إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ
آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ
رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Allah
mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barang siapa yang berbuat baik dari
kalangan umat-umat terdahulu dan taat, baginya pahala yang baik.Demikianlah
kaidah tetapnya sampai hari kiamat nanti, yakni setiap orang yang mengikuti
Rasul, Nabi yang ummi, maka baginya kebahagiaan yang abadi.Tiada ketakutan bagi
mereka dalam menghadapi masa mendatang.
Ada
dua ayat lagi yang isinya mirip dengan ayat ini. Pertama, Surat al-Maidah (5) ayat
69:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ
آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وعَمِلَ صَالِحاً فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang
Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Kedua,
Surat al-Hajj (22) ayat 17:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى
وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan
orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari
kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
As-Saddi
mengatakan bahwa firman-Nya yang mengatakan: Sesungguhnya orang-orang
mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa
saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal
saleh....(Al-Baqarah: 62) diturunkan berkenaan dengan teman-teman Salman
Al-Farisi. Ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nabi Saw., lalu ia
menyebutkan perihal teman-teman yang seagamanya di masa lalu, ia menceritakan
kepada Nabi berita tentang mereka. Untuk itu ia mengatakan, "Mereka salat,
puasa, dan beriman kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan diutus
sebagai seorang nabi." Setelah Salman selesai bicaranya yang mengandung
pujian kepada mereka, maka Nabi Saw.bersabda kepadanya, "Hai Salman,
mereka termasuk ahli neraka." Maka hal ini terasa amat berat bagi
Salman.Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Iman
orang-orang Yahudi itu ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Taurat
dan sunnah Nabi Musa a.s., maka imannya diterima hingga Nabi Isa a.s. datang.
Apabila Nabi Isa telah datang, sedangkan orang yang tadinya berpegang kepada
kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s. tidak meninggalkannya dan tidak mau
mengikut kepada syariat Nabi Isa, maka ia termasuk orang yang binasa.
Iman orang-orang Nasrani ialah barang siapa
yang berpegang kepada kitab Injil dari kalangan mereka dan syariat-syariat Nabi
Isa, maka dia termasuk orang yang mukmin lagi diterima imannya hingga Nabi
Muhammad Saw. datang. Barang siapa dari kalangan mereka yang tidak mau mengikut
kepada Nabi Muhammad Saw. dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa serta ajaran
Injilnya sesudah Nabi Muhammad Saw. datang, maka dia termasuk orang yang
binasa.
Riwayat ini tidak bertentangan dengan apa yang
telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 62).
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa sesudah itu diturunkan oleh Allah firman berikut:Barang
siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(Ali Imran: 85)
Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Ibnu
Abbas ini merupakan suatu pemberitahuan bahwa tidak akan diterima dari
seseorang suatu cara dan tidak pula suatu amal pun, kecuali apa yang
bersesuaian dengan syariat Nabi Muhammad Saw. sesudah beliau diutus membawa
risalah yang diembannya. Adapun sebelum
itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada dalam jalan
petunjuk dan jalan keselamatan.
Dengan
demikian pluralitas keberimanan yang dimaksud di ayat 62 ini bukan di suatu
waktu yang sama, tetapi di waktu yang berbeda dan berurutan; bukan dalam
pengertiannya yang paralel, tapi monorel. Dalam pengertian monorel ini: asumsi
dasar diutusnya nabi pembawa risalah yang baru (belakangan) adalah karena
risalah yang lama (sebelumnya) telah dirusak oleh umatnya sendiri. Sehingga
apabila tetap menganut agama atau mengikuti risalah yang lama, selain melanggar
azas ketaatan kepada pengirim risalah (al-mursil), juga sama dengan menganut
agama atau risalah yang sudah rusak dan kadaluwarsa. Dalam pengertian monorel
ini juga, nabi-nabi pembawa risalah hanya dibagi tiga macam: Nabi Pertama (Adam
as), Nabi Terakhir (Muhammad saw), dan Nabi Antara (yang bertugas menyambungkan
risalah antara Nabi sebelumnya dan Nabi sesudahnya). Dalam konteks inilah
sehingga tiap Nabi Antara yang datang selalu mempertegas bahwa kedatangannya
adalah dalam rangka menyempurnakan (pembawa) risalah sebelumnya dan sekaligus
mengabarkan akan datangnya (pembawa) risalah sesudahnya. “Dan (ingatlah)
ketika Isa Putra Maryam berkata: ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat
dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)’. Maka tatkala rasul itu datang kepada
mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir
yang nyata’.” (61:6)
Dengan
begitu kontinuitas risalah selalu terjaga, dan sekaligus terhindar dari
kemungkinan timbulnya pluralisme kebenaran.“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya
telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan (syari`at Kami) kepadamu ketika
terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kalian tidak mengatakan: ‘Tidak datang
kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi
peringatan’.Sesungguhnya telah datang kepadamu (yaitu Muhammad sebagai) pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan.Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(5:19)
Hebatnya, ayat ini (5:19) adalah kelanjutan dari ayat-ayat sebelumya yang
berbicara khusus kepada Yahudi dan Nashrani.Itu sebabnya,
bahkan setiap nabi dan rasul yang Allah akan utuspun diambil sumpahnya terlebih
dahulu agar tetap bersedia menjamin kontinuitas risalah tersebut. “Dan
(ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa
saja yang Aku berikan (nanti) kepadamu berupa kitab dan hikmah, (tetapi)
kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu,
(apakah) kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya?’. Allah
mempertegas: ‘Apakah kalian (bersedia) mengakui dan menerima perjanjian-Ku
terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab: ‘Kami mengakui’. Allah berfirman:
‘Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku (pun) menjadi saksi bersama kalian’.” (3:81)
Kalau kita memaknai ayat ini sebagai
mensahihkan seluruh agama (samawi) yang ada sekarang, kita berhadapan dengan prinsip
logika yang paling penting, yang disebut ashlut-thanāqud (prinsip kontradiksi)
yang diaminkan oleh al-Qur’an (4:82).
Jaminan
keselamatan terletak pada iman dan amal saleh yang benar. Apabila kita
sungguh-sungguh beriman dan beramal saleh, niscaya Allah akan memberikan
imbalan yang setimpal dan menghilangkan rasa khawatir dan sedih dari jiwa kita