PENGUNJUNG

Rabu, 25 Desember 2019

Gerhana ; Tanda Yang Harus Melahirkan Rasa Takut

Oleh : Miftah Husni

al-Qur’an membagi alam kepada dua kategori, yaitu alam dhahir dan alam Bathin, alam syahadah dan alam Ghaib; alam dunia dan alam Akhirat. Dhahir artinya sesuatu yang nampak secara jelas. Kebalikannya adalah Bathin yang artinya sesuatu yang tersembunyi. Syahadah berarti nyata atau bukti yang dapat disaksikan oleh panca indra. Kebalikannya adalah Ghaib, yaitu segala sesuatu yang tidak tercapai oleh panca indra manusia. Dunia artinya sesuatu yang dekat, terkait oleh waktu dan tempat yang terbatas; disini dan saat ini, lawanya adalah Akhirat yang berarti yang dating dikemudian hari atau hari terakhir.

Semua istilah yang berlawanan di atas telah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an.:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ (20)

“Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah memudahan untuk (kepentingan) mu apa yang dilangit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kita yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20)

ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (6)
Yang demikian itu ialah tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang maha perkasa lagi maha penyayang. (QS. As-Sajdah:6)

Meskipun antara dunia dan akhirat, syahadah dan ghaib, lahir dan batin, disebutkan dalam konteks berlawanan, tetapi tidak berarti bahwa keduanya terpisah dan bertentangan. Kedua alam itu adalah berpautan, saling melengkapi dan berkesinambungan. Yang lahir menjadi wadah bagi yang batin, yang syahadah menjadi dalalah terhadap yang ghaib, dan dunia yang sekarang menjadi awal bagi alam akhirat.

Hanya sifat dan karakter dari kedua alam itu berbeda. Alam dunia bersifat nampak, terjangkau oleh panca indra manusia dan terbatas oleh ruang dan waktu. Sedang akhirat bersifat ghaib dan diluar kemampuan indrawi manusia. Alam dunia yang bersifat syahada dan dhahir dengan mudah dapat dikenali dan diketahui manusia dengan menggunakan panca indranya, Akan tetapi alam ghaib dan bathin hanya dikenali dan diketahui eksistensinya melalui tanda-tanda dan ciri-ciri yang menunjukan. Tanda dan ciri alam bathin itu justru terdapat pada alam lahir dan alam syahadah itu sendiri. Maka kegagalan memahami tanda dan ciri eksistensinya yang ada pada alam lahir itu akan berakibat salah dan gagal dalam memahami alam bathin.

Tanda dan ciri alam bathin atau alam ghaib yang terdapat pada alam syahadah disebut sebagai Ayat. Ayat artinya sesuatu tanda yang nampak secara indrawi, ciri bukti lahir yang mennjukan adanya suatu hakikat yang tersembunyi. Seperti gerakan badan pada diri seseorang menjadi tanda adanya kekuatan tersembunyi yang menggerakan yaitu energi dan tenaga penggeraknya. Gerakan badan adalah lahir tetapi energi penggeraknya bersifat batin.

Ayat Qauliyah dan Kauniyah
Manusia dan jin diciptakan dengan satu tujuan yang jelas dan tegas, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah, Tuhan penciptanya. Awal dari suatu ibadah adalah mengetahui, atau ma`rifat kepada dzat yang diibadatinya. Karena itu tugas pertama untuk terlaksananya ibadah manusia kepada Allah adalah mengenali Tuhannya. Dzat yang berhak diibadati itu adalah Allah Tabaraka wa Ta`ala, sementara Dia adalah Maha tersembunyi dan Maha ghaib, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya sendiri.
هُوَ الأَوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (3)

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surat Al-Hadid:3)

Panca indra dan ilmu akal manusia sangat terbatas untuk menjangkau masalah ghaib secara benar dan tepat. Karena itu Allah Swt membimbing manusia untuk mengenal Dzat-Nya melalui tanda-anda yang mudah dipahami manusia. Inilah yang disebut ayat-ayat Allah. Ayat-ayat itu ada yang berupa wujud cipataan-Nya, yaitu seluruh alam raya ini. Ada ayat-ayat yang khusus berupa firman-firman-Nya yang disampaikan kepada manusia-manusia pilihan yang disebut sebagai rasul. Para rasul inilah yang digaskan membaca ayat-ayat Tuhan yang berupa firman-firman Allah kepada umat manusia.

Diturunkannya ayat-ayat Qur`aniyah menunjukan bahwa ayat-ayat kauniyah tidak cukup untuk memahami dan mengenali Allah secara benar dan tepat. Dengan meneliti alam semesta yang luarbiasa dahsyatnya secara benar manusia pasti sampai kepada kesimpulan bahwa semua itu ada penciptannya. Hanya saja alam tidak memberi jawaban siapa Dzat Yang Maha pencipta itu, apa sifat-sifat-Nya, bagaimana seharusnya manusia mengabdi kepada-Nya?

Artinya dengan mengkaji alam manusia hanya mungkin sampai kepada keyakinan global bahwa alam ada penciptanya, dan karena alam semesta itu amat luas, dahsyat, indah, kompleks, sekaligus amat sempurna tanpa kecacatan di dalamnya, maka sudah barang tentu Sang Pencipta itu adalah Dzat Yang Maha Luas, Maha Dahsyat, Maha Indah dan Maha Sempurna, tanpa bisa menjelaskan secara rinci bagaimana cara mengenali dan apa hak serta kewajiban manusia kepada Dzat Pencipta itu.

Ilmu yang memperkenalkan manusia secara detai kepada Allah serta tentang hak dan kewajiban manusia kepada-Nya hanya memungkinkan diperoleh dari pengajaran Allah secara langsung melalui proses pengajaran wahyu. Karena itulah nabi dan rasul Allah membaca dan mengajarkan ayat-ayat Qauliyah kepada umatnya. Sementara mereka dapat mengenal Allah karena Allah sendiri yang menjelaskan sifat-sifat dzat-Nya kepada mereka melalui wahyu.

Karena alam maupun al-Qur`an berasal dari satu sumber, yaitu Allah Ta`ala, maka logisnya mustahil antara al-Qur`an dan alam terjadi pertentangan. Yang sejatinya, justru al-Qur`an dan alam saling menjelaskan dan saling melengkapi. Al-Qur`an banyak mengungkapkan tentang penomena alam. Sebaliknya semua fenomena alam menjadi bukti akan kebenaran kata-kata al-Qur`an. Jika sudah demikian maka al-Qur`an maupun alam semesta menyatu dalam menyikap-kebenaran hakikat Allah Swt.

Salah satu ayat kauniyah adalah gerhana baik matahari atau pun bulan. Berdasarkan data hisab, sejak periode mekah (13 tahun) dan Madinah (10 tahun) masa kenabian,  Nabi Muhamad hanya mengalami dua kali gerhana, yaitu 
1. Gerhana bulan yang terjadi pada tanggal 14 Jumadits tsaniah tahun 4 H/20 Nopember 625 M, namun waktu itu belum disyariatkan salat khusuf.
2. Gerhana matahari annular (cincin), yang terjadi pada tanggal 29 Syawal  10 H bertepatan dengan tanggal 27 Januari 632 M, pukul 8.30 pagi waktu Madinah. Gerhana waktu itu bertepatan dengan wafatnya Ibrahim, putra Nabi saw. pada usia 17 bulan (lahir Jumadil Ula tahun 9 H.) Lihat, Taudhihul Ahkam 'an Bulugh al-Maram, III:60

 Sikap jalma ku ayana gerhana :
Pemikiran kuno nganggap gerhana hiji perkara nu matak pikasieuneun sabab gerhana mangrupakeun tanda picilakaeun, factor panyababna kusabab loba kasieun, tp kasieuna salah alamat
Pemikiran modern nganggap fenomena alam langka atawa fenomena kaendahan alam , eweuh kasieun malah aya nu kreatif ngambil kauntungan jeung manfaat

Pemikiran dumasar kana iman jeung kaelmuan, iman numbuhkeun katundukan jeung elmu numbuhkan rasa kasieun.

Oleh karena itu sikap yang benar dalam menghadapi ayat kauniyah ini adalah sebagaimana yang disabdakan Rasullah SAW dari sahabat al-Mughirah bin Syu’bah ;
{إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ, وَلاَ لَحِيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمُو هُمَا فَادْ عُوا اللهَ وَصَلُّوا حَتَّى تَنْكَشِفَ}
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) di antara ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan karena kematian seseorang atau karena hidup (lahirnya) seseorang. Apabila kalian melihat (gerhana) matahari dan bulan, maka berdoalah kepada Allah dan sholatlah hingga tersingkap kembali.” (HR. Al-Bukhari no. 1043, dan Muslim no. 915)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : ( اِنْخَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى, فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا, نَحْوًا مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ اَلْبَقَرَةِ, ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا, ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ اَلْقِيَامِ اَلْأَوَّلِ, ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا, وَهُوَ دُونَ اَلرُّكُوعِ اَلْأَوَّلِ, ] ثُمَّ سَجَدَ, ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً, وَهُوَ دُونَ اَلْقِيَامِ اَلْأَوَّلِ, ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا, وَهُوَ دُونَ اَلرُّكُوعِ اَلْأَوَّلِ], ثُمَّ رَفَعَ, فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا, وَهُوَ دُونَ اَلْقِيَامِ اَلْأَوَّلِ, ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً, وَهُوَ دُونَ اَلرُّكُوعِ اَلْأَوَّلِ, ثُمَّ سَجَدَ, ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ تَجَلَّتِ اَلشَّمْسُ. فَخَطَبَ اَلنَّاسَ)  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ. وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: ( صَلَّى حِينَ كَسَفَتِ اَلشَّمْسُ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ )

Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, maka beliau sholat, beliau berdiri lama sekitar lamanya bacaan surat al-Baqarah, kemudian ruku' lama, lalu bangun dan berdiri lama namun lebih pendek dibandingkan berdiri yang pertama, kemudian ruku' lama namun lebih pendek dibanding ruku' yang pertama, lalu sujud, kemudian berdiri lama namun lebih pendek dibanding berdiri yang pertama, lalu ruku' lama namun lebih pendek dibandingkan ruku' yang pertama, kemudian bangun dan berdiri lama namun lebih pendek dibanding berdiri yang pertama, lalu ruku' lama namun lebih pendek dibanding ruku' yang pertama, kemudian beliau mengangkat kepala lalu sujud, kemudian selesailah dan matahari telah terang, lalu beliau berkhutbah di hadapan orang-orang. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Dalam suatu riwayat Muslim: Beliau sholat ketika terjadi gerhana matahari delapan ruku' dalam empat sujud.
... وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلاَّ تَخْوِيفاً (59)
…Dan kami tidak mengutus ayat-ayat kecuali menakuti manusia (AL-Isra :59)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ 
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Yunus dari Al Hasan dari Abu Bakrah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan keduanya tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Akan tetapi dengan peristiwa itu Allah Ta'ala ingin membuat para hamba-Nya takut (dengan siksa-Nya  (HR.Al-Bukhori no. 990).

Dari ayat dan hadits di atas, sikap yang benar dituntut ketika menghadapi gerhana adalah lahirnya rasa takut dengan benar baik dalam pelaksanaan mau pun objek yang ditakutinya. Kekhawatiran akan menimpanya sesuatu yang membahayakan atau tidak menyenangkan karena didorong oleh sangkaan atau memang sudah diketahui oleh ilmu dari informasi atau pengalaman. inilah yang dirasakan manusia sebagai rasa takut. Rasa takut sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan manusia untuk melindungi sesuatu yang dianggapnya berharga. oleh karena itu rasa takut berbanding lurus dengan anggapan keberhargaan akan sesuatu, takut kehilangan satu juta rupiah akan terasa lebih besar dengan takut kehilangan sepuluh ribu rupiah. 

Pada batas, normal rasa takut ini sangat bermanfaat, namun ketika rasa takut ini melewati ambang batas wajarnya, manusia akan merasakan ketidakstabilan emosi atau jiwa yang mempengaruhi kesehatan fisik yang disebut dengan psikosomatik, contoh sederhana banyak orang sakit karena kehilangan harta benda atau seseorang yang disayanginya. Akibat lain dari rasa takut di luar ambang batas wajar adalah ketakutan manusia pada sesuatu yang tidak wajar untuk ditakuti, ada yang takut dengan pisang, ada yang takut dengan tempe dll. inilah yang kita kenal dengan phobia. 

Rasa Sieun dina Al-Qur’an aya dua macem : Khauf jeung Khasyah, khauf rasa kasieun nu timbul kusabab geus karasa atawa geus kauninga ayana ciri-ciri nu bakal ngamadhorotken. Sieun ka Allah mah kanu adzabna beda jeung sieun siga ka singa, sieun ka sing mah urang kudu ngajauhan da bisi nyilakakeun, sedengkeun sieun ka Allah mah justru urang kudu ngadekeutan sabab Allah salian kudu dipikaseun tumiba siksaana oge kudu dipikasieun leungit kanyaahna. Kasieun ieu nu disebut khasyyah ngandung harti sieun ku alatan segen atawa hormat,  sieu leungitna kanyaah ku alatan pari polah urang nu teu dipikareseup ku nu dipikahormat.

Penyikapan rasa takut yang benar adalah dengan Dzikir dan do’a Ini dilakukan sejak awal terjadinya gerhana, hingga berakhirnya yang ditandai dengan kembalinya cahaya matahari atau bulan seperti sedia kala. Di antara doa yang beliau perintahkan adalah berlindung dari adzab kubur. Karena gerhana mengakibatkan suasana gelap meskipun pada siang hari, dan dalam suasana tersebut hati manusia pasti dihinggapi rasa takut. Suasanayang demikian mengingatkan kita akan suasana dialam kubur kelak. ( Lihat Fathul Bari hadits no.2519


Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...