PENGUNJUNG

Sabtu, 08 Desember 2018

PINTU KELUAR PERTAMA DARI RIBA ADALAH MEMAHAMINYA

Hasil gambar untuk memahami riba



Kata riba dalam Alquran ditemukan sebanyak tujuh kali, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279, surah Ali Imran ayat 130, surah An-Nisa ayat 161, surah Ar-Rum ayat 39. Perlu diketahui bahwa larangan riba dalam Alquran tidak turun sekaligus, melainkan secara bertahap, yakni dalam empat tahap;

Tahap pertama, turun ayat 39 surat ar-Rum:

وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ-الروم: 39-
Ayat ini turun di Mekah, tidak mengharamkan secara jelas, hanya berupa penolakan terhadap anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai perbuatan taqarrub kepada Allah.

Tahap kedua, turun ayat 160-161, surat an-Nisa:

فَبِظُلْمٍ مِنْ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا # وَأَخْذِهِمْ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Ayat ini turun di Madinah sebelum tahun ke-3 hijriah. Ayat ini pun belum secara tegas mengharamkan riba, namun memberikan gambaran yang buruk sebagai ancaman yang keras terhadap orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap ketiga, turun ayat 130 surat Ali ‘Imran:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Ayat ini turun di Madinah pada tahun ke-3 hijriah, untuk memberikan gambaran bahwa pengambilan riba dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut.

Tahap akhir, turun ayat 278-279 surat al-Baqarah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ # فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Ayat ini turun di Madinah  pada tahun ke-9. Ayat ini dengan jelas dan tegas mengharamkan riba dalam jenis apapun.

Definisi Riba

            Riba, secara bahasa adalah الزيادة (kelebihan atau penambahan). Dilihat dari makna bahasa, riba tidak berbeda dengan ar-ribhu (profit, keuntungan), yakni sama-sama            الزيادة على رأس المال  (penambahan atas harta pokok). Dari pengertian bahasa ini akan muncul anggapan bahwa jual-beli  sama dengan riba, karena  keduanya menghasilkan kelebihan dari modal. Karena itu makna secara bahasa tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam pembahasan ini.

زِيَادَةٌ يَأْخُذُهَا الْمُقْرِضُ مِنَ الْمُسْتَقْرِضِ مُقَابِلَ الأَجَلِ

Riba adalah kelebihan atau penambahan yang diambil oleh kreditor (pemberi pinjaman) dari debitor (peminjam) sebagai pengganti waktu” Rawa-i’ul Bayan, I:383, Ali as-Shabuni

الْفَائِدَةُ أَوِ الزِّيَادَةُ تُؤْخَذُ عَنِ الْقَرْضِ وَهُوَ نَوْعَانِ : رِبَا الْفَضْلِ وَرِبَا النَّسِيْئَةِ

Riba adalah faidah atau tambahan yang diambil dari pinjaman” Dalilul Musthalahatil Fiqhiyyah:70. Muhamad al-Qadhuri
الرِّبَا هُوَ فِي اللُّغَةِ الزِّيَادَةُ وَفِي الشَّرْعِ هُوَ فَضْلٌ خَالٍ عَنْ عِوَضٍ شُرِطَ لِأَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ
Riba menurut bahasa artinya penambahan, dan menurut syar’i adalah tambahan tanpa adanya iwadh (transaksi pengganti atau penyeimbang) yang disyaratkan kepada salah satu pihak yang berakad” At-Ta’rifat:146, Al-Jurjani
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa di kalangan para ulama terjadi pengembangan pemikiran dalam memaknai riba. Hal ini sejalan dengan perkembangan situasi ekonomi dan perdagangan pada masa masing-masing.

Macam-macam Riba
Menurut pendapat sebagian ulama’, riba itu ada empat macam:

a. Riba Fadhli
Yaitu tukar-menukar suatu barang yang sama jenisnya tapi tidak sama ukurannya/takarannya. Contoh: Seseorang menukarkan seekor kambing dengan kambing lain yang lebih besar, kelebihannya disebut riba fadhli.

b. Riba Qardhi
Yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan. Contoh: Pinjam uang Rp. 10.000,000,- waktu mengembalikan minta tambahan menjadi RP. 12.000.000,- Maka yang Rp. 2.000.000,- termasuk riba qordhi.

c. Riba Yad
Yaitu berpisah dari tempat aqad jual-beli sebelum serah terima. Contoh: Seseorang membeli barang, setelah dibayar si penjual langsung pergi padahal barang belum diketahui jumlah dan ukurannya.

d. Riba Nasiah
Yaitu tukar menukar suatu barang, yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual.
Contoh: jika membeli radio seharga Rp. 200.000,-  dicicil dengan jangka pembayaran 1 bulan dengan bunga 5% tiap bulan, maka pembayarannya 5% x Rp. 200.000,- x 12 + 200.000 =  Rp. 320.000,-
 Jika kredit 2 bulan  maka harganya 5% x Rp. 320.000,- x 12 = 192.000 + 200.000 = 392.000 Dan seterusnya.

Imam Ahmad cenderung melihat bahwa unsur riba terdapat pada hutang yang diberikan dengan syarat si peminjam bersedia membayar tambahan atas harta pokok sebagai imbalan perpanjangan waktu. Dalam dunia perbankan konvesional, hal tersebut "hampir mirip" dengan istilah bunga kredit sesuai lama waktu peminjaman (lihat, Mengenal Dunia Perbankan, 1994: 111; Undang-undang No. 14/1967 mengenai Pokok-pokok Perbankan, Bab I pasal 1 (c)).

Kriteria Bunga
Sebagaimana sikap para ulama dalam menetapkan kriteria riba, di antara ahli ekonomi konvensional pun terjadi perbedaan pendapat mengenai; a) untuk apa bunga dibayarkan, b) beberapa pakar mengatakan bahwa bunga itu adalah suatu harga, tetapi harga apa? Apa yang diberikan kreditur sehingga ia menuntut suatu imbalan uang bulan demi bulan atau tahun demi tahun? Para pendukung bunga menemukan kesulitan untuk bersepakat dalam hal ini. Perbedaan ini melahirkan berbagai konsep tentang bunga.
Jumhur ekonom berpendapat bahwa bunga adalah imbal jasa atas pinjaman uang. Imbal jasa ini merupakan suatu kompensasi kepada pemberi pinjaman atas manfaat kedepan dari uang pinjaman tersebut apabila diinvestasikan. Jumlah pinjaman tersbut disebut “pokok utang” (principal). Persentase dari pokok utang yang dibayarkan sebagai imbal jasa dalam suatu periode tertentu disebut “suku bunga”

Jenis bunga
(a)   Bunga sederhana
Bunga sederhana: adalah merupakan hasil dari pokok utang, suku bunga per periode, dan lamanya waktu peminjaman. Contohnya: Wiki meminjam Rp 230.000.000 untuk membeli sebuah mobil baru, dengan suku bunga sebesar 9.5% per tahun dan masa pinjaman adalah 5 tahun, maka bunganya adalah Rp. 230.000.000 x 9.5 % (Rp. 21.850.000) x 5 = Rp. 109.250.000. Jadi, bunga sederhana untuk pinjaman Wiki adalah Rp. 109.250.000. Berarti total pembayaran Wiki adalah
  • Pokok utang         Rp. 230.000.000
  • Bunga                  Rp. 109.250.000
  • Total                     Rp. 339.250.000.
(b)   Bunga berbunga
Bunga berbunga atau disebut juga bunga majemuk: nilai pokok utang ini akan berubah terus setiap akhir suatu periode dengan penambahan perhitungan bunga. misalnya pokok hutang adalah 1.000 dengan bunga 5%/tahun maka periode tahun pertama pokok hutangnya menjadi 1000+(1.000×5%) = 1.050. Pada periode tahun berikutnya maka perhitungannya menjadi 1050+(1050×5%)= 1.102,50. Tahun berikutnya menjadi 1.102,50+(1.102,50×5%) = 1.157,625. Dan begitulah seterusnya sesuai dengan lamanya periode.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa bunga mengandung tiga unsur; a) kelebihan atau surplus di atas modal, b) penetapan kelebihan ini berhubungan dengan waktu, c) pembayaran kelebihan itu ditetapkan ketika akad.
Dengan demikian, terdapat persamaan dan perbedaan antara riba, laba, dan bunga.
Persamaan
NAMA
UNSUR A
UNSUR B
Riba
Ada
Ada
Bunga
Ada
Ada
Laba
Ada
Tidak Ada

Keterangan:
Pada laba unsur a (kelebihan di atas modal) bukan semata-mata terkait dengan unsur b (waktu), melainkan angka produksi.
Adapun perbedaan di antara ketiganya dilihat dari unsur (c), yaitu riba tidak jelas hasil dari akad apa? Sedangkan Laba adalah hasil akad usaha perdagangan. Adapun bunga merupakan istilah yang disamakan dari berbagai akad yang berbeda, di antaranya jasa atas pinjaman uang, hasil investasi, hasil jual-beli (secara leasing, sewa-beli). Karena dapat disimpulkan bahwa tidak setiap bunga adalah riba. Dengan perkataan lain, yang “agak mirip” dengan riba nasiah adalah bunga majemuk dengan karakteristik yang telah dijelaskan di atas.

Kriteria Bunga
Sebagaimana sikap para ulama dalam menetapkan kriteria riba, di antara ahli ekonomi konvensional pun terjadi perbedaan pendapat mengenai; a) untuk apa bunga dibayarkan, b) beberapa pakar mengatakan bahwa bunga itu adalah suatu harga, tetapi harga apa? Apa yang diberikan kreditur sehingga ia menuntut suatu imbalan uang bulan demi bulan atau tahun demi tahun? Para pendukung bunga menemukan kesulitan untuk bersepakat dalam hal ini. Perbedaan ini melahirkan berbagai konsep tentang bunga.

Kata riba dalam bahasa Arab hanya tercakup sebagian dalam kata usury dalam bahasa Inggeris yang dalam penggunaan modern berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang mencekik. (Lihat, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, 1993: 1020) . Kamus Oxford mendefinisikan usury sebagai “praktik meminjamkan uang dengan suku bunga yang berlebih-lebihan, terutama bunga itu lebih besar dari apa yang telah dibolehkan atau ditetapkan oleh hukum”. Menurut definisi ini, setiap “tarif tambahan, khususnya yang lebih tinggi dari tarif yang telah ditentukan oleh pemerintah adalah suku bunga yang sangat berlebihan.” (Lihat, Muhamad: Encyclopedia of Seerah (alih bahasa Dewi Nurjulianti), 1997:318). Lebih jauh, pakar ekonomi Thomas Aquinas (1225-1274) berpendapat bahwa bunga harus dianggap sebagai biaya hipotetis (anggapan dasar)  yang dengan curang diminta untuk sesuatu yang dimiliki secara umum, yaitu waktu. (Ibid., 320

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa bunga mengandung tiga unsur; a) kelebihan atau surplus di atas modal, b) penetapan kelebihan ini berhubungan dengan waktu, c) akad yang menjadi syarat pembayaran kelebihan itu.

Dengan demikian, terdapat persamaan dan perbedaan antara riba, laba, dan bunga dalam masyarakat kapitalis. Dikatakan sama dilihat dari unsur (a) dan (b) kecuali pada laba kelebihan di atas modal bukan berhubungan dengan waktu melainkan hasil angka produksi. Berbeda dilihat dari unsur (c), yaitu riba tidak jelas hasil dari akad apa? Laba hasil akad usaha perdagangan. Bunga merupakan istilah yang disamakan dari berbagai akad yang berbeda. Sebagian ada hasil investasi. Hasil jual-beli (secara leasing, sewa-beli). Dan ada pula hasil dari modal milik bank yang dipinjamkan.

Perbedaan Bunga dengan Bagi Hasil
Setelah kita mengkaji  hakikat riba dan bunga di atas, maka kita dapat melihat adanya perbedaan antara imbalan yang berdasarkan bunga dengan yang berdasarkan  bagi hasil. Adapun perbedaannya sebagai berikut:
Bunga
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa berpedoman pada untung rugi.
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
c. Pembayaran bunga tetap seperti dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan pihak nasabah untung atau rugi
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” (berhasil).
e. Pertambahan bunga menjadi tidak terbatas oleh waktu melainkan oleh kemampuan membayar

Bagi hasil
a. Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada untung rugi.
b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan  pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Bagi hasil bergantung kepada proyek yang dijalankan. Sekiranya itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah pendapatan.
e. Imbalan melalui sistem bagi hasil kerap kali tidak tetap, sesuai kenyataan yang benar-benar terjadi
 
Jalan Keluar dari Bunga
Untuk menghindari pengoperasian bank dan lembaga keuangan non bank dengan sistem bunga, Islam sejak dahulu memperkenalkan prinsip-prinsip mu’amalat yang akan membebaskan umat dari kegelisahan yang berkepanjangan tentang bunga bank. Prinsip-prinsip mu’amalat yang dalam mekanisme atau operasionalnya bebas bunga dan sesuai dengan syariat Islam adalah sebagai berikut:

a) al-wadi’ah, yaitu titipan murni berupa uang, barang, dan surat berharga atau deposito. Titipan ini dengan seijin pemiliknya dapat dipergunakan atau dikelola oleh bank. Apabila dari pengolahan uang tersebut bank memperoleh laba, maka laba itu sepenuhnya milik bank. Bank atas kehendaknya sendiri, tanpa perjanjian dan ketentuan waktu di muka dapat memberikan bonus kepada pemiliknya sebagai bentuk terima kasih.
Dasar hukum al-wadi’ah:
1) Alquran surat An Nisa:58
2) Sunnah Rasul riwayat Abu Daud dan Tirmidzi: “Tunaikanlah titipan kepada yang berhak menerimanya.”

b) al-mudharabah, yaitu kerjasama antara pemilik modal dengan pengelola atas dasar perjanjian bagi hasil. Dengan mudharabah ini, bank dapat bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan penabung sebagai shahibul mal (pemilik modal). Pembagian keuntungan dapat dilakukan sesuai dengan nisbah (porsi kontribusi modal) yang telah disetujui bersama. Atau bisa saja bank yang memberikan modal kepada pengusaha (mudharib) dengan perjanjian bagi hasil sesuai dengan kesepakatan. Dengan ketentuan untung sama-sama rugi pun sama-sama.
Dasar hukum mudharabah:
1) Alquran surat al-Muzammil : 20
2) Sunnah Rasul riwayat Ibnu Majah: “Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkahan (1) Menjual dengan pembayaran secara kredit (2) mudharabah (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual.”

c) al-musyarakah, yaitu perjanjian usaha para pemilik modal pada suatu proyek dengan sistem bagi hasil menurut kesepakatan. Dengan musyarakah ini, pihak bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai saham pada usaha bersama (joint venture). Kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian bagi hasil.
Dasar hukum al-musyarakah:
1) Alquran surat Shad : 24.
2) Hadis Qudsi riwayat Abu Daud: “Aku pihak ketiga di antara dua orang yang berkongsi selama salah seorang di antara mereka tidak berkhianat kepada yang lainnya. Maka bila berkhianat aku akan keluar dari mereka.”

d) al-qardhul hasan, yaitu suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban semata di mana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman. Bank dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik. Dalam hal ini peran para agniya atau muhsinin sangat signifikan.
Dasar hukum al-qardhul hasan:
1) Alquran surat Al Baqarah : 245.
2) Sunnah Rasul riwayat Ibnu Hiban: “Tidaklah seorang muslim meminjamkan 2 kali kecuali sama baginya dengan memberi satu kali.”

e) al- murobahah
       Murabahah dalam arti bahasa berasal dari kata raabaha ((رابح yang akar katanya rabaha ( (ربح artinya tambahan (الزيادة). Menurut pengertian fuqaha, pengertian murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan yang diinginkannya. Misal, seseorang membeli sepeda motor Rp 12 juta termasuk biaya, pajak dan lain-lain. Pada waktu menjual sepeda motornya pada orang lain, ia menyebutkan harga pembelian ditambah dengan keuntungan yang ia inginkan sebesar Rp 2 juta, sehingga jumlah harga penjualan menjadi Rp 14 juta. Jual beli murabahah bisa dilakukan secara kontan maupun tempo (cicilan)
Dasar hukum al- murobahah:

a.       QS. Al Baqarah ayat 275:
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ...
Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

b.       HR. Bukhari, Kitab Al Buyu’:

عَنْ مُحَمَّدٍ لاَ بَأْسَ الْعَشَرَةُ بِأَحَدَ عَشَرَ وَيَأْخُذُ لِلنَّفَقَةِ رِبْحًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِهِنْدٍ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ (صحيح البخاري)
Dari Muhammad, tidak bahaya (menjual harga) sepuluh dengan sebelas, dan dia mengambil untung sebagai nafkah. Dan bersabda Nabi saw kepada Hindun:” Mengambillah engkau pada apa-apa yang mencukupi bagimu dan anak mu dengan sesuatu yang baik.”  HR. Bukhari, Kitab Al Buyu.

        Pada akhirnya, semua kembali kepada niat ihklas atau niat baik yang sungguh sungguh dari kaum muslimin sendiri, karena bagaimana pun hanya kaum muslimin yang akan berhadapan dengan halal dan haram dengan keinsafan akan adanya hari pembalasan di akhirat kelak, akan adanya surga dan neraka. Untuk mewujudkan pengoperasian ekonomi non ribawi, maka semua elemen dari kaum muslimin harus bahu membahu; ulama, muballig, agniya, muhsinin, ekonom, paktisi ekonomi, termasuk masyarakat muslim yang membutuhkan pinjaman agar berjalan seiring. Pada akhirnya setiap diri akan menghadap Allah dan mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya sendiri-sendiri. Oleh karena itu setiap langkah nyata yang ikhlas dalam membebaskan kaum muslimin dari debu pekat riba nan mencekik adalah jihad fi sabilillah. Mudah-mudahan Allah mendengar setiap hambaNya yang menjerit ingin terbebas dari riba.

Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...