada rakaat kedua tidak mesti membaca bismillah, berdasar dzahirnya hadits tersebut.Sementara pihak lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Alhamdu lillahi Rabbil‘alamiin” itu adalah surat Al-Fatihah termasuk bismillah di dalamnya.

5.      Perbedaan rumusan, apakah itu rumusan Mushthalah Hadits, Ushul Fiqih atau rumusan lainnya. Misalnya:

Tentang Al-quran:

a.       Jika terjadi pertentangan antara Al-Qur'an dan Al-hadits mana yang didahulukan, Al-Qur'an atau Al-hadits?

b.      Masalah nasikh mansukh belum ada kesepakatan di kalangan ulama.

c.       Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, ada yang menggunakan ta’wil, ada yang menggunakan tafwidl.

d.      Kedudukan sunnah dalam tasyri’ Islam apakah berfungsi untuk menetapkan hukum atau hanya sebagai bayan terhadap Al-Qur'an?

e.       Adanya tafsir bil-ma’tsur dan ada yang bir-ra’yi.

f.       Aneka ragamnya tafsir dari shahabat.

Tentang Al-hadits

a.       Mengenai kaidah:

الأَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا

Hadits-hadits Dla'if itu satu sama lain saling menguatkan

 

b.      Mengenai kaidah:

الحَدِيْثُ الضَّغِيْفُ يُعْمَلُ فِي فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ

Hadits dla'if dapat diamalkan dalam masalah keutamaan perbuatan

c.       Mengenai berhujjah dengan hadits hasan.

d.      Mengenai fungsi sunnah.

e.       Mengenai mursal shahabi dan hadits mauquf.

f.       Mengenai mursal tabi'in

g.      Mengenai kaidah:

الجَرْدُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ

Yang menyatakan cacat (sebuah hadits) lebih didahulukan daripada yang menganggap 'adil.

h.      Mengenai rumusan:

 

الصَّحَابَةُ كَلُّهُمْ عُدُوْلٌ

Para shahabat semuanya 'adil

i.        Mengenai riwayat orang yang tadlis.

Dalam berijtihad:

a.       Tentang kedudukan ijma’, ijma’ yang mana yang bisa dijadikan hujjah?

b.      Tentang Qiyas, bisakah diterima Qiyas dalam masalah ibadah mahdlah?

c.       Apabila terjadi mutsbit dan nafi?

d.      Tentang kedudukan istihsan, mashlahat mursalat dan masalah-masalah lain yang masih menjadi perbincangan di kalangan ulama.

Dalam rumusan-rumusan yang tersebut tadi, belum ada kesepakatan di kalangan para ulama. Untuk itu diperlukan penelitian yang lebih mendalam lagi, kajian yang lebih akurat dan meyakinkan, disertai keikhlasan dan keterbukaan.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, Dewan Hisbah menentukan manhaj dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:

1.      Didalam beristidlal dengan Al-quran:

a.       Mendahulukan dzahir ayat Al-Qur'an daripada ta’wil dan memilih cara-cara tafwiedl dalam hal-hal yang menyangkut masalah i’tiqadiyyah;

b.      Menerima dan meyakini isi kandungan Al-Qur'an sekalipun tampaknya bertentangan dengan aqli dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Mi’raj;

c.       Mendahulukan makna haqiqi daripada makna majazi, kecuali jika ada qarinah, seperti kalimat “Au Lamas tumun nisaa” dengan pengertian jima;

d.      Apabila ayat Al-Qur'an bertentangan dengan Al-hadits, yang didahulukan ayat Al-Qur'an sekalipun hadits tersebut muttafaq alaih, seperti dalam menghajikan orang lain;

e.       Menerima adanya nasikh dalam Al-Qur'an dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskhul kulli);

f.       Menerima tafsir dari para shahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an (tidak hanya penafsiran ahlul bait), dan mengambil penafsiran shahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para shahabat;

g.      Mengutamakan tafsir bil ma’tsur daripada bir-ra’yi;

h.      Menerima hadits-hadits sebagai bayan terhadap Al-Qur'an, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan shigot hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan.

2.      Dalam beristidlal dengan al-hadits:

a.       Menggunakan hadits shahih dan hasan dalam mengambil keputusan;

b.      Menerima kaidah:

Jika dlaifnya hadits tersebut dari segi dlabth (hafalan) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an atau hadits lain yang shahih. Adapun jika dlaifnya itu dari segi fisqur rawi atau “tertuduh dusta” maka kaidah tersebut tidak dipakai.

c.       Tidak menerima:

Karena yang menujukkan fadla’ilul a'mal dalam hadits shahih pun cukup banyak;

d.      Menerima hadits shahih sebagai tasyri’ yang mendiri, sekalipun tidak merupakan bayan Al-Qur'an;

e.       Menerima hadits ahad sebagai dasar hukum selama hadits tersebut shahih;

f.       Hadits mursal shahabi dan mauquf bil hukmil marfu’ dipakai sebagai hujjah selama sanad hadits tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan hadits lain yang shahih.

g.      Hadits mursal tabi’i dijadikan hujjah apabila hadits tersebut disertai qarinah yang menunjukkan ittishalnya;

h.      Menerima kaidah: Al-jarhu muqaddamun ‘alat ta’dil. Dengan ketentuan sebagai berikut:

1.      Jika yang menjarah menjelaskan jarahnya didahulukan jarah daripada ta’dil;

2.      Jika yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya tetapi tidak ada seorangpun yang menyatakan tsiqat, maka jarahnya bisa diterima.

i.        Menerima kaidah tentang shahabat: ............................

j.        riwayat orang yang sering melakukan tadlis diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang diriwayatkannya itu jelas sigat tahamul-nya menunjukkan ittishal, seperti menggunakan kata “hadzdzatsani”.

 

3.      Dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan nasnya yang sharih dalam Al-Qur'an dan Al-hadits, ditempuh dengan jalan ijtihad jama’i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:

a.       Tidak menerima ijma’ secara mutlak dalam rumusan ibadah kecuali ijma shahabat;

b.      Tidak menerima Qiyas dalam masalah ibadah mahdlah, sedangkan dalam masalah ibadah ghair mahdlah, Qiyas diterima selama memenuhi persyaratan Qiyas.

c.       Dalam memecahkan “Ta’arudlul Adillah” diupayakan dengan cara:

1.      thariqatul jam’i, selama masih mungkin di jam’u

2.      thariqatut tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, misalnya:

2.1. Mendahulukan al-mutsbit daripada an-nafi

2.2. Mendahulukan hadits-hadits yang dalam shahihain daripada di luar shahihain

2.3. Dalam masalah-masalah tertentu, hadits Muslim lebih didahulukan daripada hadits Bukhari, seperti dalam hal pernikahan Nabi saw. dengan Siti Maemunah

2.4. Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya.

3.      tharuqatun naskhi, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian.

a.       Dalam membahas masalah ijtihad Dewan Hisbah Menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya para fuqaha.

b.      Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada satu madzhab, tapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Qur'an dan sunnah.

 

Demikianlah rumusan-rumusan yang diambil dan dipakai oleh Dewan Hisbah.

Dewan Hisbah pun menyadari bahwa sekalipun para ulama telah sepakat dengan rumusan yang sama, belum tentu hasil ijtihadnya sama, karena masih bergantung pada ketepatan, keahlian, kejelian, ketelitian, dalam mengambil suatu keputusan dan meninjau dari berbagai seginya. Untuk itu diperlukan sekali jiwa yang terbuka, berani mengoreksi pendapat orang lain, dan rela menerima koreksi andaikata hasil ijtihadnya keliru.

 

 

 

 

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...