PENGUNJUNG

Kamis, 17 Juni 2021

Tafsir Ali Imran, ayat 59-63



{إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (59) الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْت َرِينَ (60) فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (61) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (62) فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِالْمُفْسِدِينَ (63) }


Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu. Karena itu, janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kemudian jika mereka berpaling (dari menerima kcbenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui siapa-siapa orang-orang yang berbuat kerusakan.

Allah Swt. berfirman:


{إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ}


Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah. (Ali Imran: 59)

dalam hal kekuasaan Allah, mengingat Allah menciptakannya tanpa melalui seorang ayah.


{كَمَثَلِ آدَمَ}


adalah seperti (penciptaan) Adam. (Ali Imran: 59)

mengingat Allah menciptakannya tanpa melalui seorang ayah dan tanpa ibu, melainkan:


{خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}


Allah menciptakannya dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah dia. (Ali Imran: 59)


Tuhan yang menciptakan Adam tanpa melalui ayah dan ibu, jelas lebih mampu menciptakan Isa. Jika ada jalan untuk mendakwakan Isa sebagai anak Tuhan, mengingat ia diciptakan tanpa melalui seorang ayah, maka terlebih lagi terhadap Adam. Akan tetapi, telah dimaklumi secara sepakat bahwa anggapan seperti itu batil; terlebih lagi jika ditujukan kepada Isa a.s., maka lebih batil dan lebih jelas rusaknya.

Allah Swt. sengaja melakukan demikian dengan maksud untuk menampakkan kekuasaan-Nya kepada makhluk-Nya dengan menciptakan Adam tanpa kedua orang tua, dan menciptakan Hawa dari laki-laki tanpa wanita, serta menciptakan Isa dari wanita tanpa laki-laki, sebagaimana dia menciptakan makhluk lainnya dari jenis jantan dan jenis betina (melalui perkawinan keduanya). Karena itulah dalam surat Maryam Allah Swt. berfirman:


وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ


dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia. (Maryam: 21)

Sedangkan dalam surat ini Allah Swt. berfirman:


{الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ}


Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu. Karena itu, janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. (Ali Imran: 60)

Yakni inilah pendapat (kisah) yang benar mengenai Isa yang tidak diragukan lagi, sedangkan yang lainnya tidak benar, dan tiada sesudah perkara yang benar melainkan hanya kesesatan belaka.

Selanjutnya Allah Swt. berfirman seraya memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk melakukan mubahalah terhadap orang yang ingkar kepada kebenaran tentang Isa sesudah adanya keterangan, yaitu:


{فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ}


Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian. (Ali Imran: 61)

Maksudnya, kita hadirkan mereka semua untuk mubahalah.


{ثُمَّ نَبْتَهِلْ}


kemudian marilah kita bermubahalah (Ali Imran: 61)

Yakni berbalas laknat.


{فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ}


supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Ali Imran: 61)

Yaitu antara kami dan kalian, siapakah yang berhak dilaknat.

Disebutkan bahwa asbabun nuzul (latar belakang sejarah) turunnya ayat mubahalah ini dan ayat-ayat yang sebelumnya yang dimulai dari permulaan surat Ali Imran hingga ayat ini berkenaan dengan delegasi dari Najran. Bahwa orang-orang Nasrani itu ketika tiba, mereka mengemukakan hujahnya tentang Isa, dan mereka menduga bahwa Isa adalah anak dan tuhan. Maka Allah menurunkan awal dari surat Ali Imran ini untuk membantah mereka, seperti yang disebut oleh Imam Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar dan lain-lainnya.

Ibnu Ishaq mengatakan di dalam kitab Sirah-nya yang terkenal dan mengatakan pula yang lainnya bahwa delegasi orang-orang Nasrani Najran datang kepada Rasulullah Saw. terdiri atas enam puluh orang, mereka datang berkendaraan. Di antara mereka ada empat belas orang laki-laki dari kalangan orang-orang yang terhormat di kalangan mereka yang merupakan dewan penasihat mereka dalam segala urusan. Mereka adalah Al-Aqib yang nama julukannya adalah Abdul Masih, As-Sayyid (yakni Al-Aiham), Abu Harisah ibnu Alqamah (saudara Bakr ibnu Wail), Uwais ibnul Haris, Zaid, Qais, Yazid dan kedua anaknya, Khuwalid, Amr, Khalid dan Abdullah, serta Muhsin. Dewan tertinggi di antara mereka ada tiga orang, yaitu Al-Aqib yang menjabat sebagai amir mereka dan pemutus perkara serta ahli musyawarah; tiada suatu pendapat pun yang timbul melainkan dari dia. Orang yang kedua adalah Sayyid. Dia orang yang paling alim di antara mereka, pemilik kendaraan mereka, dan yang mempersatukan mereka. Sedangkan orang yang ketiga ialah Abu Harisah ibnu Alqamah; dia adalah uskup mereka dan pemimpin yang mengajari mereka kitab Injil. Pada asalnya dia adalah orang Arab, yaitu dari kalangan Bani Bakr ibnu Wail. Tetapi ia masuk agama Nasrani, lalu orang-orang Romawi dan raja-rajanya menghormatinya serta memuliakannya. Bahkan mereka membangun banyak gereja, lalu mengangkatnya sebagai pengurus gereja tersebut karena mereka mengetahui keteguhan agamanya di kalangan mereka. Padahal dia telah mengetahui perihal Rasulullah Saw. dan sifat-sifatnya serta keadaannya melalui apa yang ia ketahui dari kitab-kitab terdahulu. Akan tetapi, ia tetap berpegang kepada agama Nasrani karena sayang kepada kedudukan dan penghormatan yang diperolehnya selama itu dari kalangan pemeluk Nasrani.

Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, bahwa mereka tiba di Madinah untuk bersua dengan Rasulullah Saw. Mereka masuk menemuinya di masjidnya ketika ia sedang salat Asar. Mereka datang memakai pakaian ciri khas mereka sebagai pemeluk Nasrani dengan penampilan paling baik dari kalangan kaum lelaki Banil Haris ibnu Ka'b. Orang yang melihat mereka dari kalangan sahabat Nabi Saw. pasti mengatakan, "Kami belum pernah melihat delegasi seperti mereka sesudah mereka." Waktu salat mereka telah tiba, lalu mereka berdiri di dalam masjid Rasulullah Saw. Tetapi Rasulullah Saw. bersabda, "Biarkanlah mereka." Lalu mereka salat dengan menghadap ke arah timur. Berbicaralah dengan Rasulullah Saw. wakil dari mereka yang terdiri atas Abu Harisah ibnu Alqamah, Al-Aqib Abdul Masih, dan As-Sayyid Al-Aiham. Mereka bertiga pemeluk Nasrani yang sealiran dengan agama raja mereka. Orang-orang Nasrani berselisih pendapat di antara sesama mereka. Sebagian mereka mengatakan bahwa Isa adalah tuhan, sebagian yang lain mengatakan anak tuhan, dan sebagian yang lainnya lagi mengatakan tuhan yang ketiga. Mahatinggi Allah dari ucapan mereka dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Begitu pula orang-orang Nasrani. Mereka mengatakan bahwa dia adalah tuhan dengan alasan karena dia dapat menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang yang buta, penyakit belang dan berbagai penyakit lainnya, memberitakan masalah-masalah gaib, membuat bentuk burung dari tanah liat, lalu ia meniupnya sehingga menjadi burung sungguhan; padahal semuanya itu dengan seizin Allah, dan Allah menjadikannya demikian sebagai bukti untuk manusia. Orang-orang Nasrani berhujah sehubungan dengan ucapan mereka yang mengatakan bahwa Isa adalah putra tuhan, mereka mengatakan bahwa dia tidak punya ayah yang diketahui dan dapat berbicara dalam buaian dengan pembicaraan yang belum pernah dilakukan oleh seorang manusia pun sebelumnya. Sedangkan mereka yang berhujah bahwa Isa adalah tuhan yang ketiga mengatakan bahwa perkataan Isa sama dengan perkataan tuhan, yaitu kami lakukan, kami perintahkan, kami ciptakan, dan kami putuskan. Mereka berkata, "Seandainya dia hanya seorang, niscaya dia tidak mengatakan kecuali aku lakukan, aku perintahkan, dan aku putuskan serta aku ciptakan. Maka hal ini menunjukkan tuhan, Isa dan Maryam." Mahatinggi dan Mahasuci Allah Swt. dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang zalim dan orang-orang yang ingkar itu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Untuk menjawab masing-masing pendapat tersebut, diturunkanlah Al-Qur'an. Ketika dua pendeta berbicara kepada Rasulullah Saw., maka beliau bersabda kepada keduanya, "Masuk Islamlah kamu." Keduanya menjawab, "Kami telah Islam." Nabi Saw. bersabda, "Kamu belum masuk Islam, maka masuk Islamlah." Keduanya menjawab, "Tidak, kami telah Islam." Nabi Saw. bersabda, "Kamu berdua dusta, kamu bukan orang Islam karena pengakuanmu bahwa Allah beranak, menyembah salib, dan makan daging babi." Keduanya bertanya, "Siapakah bapaknya, hai Muhammad?" Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab keduanya. Maka Allah menurunkan sehubungan dengan peristiwa tersebut penjelasan mengenai perkataan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, yaitu pada permulaan surat Ali Imran sampai dengan delapan puluh ayat lebih darinya.

Selanjutnya Ibnu Ishaq mengemukakan tafsir ayat-ayat tersebut, lalu melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan berita dari Allah kepada Rasulullah Saw. dan cara untuk memutuskan perkara yang terjadi antara dia dan mereka, yaitu Allah menganjurkan kepadanya untuk menantang mereka bermubahalah jika mereka mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya. Maka Nabi Saw. mengajak mereka ber-mubahalah. Akhirnya mereka takut dan berkata, "Hai Abul Qasim (nama julukan Nabi Saw. di kalangan mereka), berilah waktu bagi kami untuk mempertimbangkan perkara kami ini, setelah itu kami akan datang kembali kepadamu memutuskan apa yang telah kami rembukkan bersama orang-orang kami tentang ajakanmu itu." Mereka pergi meninggalkan Nabi Saw., lalu berembuk dengan Al-Aqib yang merupakan orang paling berpengaruh di antara mereka. Mereka berkata kepadanya, "Hai Abdul Masih, bagaimanakah menurut pendapatmu?" Al-Aqib menjawab, "Demi Allah, hai orang-orang Nasrani, sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang diutus. Sesungguhnya dia telah datang kepada kalian dengan membawa berita perihal teman kalian (Isa) secara rinci dan benar. Sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa tidak sekali-kali suatu kaum berani ber-mubahalah (berbalas laknat) dengan seorang nabi, lalu orang-orang dewasa mereka masih hidup dan anak-anak mereka masih ada. Sesungguhnya tawaran ini untuk memberantas kalian, jika kalian mau melakukannya. Sesungguhnya jika kalian masih ingin tetap berpegang kepada agama kalian dan pendapat kalian sehubungan dengan teman kalian (Isa), maka pamitlah kepada lelaki ini (Nabi Saw.), lalu kembalilah ke negeri kalian." Lalu mereka datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Wahai Abul Qasim, kami telah sepakat untuk tidak bermubahalah denganmu dan meninggalkan (membiarkan)mu tetap pada agamamu dan kami tetap pada agama kami. Tetapi kirimkanlah bersama kami seorang lelaki dari kalangan sahabatmu yang kamu sukai buat kami, kelak dia akan memutuskan banyak hal di antara kami yang kami berselisih pendapat mengenainya dalam masalah harta benda, karena sesungguhnya kalian di kalangan kami mendapat simpati."

Muhammad ibnu Ja'far mengatakan bahwa setelah itu Rasulullah Saw. bersabda, "Datanglah kalian kepadaku sore hari, maka aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang kuat lagi dipercaya."

Tersebutlah bahwa Umar ibnul Khattab r.a. sehubungan dengan peristiwa tersebut mengatakan, "Aku belum pernah menginginkan imarah (jabatan) sama sekali seperti pada hari itu. Pada hari itu aku berharap semoga dirikulah yang terpilih untuk menjabatnya. Maka aku berangkat untuk melakukan salat Lohor ketika waktu hajir (panas matahari mulai terik). Setelah Rasulullah Saw. salat Lohor dan bersalam, lalu beliau melihat ke arah kanan dan kirinya, sedangkan aku menonjolkan kepalaku dengan harapan beliau melihatku. Akan tetapi, pandangan mata beliau masih terus mencari-cari, dan akhirnya beliau melihat Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Maka beliau memanggilnya, lalu bersabda, 'Berangkatlah bersama mereka dan jalankanlah peradilan di antara mereka dengan benar dalam hal yang mereka perselisihkan'."

Umar melanjutkan kisahnya, bahwa pada akhirnya Abu Ubaidah-lah yang terpilih untuk melakukan tugas itu.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu Qatadah, dari Mahmud ibnu Labid, dari Rafi' ibnu Khadij yang menceritakan bahwa delegasi Najran datang menghadap Rasulullah Saw. hingga akhir hadis yang isinya semisal dengan hadis di atas. Hanya dalam riwayat ini disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda kepada orang-orang yang terhormat (dari kalangan mereka) yang jumlahnya ada dua belas orang. Sedangkan kisah hadis lainnya lebih panjang daripada hadis di atas dengan tambahan-tambahan lainnya.


قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ صِلَة بْنِ زُفَر، عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: جَاءَ العاقبُ والسيدُ صَاحِبًا نَجْرَانَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدَانِ أن يُلَاعِنَاهُ، قَالَ: فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: لَا تَفْعَلْ، فَوَاللَّهِ إِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّاهُ لَا نفلحُ نحنُ وَلَا عَقبنا مِنْ بَعْدِنَا. قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا، وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا، وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا. فَقَالَ: "لأبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلا أَمِينًا حَقَّ أمِينٍ"، فاستشرفَ لَهَا أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: "قُمْ يَا أبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ" فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَذَا أمِينُ هَذِهِ الأمَّةِ".


Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbas ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Silah ibnu Zufar, dari Huzaifah r.a. yang menceritakan hadis berikut, bahwa Al-Aqib dan As-Sayyid —pemimpin orang-orang Najran— datang menghadap Rasulullah Saw. dengan maksud untuk melakukan mubahalah dengan Rasulullah Saw. Salah seorang berkata kepada temannya, "Jangan kamu lakukan. Demi Allah, seandainya dia adalah seorang nabi, lalu kita melakukan mula'anah (berbalas laknat) terhadapnya, niscaya kita ini tidak akan beruntung, tidak pula bagi anak cucu kita sesudah kita." Akhirnya keduanya mengatakan, "Sesungguhnya kami setuju memberimu apa yang kamu minta dari kami (yakni jizyah). Tetapi kirimkanlah bersama kami seorang lelaki yang amin (dapat dipercaya), dan janganlah engkau kirimkan bersama dengan kami melainkan seorang yang dapat dipercaya." Maka Rasulullah Saw. menjawab: Aku sungguh-sungguh akan mengirimkan bersama kalian seorang lelaki yang benar-benar dapat dipercaya. Maka sahabat-sahabat Nabi Saw. mengharapkan untuk diangkat menjadi orang yang mengemban tugas ini. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: "Berdirilah engkau, hai Abu Ubaidah ibnul Jarrah." Ketika Abu Ubaidah berdiri, maka Rasulullah Saw. bersabda, "Inilah orang yang dipercaya dari kalangan umat ini."

Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Ibnu Majah melalui jalur Israil, dari Abu Ishaq, dari Silah, dari Huzaifah dengan lafaz yang semisal.

Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu pula Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah, melalui hadis Israil, dari Abu Ishaq, dari Silah, dari Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal.


قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ خَالِدٍ، عَنْ أَبِي قِلابة، عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لِكُلِّ أُمَّةٍ أمينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الأمَّة أبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ"


Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Khalid, dari Abu Qilabah, dari Anas, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Setiap umat memiliki amin (orang yang dipercaya)nya sendiri, dan amin dari umat ini adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ يَزِيدَ الرَّقِّي أَبُو يَزِيدَ، حَدَّثَنَا فُرَات، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ ابن مَالِكٍ الجزَري" عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ أَبُو جَهْلٍ: إِنْ رأيتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عِنْدَ الْكَعْبَةِ لَآتِيَنَّهُ حَتَّى أطَأ عَلَى عُنُقِهِ. قَالَ: فَقَالَ: "لَوْ فعلَ لأخَذته الملائكةُ عِيَانًا، وَلَوْ أَنَّ الْيَهُودَ تمنَّوا الْمَوْتَ لَمَاتُوا وَرَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ مِنَ النَّارِ، وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُبَاهِلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لرَجَعوا لَا يَجِدُونَ مَالًا وَلَا أَهْلًا"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Yazid Ar-Ruqqi Abu Yazid, telah menceritakan kepada kami Qurrah, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Abu Jahal pernah mengatakan, "Seandainya aku melihat Muhammad sedang salat di dekat Ka'bah, aku benar-benar akan mendatanginya, lalu aku akan menginjak lehernya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Seandainya dia (Abu Jahal) melakukannya, niscaya malaikat akan membinasakannya secara terang-terangan, dan seandainya orang-orang Yahudi itu mengharapkan kematian dirinya, niscaya mereka benar-benar akan mati, dan niscaya mereka akan melihat tempat mereka di neraka. Dan seandainya orang-orang yang berangkat untuk melakukan mubahalah terhadap Rasulullah Saw. (secara sungguhan), niscaya sepulangnya mereka ke tempat kediamannya benar-benar tidak menjumpai lagi harta dan keluarganya.

Imam Bukhari, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Abdul Karim dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi sahih.

Imam Baihaqi di dalam kitab Dalaitun Nubuwwah meriwayatkan kisah delegasi Najran ini dengan kisah yang panjang sekali. Kami akan mengetengahkannya, mengingat di dalamnya terkandung banyak faedah; sekalipun di dalamnya terkandung hal yang aneh, tetapi ada kaitannya dengan pembahasan kita sekarang ini.


قَالَ الْبَيْهَقِيُّ:حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ وَأَبُو سَعِيدٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ الْفَضْلِ، قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْر، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ عبدِ يَسُوع، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ يُونُسُ -وَكَانَ نَصْرَانِيًّا فَأَسْلَمَ-: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ نَجْرَانَ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ عَلَيْهِ طس سُلَيْمَانَ: "بِاسْم إلَهِ إِبْرَاهِيمَ وإسْحَاقَ ويَعْقُوبَ، مِنْ مُحَمَّدٍ الَّنِبيِّ رَسُولِ اللهِ إلَى أسْقف نَجْرانَ وأهْلِ نَجْرانَ سِلْم أَنْتُم، فإنِّي أحْمَدُ إلَيْكُمْ إلَهَ إبْرَاهِيمَ وإِسْحَاقَ ويَعْقُوبَ. أَمَّا بَعْدُ، فإنِّي أَدْعُوكُم إلَى عِبَادَةِ اللهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ، وأدْعُوكُمْ إلَى وِلايَةِ اللهِ مِنْ وِلايَةِ الْعِبَادِ، فَإِنْ أَبَيْتُمْ فَالْجِزْيَةُ، فَإِنْ أَبَيْتُمْ آذَنْتُكُمْ بِحَرْبٍ والسَّلامُ".


فَلَمَّا أَتَى الْأُسْقُفَ الْكِتَابُ فَقَرَأَهُ فَظعَ بِهِ، وذَعَره ذُعرًا شَدِيدًا، وَبَعَثَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ نَجْرَانَ يُقَالُ لَهُ: شُرَحْبيل بْنُ وَداعة -وَكَانَ مِنْ هَمْدان وَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ يُدْعَى إِذَا نَزَلَتْ مُعْضلة قَبْلَه، لَا الْأَيْهَمُ وَلَا السِّيد وَلَا الْعَاقِبُ-فَدَفَعَ الأسْقُفُ كتابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شُرَحْبيل، فَقَرَأَهُ، فَقَالَ الْأَسْقُفُ: يَا أَبَا مريمَ، مَا رَأْيُكَ ؟ فَقَالَ شُرَحْبِيلُ: قَدْ عَلِمْتَ مَا وَعَدَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ فِي ذُرِّيَّةِ إِسْمَاعِيلَ مِنَ النُّبُوَّةِ، فَمَا يُؤْمنُ أَنْ يَكُونَ هَذَا هُوَ ذَاكَ الرَّجُلُ، لَيْسَ لِي فِي النُّبُوَّةِ رَأْيٌ، وَلَوْ كَانَ أَمْرٌ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا لَأَشَرْتُ عَلَيْكَ فِيهِ بِرَأْيِي، وجَهِدتُ لَكَ، فَقَالَ لَهُ الْأَسْقُفُ: تَنَحَّ فَاجْلِسْ. فَتَنَحَّى شُرَحْبِيلُ فَجَلَسَ نَاحِيَةً، فَبَعَثَ الْأَسْقُفُ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ نَجْرَانَ، يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شُرَحْبِيلَ، وَهُوَ مِنْ ذِي أَصْبَحَ مِنْ حمْير، فَأَقْرَأَهُ الْكِتَابَ، وَسَأَلَهُ عَنِ الرَّأْيِ فِيهِ، فَقَالَ لَهُ مِثْلَ قَوْلِ شُرَحْبِيلَ، فَقَالَ لَهُ الْأَسْقُفَ: فَاجْلِسْ، فتَنَحى فَجَلَسَ نَاحِيَةً. وَبَعَثَ الْأَسْقُفُ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ نَجْرَانَ، يُقَالُ لَهُ: جَبَّارُ بْنُ فَيْضٍ، مِنْ بَنِي الْحَارِثِ بْنِ كَعْبٍ، أَحَدُ بَنِي الْحَمَاسِ، فَأَقْرَأَهُ الْكِتَابَ، وَسَأَلَهُ عَنِ الرَّأْيِ فِيهِ؟ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ قَوْلِ شُرَحبيل وَعَبْدِ اللَّهِ، فَأَمْرَهُ الْأَسْقُفَ فَتَنَحَّى فَجَلَسَ نَاحِيَةً.


فَلَمَّا اجْتَمَعَ الرَّأْيُ مِنْهُمْ عَلَى تِلْكَ الْمَقَالَةِ جَمِيعًا، أَمَرَ الْأَسْقُفُ بِالنَّاقُوسِ فضُرب بِهِ، ورُفعت النِّيرَانُ وَالْمُسُوحُ فِي الصَّوَامِعِ، وَكَذَلِكَ كَانُوا يَفْعَلُونَ إِذَا فَزعوا بِالنَّهَارِ، وَإِذَا كَانَ فزعُهم لَيْلًا ضَرَبُوا بِالنَّاقُوسِ، وَرَفُعِتِ النِّيرَانُ فِي الصَّوَامِعِ، فَاجْتَمَعُوا حِينَ ضُرِبَ بِالنَّاقُوسِ وَرُفِعَتِ الْمُسُوحُ أَهْلَ الْوَادِي أَعْلَاهُ وَأَسْفَلَهُ -وطولُ الْوَادِي مَسِيرة يَوْمٍ لِلرَّاكِبِ السَّرِيعِ، وَفِيهِ ثَلَاثٌ وَسَبْعُونَ قَرْيَةً، وَعِشْرُونَ وَمِائَةُ أَلْفِ مُقَاتِلٍ. فَقَرَأَ عَلَيْهِمْ كتابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَسَأَلَهُمْ عَنِ الرَّأْيِ فِيهِ، فَاجْتَمَعَ رأيُ أَهْلِ الرَّأْيِ مِنْهُمْ عَلَى أَنْ يَبْعَثُوا شُرَحْبِيلَ بْنَ ودَاعة الْهَمْدَانِيَّ، وَعَبْدَ اللَّهِ ابن شُرَحبيل الْأَصْبَحِيَّ، وَجَبَّارَ بْنَ فَيْضٍ الْحَارِثِيَّ، فَيَأْتُونَهُمْ بِخَبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَانْطَلَقَ الْوَفْدُ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِالْمَدِينَةِ وَضَعُوا ثِيَابَ السَّفَرِ عَنْهُمْ، وَلَبِسُوا حُلَلا لَهُمْ يَجُرُّونَهَا مِنْ حِبَرَةٍ، وَخَوَاتِيمَ الذَّهَبِ، ثُمَّ انْطَلَقُوا حَتَّى أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ وَتَصَدَّوْا لِكَلَامِهِ نَهَارًا طَوِيلًا فَلَمْ يُكَلِّمْهُمْ وَعَلَيْهِمْ تِلْكَ الْحُلَلُ وخواتيم الذهب. فانطلقوا يتبعون عثمان ابن عَفَّانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، وَكَانَا مَعْرفة لَهُمْ، فَوَجَدُوهُمَا فِي نَاسٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فِي مَجْلِسٍ، فَقَالُوا: يَا عُثْمَانُ وَيَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، إِنْ نَبِيَّكُمْ كَتَبَ إِلَيْنَا بِكِتَابٍ، فَأَقْبَلْنَا مُجِيبِينَ لَهُ، فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ سَلَامَنَا، وَتَصَدَّيْنَا لِكَلَامِهِ نَهَارًا طَوِيلًا فَأَعْيَانَا أَنْ يُكَلِّمَنَا، فَمَا الرَّأْيُ مِنْكُمَا، أَتَرَوْنَ أَنْ نَرْجِعَ؟ فَقَالَا لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ -وَهُوَ فِي الْقَوْمِ-: مَا تَرَى يَا أَبَا الْحَسَنِ فِي هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ؟ فَقَالَ عَليّ لِعُثْمَانَ وَلِعَبْدِ الرَّحْمَنِ: أَرَى أَنْ يَضَعُوا حُللهم هَذِهِ وَخَوَاتِيمَهُمْ، وَيَلْبَسُوا ثِيَابَ سَفَرِهِمْ ثُمَّ يَعُودَا إِلَيْهِ. فَفَعَلُوا فَسَلَّمُوا، فَرَدَّ سَلَامَهُمْ، ثُمَّ قَالَ: "والَّذِي بَعَثَنِي بِالحَقِّ لَقَدْ أَتَوْنِي الْمرَّةَ الأولَى، وإنَّ إبْلِيسَ لَمَعَهُم" ثُمَّ سَاءَلَهُمْ وَسَاءَلُوهُ، فَلَمْ تَزَلْ بِهِ وَبِهِمُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى قَالُوا: مَا تَقُولُ فِي عِيسَى، فَإِنَّا نَرْجِعُ إِلَى قَوْمِنَا وَنَحْنُ نَصَارَى، يَسُرُّنَا إِنْ كُنْتَ نَبِيًّا أَنْ نَسْمَعَ مَا تَقُولُ فِيهِ ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا عِنْدِي فِيهِ شِيء يَوْمِي هَذَا، فَأَقِيمُوا حَتَّى أُخْبِرَكُمْ بِمَا يَقُولُ لِي رَبِّي فِي عيسَى". فَأَصْبَحَ الْغَدُ وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، هَذِهِ الْآيَةَ: {إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ [خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ. الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ. فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى] الْكَاذِبِينَ} فَأَبَوْا أَنْ يُقِرُّوا بِذَلِكَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَدَ بَعْدَ مَا أَخْبَرَهُمُ الْخَبَرَ، أَقْبَلَ مُشْتَمِلًا عَلَى الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ فِي خَمِيل لَهُ وَفَاطِمَةُ تَمْشِي عِنْدَ ظَهْرِهِ لِلْمُلَاعَنَةِ، وَلَهُ يَوْمَئِذٍ عِدَّةُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ شُرَحْبِيلُ لِصَاحِبَيْهِ: قَدْ عَلِمْتُمَا أَنَّ الْوَادِيَ إِذَا اجْتَمَعَ أَعْلَاهُ وَأَسْفَلُهُ لَمْ يَرِدُوا وَلَمْ يَصْدُرُوا إِلَّا عَنْ رَأْيِي وَإِنِّي وَاللَّهِ أَرَى أَمْرًا ثَقِيلًا وَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ هَذَا الرَّجُلُ مَلِكًا مَبْعُوثًا، فَكُنَّا أَوَّلَ الْعَرَبِ طَعَنَ فِي عَيْنَيْهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، لَا يَذْهَبُ لَنَا مِنْ صَدْرِهِ وَلَا مِنْ صُدُورِ أَصْحَابِهِ حَتَّى يُصِيبُونَا بِجَائِحَةٍ، وَإِنَّا لَأَدْنَى الْعَرَبِ مِنْهُمْ جِوَارًا، وَلَئِنْ كَانَ هَذَا الرَّجُلُ نَبِيًّا مُرْسَلًا فلاعَنَّاه لَا يَبْقَى عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مِنَّا شَعْر وَلَا ظُفُر إِلَّا هَلَكَ. فَقَالَ لَهُ صَاحِبَاهُ: يَا أَبَا مَرْيَمَ، فَمَا الرَّأْيُ؟ فَقَالَ: أَرَى أَنْ أُحَكِّمَهُ، فَإِنِّي أَرَى رَجُلًا لَا يَحْكُمُ شَطَطًا أَبَدًا. فَقَالَا لَهُ: أَنْتَ وَذَاكَ. قَالَ: فَلَقِيَ شرحبيلُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ: إِنِّي قَدْ رَأَيْتُ خَيْرًا مِنْ مُلَاعَنَتِكَ. فَقَالَ: "وَمَا هُوَ؟ " فَقَالَ: حُكْمُكَ الْيَوْمَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَيْلَتُكَ إِلَى الصَّبَاحِ، فَمَهْمَا حَكَّمْتَ فِينَا فَهُوَ جَائِزٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَعَلَّ وَرَاءكَ أحَدًا يَثْرِبُ عَلْيكَ؟ " فَقَالَ شُرَحْبِيلُ: سَلْ صَاحِبَيَّ. فَسَأَلَهُمَا فَقَالَا مَا يَرِدُ الْوَادِي وَلَا يَصْدرُ إِلَّا عَنْ رَأْيِ شُرَحْبِيلَ: فَرَجع رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُلَاعِنْهُمْ، حَتَّى إِذَا كَانَ الْغَدُ أَتَوْهُ فَكَتَبَ لَهُمْ هَذَا الْكِتَابَ: "بِسْم اللَّهِ الرحمنِ الرَّحِيم، هَذَا مَا كَتَبَ مُحَمَّدٌ النَّبِي رَسُولُ اللهِ لِنَجْرَانَ -إنْ كَانَ عَلَيْهِمْ حُكْمَهُ-فِي كُلِّ ثَمَرَةٍ وَكُلِّ صَفْرَاءَ وَبَيْضَاءَ وَسَودَاءَ وَرَقِيقٍ فَاضِلٍ عَلَيْهِمْ، وتَرْك ذَلِكَ كُلُّهُ لَهُمْ، عَلَى أَلْفَي حُلَّةٍ، فِي كُلِّ رَجَبٍ أَلْفُ حُلَّةٍ، وفِي كُلِّ صَفَرٍ ألْفُ حُلَّةٍ" وَذَكَرَ تَمَامَ الشُّرُوطِ وَبَقِيَّةَ السِّيَاقِ .


Imam Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz Abu Sa'id dan Muhammad ibnu Musa ibnul Fadl; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Jabbar, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Salamah ibnu Abdu Yusu', dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Yunus —yang tadinya beragama Nasrani, kemudian masuk Islam— menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. mengirim surat kepada penduduk Najran sebelum diturunkan kepada beliau surat Ta Sin Sulaiman, yang bunyinya seperti berikut: Dengan menyebut nama Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya'qub, dari Muhammad, nabi utusan Allah, ditujukan kepada Uskup Najran dan penduduk Najran. Masuk Islamlah. Sesungguhnya aku menganjurkan kepada kalian untuk memuji Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya'qub. Amma Ba'du: Sesungguhnya aku mengajak kalian untuk menyembah Allah dan meninggalkan menyembah sesama makhluk; aku mengajak kalian untuk membantu (agama) Allah dan tidak membantu (agama buatan) makhluk. Jika kalian menolak, maka kalian harus membayar jizyah; dan jika kalian menolak (membayar jizyah), maka aku mempermaklumatkan perang terhadap kalian. Wassalam. Ketika surat itu sampai ke tangan uskup yang dimaksud, lalu ia membacanya, maka ia sangat terkejut dan hatinya sangat takut. Lalu ia mengundang seorang lelaki dari kalangan penduduk Najran yang dikenal dengan nama Syurahbil ibnu Wida'ah dari Hamdan. Sebelum peristiwa ini tidak pernah ada seseorang dipanggil untuk memecahkan perkara yang sulit, baik Aiham, Sayyid, ataupun Al-Aqib. Ketika Syurahbil datang, uskup menyerahkan surat Rasulullah Saw. itu kepadanya. Ia membacanya, dan uskup berkata, "Hai Abu Maryam (nama julukan Syurahbil), bagaimanakah pendapatmu?" Syurahbil menjawab, "Sesungguhnya engkau mengetahui apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada Ibrahim, yaitu kenabian yang akan dianugerahkan-Nya kepada keturunan Ismail. Maka sudah dapat dipastikan bahwa anugerah itu diberikan kepada lelaki ini (Nabi Saw.), sedangkan aku sehubungan dengan perkara kenabian itu tidak mempunyai pendapat apa-apa. Tetapi seandainya perkara yang dimaksud menyangkut urusan duniawi, niscaya aku benar-benar dapat mengemukakan pendapatku dan aku berupaya semampuku untuk menyelesaikannya buatmu." Uskup berkata kepadanya, "Minggirlah kamu dan duduklah," lalu Syurahbil duduk di salah satu tempat. Kemudian uskup menyuruh seseorang untuk memanggil seorang lelaki penduduk Najran yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Syurahbil, keturunan Zu Asbah, dari Himyar. Lalu uskup membacakan surat itu kepadanya dan menanyakan kepadanya bagaimana cara memutuskan permasalahan itu. Maka Abdullah menjawabnya dengan jawaban yang sama dengan yang telah dikatakan oleh Syurahbil. Uskup berkata kepadanya, "Minggirlah kamu dan duduklah," lalu Abdullah minggir dan duduk di suatu tempat. Kemudian uskup mengirimkan seseorang untuk mengundang seorang lelaki dari penduduk Najran yang dikenal dengan nama Jabbar ibnu Faid dari kalangan Banil Haris ibnu Ka'b, salah seorang Banil Hammas. Lalu uskup membacakan kepadanya surat itu. Setelah selesai dibaca, ia menanyakan pendapatnya sehubungan dengan permasalahan itu. Tetapi ternyata lelaki ini pun mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Syurahbil dan Abdullah. Maka uskup memerintahkan kepadanya untuk minggir, lalu ia duduk di suatu tempat. Setelah semua pendapat dari kalangan mereka sepakat menunjukkan pendapat yang telah disebutkan di atas, maka uskup memerintahkan agar lonceng dibunyikan, api dinyalakan, dan semua pelita di dalam gereja dinyalakan. Demikianlah yang mereka lakukan di siang hari bilamana mereka tertimpa prahara. Apabila prahara menimpa mereka di malam hari, maka semua lonceng gereja dibunyikan dan api di dalam semua gereja dinyalakan. Ketika semua lonceng dibunyikan dan semua pelita dinyalakan, maka berkumpullah semua penduduk lembah bagian atas dan bagian bawahnya, sedangkan panjang lembah itu adalah perjalanan satu hari ditempuh oleh orang yang berkendaraan cepat. Di dalamnya terdapat tujuh puluh tiga kampung, dan semua pasukannya terdiri atas seratus dua puluh ribu personel. Lalu uskup membacakan kepada mereka surat Rasulullah Saw. dan menanyakan tentang pendapat mereka mengenainya. Para dewan penasihat dari kalangan mereka akhirnya sepakat untuk mengirimkan Syurahbil ibnu Wida'ah Al-Hamdani, Abdullah ibnu Syurahbil Al-Asbahi, dan Jabbar ibnu Faid Ai-Harisi untuk menghadap Rasulullah Saw. dan mendatangkan kepada mereka berita yang dihasilkan oleh misi mereka bertiga nanti. Maka delegasi itu berangkat. Ketika sampai di Madinah, mereka meletakkan pakaian perjalanannya, lalu menggantinya dengan pakaian yang panjang hingga menjurai ke tanah terbuat dari kain sutera dan juga memakai cincin dari emas, kemudian berangkat menemui Rasulullah Saw. Ketika sampai pada Rasulullah Saw., mereka mengacungkan salam penghormatan kepadanya, tetapi beliau tidak menjawab salam mereka. Lalu mereka berupaya untuk dapat berbicara dengannya sepanjang siang hari, tetapi beliau tidak mau berbicara dengan mereka yang memakai pakaian sutera dan cincin emas itu. Kemudian mereka pergi mencari Usman ibnu Affan dan Abdur Rahman ibnu Auf yang telah mereka kenal sebelumnya, dan mereka menjumpai keduanya berada di antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar di suatu majelis. Mereka berkata, "Hai Usman dan Abdur Rahman, sesungguhnya Nabi kalian telah menulis sepucuk surat kepada kami, lalu kami datang memenuhinya. Tetapi ketika kami datang dan mengucapkan salam penghormatan kepadanya, ia tidak menjawab salam kami; dan kami berupaya untuk berbicara dengannya sepanjang siang hari hingga kami merasa letih, ternyata beliau pun tidak mau berbicara dengan kami. Bagaimanakah pendapat kalian berdua, apakah kami harus pulang kembali tanpa hasil?" Keduanya berkata kepada Ali ibnu Abu Talib yang juga berada di antara kaum, "Bagaimanakah menurut pendapatmu, wahai Abul Hasan, tentang mereka ini?" Ali berkata kepada Usman dan Abdur Rahman, "Aku berpendapat, hendaknya mereka terlebih dahulu melepaskan pakaian sutera dan cincin emasnya, lalu mereka memakai pakaian perjalanannya, setelah itu mereka boleh kembali menemui Nabi Saw." Mereka melakukan saran tersebut, lalu mereka mengucapkan salam penghormatan kepada Nabi Saw. Maka kali ini Nabi Saw. baru menjawab salam mereka. Setelah itu beliau Saw. bersabda: Demi Tuhan yang telah mengutusku dengan benar, sesungguhnya mereka datang kepadaku pada permulaannya, sedangkan iblis berada bersama mereka. Kemudian Nabi Saw. menanyai mereka, dan mereka menanyai Nabi Saw. secara timbal balik, hingga mereka bertanya kepadanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang Isa? Agar bila kami kembali kepada kaum kami yang Nasrani, kami gembira membawa berita dari pendapatmu tentang dia, jika engkau memang seorang nabi." Nabi Saw. bersabda: Hari ini aku tidak mempunyai pendapat apa pun tentang dia. Maka tinggallah kalian, nanti aku akan ceritakan kepada kalian apa yang diberitakan oleh Tuhanku tentang Isa. Maka pada keesokan harinya telah diturunkan firman-Nya: Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. (Ali Imran: 59) sampai dengan firman-Nya: ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Ali Imran: 61); Tetapi mereka menolak mengakui hal tersebut. Kemudian pada pagi harinya lagi setelah kemarinnya Rasulullah Saw. menyampaikan berita tersebut, beliau datang seraya menggendong Hasan dan Husain dengan kain selimutnya, sedangkan Fatimah berjalan di belakangnya untuk melakukan mula'anah. Saat itu Nabi Saw. mempunyai beberapa orang istri. Maka Syurahbil berkata kepada kedua temannya, "Kalian telah mengetahui bahwa seluruh penduduk lembah kita bagian atas dan bagian bawahnya tidak mau kembali dan tidak mau berangkat kecuali karena pendapatku. Sesungguhnya sekarang aku benar-benar menghadapi suatu urusan yang amat berat. Demi Allah, seandainya lelaki ini (maksudnya Nabi Saw.) benar-benar seorang utusan, maka kita adalah orang Arab yang mula-mula berani menentangnya di hadapannya dan menolak perintahnya. Maka tidak sekali-kali kita berangkat dari hadapannya dan dari hadapan sahabat-sahabatnya, melainkan kita pasti akan tertimpa malapetaka. Sesungguhnya kita adalah orang Arab dari kalangan pemeluk Nasrani yang paling dekat bertetangga dengannya. Sesungguhnya jika lelaki ini adalah seorang nabi yang dijadikan rasul, lalu kita ber-mula'anah dengannya, niscaya tidak akan tertinggal sehelai rambut dan sepotong kuku pun dari kita yang ada di muka bumi ini melainkan pasti binasa." Kedua teman Syurahbil bertanya, "Lalu bagaimana selanjutnya menurut pendapatmu, hai Abu Maryarn?" Syurahbil menjawab, "Aku berpendapat, sebaiknya dia aku angkat sebagai hakim dalam masalah ini, karena sesungguhnya aku melihat lelaki ini tidak akan berbuat zalim dalam keputusannya untuk selama-lamanya." Keduanya berkata, "Terserah kepadamu." Syurahbil menghadap Rasulullah Saw., lalu berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku berpendapat bahwa ada hal yang lebih baik daripada ber-mula'anah denganmu." Nabi Saw. bertanya, "Apakah itu?" Syurahbil menjawab, "Kami serahkan keputusannya kepadamu sebagai hakim sejak hari ini sampai malam nanti dan malam harimu sampai keesokan paginya. Maka keputusan apa saja yang engkau tetapkan kepada kami, hal itu akan kami terima." Rasulullah Saw. bertanya, "Barangkali di belakangmu ada seseorang yang nanti akan mencelamu?" Syurahbil berkata, "Tanyakanlah kepada kedua temanku ini." Lalu keduanya menjawab, "Seluruh penduduk lembah kami tidak kembali dan tidak berangkat, melainkan atas dasar pendapat Syurahbil." Maka Rasulullah Saw. kembali tidak ber-mula'anah dengan mereka. Kemudian pada keesokan harinya mereka datang kepadanya, lalu Nabi Saw. menulis sepucuk surat buat mereka yang isinya sebagai berikut Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ini adalah keputusan dari Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah untuk penduduk Najran —jika mereka ingin berada di bawah kekuasaannya—pada semua hasil buah-buahan, dan semua yang kuning, yang putih, yang hitam, dan budak yang berlebihan di kalangan mereka. Semuanya adalah milik mereka, tetapi diwajibkan bagi mereka membayar dua ribu setel pakaian (setiap tahunnya); pada tiap bulan Rajab seribu setel pakaian, dan yang seribunya lagi dibayar pada tiap bulan Safar. Dan persyaratan lainnya serta kelanjutannya.

Kedatangan delegasi mereka terjadi pada tahun sembilan Hijriah, karena Az-Zuhri pernah mengatakan bahwa penduduk Najran adalah orang yang mula-mula membayar jizyah kepada Rasulullah Saw. Sedangkan ayat mengenai jizyah baru diturunkan hanya sesudah kemenangan atas Mekah, yaitu yang disebutkan di dalam firman-Nya:


قاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ


Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian. (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.


قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ المكي، حدثنا بشر بن مِهْرَانَ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَاقِبُ وَالطَّيِّبُ، فَدَعَاهُمَا إِلَى الْمُلَاعَنَةِ فَوَاعَدَاهُ عَلَى أَنْ يُلَاعِنَاهُ الْغَدَاةَ. قَالَ: فَغَدَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذَ بِيَدِ عَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ وَالْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْهِمَا فَأَبَيَا أَنْ يَجِيئَا وأقَرَّا بِالْخَرَاجِ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "وَالَّذِي بَعَثَني بالْحَقِّ لَوْ قَالا لَا لأمْطَرَ عَلَيْهِمُ الْوَادِي نَارًا" قَالَ جَابِرٌ: فِيهِمْ نَزَلَتْ {نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ} قَالَ جَابِرٌ: {وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ} رسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ {وَأَبْنَاءَنَا} الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ {وَنِسَاءَنَا} فَاطِمَةَ.


Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud Al-Makki, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mihran, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir yang menceritakan bahwa telah datang kepada Nabi Saw. Al-Aqib dan At-Tayyib. Maka Nabi Saw. mengundang keduanya untuk melakukan mula'anah, lalu Nabi Saw. berjanji kepada keduanya untuk melakukannya pada keesokan harinya. Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa pada keesokan harinya Nabi Saw. datang membawa Ali, Fatimah, Al-Hasan, dan Al-Husain; lalu beliau mengundang keduanya. Tetapi keduanya menolak dan tidak mau ber-mula'anah dengannya, melainkan hanya bersedia membayar kharraj (jizyah). Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi Saw. bersabda: Demi Tuhan yang mengutusku dengan benar, seandainya keduanya mengatakan, "Tidak" (yakni tidak mau membayar jizyah), niscaya api akan menghujani lembah tempat tinggal mereka. Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan mereka diturunkan firman-Nya: Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian. (Ali Imran: 61); Menurut sahabat Jabir r.a., yang dimaksud dengan diri kami ialah Rasulullah Saw. sendiri dan Ali ibnu Abu Talib. Yang dimaksud dengan anak-anak kami ialah Al-Hasan dan Al-Husain. Yang dimaksud dengan wanita-wanita kami ialah Siti Fatimah.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim dan di dalam kitab Mustadrak-nya dari Ali ibnu Isa, dari Ahmad ibnu Muhammad Al-Azhari, dari Ali ibnu Hujr, dari Ali ibnu Mishar, dari Daud ibnu Abu Hindun dengan lafaz yang semakna. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya seperti ini.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Al-Mugirah, dari Asy-Sya'bi secara mursal, sanad ini lebih sahih. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas serta Al-Barra hal yang semisal.


*******************


Kemudian Allah Swt. berfirman:


إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ


Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar. (Ali Imran: 62)

Yakni apa yang telah Kami kisahkan kepadamu, Muhammad, tentang Isa adalah kisah yang benar, yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan sesuai dengan kejadiannya.


{وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا اللَّه وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ. فَإِنْ تَوَلَّوْا}


Dan tak ada Tuhan selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kemudian jika mereka berpaling. (Ali Imran: 62-63)

Yaitu berpaling menerima kebenaran kisah ini dan tetap berpegang kepada selainnya.


{فَإِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِالْمُفْسِدِينَ}


maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang berbuat kerusakan. (Ali Imran: 63)

Maksudnya, barang siapa yang berpaling dari kebenaran menuju kepada kebatilan, maka dialah orang yang merusak, dan Allah Maha Mengetahui tentang dia; sesungguhnya kelak Allah akan membalas perbuatannya itu dengan balasan yang seburuk-buruknya. Dia Mahakuasa, tiada sesuatu pun yang luput dari-Nya, Mahasuci Allah dengan segala pujian-Nya dan kami berlindung kepada-Nya dari kejatuhan murka dan pembalasan-Nya.



Jumat, 11 Juni 2021

Kalau Ragu, buktikanlah

 Al-Baqarah, ayat 23-24


{وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (23) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (24) }


Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang memang benar. Maka jika kalian tidak dapat membuat(nya) dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah diri kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.


Ingat di ayat kedua al quran disebutkan tidak ada keraguan di dalamnya, maka allah menantang jika merasa ragu terhadap al quran yg diturunkan kepada hambanya.


Kemudian Allah Swt. menetapkan masalah kenabian sesudah menetapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Untuk itu, Allah mengarahkan khitab-Nya kepada orang-orang kafir melalui firman-Nya:


{وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا عَلَى عَبْدِنَا}


Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami. (Al-Baqarah: 23)


Yang dimaksud dengan hamba ialah Nabi Muhammad Saw. nabi disebut Abdun artinya adalah nabi pelaksana ibadah kepada Allah maka contohlah dia untuk beribadah.


Maka datangkanlah sebuah surat yang semisal dengan apa yang didatangkan olehnya. Apabila kalian menduga bahwa Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, maka tantanglah Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengan apa yang didatangkan olehnya. Mintalah pertolongan kepada orang-orang yang kalian kehendaki selain Allah, karena sesungguhnya kalian pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Menurut Ibnu Abbas, syuhada-ukum artinya penolong-penolong kalian.

Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, syuhada-ukum artinya sekutu-sekutu kalian. Dengan kata lain ialah kaum selain kalian yangmembantu kalian untuk melakukan hal tersebut. Mintalah pertolongan kepada tuhan-tuhan kalian agar mereka membantu dan menolong kalian.


Mujahid mengatakan bahwa makna wad'u syuhada-akum artinya orang-orang yang akan menyaksikannya, mereka adalah juri-juri dari kalangan orang-orang yang fasih dalam berbahasa.


Allah Swt. menantang mereka untuk melakukan hal tersebut di lain ayat dari Al-Qur'an, yaitu dalam surat Al-Qashash:


{قُلْ فَأْتُوا بِكِتَابٍ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ هُوَ أَهْدَى مِنْهُمَا أَتَّبِعْهُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}


Katakanlah, "Datangkanlah oleh kalian sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al-Qur'an) niscaya aku mengikutinya, jika kalian sungguh orang-orang yang benar." (Al-Qashash: 49)

Di dalam surat Al-Isra disebutkan melalui firman-Nya:


{قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا}


Katakanlah.”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (Al-Isra: 88)

Di dalam surat Hud Allah Swt. berfirman:


{أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}


Bahkan mereka mengatakan, "Muhammad telah membuat-buat Al-Qur'an itu." Katakanlah, "(Jikalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar." (Hud: 13)

Di dalam surat Yunus Allah Swt. telah berfirman:


{وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}


Tidaklah mungkin Al-Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al-Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah duetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah, "(Kalau benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar" (Yunus: 37-38)


Semua ayat ini Makkiyyah, kemudian Allah menantang mereka dengan tantangan yang sama dalam surat-surat Madaniyyah. Untuk itu, Allah Swt. berfirman dalam ayat berikut: Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buailah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23) Demikian pendapat Mujahid dan Qatadah, dipilih oleh Ibnu Jarir At-Tabari, Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi, dinukil dari Umar, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan kebanyakan ulama ahli Tahqiq.

Pendapat ini dinilai kuat berdasarkan peninjauan dari berbagai segi yang antara lain ialah Allah Swt. menantang mereka secara keseluruhan, baik secara terpisah maupun secara gabungan; yang dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang-orang ummi dari kalangan mereka dan orang-orang yang pandai baca tulis dari mereka. Yang demikian itu lebih sempurna dalam tantangannya dan lebih mencakup keseluruhannya daripada tantangan yang hanya ditujukan-kepada individu dari kalangan mereka yang ummi, yaitu orang-orang yang tidak dapat baca tulis dan tidak memperhatikan suatu ilmu pun. Sebagai buktinya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:


{فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ}


maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat menyamainya. (Hud: 13)


{لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ}


niscaya meraka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia. (Al-Isra : 88)

Sebagian ulama mangatakan bahwa bimislihi artinya dari orang yang semisal dengan Muhammad saw. yakni dari seorang lelaki yang ummi seperti dia. Tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama, karena tantangan ini bersifat umum bagi mereka semua. Padahal mereka adalah orang-orang yang paling fasih, dan Allah menantang mereka dengan tantangan ini di Mekah dan di Madinah beberapa kali karena mereka sangat memusuhi Nabi Saw. dan sangat membenci agamanya. Akan tetapi, sekalipun mereka adalah orang-orang yang fasih, ternyata mereka tidak mampu membuatnya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:


{فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا}


Maka jika kalian tidak dapat (membuatnya), dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya). (Al-Baqarah: 24)

Huruf lan bermakna menafikan untuk selamanya di masa mendatang, yakni kalian tidak akan mampu melakukannya untuk selama-lamanya. Hal ini merupakan suatu mukjizat tersendiri bahwa Allah Swt. mengemukakan suatu berita yang pasti mendahului segalanya tanpa rasa khawatir dan takut bahwa Al-Qur'an ini tiada yang dapat membuat hal yang semisal dengannya untuk selama - lamanya. Memang kenyataannya demikian, sejak diturunkan dari Allah Swt. sampai sekarang tiada yang dapat membuat hal yang semisal dengannya. Tidak mungkin dan mustahil ada manusia yang dapat melakukannya. Al-Qur'an merupakan Kalamullah Tuhan Yang Menciptakan segala sesuatu, mana mungkin kalam Yang Maha Pencipta dapat diserupakan dengan kalam makhluk-Nya.

Bagi orang yang memikirkan Al-Qur'an, niscaya dia akan menjumpai di dalamnya berbagai mukjizat keindahan-keindahan yang Lahir dan yang tersembunyi yang berkaitan dengan segi lafaz dan segi maknanya.

Allah Swt. telah berfirman:


{الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ}


Alif lam ra, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahawaspada. (Hud: 1)

Lafaz-lafaz disusun dengan rapi dan kokoh, makna-maknanya dijelaskan secara rinci, atau sebaliknya menurut pendapat yang berbeda-beda. Setiap lafaz dan makna Al-Qur'an adalah fasih belaka, tiada yang dapat menandinginya, tiada pula yang dapat sejajar dengannya.

Allah Swt. menceritakan banyak hal yang terjadi di masa silam yang kisah-kisahnya terpendam, lalu kisahnya diangkat kembali sesuai dengan kejadiannya tanpa ada kekurangan sama sekali. Allah memerintahkan kepada semua perkara yang baik dan melarang setiap perbuatan yang buruk.

Allah Swt. telah berfirman:


{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا}


Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)

Dengan kata lain, benar dalam pemberitaan dan adil dalam hukum; semuanya adalah hak, benar, adil, dan petunjuk. Di dalam Al-Qur'an tidak terdapat spekulasi, tiada dusta, dan tiada buat-buatan, sebagaimana yang dijumpai dalam banyak syair Arab dan lain-lainnya yang dipenuhi dengan kedustaan dan spekulasi yang tidak akan indah syair-syair mereka bila tidak disertai dengan kedustaan dan spekulasi. Sebagaimana yang dikatakan bahwa syair yang paling indah ialah yang paling dusta.

Dijumpai dalam kasidah-kasidah yang panjang lagi bertele-tele, kebanyakan isinya hanya menceritakan wanita, kuda, khamr; atau memuji orang tertentu, unta, peperangan, kejadian, hal yang menakutkan atau sesuatu pemandangan yang tiada mengandung suatu faedah selain hanya menunjukkan kemampuan si penyair yang bersangkutan dalam menggambarkan sesuatu yang samar lagi lembut (jelimet), atau menampilkannya ke dalam gambaran yang jelas. Kemudian dijumpai satu bait, dua bait, atau lebih mencakup isi seluruh kasidah, sedangkan yang lainnya tidak ada gunanya dan tidak ada faedahnya selain hanya bertele-tele.

Adapun Al-Qur'an. seluruhnya fasih lagi berparamasastra sangat tinggi bagi orang yang mengetahui hal tersebut secara rinci dan secara global dari kalangan orang-orang yang mengerti bahasa Arab dan seni ungkapan mereka. Karena sesungguhnya jika kamu renungkan berita-beritanya, niscaya kamu menjumpainya sangat indah, baik yang diungkapkan dalam bentuk panjang ataupun ringkas. Sama saja apakah ungkapannya berulang atau tidak, sebab setiap kali berulang dirasakan bertambah indah dan anggun, tidak bosan membacanya, dan para ulama tidak pernah merasa jenuh.

Apabila Al-Qur'an mengungkapkan suatu ancaman atau peringatan, hal ini diungkapkannya dalam bahasa yang membuat gunung yang bisu lagi kokoh itu akan bergetar, terlebih lagi kalbu manusia yang memahaminya. Apabila mengemukakan suatu janji, diungkapkan dalam gaya bahasa yang membuat hati dan pendengaran manusia terbuka, merasa rindu kepada surga yang berada di sisi 'Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah, sebagaimana yang dijelaskan dalam targib melalui firman-Nya:


{فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}


Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah: 17)


{وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأنْفُسُ وَتَلَذُّ الأعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}


Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya. (Az-Zukhruf: 71)

Di dalam Bab "Tarhib" Allah Swt. telah berfirman:


{أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ}


Maka apakah kalian merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian daratan bersama kalian. (Al-Isra: 68)


{أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ}


Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncangl Atau apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Al-Mulk: 16-17)

Dalam Bab "Peringatan" Allah Swt. telah berfirman:


{فَكُلا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ}


Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-nya. (Al-Ankabut 40)

Dalam Bab "Nasihat (Pelajaran)" Allah Swt. telah berfirman:


{أَفَرَأَيْتَ إِنْ مَتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ * ثُمَّ جَاءَهُمْ مَا كَانُوا يُوعَدُونَ * مَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا يُمَتَّعُونَ}


Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya. (Asy-Syu'ara: 205-207)

Masih banyak ayat lainnya yang mengandung berbagai macam fasahah. paramasastra. dan keindahan. Apabila ayat-ayat Al-Qur'an menerangkan perihal hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. maka setiap perintah selalu mengandung semua perkara makruf, baik, bermanfaat, dan larangan terhadap setiap perbuatan yang buruk, hina, dan rendah.

Ibnu Mas'ud r.a. dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf mengatakan, "Apabila kamu mendengar Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur'an, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung kebaikan yang akan diperintahkan oleh-Nya atau keburukan yang dilarang oleh-Nya." Allah Swt. telah berfirman:


{يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ}


Yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (Al-A'raf: 157)

Apabila ayat-ayat menerangkan gambaran tentang hari kiamat berikut semua kesusahan dan kengerian yang terdapat di dalamnya, gambaran tentang surga, neraka, dan semua yang disediakan oleh Allah buat kekasih-kekasih-Nya serta musuh-musuhnya, yaitu kenikmatan dan neraka, serta perlindungan dan siksa yang pedih, maka diungkapkannya dalam bentuk berita gembira, larangan, serta peringatan. Yaitu ungkapan yang mendorong untuk mengerjakan semua kebaikan dan menjauhi semua kemungkaran, mendorong untuk berzuhud terhadap duniawi serta lebih suka kepada pahala di akhirat, dan memperteguh jalan yang penuh dengan keteladanan, memberikan petunjuk ke jalan Allah yang lurus dan syariatnya yang tegak, serta membersihkan hati dari kotoran setan yang terkutuk.

Karena itu, telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a.,bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"مَا مِنْ نَبِيٍّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا قَدْ أعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إليَّ، فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Tiada seorang nabi pun melainkan telah dianugerahi suatu mukjizat yang disesuaikan dengan apa yang diimani oleh manusia di masanya. Dan sesungguhnya apa yang telah diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadaku, maka aku berharap semoga aku adalah nabi yang paling banyak pengikutnya di antara semua nabi-nabi kelak di hari kiamat.


Lafaz hadis ini berasal dari Imam Muslim.

Dengan kata lain, sesungguhnya apa yang diberikan kepadaku hanyalah berupa wahyu; aku mempunyai kekhususan tersendiri di antara mereka (para nabi), yaitu diberi wahyu Al-Qur'an ini yang melemahkan seluruh umat manusia untuk membuat hal yang semisal dengannya, lain halnya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Karena sesungguhnya kitab-kitab samawi selain Al-Qur'an menurut kebanyakan ulama bukan merupakan mukjizat. Tetapi Nabi Saw. selain memiliki mukjizat Al-Qur'an, memiliki pula mukjizat-mukjizat lainnya yang menunjukkan kenabian dan kebenaran apa yang didatangkan olehnya, dan hal ini jumlahnya cukup banyak hingga tak terhitung; segala puji dan anugerah hanyalah milik Allah.


Sebagian ulama ahli Kalam ada yang menetapkan unsur i'jaz di dalam Al-Qur'an dengan suatu metode yang mencakup antara pendapat ahli sunnah dan golongan mu'tazilah yang menyatakan sirfah. Dia mengatakan, jika Al-Qur'an ini mengandung i'jaz dengan sendirinya —yakni manusia tidak akan mampu mendatangkan yang semisal dengannya dan di luar kemampuan mereka pula untuk menentangnya— berarti apa yang diakui benar-benar telah terjadi. Jika mereka mempunyai kemampuan untuk menentang Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengannya, sedangkan mereka tidak mampu melakukannya, padahal mereka sangat memusuhinya. maka hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an benar-benar dari sisi Allah; karena Allah men-sirfah (memalingkan) mereka untuk dapat menentangnya (Al-Qur'an), padahal mereka mempunyai kemampuan untuk menentangnya dengan hal yang semisal. Analisis seperti ini —sekalipun kurang dapat diterima— mengingat Al-Qur'an itu sendiri mengandung mukjizat yang membuat manusia tidak mampu menentangnya dengan hal yang semisal, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Hanya saja analisis ini dapat diterima dengan pengertian sebagai perumpamaan dan tantangan terhadap perkara yang hak. Metode inilah yang dipakai oleh Ar-Razi dalam menjawab hipotesisnya di dalam kitab tafsirnya menyangkut surat yang pendek-pendek, seperti surat Al-'Asr dan Al-Kausar.


***********


Allah Swt. telah berfirman:


{فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ}


Peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 24)

Yang dimaksud dengan al-waqud ialah sesuatu yang dicampakkan ke dalam api untuk membesarkannya, seperti kayu bakar dan lain-lain-nya; sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:


{وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا}


Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. (Al-Jin: 15)

Allah Swt. telah berfirman pula:


{إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ}


Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam, kalian pasti masuk ke dalamnya. (Al-Anbiya: 98)


Yang dimaksud al-hijarah dalam surat Al-Baqarah ini ialah batu pemantik api yang sangat besar, hitam, keras, dan berbau busuk. Batu jenis ini paling panas jika dipanaskan, semoga Allah melindungi kita darinya.


Abdul Malik ibnu Maisarah Az-Zarrad meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Amr ibnu Maimun, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan firman-Nya: bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (Al-Baqarah: 24) Bahwa batu yang dimaksudkan adalah batu kibrit (pemantik api), Allah telah menciptakannya di saat Allah menciptakan langit dan bumi, yaitu di langit yang paling rendah, sengaja disediakan buat orang-orang kafir.


Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan lafaz seperti ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadraknya; ia mengatakan bahwa dengan syarat Syaikhain.


Mujahid mengatakan bahwa hijarah ini berasal dari batu kibrit yang baunya lebih busuk daripada bangkai.


Menurut pendapat yang lain, batu tersebut dimaksudkan batu berhala dan tandingan-tandingan yang disembah selain Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman lainnya, yaitu: Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam. (Al-Anbiya: 98)


Sesungguhnya hal ini dikaitkan dengan panasnya api neraka yang diancamkan kepada mereka. Juga dikaitkan dengan kebesaran nyalanya, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya berikut ini:


{كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا}


Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah bagi mereka nyalanya. (Al-Isra: 97)


Demikian pendapat yang dinilai kuat oleh Al-Qurtubi. Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah batu-batuan yang dapat menambah nyala api dan menambah derajat kepanasannya, dimaksudkan agar hal ini menambah keras siksaannya terhadap para penghuninya.


Firman Allah, "U'iddat lil kafirin" menurut pendapat yang paling kuat damir yang terdapat di dalam lafaz u'iddat kembali kepada neraka yang bahan bakarnya terdiri atas manusia dan batu-batuan. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa damir tersebut kembali kepa-da al-hijarah, sebagaimana tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud r.a. Kedua pendapat tersebut tidak bertentangan dalam hal makna, karena keduanya saling mengait dengan yang lainnya.


Firman Allah Swt. yang mengatakan:


{فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ}


maka buatlah satu surat saja yang semisal dengan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 23)

dan firman Allah Swt. di dalam surat Yunus, yaitu:


{بِسُورَةٍ مِثْلِهِ}


sebuah surat semisal dengannya. (Yunus: 38)

makna yang dimaksud mencakup semua surat Al-Qur'an —baik surat yang panjang maupun yang pendek— mengingat lafaz surat diungkapkan dalam bentuk nakirah dalam konteks syarat. Lafaz seperti itu bermakna umum, sama halnya dengan nakirah yang diungkapkan dalam konteks nafi menurut ahli tahqiq dari kalangan ulama Usul; hal ini akan diterangkan nanti dalam pembahasannya sendiri.



Unsur i'jaz memang terkandung di dalam surat-surat yang panjang, juga surat-surat yang pendek. Sepengetahuan kami tidak ada ulama yang memperselisihkan pendapat ini, baik yang Salaf maupun yang Khalaf.

Tetapi Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan: Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23) diartikan mencakup surat Al-Kausar, Al-'Asr, dan Al-Kafirun. Kita mengetahui bahwa membuat sesuatu yang semisal dengannya atau yang mendekatinya merupakan suatu hal yang mungkin dapat dilakukan dengan pasti. Karena itu, merupakan suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan jika dikatakan bahwa membuat hal yang semisal dengan surat-surat tersebut merupakan suatu hal yang di luar kemampuan manusia. Apabila kita berpendapat seperti pendapat yang berlebihan ini, justru akibatnya akan mengurangi keagungan agama (Al-Qur'an) itu sendiri.

Berdasarkan pengertian inilah kami memilih cara lain dalam menginterpretasikannya; dan kami katakan jika surat-surat tersebut tingkatan kefasihannya mencapai tingkatan i'jaz, berarti bukan menjadi masalah lagi. Tetapi jika tidak demikian keadaannya, berarti ketidakmampuan orang-orang kafir untuk menyainginya merupakan suatu mukjizat tersendiri, mengingat dorongan yang ada pada diri mereka untuk melecehkan Al-Qur'an benar-benar kuat. Atas dasar kedua hipotesis ini unsur i'jaz tetap ada. 


Demikian nukilan secara harfiah dari Ar-Razi.

Menurut pendapat yang benar, setiap surat dari Al-Qur'an merupakan mukjizat, manusia tidak akan mampu menandinginya, baik surat yang panjang maupun yang pendek.

Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Jikalau manusia memikirkan makna yang terkandung di dalam surat berikut, niscaya sudah menjadi kecukupan bagi mereka," yaitu firman-Nya:


{وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}


Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (Al-'Asr: 1-3)

Kami meriwayatkan dari Amr ibnul As, bahwa sebelum masuk Islam dia pernah bertamu kepada Musailamah Al-Kazzab. Lalu Musailamah bertanya kepadanya, "Apakah yang telah diturunkan kepada teman kalian (Nabi Muhammad) di Mekah di masa sekarang?" Maka Amr menjawabnya, "Sesungguhnya telah diturunkan kepadanya suatu surat yang ringkas lagi balig." Musailamah bertanya, "Surat apakah?" Amr menjawab: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. (Al-'Asr: 1-2) Maka Musailamah berpikir sejenak, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, "Sesungguhnya telah diturunkan pula kepadaku hal yang semisal dengannya." Amr bertanya, "Apakah itu?" Musailamah berkata, "Hai kelinci, hai kelinci, sesungguhnya kamu hanya terdiri atas dua telinga dan dada, sedangkan selain itu pendek dan kurus." Kemudian Musailamah bertanya, "Bagaimanakah menurut pendapatmu, hai Amr." Amr menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa diriku mengetahui kamu berdusta."



Kamis, 10 Juni 2021

KALAU NIAT MENYEMBELIH, BACA DULU BIAR AFDHAL


Pengertian

Udhiyyah secara terminologi syara' tidak ada perbedaan, yaitu hewan yang khusus disembelih pada saat Hari Raya 'Idul Al-Adha 10 Dzul Hijjah dan hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 Dzul Hijjah) sebagai upaya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT, oleh karena itu banyak disebut qurban meski berqurban tidak berarti menyembelih saja.

Dalam Islam menyembelih disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Saat itu Rasulullah keluar menuju masjid untuk melaksanakan shalat 'Idul Adha dan membaca khutbah `Id. Setelah itu beliau berqurban dua ekor kambing yang bertanduk dan berbulu putih.

Hukum Menyembelih

Hukumnya adalah sunnah muakkadah bagi kita artinya kesunnahan yang sangat ditekankan namun bagi Rasulullah Saw berqurban adalah wajib sebagai kekhususan beliau. Kesunnahan tadi terbagi dua ada kalanya sunnah kifayah yaitu bagi tiap-tiap muslim yang sudah baligh, berakal, memiliki kemampuan untuk berqurban dan hidup dalam satu keluarga. Artinya jika ada salah satu anggota keluarga berqurban, maka gugurlah tuntutan untuk berqurban dari tiap-tiap anggota keluarga itu. Namun tentunya yang mendapat pahala qurban adalah khusus bagi orang yang melakukannya. Dan ada kalanya hukum qurban sunnah 'ain yaitu bagi mereka yang hidup seorang diri, tidak memiliki sanak saudara. Atau dengan kata lain sunnah 'ain adalah sasaran kesunnahannya ditujukan pada indifidu atau personal semata.

Yang dimaksud 'memiliki kemampuan' disini adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk dibuat qurban dan cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq.

Bahkan Imam As Syafi'i berkata, "Saya tidak memberi dispensasi / keringanan sedikitpun pada orang yang mampu berqurban untuk meninggalkannya". Maksud perkataan ini adalah makruh bagi orang yang mampu berqurban, tapi tidak mau melaksanakannya (lihat: Iqna' II/278) Meskipun hukum qurban adalah sunnah, namun suatu ketika bisa saja berubah menjadi wajib, yaitu jika dinadzarkan. Maka konsekuensinya jika sudah menjadi qurban wajib dia dan keluarga yang dia tanggung nafkahnya tidak boleh mengambil atau memakan sedikitpun dari daging qurban tersebut.

Waktu Pelaksanaan Kurban

Waktu pelaksanaan kurban adalah seusai melakukan sholat Idul Adha, 10 Dzul Hijjah sampai terbenamnya matahari pada akhir hari Tasyriq yaitu 13 Dzul Hijjah. Jadi tersedia waktu selama empat hari.

Sedangkan teknis penyembelihan hewan kurban, orang yang berkurban boleh melakukannya sendiri, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Rasulullah saw. Boleh pula penyembelihannya diwakilkan kepada yang lebih ahli, sebagaimana beliau mengizinkan sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk menyembelih hewan kurban beliau. Dan jika penyembelihan itu diwakilkan kepada orang lain, maka dianjurkan kepada orang yang berkurban untuk menyaksikan proses penyembelihan, sebagaimana perintah Beliau kepada puterinya As Sayyidah Fatimah.


Pembagian kurban.

Daging kurban disyaratkan untuk dibagikan mentah, agar oleh si penerima yang berhak, dapat digunakan sesuka hatinya atau menjualnya. Maka tidak cukup dengan mengundang fakir miskin dan disuguhkan kepada mereka masakan dengan daging kurban tersebut. Mengenai pembagian daging kurban, asalkan bukan kurban nadzar, maka orang yang berkurban berhak mengambil sebagian daging kurban dan selebihnya dibagikan (disedekahkan) kepada fakir miskin. Sebagian ulama berpendapat, daging kurban didistribusikan menjadi 3 bagian, sepertiga dimakan oleh yang berkurban, sepertiga lagi untuk disimpan oleh yang berkurban dan sepertiga yang lain disedekahkan kepada fakir miskin atau orang lain. 

Sementara imam Syafi’I dalam qoul jadidnya berpendapat, sepertiga untuk dimakan sendiri dan dua pertiganya untuk disedekahkan. Adapun salafush shalih mereka menyukai membagi tiga bagian, sepertiga untuk dimakan sendiri, sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin dan sepertiga lagi dihadiahkan kepada orang yang kaya. Sementara menurut pendapat Imam Ibnu Qasim Al Ghizi, yang paling utama adalah menyedekahkan seluruh daging kurban tersebut, kecuali sekedar beberapa suapan saja bagi yang berkurban untuk mendapat keberkahan (At Tabarruk) dengan kurban itu. Adanya hak orang yang berkurban mengambil daging kurbannya itu tidaklah mengurangi nilai ibadah kurbannya. Oleh karena nilai kurbannya telah terwujud pada proses penyembelihan, penumpahan darah hewan kurban. Perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah menjual daging kurban sekalipun kulitnya atau memberikan upah berupa sebagian daging kurban kepada orang yang diserahi menyembelih.  Tapi jika kurban itu dinadzarkan, seperti dia mengatakan: “ wajib kepadaku agar aku berkurban untuk Allah”, atau “Aku bernadzar akan berkurban”, atau, “ binatang ini aku jadikan sebagai kurban”, maka dengan kalimat-kalimat itu dia telah dianggap bernadzar atau dengan kata lain menjadi wajib baginya berkurban, dan dalam hal ini, dia tidak boleh nantinya setelah disembelih untuk mengambil bagian dari daging kurbannya sekalipun sedikit, demikian pula tidak boleh mengambilnya orang-orang yang berada dalam tanggungan nafakahnya, seperti anak dan isterinya.

 

Kesunnahan saat menyembelih

Disunnahkan pada saat menyembelih beberapa hal, diantaranya: membaca basmalah sebelum menyembelih, menghadap ke kiblat dan binatang kurban juga dihadapkan ke kiblat, mengucapkan takbir 3 kali sebelum basmalah atau sesudahnya, seperti dikatakan imam Al Mawardi dan juga disunnahkan untuk berdoa agar kurban tersebut diterima oleh Allah, seperti dia berdoa: “ Ya Allah inilah kurban dariMu dan untukMu, maka terimalah kurban ini”, maksudnya adalah “ Ya Allah binatang kurban ini sebagai nikmat dariMu kepadaku dan aku mendekatkan diriku kepadaMu dengannya maka terimalah ini” Disunnahkan bagi yang hendak berkurban untuk tidak memotong rambutnya, bulu ketiak dan kukunya pada tanggal 10 Dzul Hijjah sampai dia menyembelih binatang kurbannya.

Binatang yang dikurbankan Binatang yang dikurbankan adalah ternak tertentu yang telah ditentukan oleh syari’, yaitu kambing, sapi (lembu) dan onta. Satu kambing untuk satu orang, sedangkan satu sapi dan onta cukup untuk 7 orang. Artinya boleh berkurban secara patungan tetapi terbatas untuk sapi dan onta, masing-masing untuk 7 orang. Ini adalah pendapat imam Syafi’I, Ahmad, Sufyan Ats Tsauri dan Ibnul Mubarak, disasarkan pada hadits Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda (yang artinya):

“ Seekor sapi patungan dari tujuh orang dan seekor onta juga patungan dari tujuh orang “.
Dan yang paling utama adalah berkurban dengan onta, kemudian sapi dan kemudian kambing. Onta disyaratkan berumur 5 tahun yang menginjak ke 6 tahun. Sapi berumur 2 tahun yang menginjak ke 3 tahun. Domba (kibas) berumur 1 tahun menginjak ke 2 tahun dan kambing kacang berusia 2 tahun menginjak ke 3 tahun. Jika dilihat dari warna bulu binatang kurban, maka yang paling utama adalah yang berwarna putih kemudian kuning kemudian cokelat muda (seperti warna tanah) kemudian merah kemudian belang (hitam putih) kemudian hitam. Juga disyaratkan binatang-binatang tersebut tidak cacat, seperti: salah satu matanya picek yang tampak atau buta, atau kakinya timpang atau pincang yang jelas kepincangannya, atau binatang itu terkena penyakit yang jelas sehingga tampak kurus atau dagingnya rusak karena penyakit itu, atau telinganya putus atau sebagiannya atau diciptakan memang tanpa telinga atau semua ekornya atau sebagiannya terputus, maka kesemuanya ini menjadikan kurbannya tidak cukup (tidak sah).

Tapi jika binatang itu tidak bertanduk atau tanduknya pecah atau dua buah pelirnya terputus, tetap dibolehkan berkurban dengan binatang tersebut. Dan dikatakan sudah cukup dan sah. Wallahu A’lam .

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...