PENGUNJUNG

Selasa, 21 November 2017

REZEKIMU PERANTARA IBADAH DAN MAKSIAT-MU



Oleh Miftah Husni

Mengenai hakikat rizki harus difahami berdasarkan realitas makna lafaz dan syara’nya, baik yang diambil berdasarkan pengertian bahasa maupun syara’. Lafadz  ar-Rizq, dalam bahasa Arab berasal dari  Razaqa-Yarzuqu-Rizq  yang berarti: A’tha-Yu’thiI’tha’(pemberian). Jadi, secara etimologis ar-Rizq berarti pemberian. secara bahasa ar-rizqu juga berarti al-hazhzhu(bagian/porsi), yaitu nasib (bagian) seseorang yang dikhususkan untuknya tanpa orang lain. Adapun menurut terminologis/istilah,"rizki adalah Apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak."

Rezeki berbeda dengan kepemilikan. Kepemilikan adalah penguasaan sesuatu dengan tatacara yang diperbolehkan syariah untuk menguasai harta. Jadi, rezeki itu mencakup rezeki yang halal maupun yang haram. Inilah yang menjadi pendapat Ahlus Sunnah sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam al-Qurthubi. Semuanya dikatakan sebagai rezeki. Harta yang diambil penjudi dari lawannya dalam perjudian adalah rezeki. Sebab, rezeki yang halal ataupun haram itu adalah harta yang diberikan oleh Allah ketika seseorang berbuat untuk melangsungkan kondisi yang di dalamnya bisa diperoleh rezeki. Rezeki seorang hamba telah dijamin oleh Allah. Porsi dan takarannya juga telah ditetapkan.Jika hamba itu memintanya dengan jalan yang halal ataupun dengan jalan yang haram, Allah berikan. Namun, Allah akan menanyai tatacara perolehan dan pembelanjaan harta itu.

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya: umurnya dia habiskan untuk apa; ilmunya diamalkan untuk apa; hartanya dari mana ia peroleh dan dibelanjakan untuk apa’;dan tubuhnya digunakan untuk apa (HR at-Tirmidzi).

Jadi, Jangan takut tidak akan mendapatkan rezeki, karena rezekilah yang akan menemukan kita, tapi jangan lupa juga bersabar menantinya agar cara datangnya tidak jadi tuntutan kelak di hari kiamat.

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866)

Coba renungkan perkataan Ibnu ‘Abbas berikut ini. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
ما من مؤمن ولا فاجر إلا وقد كتب الله تعالى له رزقه من الحلال فان صبر حتى يأتيه آتاه الله تعالى وإن جزع فتناول شيئا من الحرام نقصه الله من رزقه الحلال

“Seorang mukmin dan seorang fajir (yang gemar maksiat) sudah ditetapkan rezeki baginya dari yang halal. Jika ia mau bersabar hingga rezeki itu diberi, niscaya Allah akan memberinya. Namun jika ia tidak sabar lantas ia tempuh cara yang haram, niscaya Allah akan mengurangi jatah rezeki halal untuknya.” (Hilyatul Auliya’, 1: 326)

rezeki itu merupakan taqdir kauni, sebagaimana firman-Nya :

أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

”Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya ? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman” [QS. Az-Zumar : 52].

Tingkatan rezeki menurut al-Qur’an :

1.      Tingkat rezeki pertama, yaitu yang dijamin oleh Allah

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا … (6)

“Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yg bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya.”(QS. Hud: 6).

2.      Tingkat rezeki kedua, yaitu yang didapat sesuai dengan apa yang diusahakan

وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (39)

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS. An-Najm: 39).

3.      Tingkat rezeki ketiga, yaitu rezeki lebih bagi orang-orang yang pandai bersyukur

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)

“… Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

4.      Tingkat rezeki keempat, yaitu rezeki istimewa dari arah yang tidak disangka-sangka bagi orang-orang yang bertakwa dan bertawakal pada Allah SWT

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً (3)

“…. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS.Ath-Thalaq:2-3)

Dengan rezeki tingkatan pertama kita masih bisa hidup tapi hidup kita tidak bedanya dengan hidup binatang melata. Dengan tingkatan kedua kita akan lebih banyak mendapatkan rezeki dan memenuhi berbagai kebutuhan dan kesenangan kita namun, kita tidak beda dengan orang kafir, nah, baru dengan rezeki tingkatan ketiga, kita mendapatkan rezeki di luar prediksi perhitungan akal dan usaha kita namun kita sudah bersyukur dan syukur itu tidak lain adalah ibadah, tingkatan yang keempaat adalah kenikmatan tertinggi, karena bersifat kejutan. Dan kejutan biasanya akan didapatkan dari yang sangat menyayangi kita, makanya tidak heran orang yang bertaqwa banyak mendapatkan kejutan karena ia sangat disayangi Tuhan-Nya.

Mari Menabung


Oleh Miftah Husni
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18) 
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(al-hasyr 18)
Rasanya tidak ada diantara kita yang tidak menyimpan sesuatu untuk persiapan besok baik berupa makanan, Harta atau apa pun bentuknya yang kita sebut dengan simpanan atau pun tabungan. Orang menyimpan atau menabung biasanya mempunyai dua tujuan :
1.      Memperoleh keinginannya dalam bentuk kesenangan dan
2.      Berjaga-jaga  dari sesuatu  yang  tidak disukainya seperti sakit,  atau pun kebangkrutan. 
Keyakinan ini lahir dari anggapan manusia  bahwa umur yang dimiliki nya bukan hari ini  saja melainkan esok,  esok,  dan esok.  Namun bila jujur pada diri tahapan hidup manusia berdasarkan  apa yang kita lihat dan kita alami sudah jelas.  Jika anak kecil menabung untuk masa  dewasanya,  maka orang dewasa menabung untuk masa tuanya,  namun selesai masa tua untuk masa apa manusia menabung?
Fakta inilah yang diingatkan Allah tentang perlunya manusia menabung untuk hari esok yang disebut akhirat.  Jika untuk esok hari saja yang masih belum tentu manusia alami dengan sedemikian  rupanya manusia berusaha  menabung,  maka kenapa manusia tidak berusaha sekuat tenaga untuk menabung bagi kehidupan akhiratnya yang sudah pasti? Padahal tabungan  inilah merupakan apa yang dipersiapkan  manusia untuk mencapai kebahagiaan yang diidamkannya yaitu surga atau persiapan menghadapi  kemungkinan buruk menghindari kecelakaan  yaitu siksa neraka. Maka juga harus diingat kebanyakan kita menabung adalah untuk mencapai  tujuan yang menyenangkan kita,  namun jika yang terjadi adalah kecelakaan maka sudah pasti tujuan kita turun kepada yang kedua tidak apa-apa tidak mendapatkan itu yang  penting selamat,  sehat,  dan aman
Kedua tujuan tersebut  sama akan terjadi bukan hari ini saja tetapi masa yang akan datang di akhirat, kalau pun hari ini kita merasa banyak amalan yang ditabung  dengan harapan amal kita dapat  menebus surga yang kita idamkan,  tetapi bila ternyata hitungan Allah justru lebih banyak dosa yang kita  perbuat maka jangankan mengharapkan surga menebus diri dari neraka saja sudah merupakan suatu kebahagian.
Yang menarik dari al-hasyr 18 ini adalah dimulai  dengan perintah untuk bertakwa,  dimana para ulama telah menyepakati  bahwa  takwa itu adalah menjaga diri  dari perbuatan yang menyebabkan dosa.  Karena sebanyak apa pun amal shalih yang kita tabung kalau dosa kita banyak maka habislah pahala amal tersebut untuk menutupi dosa tersebut.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو نُوحٍ قُرَادٌ أَنْبَأَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَمْلُوكِينَ، يَكْذِبُونَنِي، وَيَخُونُونَنِي، وَيَعْصُونَنِي، وَأَضْرِبُهُمْ وَأَشْتُمُهُمْ، فَكَيْفَ أَنَا مِنْهُمْ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يُحْسَبُ مَا خَانُوكَ وَعَصَوْكَ وَكَذَّبُوكَ وَعِقَابُكَ إِيَّاهُمْ، إِنْ كَانَ عِقَابُكَ إِيَّاهُمْ دُونَ ذُنُوبِهِمْ، كَانَ فَضْلًا لَكَ [عَلَيْهِمْ] وَإِنْ كَانَ عِقَابُكَ إِيَّاهُمْ بِقَدْرِ ذُنُوبِهِمْ، كَانَ كَفَافًا لَا لَكَ وَلَا عَلَيْكَ، وَإِنْ كَانَ عِقَابُكَ إِيَّاهُمْ فَوْقَ ذُنُوبِهِمْ، اقْتُصَّ لَهُمْ مِنْكَ الْفَضْلُ الَّذِي يَبْقَى قِبَلَكَ". فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَبْكِي بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَيَهْتِفُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ما لَهُ أَمَا يَقْرَأُ كِتَابَ اللَّهِ؟: {وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ} فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَجِدُ شَيْئًا خَيْرًا مِنْ فِرَاقِ هَؤُلَاءِ -يَعْنِي عَبِيدَهُ-إِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّهُمْ أحرار كلهم
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Nuh, telah menceritakan kepada kami Laioe ibnu Sa'd, dari Malik ibnu Anas, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Absyah, bahwa seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. duduk di hadapan beliau, lalu lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki budak-budak yang pernah berdusta, berkhianat dan menentang perlakuan terhadap caci maki mereka. Bagaimanakah tentang perlakuanku terhadap mereka itu? Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Kelak akan diperhitungkan kadar khianat, durhaka, dan dusta mereka kepadamu, dan hukuman yang kamu jatuhkan kepada mereka. Jika hukumanmu kepada mereka sesuai dengan kadar pelanggaran mereka, maka hal itu impas, tidak membawa manfaat kepadamu dan tidak pula menimpakan mudarat kepadamu. Jika hukumanmu kepada mereka masih di bawah kadar pelanggaran mereka, maka hal itu merupakan suatu keutamaan bagimu. Dan jika hukumanmu kepada mereka lebih dari kadar pelanggaran mereka, maka mereka akan menuntut balas darimu kelebihan hukuman yang kamu jatuhkan kepada mereka. Kemudian lelaki itu menangis di hadapan Rasulullah Saw. seraya bergumam. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Mengapa dia tidak membaca firman Allah Swt. yang mengatakan: Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan sesesorang barang sedikit pun. Dan jika(amalan itu) hanya sebesar biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nyaDan cukuplah Kami sebagai Pembuat Perhitungan' (Al-Anbiya: 47)." Maka lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, tiadajalan lain yang lebih baik bagiku selain berpisah dari mereka —yakni budak-budaknya—. Sesungguhnya aku bersaksi kepadamu bahwa mereka semuanya merdeka.
Alangkah indahnya ibnu katsir menafsirkan al-hasyr 18 ini dengan menyebutkan  "Yakni hitung-hitunglah diri kalian sebelum kalian dimintai pertanggung jawaban, dan perhatikanlah apa yang kamu tabung buat diri kalian berupa amal-amal saleh untuk bekal hari kalian dikembalikan, yaitu hari dihadapkan kalian kepada Tuhan kalian". Jadi, jauhi dosa dulu sebelum beramal saleh.
Yang terakhir,  manusia tidak menabung dalam bentuk simpanan saja tetapi juga menabung dalam bentuk investasi  dalam berbagai bentuknya.  Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa tabungan hanya bersifat tetap sementara nilai kebutuhan berubah.  Demikian pula amal kita pahalanya tetap sesuai dengan kadar amal kita,  namun nilai dosa kita berkembang tanpa kita sadari sebagaimana berkembangnya dosa akibat hasad dan dampak mempercayai dukun yang menolak 40 hari pahala shalat kita.  Oleh karena itu dalam beramal pun manusia harus dapat berinvestasi  bukan  hanya menabung sebagaimana sabda janji rasul :
"مَن سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنقُص مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُها وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ".
Barang siapa yang memprakarsai perbuatan yang baik dalam Islam, maka baginya pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti jejaknya sesudahnya tanpa mengurangi sesuatu pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang memprakarsai perbuatan yang buruk dalam Islam, maka dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti jejaknya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikitpun..

Inilah spirit jariyyah yang ada dalam tiga perkara yang tetap mengalir  meskipun telah meninggal.  Spirit  ini memprakarsai perbuatan baik dalam berwakaf,  memberikan ilmu dan mendidik anak shaleh karena sifat pahalanya seperti sebuah investasi namun bersifat abadi.

KAMI SUDAH HIJRAH, KAMU KAPAN?


Oleh Miftah Husni

Kata al-hijrah adalah lawan kata dari kata al-washol (sampai/tersambung). Ha-ja-ra-hu, yah-ju=ru-hu, hij-ran, dan hij-ra-nan yang artinya memutuskannya, mereka berdua yah-ta-ji-raniatau ya-ta-ha-ja-ra-ni yaitu saling meninggalkan. Bentuk isim-nya adalah al-hijrah. Di dalam hadis disebutkan, ''Tidak halal seorang mukmin meninggalkan saudaranya (membiarkan dan tidak bertanya) lebih dari tiga hari.'' (Hadis riwayat Muslim).

Prinsip pokok hijrah harus memenuhi dua pokok : 1] ada sesuatu yang ditinggalkan ;2] ada sesuatu yang dituju. Hijrah adalah sebuah pilihan sadar untuk lebih memilih Allah dan Rasul-Nya dibanding dunia yang sudah dimiliki. Dia dengan sendirinya mensyaratkan keimanan yang tinggi. Mengaku beriman tapi tidak mau hijrah merupakan isyarat bahwa ia masih menomorduakan Allah dan Rasul-Nya.

Secara garis besar, hijrah dapat kita kategorikan menjadi dua macam :
1.     
       Hijrah makaniyah, yaitu meninggalkan suatu tempat dan hijrah maknawiyyah, yaitu meninggalkan secara makna yang dapat dibedakan menjadi 4 macam :
-          Hijrah ‘iqtiqadiyah, yaitu hijrah keyakinan
-          Hijrah fikriyyah, yaitu hijrah pemikiran dan pola pikir
-          Hijrah syu’uriyyah, yaitu hijrah perasaan dan kesenangan
-          Hijrah sulukiyah, yaitu hijrah tingkah laku atau kepribadian

Maka keberpihakan kepada agama dan kerelaan menanggalkan duniawi itulah yang menjadi spirit pokok dari hijrah. Keengganan untuk memilih jalan tersebut menandakan betapa tipisnya keimanan seseorang ketika dihadapkan pada pilihan antara Allah swt dan dunia. Jika kita masih mengaku Islam, tapi hanya karena kesibukan pekerjaan duniawi kita, tidak ada waktu yang bisa disempatkan untuk memperdalam ilmu agama, maka keimanan kita pun dipertanyakan. Pilihan untuk berjilbab di satu sisi yang bentrok dengan kebijakan manajemen yang tidak mengizinkan jilbab di sisi lain, merupakan ujian keimanan kita yang sesungguhnya. Pilihan untuk menggunakan aturan-aturan agama yang kenyataannya bentrok dengan aturan-aturan sekular pun merupakan ujian keimanan untuk kalangan politisi dan birokrat. Ketidakmampuan diri untuk lepas dari jeratan sistem riba juga menjadi ujian keimanan untuk kalangan ekonom. Allah swt sudah mewajibkan hijrah sampai akhir zaman. Maka ketika kepentingan Allah bentrok dengan kepentingan dunia, hijrahlah kita semua menuju Allah dan Rasul-Nya.

Beratnya langkah untuk berhijrah sebenarnya merupakan bawaan hawa nafsu dan godaan setan yang lebih cenderung kepada keburukan. Padahal sebenarnya tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak berhijrah karena alasan tempat sebagaimana sindiran malaikat dalam ayat berikut :

إِنَّ الَّذينَ تَوَفّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظالِمي أَنْفُسِهِمْ قالُوا فيمَ كُنْتُمْ قالُوا كُنّا مُسْتَضْعَفينَ فِي اْلأَرْضِ قالُوا أَ لَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ واسِعَةً فَتُهاجِرُوا فيها فَأُولئِكَ مَأْواهُمْ جَهَنَّمُ وَ ساءَتْ مَصيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa' (4): 97]

Kebanyakan dari kita merasa berat berhijrah karena telah memiliki segala sesuatu dan kemudahan atas hasil yang kita usahakan selama ini, padahal jika kita jujur pada nurani kita, jika dalam keadaan yang lebih buruk saja kita masih dijamin kehidupan kita oleh Allah, maka jika kita telah berhijrah tidak ada alasan bagi Allah untuk tidak menjamin kehidupan kita lebih baik.

وَ مَنْ يُهاجِرْ في سَبيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُراغَمًا كَثيرًا وَ سَعَةً

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. (An-Nisa:100)

Bentuk kasih sayang Allah bagi yang berhijrah, belum sampai pun ia telah mendapatkan pahalanya.
وَ مَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهاجِرًا إِلَي اللّهِ وَ رَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَي اللّهِ وَ كانَ اللّهُ غَفُورًا رَحيمًا
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisaa' (4): 100]

Yang lebih indah, ternyata kesalahan kita dulu, dijamin ampunannya oleh Allah karena kemauan kita untuk berhijrah, tentu saja hijrah harus dilandasi oleh keimanan dan diwujudkan dalam bentuk jihadnya.

وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.(QS. al-Anfal: 74)

ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(An-Nahl:110)

Terakhir yang harus diperhatikan adalah luruskan niat untuk berhijrah jangan sampaoi salah niat karena akan berakibat fatal :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya semua amal itu haruslah dengan niat. Dan sesungguhnya bagi seseorang itu apa yang ia niatkan. Maka siapa yang hijrahnya bertujuan kepentingan dunia yang akan ia dapatkan, atau wanita yang akan ia nikahi, maka Hijrahnya akan (menghasilkan) apa yang ia niatkan. (HR. Imam Bukhari)

When you change your thinking (pikiran) you change your beliefs (keyakinan diri), When you change your beliefs you change your expectations (harapan), When you change your expectations you change your attitude (sikap), When you change your attitude (sikap) you change your behavior (tingkah laku), When you change your behavior you change your performance (kinerja), When you change your performance you change your destiny (nasib), When you change your destiny you change your life (hidup)[Renald Kasali]

Enggan Bibit Takabur Berbuah Kekafiran



Oleh Miftah Husni

Manusia itu disebut hamba karena sifat dasarnya menghamba kepada yang lain. Bagi manusia yang mencari, mendapatkan, dan memanfaatkan hidayah dari Allah SWT maka ia akan menghamba dengan benar kepada Yang Maha Benar. Namun bagi mereka yang tidak mau mencari, mendapatkan tapi tidak mau memanfaatkan maka sudah pasti ia akan menghamba dengan salah kepada yang salah pula. Menghamba dalam bahasa arab disebut dengan ‘abada yang sering kita kenal dengan menyembah. Proses menyembah ini sebagaimana disepakati para ulama yaitu merendahkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya karena rasa cinta dan mengagungkan-Nya. Selain itu, dimensi lain dalam bentuk yang lebih luas berarti meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah SWT berupa perkataan dan perbuatan yang nampak dan yang tersembunyi seperti do’a, dzikir, dan lain sebagainya.

Mungkin banyak manusia yang tidak menyembah atau beribadah kepada patung, berhala, matahari atau pun makhluk fana lainnya yang oleh sebagian manusia sesat dianggap sebagai ma’budnya, namun dalam kehidupan sehari-hari walaupun pernah ia ikrarkan melalui dua kalimat syahadat, perilakunya jauh dari ibadah yang disebutkan di atas. Mengapa ini bisa terjadi? Jika kita mau menyadari dengan hati dan pikiran yang jernih sebenarnya hal ini terjadi karena kita menyembah kepada hawa nafsu kita sendiri.

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا(43)أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا(44)

”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?. atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. (Q.S. Al-Furqaan:43-44)

Prosesi penyembahan terhadap hawa nafsu ini sebenarnya pernah dialami oleh sesepuh bangsa setan yaitu iblis ketika dia tidak mau melaksanakan perintah Allah untuk bersujud kepada Adam AS sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

[Dan (ingatlah) tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka mereka pun bersujud kecuali Iblis; ia enggan dan istikbar (arogan) dan ia (pun) menjadi kafir.] –al-baqarah 34-

Kafir adalah predikat terakhir yang Allah sematkan kepada pelaku yang tidak taat kepada perintah Allah. Ada sifat lain yang mendahuluinya, yaitu istikbar. Sementara sifat istikbar (takabbur, sombong, arogan) sendiri bukanlah sesuatu yang muncul dengan serta-merta. Ada penyakit jiwa lain juga yang mendahuluinya. Yaitu sifat أَبَى (abẵ, enggan). Dengan begitu, yang patut diwaspadai bukan sifat kafir-nya yang merupakan stadium paling tingginya, tapi sifat awalnya, أَبَى (abẵ, enggan). Penyakit أَبَى (abẵ, enggan) ini sangat mudah kita idap dan mudah muncul pada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, terutama saat berhubungan dengan orang lain yang berbeda dengan diri dan atau kelompok kita. Di saat-saat seperti itu kalimat ini sangat sering muncul di benak kita, “Iblis berkata: ‘Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?’.” (17:62) Itu sebabnya, al-Qur’an menceritakan bahwa awal dari sikap tiran dan otoritariannya Fir’aun dalam melaksanakan pemerintahannya ialah penyakit أَبَى (abẵ, enggan) ini. ”Dan sungguh Kami telah perlihatkan kepadanya (Fir`aun) tanda-tanda kekuasaan Kami semuanya, maka ia mendustakan dan enggan (menerima kebenaran).” (20:56) Sehingga bias dikatakan bahwa penyakit أَبَى (abẵ, enggan) adalah cikal bakal dari fir’aunisme.

Sifat enggan melaksanakan perintah Allah merupakan bibit ketakaburan atau kesombongan, jika kesombongan sudah ada dalam diri kita, maka efek yang akan terjadi adalah sebagai berikut :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab,“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)

Lha kok bisa kesombongan sebesar biji sawi tidak akan masuk surga? Jaminan tidak akan masuk surga ini sangat masuk akal karena bagi orang yang sombong secara otomatis dia tidak akan mau melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Kalau sudah sombong, jangankan mau melaksanakan sholat, baca Al-Qur’an, shaum, zakat atau pun ibadah yang lainnya, untuk hal mudah seperti makan dengan tangan kanan pun dijamin tidak bisa melaksanakannya.

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.

“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut malah menjawab, “Aku tidak bisa.” Beliau bersabda, “Apakah kamu tidak bisa?” -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya” (H.R. Muslim no. 3766).

Stadium terakhir bagi manusia yang mengidap penyakit sombong adalah kekafiran, mungkin belum kafir secara aqidah namun ia telah kafir secara amalan.

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Khalifah Umar bin Khottob sampai mengatakan, “Laa islama liman tarokash sholaah” [Tidak disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat. Karena yang mengaku islam tapi tidak shalat sedang berkontribusi terhadap hilangnya islam yang sebenarnya.

« يَدْرُسُ الإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْىُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلاَ صَلاَةٌ وَلاَ نُسُكٌ وَلاَ صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِى لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِى الأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا ». فَقَالَ لَهُ صِلَةُ مَا تُغْنِى عَنْهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ وَلاَ صِيَامٌ وَلاَ نُسُكٌ وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِى الثَّالِثَةِ فَقَالَ يَا صِلَةُ تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ. ثَلاَثًا.

“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya motif pakaian sehingga tidak diketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu nusuk (sembelihan), dan apa itu zakat. Kitabullah akan diangkat pada suatu malam. Lalu tidaklah tersisa di dunia satupun ayat dari kitabullah. Kemudian akan tersisa sekelompok manusia yang terdiri dari pria dan wanita yang tua renta. Mereka mengatakan, ’Kami mendapati nenek moyang kami mengucapkan kalimat ‘lailaha illallah’, lalu kami ikut mengatakan kalimat tersebut.” Lalu Shilah (seorang tabi’in senior) mengatakan kepada Hudzaifah, “Tidak bermanfaat bagi mereka kalimat ‘laa ilaha illallah’ sedangkan mereka dalam keadaan tidak mengetahui shalat, puasa, nusuk (menyembelih) dan zakat.” Kemudian Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi perkataannya sampai tiga kali. Namun hanya direspon oleh Hudzaifah dengan berpaling. Setelah ketiga kalinya, Hudzaifah menghadap Shilah seraya mengatakan,”Wahai Shilah, la ilaha illalloh itu menyelamatkan neraka dari neraka. (disebut 3x).” (HR. Ibnu Majah no. 4185)


Wallohu ‘alam bis-showwab

Untuk pemaparan dalam bentuk video silahkan klik Tonton Video

Senin, 20 November 2017

Konsekuensi Pernikahan



Oleh : Miftah Husni, S.Pd, M. I. Kom

Menikah merupakan ibadah yang menuru mayoritas ulama hukumnya adalah sunat sebagaimana dinukil Muhammad Ali As-shobuni dalam tafsir ayat ahkam ketika menerangkan ayat tentang kewajiban menikahkan (QS. An Nuur (24) : 32).  Namun meskipun hukumnya sunat, karena sejalan dengan fitrah manusia banyak orang yang berkeinginan untuk menikah bahkan menjadikannya moment bersejarah dalam kehidupannya.

Pernikahan dimulai dengan akad  ijab Kabul yang tidak lebih dari lima menit, namun konsekuensinya berlaku hingga seumur hidup. Karena inilah masih banyak orang yang memilih melajang karena menganggap menikah adalah sesuatu yang memberatkan. Konsekuensi dalam setiap pilihan hidup pasti selalu ada, namun bukan berarti tidak ada jalan keluarnya. Jika kita rinci ada beberapa konsekuensi yang akan dihadapi orang yang menikah :

1.      Konsekuensi menghadapi berbagai perbedaan

Nikah itu artinya al jim’a dari kata jama’a yang berarti berkumpul, syarat utamannya biasanya adalah perbedaan, beda dalam budaya, kebiasaan, latar belakang pendidikan, hingga hal-hal kecil seperti cara makan dan minum.  Karena sudah berkumpul, maka sebenarnya tidak bisa membawa ego masing-masing, sehingga seharusnya dalam pernikahan semangat yang dibawa adalah semangat PEMBAURAN bukan PELEBURAN. Semangat pembauran hakikatnya melepaskan beberapa unsur diri untuk dapat menerima unsur lainnya sebagaimana bercampurnya warna hitam dan putih menghasilkan abu-abu. Contoh sederhana  laki-laki yang diposisikan sebagai pemimpin adalah bisa memerintah tapi justru rasul menganjurkan untuk memerintah dengan lemah lembut. Sebaliknya perempuan yang diposisikan menerima perintah adalah menaati.

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus untukmu di atas satu jalan. Bila engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya maka engkau bisa bernikmat-nikmat dengannya namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya. Dan pecahnya adalah talaknya.” (HR. Muslim)

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرٍ مَا يَكْنِزُ ا رْملَْءُ، ا رْملَْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan menaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417.

2.      Konsukuensi berani memimpin dan dipimpin

Karena ada dua orang mau tidak mau harus ada yang mengambil peran untuk memimpin dan mengambil peran untuk dipimpin, karena tanpa kedua peran tersebut yang terjadi adalah rivalitas hingga pertengkaran bahkan peperangan. Menjadi pemimpin sepertinya lebih menyenangkan namun jika dilihat, beban tanggung jawabnya lebih besar karena menentukkan nasib yang dipimpinnya. Demikian pula sebaliknya , dipimpin sepertinya tidak menyenangkan sehingga harus mau diperintah, namun sebenarnya tanggung jawabnya sudah diambil oleh pemimpinya. Firman Allah di dalam QS al- Nisa’ : 34 :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“ Kaum laki- laki itu adalah pemimpim kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka ( laki- Laki) atas sebagian yang lain ( wanita ) dan karena mereka menginfakkan sebagian harta mereka “ 

Konsekuensi masalah kepemimpinan ini digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Mereka shalat untuk kalian, apabila mereka benar maka pahalanya untuk kalian dan juga mereka. Apabila mereka salah/keliru maka pahalanya untuk kalian, sedangkan dosanya untuk mereka.”(HR. al-Bukhari 694)

Maknanya, apabila para imam sudah benar dalam mengerjakan rukun, syarat, kewajiban dan sunah shalat, maka kalian mendapat pahala shalat kalian dan mereka juga mendapat pahala shalat mereka. Akan tetapi apabila mereka melakukan kesalahan dalam shalat, maka kalian mendapat pahala shalat kalian sementara dosa/kesalahan itu akan ditanggung oleh mereka. (Fathul Baari 2/187) ‘

3.      Konsukuensi mendapatkan hak dan melaksanakan kewajiban

Hak dan kewajiban bagi orang yang menikah ada pada satu sama lainnya, dengan demikian hak suami akan terpenuhi dengan terlaksananya kewajiban istri, demikian pula sebaliknya. Namun karena posisi yang berbeda, hukum yang muncul akibat tidak terpenuhi dan terlaksanakannya hak masing-masing juga akan berbeda. Bagi istri nusyuz dan bagi suami dzolim atau dayyus. Ketika Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Engkau beri makan istrimu bila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau jelekkan[1], dan jangan engkau boikot kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no.1830 dan Ibnu Majah no. 1840. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/202)

4.      Konsukuensi mendapatkan, mengurus, dan mendidik anak

Ada yang sudah menikah, namun tidak mau mempunyai anak, padahal  tujuan besarnya adalah melestarikan keturunan. Maka persepsi terhadap anak  harus diposisikan positif sehingga berbuah positif pula.

وَعَلَى ٱلمَولُودِ لَهُۥ رِزقُهُنَّ وَكِسوَتُهُنَّ بِٱلمَعرُوفِۚ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara  ma’ruf. al-Baqarah: 233)

5.      Konsukuensi berkurangnya kesempatan berbuat baik pada orang tua

Selain karena merupakan perintah Allah, berbuat baik kepada orang tua dituntut bagi setiap anak, bagaimana tidak, jasa kedua orang tua adalah yang paling layak untuk dibalas oleh setiap anak. Oleh karena itu, sebagai rewardnya Allah menjanjikan surga bagi setiap anak pada kedua orang tuanya.  Namun jika sebelum menikah peluang itu begitu besar dan banyak, setelah menikah peluang itu mau tidak mau  berkurang, karena ada kewajiban untuk taat kepada suami bagi seorang istri dan ada kewajiban menafkahi bagi setiap suami.

Tetapi sebenarnya, jika kita menggunakan persepsi positif, maka setelah menikah justru peluang untuk berbuat baik pada kedua orang tua lebih besar karena sekarang berdua dengan pasangan masing-masing, tentu hal ini harus didorong oleh pasangan yang satu sama lain menyanyangi kedua orang tua yang lainnya bukan justru sebaliknya menjadi penghalang bagi pasangannya untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya,karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”

6.      Konsekuensi penentu nasib abadi surga dan akhirat.

Jika sebelum menikah surga anak ada pada orangtuanya, maka setelah menikah, surga nya terletak pada pasangannya masing-masing, bahkan menentukan masuk surga secara bersamaan.

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ قَالَ : فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ ؟ قَالَتْ : مَا آلُوهُ إِلاَّ مَا أَعْجَزُ عَنْهُ قَالَ : انْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ ، فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Apakah engkau memiliki suami? Dia berkata: Ya. Beliau bersabda: Bagaimana posisimu baginya? Dia berkata: Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali yang aku tidak mampu untuk menunaikannya. Beliau bersabda: Perhatikan kedudukanmu bagi suamimu, karena sesungguhnya ia adalah surgamu dan nerakamu.” [HR. An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro dari Hushain bin Mihshon radhiyallaahu’anhu, Shahihut Targhib: 1933]

“ Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah istri sholihah dan sebaik-baiknya seorang suami adalah yang memuliakan istrinya”.

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...