PENGUNJUNG

Rabu, 25 November 2020

MENGOBATI DENGAN AL-QURAN

          Untuk pemaparan dalam bentuk video klik Tonton Video              


                     Oleh: Miftah Husni

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57)

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58) }

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ”Dengan karunia Allah dan rahmat­nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus: 57-58)

         Ayat ini tidak menjadi dalil bahwa Al-Qur’an dapat digunakan sebagai pengobatan fisik, baik itu dengan menggunakan lafadznya, atau pun tulisannya, karena penjelasannya sangat jelas bahwa penyakit yang dimaksud adalah penyakit yang ada di dalam hati. Walau pun demikian ayat ini juga tidak menafikan bahwa Al-Qur’an dapat menyembuhkan penyakit fisik hanya pemahaman caranya lah yang harus benar. Ilustrasi sederhana ketika seseorang mengalami sakit kepala namun dokter memberikan obat yang dimakan masuk ke perut, tidak seperti obat gosok atau pereda nyeri seperti minyak angin yang langsung ke kepala.

    Hal ini mengindikasikan bahwa ada proses yang lain dimana obat menyembuhkan penyebab dari sakit kepala itu, karena bisa jadi sakit kepala tersebut disebabka oleh asam lambung yang naik. Demikian pula al-Quran dapat menyembuhkan penyebab sakitnya fisik karena al-Quran mengobati sumber penyakitnya yaitu di dalam hati. Sebagai contoh penyakit diabetes tipe 2 bisa diakibatkan karena stress dapat meningkatkan kadar glukosa darah. stres juga secara langsung dapat meningkatkan denyut jantung dan aliran darah, sehingga menyebabkan pelepasan kolesterol dan trigliserida ke dalam aliran darah yang dapat menyebabkan penyakit jantung.

Perihal kandungan ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا}

Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82)

{قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ}

Katakanlah, "Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman." (Fushshilat: 44), hingga akhir ayat.

    Kalimat seruan yang digunakan adalah “ya ayyuha nas” wahai manusia, tidak dikhusukan dengan orang-orang yang beriman, mafhumnya adalah bahwa orang-orang yang beriman harusnya sudah bebas dari penyakit-penyakit itu karena mereka telah menjadikan al-Quran sebagai petunjuk dan menghilangkan keraguan yang menjadi penyakit yang vital bagi hati-hati mereka.

      Ayat ini juga menunjukkan bahwa mereka yang masuk surga adalah orang-orang yang sehat yang sudah terhindar dari penyakit karena mereka mempelajari, mengkaji, mengamalkan dan mendakwahkan al-Quran sehingga hati-hati mereka terhindar dari segala penyakit. Jika di akhirat kelak masih ada penyakit hati, maka api neraka lah yang akan membersihkan penyakit-penyakit hati tersebut.

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْر

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi…” (HR. Muslim no. 91)

    Yang dimaksud dari al mau`izhoh adalah dalam bentuk perintah dan larangan, yang berhubungan dengan “pemberian motivasi dan berita gembira” dan “peringatan yang menakutkan dan berita ancaman” (targhiib dan tarhiib), perkataan yang benar (qaulul haq) yang melunakkan hati dan membekas dalam jiwa, dapat menahan gejolak hawa nafsu yang membangkang, dan menambah jiwa menjadi terdidik baik secara iman maupun hidayah. (Ibnu Taimiyah, dalam Majmu` Fatawa, 19:164, Miftah Daar as Sa`adah-Ibnul Qayyim, 1: 195, juga dalam kitab Tafsirnya hal. 344).

Allah Ta`ala berfirman:

وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوْا مَا يُوْعَظُوْنَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَ أَشَدَّ تَثْبِيْتًا (النساء: 66)

Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka. (an-Nisa: 66),

يَعِظُكُمُ اللهُ أَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ (النور: 17)

Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang yang beriman. (An-Nur: 17)

Kalimat lain yang digunakan untuk peringatan adalah kalimat nasihat seperti di dalam hadits :

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 55]

    Asal arti nasihat itu adalah menyaring, maka al-Quran juga berarti menyaring, memisahkan yang haq dan yang batil, yang benar dan salah, bagaimana caranya, adalah melalui perintah terhadap kebaikan dan kebenaran, karena semua yang diperintahkan nya adalah baik dan benar dan juga dengan cara melarang terhadap keburukan karena semua yang dilarangnya adalah buruk walaupun disukai manusia.

        Menurut Imam Ibnu Katsir, makna Qur’an sebagai nasehat dan pelajaran adalah, “zajir ‘anil fawahisy; melarang dari perbuatan keji”. (Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, 3/1380). Syekh As Sa’di menambahkan penjelasan yang lebih rinci tentang makna mau’idzah yang diperankan oleh al-Qur’an, yakni menasehati dan memperingatkan dari berbagai amal perbuatan yang mengundang murka Allah dan berkonsekuensi pada turunnya adzab-Nya dengan disertai penjelasan akan dampak buruk dan mafsadat dari perbuatan tersebut”. (Lih, Tafsir As Sa’di, hlm. 213-214 .

      Sifat al-Qur’an berikutnya yang disebutkan dalam ayat di atas adalah asy-Syifa. Penawar atau penyembuh bagi (penyakit) yang ada di dalam dada. Menurut para Mufassir bahwa makna dada dalam ayat ini adalah hati. Sehingga mereka menafsirkan bahwa fungsi dan peran Al-Qur’an sebagai syifa’ (penawar dan penyembuh) adalah, “obat penyembuh dari penyakit syubhat dan keragu-raguan”. (Tafsir Ibn Katsir,3/1380). Jadi syifa yang dikandung oleh Al-Qur’an  meliputi kesembuhan bagi (penyakit) hati berupa syubhat, jahalah (kebodohan), pendapat atau pandangan yang keliru (al-ara al-fasidah), penyimpangan yang buruk, serta maksud dan tujuan yang jelek.

        Kalaulah fungsi al-Quran sudah dirasakan dengan baik, maka persepsi dan orientasi hidup manusia akan melangit tidak lagi tertuju kepada bumi, harta benda dan segala isinya. Inilah yang Allah katakana dalam ayat kedua. Sebuah riwayat menjelaskan bagaimana para sahabat merasakan keutamaan kedua ayat ini sebagai berikut:

Ketika  kaum Muslimin berhasil membuka negeri Iraq pada masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khathab  radhiyallahu ‘anhu, mereka memperoleh berbagai ghanimah (rampasan perang). Ketika kharaj Iraq diserahkan kepada Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah, beliau keluar bersama budaknya untuk menerima Kharaj tersebut. Beliau mulai menghitung Onta hasil rampasan perang yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash ini ternyata jumlahnya sangat banyak, sembari menghitung beliau terus menggumamkan puji dan syukur pada Allah. “Alhamdulillah Lillahi Ta’ala”, ucapnya. Menyambut sikap ini budak beliau mengatakan, “Ini adalah fadhl (karunia) Allah dan rahmat-Nya”. “kamu berdusta”, sambut Umar. “Bukan ini”, lanjutnya. Karunia dan rahmat Allah yang sesungguhnya adalah yang dikatakan oleh Allah, “katakan! Dengan karunia Allah dan rahmat-Nyalah hendakanya mereka bergembira, ia lebih lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (terj.Qs. Yunus [10]:58).

        Fragmen di atas dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim ketika menjelaskan tafsir ayat 57-58 surat Yunus yang dibahas dalam tulisan ini. Melalui penggalan kisah ini pula Amirul Mu’minin mengajari kita bagaimana menempatkan perbandingan antara kekayaan materi duniawi dengan karunia Allah berupa ni’mat Al-Qur’an pada posisi yang adil. Bahwa nikmat al-Qur’an lebih baik dari berbagai sisi dibanding seluruh perbendaharaan dunia dengan segala pernak-perniknya yang fana dan akan hilang.


وَفِي الْجَهْلِ قَبْلَ الْمَوْتِ مَوْتٌ لِأَهْلِهِ ... فَأَجْسَامُهُمْ قَبْلَ الْقُبُورِ قُبُورُ

Dan pada kebodohan itu ada kematian sebelum orangnya mati...maka jasadnya seperti sudah masuk kuburan sebelum dikubur 


وَإِنَّ امْرَأً لَمْ يَحْيَ بِالْعِلْمِ مَيِّتٌ ... فَلَيْسَ لَهُ حَتَّى النُّشُورِ نُشُورُ

Dan sesunguhnya orang yang tidak hidup dengan ilmu maka pada dasarnya ia telah mati...maka tidak ada baginya amal yang dikumpulkan sampai hari berkumpulnya Manusia

(Syair ahli Bashrah dalam tafsir al - Qurtubhi surat Al- An 'am : 122)

baca juga :Membaca Al Quran meningkatkan imunitas Tubuh

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...