PENGUNJUNG

Jumat, 14 Juli 2017

Nasib Ya Nasib


Teu aya jalma anu teu butuh ka hujan, aya oge jalma anu ngahanjakalkeun nalika turunna hujan teh pedah harita mah hujan teu saluyu jeung kagiatanana . Kitu oge Al-Qur'an, teu aya jalma anu teu butuh ku Al-Qur'an, aya oge jalma anu nolak nalika diaoskeun Al-Qur'an teh pedah we harita mah Al-Qur'an teu saluyu jeung napsuna .
- KH. Muhammad Romli

Dalam satu ayat, Allah mengemukakan tentang keadilan dan kebijaksanaan-Nya terhadap kondisi manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut :

إنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri ".(Ar Ra’ad: 11)

Banyak pemahaman mengatakan ayat ini menerangkan tentang rumus nasib, dimana nasib diartikan sebagai sesuatu yg sudah ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang. Namun jika pemahaman ini yang dipakai maka konsekuensinya bersifat istiqbal [masa depan] sehingga diyakini bahwa keadaan  seseorang tidak akan berubah kondisi kehidupannya sampai ia sendiri yang merubahnya. Jika hal ini yang diyakini, maka secara otomatis menafikan adanya qada dan qadar Allah, sebagai contoh, dalam masalah harta seseorang bisa menjadi kaya hanya dengan usahanya dengan bekerja dan berusaha, namun ternyata qada dan qadar Allah melampaui itu, ada orang yang mendadak kaya dengan warisan, hibah, atau bahkan menemukan harta karun.

Maka untuk dapat memahami ayat di atas, kita perlu padanan ayat lain yang menafsirkannya seperti yang terdapat dalam surat al-anfal :53

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya : Yang demikian itu (siksaan Allah) adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri (dengan berbuat maksiat) dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Anfal : 53)

Ayat ini justru menerangkan konsekuensinya bersifat lampau (madli], dimana keadaan seseorang berupa nikmat yang telah diberikan tidak akan hilang kecuali dengan sebab dari seseorang itu sendiri.

“Dan Firman Allah (sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu ............ dari suatu kaum); ayat ini ditujukan kepada ‘Amir bin Thufail dan Arbad bin Rabi’ah, yakni tidak merubah sesuatu dari kesehatan dan ni’mat yang telah diberikan kepada mereka, (sehingga mereka merubah apa yang ada pada mereka sendiri); yakni dari tingkah-tingkah yang baik kemudian mereka berma’siat kepada Tuhannya, dan mereka mendustakan ni’mat-ni’mat-Nya atas mereka, sehingga halal murka Allah kepada mereka”.(Tafsir Khazin juz 4 halaman 4).

Hal ini senada dengan an-nisa ayat 79 :

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.

Namun jika kita masih merasa tidak bersalah atas dosa yang kita lakukan karena hari ini, kondisi kita masih sehat, cukup dengan harta dan keluarga, senang dengan dunia maka ini merupakan kebijaksanaan dari Allah SWT sebagaimana dalam as-syura 30 :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).

Tetapi jika pernah ada musibah yang menimpa kita, keluarga atau teman kita, maka pada hakikatnya merupakan kasih sayang Allah agar kita merasa takut dan kembali kepada-Nya.

وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا

Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.[al-israa 59]

وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَىٰ دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

21. Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).[as-sajdah 21]

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ أَفَأَمِنُوا أَنْ تَأْتِيَهُمْ غَاشِيَةٌ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ أَوْ تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

105. Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya. 106. Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). 107. Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka, atau kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya?[al-isra 105-107]

Dosa itu perantara dicabutnya nikmat

Satu penelitian membuktikan dampak negatif berdua-duaan lain jenis yang bukan mukhrimnya (tidak halal), ternyata ada dampak negatif terhadap diri perilaku tersebut (selain memang jelas dalam islam tidak diperbolehkan).

Dampak negatif itu dilihat dari yang namanya hormon kortisol. saat kita berdua-duaan dengan lawan yang bukan mukhrim (selanjutnya disebut  lawan jenis) tersebut, hormon kortisol tersebut meningkat, dan efek yang ditimbulkan dari peningkatan hormon tersebut bisa bermacam-macam, diantaranya adalah stress, penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan mengakibatkan diabetes, dan penyakit lain. Hal ini diungkapkan oleh Para peneliti di Universitas Valencia yang menegaskan bahwa seorang yang berkhalwat dengan wanita yang menjadi daya tarik yang akan menyebabkan kenaikan sekresi hormon kortisol. [https://jzhipo.wordpress.com/tag/dosa/]

Kamis, 06 Juli 2017

KITA BERADA DIANTARA DUA KUTUB BERBEDA YANG SALING TARIK MENARIK


Muqadimah

Analogi Perang Pemikiran (Ghazwul Fikri) Terhadap Umat Islam

Seorang wanita berjilbab rapi tampak sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Sang guru berkata, “Saya punya permainan… Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah Kapur!”, jikasaya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!”.
Murid-muridnya pun mengerti dan mengikuti. Sang guru berganti-gantian mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemu dian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”.

Dan dijalankanlah adegan seperti tadi, tentu saja murid-murid kerepotan dan kelabakan, dan sangat sulit untuk merubahnya. Namun lambat laun, mereka bisa beradaptasi dan tidak lagi sulit. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya. “Anak-anak, begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh-musuh kita memaksakan kepada kita lewat berbagai cara, untuk membalik sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya. Pertama-tama mung kin akan sulit bagi kita menerima hal tersebut, tapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai mengikutinya.

“Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik nilai. Pacaran tidak lagi sesuatu yang tabu, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian mini menjadi hal yang lumrah, sex before married menjadi suatu hiburan, materialistis dan permisive kini menjadi suatu gaya hidup pilihan, tawuran menjadi trend pemuda… dan lain-lain.” Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Ibu Guru kepada murid-muridnya. “Paham buu…”

“Baik permainan kedua…” begitu Bu Guru melanjutkan. “Bu Guru punya Qur’an, Ibu letakkan di tengah karpet. Nah, sekarang kalian berdiri di luar karpet. “Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah tanpa menginjak karpet?”

Nah, nah, nah. Murid-muridnya berpikir keras. Ada yang punya alternatif dengan tongkat, dan lain-lain. Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, ia gulung karpetnya, dan ia ambil Qur’annya. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.

“Anak-anak, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya… Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-injak kalian dengan terang-terangan… Karena tentu kalian akan menolaknya mentah mentah. Premanpun tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”

“Jika seseorang ingin membangun rumah yang kuat, maka dibangunnyalah pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau membongkar pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, lemari disingkirkan dulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”

“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam terang terangan, tapi ia akan perlahan-lahan mencopot kalian. Mulai dari perangai kalian, cara hidup kalian, model pakaian kalian, dan lain-lain, sehingga meskipun kalian muslim, tapi kalian telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara yang mereka… Dan itulah yang mereka inginkan.”

“Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (invasi pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kalian… Paham anak-anak?” “Paham buu!”

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Islam, Bu?” tanya seorang murid. “Sesungguhnya dahulu mereka terang-terangan menyerang, semisal Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi.”

“Begitulah Islam, Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya ambruk. Tapi kalau diserang serentak terang-terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sadar.” Kalau saja ummat Islam di Ambon tidak diserang, mungkin umat Islam akan lengah terhadap sesuatu yang sebenarnya selalu mengincar mereka. Paham anak-anak?” “Paham Buu..”

BERADA DIANTARA DUA KUTUB BERBEDA YANG SALING TARIK MENARIK
           
            Allah SWT menciptakan manusia dengan dua ketentuan: ketentuan bersifat mutlak sebagai kehendak Allah yang disebut iradah kauniyyah dan ketentuan yang menghendaki menusia berjalan menuju ke jalan kebenaran atau disebut iradah syar'iyyah. Dalam iradah kauniyyah, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas kehendak Allah yang terjadi padanya: mengapa ia menjadi seorang pria atau wanita, mengapa muka kita seperti ini, mengapa berbadan tinggi, dan yang semacamnya.

Ketentuan kedua Allah, iradah syar'iyyah, menghendaki manusia berjalan menuju kebenaran. Untuk tujuan tersebut, Allah memberikan sejumlah perangkat. Pengutusan para rasul yang ditutup oleh Nabi kita, Muhammad saw., adalah salah satunya. Barang siapa yang menerima dan memegang komitmen dalam hidupnya sesuai dengan kehendak Allah, maka dia selamat dunia maupun akhirat

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97)

97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl: 97).

Tetapi sebaliknya, jika ia menolak dengan berpegang pada isme-isme buatan jin dan manusia, dia tersesat di dunia dan merugi di akhirat

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى (126)

124. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” 125. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?”126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan."(Taha: 124-126).

Atas dasar itu, terjadi tarik-menarik antara kebenaran dan kebatilan. Bendera kebenaran dibawa oleh para nabi, sedang bendera kebatilan dibawa oleh setan dan konco-konconya dari jin dan manusia

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ (112)

112. Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.(Al-An'am: 112).

Maka, sejak itu terjadi dua kelompok yang selalu tarik-menarik, seperti firman Allah SWT (yang artinya),

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفاً (76)

 "Orang yang beriman di jalan Allah, sedangkan orang-orang kafir berjuang di jalan thaghut, maka perangilah pembela-pembela seitan, sesungguhnya tipu daya syaitan itu lemah." (An-Nisa: 76).

            Upaya perusakan setan dilakukan melalui dua arah. Pertama, fitnah syubhat berupa wacana pemikiran dan keyakinan yang berlawanan dengan kebenaran. Fitnah ini diusung oleh non-muslim, atau juga lewat orang muslim yang munafik. Kedua, fitnah syahwat dalam perilaku seksual. Jika seorang muslim terkena salah satu fitnah tersebut atau bahkan keduanya, daya memperjuangkan Islamnya akan lumpuh

            Dalam melumpuhkan kekuatan umat Islam, musuh-musuh Islam menggunakan segala macam cara yang terus-menerus dikembangkan, baik melalui eksternal (vis to vis dengan kaum muslimin) maupun internal (pembusukan dari dalam). Dan itu dilakukan sepanjang sejarah perjuangan umat Islam. Semenjak dari negara pimpinan Nabi saw., lalu dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dinasti-dinasti lain, dan sampai yang terakhir, Utsmaniyah. Dicatat oleh Dr. Abdul Halim dalam kitabnya, Asbaabu Suquuthi Tsalatsiina Daulah Islamiyah (Sebab-Sebab Kejatuhan 30 Negara Islam), bahwa kejatuhan negara-negara Islam umumnya disebabkan oleh hal-hal di atas, dari penyimpangan ideologi sampai penyimpangan moral
           
            Budaya munafik, sikap ulama yang tidak berpihak kepada umat dalam bentuk pembodohan atas nama ketaatan, sikap para penguasa muslim dengan komitmen Islam yang lemah, sikap masa bodoh para pengusaha muslim dalam mengentaskan kemiskinan, dan tampilnya ulama-ulama kagetan yang bodoh tetapi sok pintar, serta berbagai macam penyakit umat yang sudah sangat kronis, pengobatannya membutuhkan waktu yang cukup lama dengan melibatkan semua elemen umat Islam yang terampil untuk bangkit menyelamatkan umat dari jurang kehancuran. Dari kezaliman menuju keadilan Islam; dari kebodohan menuju kesadaran Islam.

Berkata sebagian kaum Muslimin :

"Biarkanlah keragaman pendapat yang ada di tubuh kaum Muslimin tentang agama mereka tumbuh subur dan berkembang, asalkan setiap perselisihan dibawa ke tempat yang sejuk."

Alasan mereka didasarkan pada sebuah hadits yang selalu mereka ulang-ulang dalam setiap kesempatan, yaitu hadits: اختلاف أمتي رحمة"Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat"
Benarkah ungkapan ini? Benarkah Rasulullah pernah mengucapkan hadits tersebut? Apa kata Muhadditsin (Ahli Hadits) tentang hadits tersebut?.

Syaikh Al-Albani rahimahulah berkata: "Hadits tersebut tidak ada asalnya". [Adh-Dha'ifah :II / 76-85] . Imam As-Subki berkata: "Hadits ini tidak dikenal oleh ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha'if (lemah), maupun maudhu (palsu)." Syaikh Ali-hasan Al-Halaby Al-Atsari berkata: "ini adalah hadits bathil dan kebohongan." [Ushul Al-Bida']

Dan dari sisi makna hadits ini disalahkan oleh para ulama. Al-'Alamah Ibnu Hazm berkata dalam Al-Ahkam Fii Ushuli Ahkam (5/64) setelah menjelaskan bahwa ini bukan hadits: "Dan ini adalah perkataan yang paling rusak, sebab jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzhab. Ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzhab."

Perselisihan lahir karena perbedaan standar kebenaran yang dipegang, padahal Allah SWT telah menyerukan untuk bersatu dengan berpegang teguh pada tali-Nya (al-qur’an dan hadits] dan melarang perpecahan [ali- imran 103] dan mengembalikannya pada Allah dan Rasul-Nya (al-qur’an dan hadits].

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً)

Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An Nisa: 59)
ANDA DAN KELUARGA TANGGUNG JAWAB ANDA DAN UMAT ISLAM TANGGUNG JAWAB KITA

Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)

"Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).

Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan, yaitu

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ (56)

"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).

Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya. Yaitu "segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT". "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1).

Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah kita sementara acuannya adalah syariat Islam. Karena itu, tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam scope individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat muslim sesuai dengan firman Allah SWT,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2)
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).

Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw.,
َ
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ, وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ, وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ, وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ

 "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab, dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya, dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang isteri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari 4789).

Dan apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (27)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).

Dalam istilah fikih, bahwa tanggung jawab personal itu fardu ain, sedangkan tanggung jawab kolektif adalah fardu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardu ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardu ain, juga melaksanakan fardu kifayah. Kalau tidak, maka seluruh umat berdosa.

KHOTIMAH

Suatu saat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkisah,

خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هذه سبل و عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,’  kemudian beliau membaca,
{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}

‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya’” ([Al An’am: 153] Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya)

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...