PENGUNJUNG

Sabtu, 08 Desember 2018

PINTU KELUAR PERTAMA DARI RIBA ADALAH MEMAHAMINYA

Hasil gambar untuk memahami riba



Kata riba dalam Alquran ditemukan sebanyak tujuh kali, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279, surah Ali Imran ayat 130, surah An-Nisa ayat 161, surah Ar-Rum ayat 39. Perlu diketahui bahwa larangan riba dalam Alquran tidak turun sekaligus, melainkan secara bertahap, yakni dalam empat tahap;

Tahap pertama, turun ayat 39 surat ar-Rum:

وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ-الروم: 39-
Ayat ini turun di Mekah, tidak mengharamkan secara jelas, hanya berupa penolakan terhadap anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai perbuatan taqarrub kepada Allah.

Tahap kedua, turun ayat 160-161, surat an-Nisa:

فَبِظُلْمٍ مِنْ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا # وَأَخْذِهِمْ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Ayat ini turun di Madinah sebelum tahun ke-3 hijriah. Ayat ini pun belum secara tegas mengharamkan riba, namun memberikan gambaran yang buruk sebagai ancaman yang keras terhadap orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap ketiga, turun ayat 130 surat Ali ‘Imran:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Ayat ini turun di Madinah pada tahun ke-3 hijriah, untuk memberikan gambaran bahwa pengambilan riba dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut.

Tahap akhir, turun ayat 278-279 surat al-Baqarah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ # فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Ayat ini turun di Madinah  pada tahun ke-9. Ayat ini dengan jelas dan tegas mengharamkan riba dalam jenis apapun.

Definisi Riba

            Riba, secara bahasa adalah الزيادة (kelebihan atau penambahan). Dilihat dari makna bahasa, riba tidak berbeda dengan ar-ribhu (profit, keuntungan), yakni sama-sama            الزيادة على رأس المال  (penambahan atas harta pokok). Dari pengertian bahasa ini akan muncul anggapan bahwa jual-beli  sama dengan riba, karena  keduanya menghasilkan kelebihan dari modal. Karena itu makna secara bahasa tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam pembahasan ini.

زِيَادَةٌ يَأْخُذُهَا الْمُقْرِضُ مِنَ الْمُسْتَقْرِضِ مُقَابِلَ الأَجَلِ

Riba adalah kelebihan atau penambahan yang diambil oleh kreditor (pemberi pinjaman) dari debitor (peminjam) sebagai pengganti waktu” Rawa-i’ul Bayan, I:383, Ali as-Shabuni

الْفَائِدَةُ أَوِ الزِّيَادَةُ تُؤْخَذُ عَنِ الْقَرْضِ وَهُوَ نَوْعَانِ : رِبَا الْفَضْلِ وَرِبَا النَّسِيْئَةِ

Riba adalah faidah atau tambahan yang diambil dari pinjaman” Dalilul Musthalahatil Fiqhiyyah:70. Muhamad al-Qadhuri
الرِّبَا هُوَ فِي اللُّغَةِ الزِّيَادَةُ وَفِي الشَّرْعِ هُوَ فَضْلٌ خَالٍ عَنْ عِوَضٍ شُرِطَ لِأَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ
Riba menurut bahasa artinya penambahan, dan menurut syar’i adalah tambahan tanpa adanya iwadh (transaksi pengganti atau penyeimbang) yang disyaratkan kepada salah satu pihak yang berakad” At-Ta’rifat:146, Al-Jurjani
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa di kalangan para ulama terjadi pengembangan pemikiran dalam memaknai riba. Hal ini sejalan dengan perkembangan situasi ekonomi dan perdagangan pada masa masing-masing.

Macam-macam Riba
Menurut pendapat sebagian ulama’, riba itu ada empat macam:

a. Riba Fadhli
Yaitu tukar-menukar suatu barang yang sama jenisnya tapi tidak sama ukurannya/takarannya. Contoh: Seseorang menukarkan seekor kambing dengan kambing lain yang lebih besar, kelebihannya disebut riba fadhli.

b. Riba Qardhi
Yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan. Contoh: Pinjam uang Rp. 10.000,000,- waktu mengembalikan minta tambahan menjadi RP. 12.000.000,- Maka yang Rp. 2.000.000,- termasuk riba qordhi.

c. Riba Yad
Yaitu berpisah dari tempat aqad jual-beli sebelum serah terima. Contoh: Seseorang membeli barang, setelah dibayar si penjual langsung pergi padahal barang belum diketahui jumlah dan ukurannya.

d. Riba Nasiah
Yaitu tukar menukar suatu barang, yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual.
Contoh: jika membeli radio seharga Rp. 200.000,-  dicicil dengan jangka pembayaran 1 bulan dengan bunga 5% tiap bulan, maka pembayarannya 5% x Rp. 200.000,- x 12 + 200.000 =  Rp. 320.000,-
 Jika kredit 2 bulan  maka harganya 5% x Rp. 320.000,- x 12 = 192.000 + 200.000 = 392.000 Dan seterusnya.

Imam Ahmad cenderung melihat bahwa unsur riba terdapat pada hutang yang diberikan dengan syarat si peminjam bersedia membayar tambahan atas harta pokok sebagai imbalan perpanjangan waktu. Dalam dunia perbankan konvesional, hal tersebut "hampir mirip" dengan istilah bunga kredit sesuai lama waktu peminjaman (lihat, Mengenal Dunia Perbankan, 1994: 111; Undang-undang No. 14/1967 mengenai Pokok-pokok Perbankan, Bab I pasal 1 (c)).

Kriteria Bunga
Sebagaimana sikap para ulama dalam menetapkan kriteria riba, di antara ahli ekonomi konvensional pun terjadi perbedaan pendapat mengenai; a) untuk apa bunga dibayarkan, b) beberapa pakar mengatakan bahwa bunga itu adalah suatu harga, tetapi harga apa? Apa yang diberikan kreditur sehingga ia menuntut suatu imbalan uang bulan demi bulan atau tahun demi tahun? Para pendukung bunga menemukan kesulitan untuk bersepakat dalam hal ini. Perbedaan ini melahirkan berbagai konsep tentang bunga.
Jumhur ekonom berpendapat bahwa bunga adalah imbal jasa atas pinjaman uang. Imbal jasa ini merupakan suatu kompensasi kepada pemberi pinjaman atas manfaat kedepan dari uang pinjaman tersebut apabila diinvestasikan. Jumlah pinjaman tersbut disebut “pokok utang” (principal). Persentase dari pokok utang yang dibayarkan sebagai imbal jasa dalam suatu periode tertentu disebut “suku bunga”

Jenis bunga
(a)   Bunga sederhana
Bunga sederhana: adalah merupakan hasil dari pokok utang, suku bunga per periode, dan lamanya waktu peminjaman. Contohnya: Wiki meminjam Rp 230.000.000 untuk membeli sebuah mobil baru, dengan suku bunga sebesar 9.5% per tahun dan masa pinjaman adalah 5 tahun, maka bunganya adalah Rp. 230.000.000 x 9.5 % (Rp. 21.850.000) x 5 = Rp. 109.250.000. Jadi, bunga sederhana untuk pinjaman Wiki adalah Rp. 109.250.000. Berarti total pembayaran Wiki adalah
  • Pokok utang         Rp. 230.000.000
  • Bunga                  Rp. 109.250.000
  • Total                     Rp. 339.250.000.
(b)   Bunga berbunga
Bunga berbunga atau disebut juga bunga majemuk: nilai pokok utang ini akan berubah terus setiap akhir suatu periode dengan penambahan perhitungan bunga. misalnya pokok hutang adalah 1.000 dengan bunga 5%/tahun maka periode tahun pertama pokok hutangnya menjadi 1000+(1.000×5%) = 1.050. Pada periode tahun berikutnya maka perhitungannya menjadi 1050+(1050×5%)= 1.102,50. Tahun berikutnya menjadi 1.102,50+(1.102,50×5%) = 1.157,625. Dan begitulah seterusnya sesuai dengan lamanya periode.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa bunga mengandung tiga unsur; a) kelebihan atau surplus di atas modal, b) penetapan kelebihan ini berhubungan dengan waktu, c) pembayaran kelebihan itu ditetapkan ketika akad.
Dengan demikian, terdapat persamaan dan perbedaan antara riba, laba, dan bunga.
Persamaan
NAMA
UNSUR A
UNSUR B
Riba
Ada
Ada
Bunga
Ada
Ada
Laba
Ada
Tidak Ada

Keterangan:
Pada laba unsur a (kelebihan di atas modal) bukan semata-mata terkait dengan unsur b (waktu), melainkan angka produksi.
Adapun perbedaan di antara ketiganya dilihat dari unsur (c), yaitu riba tidak jelas hasil dari akad apa? Sedangkan Laba adalah hasil akad usaha perdagangan. Adapun bunga merupakan istilah yang disamakan dari berbagai akad yang berbeda, di antaranya jasa atas pinjaman uang, hasil investasi, hasil jual-beli (secara leasing, sewa-beli). Karena dapat disimpulkan bahwa tidak setiap bunga adalah riba. Dengan perkataan lain, yang “agak mirip” dengan riba nasiah adalah bunga majemuk dengan karakteristik yang telah dijelaskan di atas.

Kriteria Bunga
Sebagaimana sikap para ulama dalam menetapkan kriteria riba, di antara ahli ekonomi konvensional pun terjadi perbedaan pendapat mengenai; a) untuk apa bunga dibayarkan, b) beberapa pakar mengatakan bahwa bunga itu adalah suatu harga, tetapi harga apa? Apa yang diberikan kreditur sehingga ia menuntut suatu imbalan uang bulan demi bulan atau tahun demi tahun? Para pendukung bunga menemukan kesulitan untuk bersepakat dalam hal ini. Perbedaan ini melahirkan berbagai konsep tentang bunga.

Kata riba dalam bahasa Arab hanya tercakup sebagian dalam kata usury dalam bahasa Inggeris yang dalam penggunaan modern berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang mencekik. (Lihat, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, 1993: 1020) . Kamus Oxford mendefinisikan usury sebagai “praktik meminjamkan uang dengan suku bunga yang berlebih-lebihan, terutama bunga itu lebih besar dari apa yang telah dibolehkan atau ditetapkan oleh hukum”. Menurut definisi ini, setiap “tarif tambahan, khususnya yang lebih tinggi dari tarif yang telah ditentukan oleh pemerintah adalah suku bunga yang sangat berlebihan.” (Lihat, Muhamad: Encyclopedia of Seerah (alih bahasa Dewi Nurjulianti), 1997:318). Lebih jauh, pakar ekonomi Thomas Aquinas (1225-1274) berpendapat bahwa bunga harus dianggap sebagai biaya hipotetis (anggapan dasar)  yang dengan curang diminta untuk sesuatu yang dimiliki secara umum, yaitu waktu. (Ibid., 320

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa bunga mengandung tiga unsur; a) kelebihan atau surplus di atas modal, b) penetapan kelebihan ini berhubungan dengan waktu, c) akad yang menjadi syarat pembayaran kelebihan itu.

Dengan demikian, terdapat persamaan dan perbedaan antara riba, laba, dan bunga dalam masyarakat kapitalis. Dikatakan sama dilihat dari unsur (a) dan (b) kecuali pada laba kelebihan di atas modal bukan berhubungan dengan waktu melainkan hasil angka produksi. Berbeda dilihat dari unsur (c), yaitu riba tidak jelas hasil dari akad apa? Laba hasil akad usaha perdagangan. Bunga merupakan istilah yang disamakan dari berbagai akad yang berbeda. Sebagian ada hasil investasi. Hasil jual-beli (secara leasing, sewa-beli). Dan ada pula hasil dari modal milik bank yang dipinjamkan.

Perbedaan Bunga dengan Bagi Hasil
Setelah kita mengkaji  hakikat riba dan bunga di atas, maka kita dapat melihat adanya perbedaan antara imbalan yang berdasarkan bunga dengan yang berdasarkan  bagi hasil. Adapun perbedaannya sebagai berikut:
Bunga
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa berpedoman pada untung rugi.
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
c. Pembayaran bunga tetap seperti dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan pihak nasabah untung atau rugi
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” (berhasil).
e. Pertambahan bunga menjadi tidak terbatas oleh waktu melainkan oleh kemampuan membayar

Bagi hasil
a. Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada untung rugi.
b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan  pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Bagi hasil bergantung kepada proyek yang dijalankan. Sekiranya itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah pendapatan.
e. Imbalan melalui sistem bagi hasil kerap kali tidak tetap, sesuai kenyataan yang benar-benar terjadi
 
Jalan Keluar dari Bunga
Untuk menghindari pengoperasian bank dan lembaga keuangan non bank dengan sistem bunga, Islam sejak dahulu memperkenalkan prinsip-prinsip mu’amalat yang akan membebaskan umat dari kegelisahan yang berkepanjangan tentang bunga bank. Prinsip-prinsip mu’amalat yang dalam mekanisme atau operasionalnya bebas bunga dan sesuai dengan syariat Islam adalah sebagai berikut:

a) al-wadi’ah, yaitu titipan murni berupa uang, barang, dan surat berharga atau deposito. Titipan ini dengan seijin pemiliknya dapat dipergunakan atau dikelola oleh bank. Apabila dari pengolahan uang tersebut bank memperoleh laba, maka laba itu sepenuhnya milik bank. Bank atas kehendaknya sendiri, tanpa perjanjian dan ketentuan waktu di muka dapat memberikan bonus kepada pemiliknya sebagai bentuk terima kasih.
Dasar hukum al-wadi’ah:
1) Alquran surat An Nisa:58
2) Sunnah Rasul riwayat Abu Daud dan Tirmidzi: “Tunaikanlah titipan kepada yang berhak menerimanya.”

b) al-mudharabah, yaitu kerjasama antara pemilik modal dengan pengelola atas dasar perjanjian bagi hasil. Dengan mudharabah ini, bank dapat bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan penabung sebagai shahibul mal (pemilik modal). Pembagian keuntungan dapat dilakukan sesuai dengan nisbah (porsi kontribusi modal) yang telah disetujui bersama. Atau bisa saja bank yang memberikan modal kepada pengusaha (mudharib) dengan perjanjian bagi hasil sesuai dengan kesepakatan. Dengan ketentuan untung sama-sama rugi pun sama-sama.
Dasar hukum mudharabah:
1) Alquran surat al-Muzammil : 20
2) Sunnah Rasul riwayat Ibnu Majah: “Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkahan (1) Menjual dengan pembayaran secara kredit (2) mudharabah (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual.”

c) al-musyarakah, yaitu perjanjian usaha para pemilik modal pada suatu proyek dengan sistem bagi hasil menurut kesepakatan. Dengan musyarakah ini, pihak bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai saham pada usaha bersama (joint venture). Kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian bagi hasil.
Dasar hukum al-musyarakah:
1) Alquran surat Shad : 24.
2) Hadis Qudsi riwayat Abu Daud: “Aku pihak ketiga di antara dua orang yang berkongsi selama salah seorang di antara mereka tidak berkhianat kepada yang lainnya. Maka bila berkhianat aku akan keluar dari mereka.”

d) al-qardhul hasan, yaitu suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban semata di mana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman. Bank dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik. Dalam hal ini peran para agniya atau muhsinin sangat signifikan.
Dasar hukum al-qardhul hasan:
1) Alquran surat Al Baqarah : 245.
2) Sunnah Rasul riwayat Ibnu Hiban: “Tidaklah seorang muslim meminjamkan 2 kali kecuali sama baginya dengan memberi satu kali.”

e) al- murobahah
       Murabahah dalam arti bahasa berasal dari kata raabaha ((رابح yang akar katanya rabaha ( (ربح artinya tambahan (الزيادة). Menurut pengertian fuqaha, pengertian murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan yang diinginkannya. Misal, seseorang membeli sepeda motor Rp 12 juta termasuk biaya, pajak dan lain-lain. Pada waktu menjual sepeda motornya pada orang lain, ia menyebutkan harga pembelian ditambah dengan keuntungan yang ia inginkan sebesar Rp 2 juta, sehingga jumlah harga penjualan menjadi Rp 14 juta. Jual beli murabahah bisa dilakukan secara kontan maupun tempo (cicilan)
Dasar hukum al- murobahah:

a.       QS. Al Baqarah ayat 275:
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ...
Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

b.       HR. Bukhari, Kitab Al Buyu’:

عَنْ مُحَمَّدٍ لاَ بَأْسَ الْعَشَرَةُ بِأَحَدَ عَشَرَ وَيَأْخُذُ لِلنَّفَقَةِ رِبْحًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِهِنْدٍ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ (صحيح البخاري)
Dari Muhammad, tidak bahaya (menjual harga) sepuluh dengan sebelas, dan dia mengambil untung sebagai nafkah. Dan bersabda Nabi saw kepada Hindun:” Mengambillah engkau pada apa-apa yang mencukupi bagimu dan anak mu dengan sesuatu yang baik.”  HR. Bukhari, Kitab Al Buyu.

        Pada akhirnya, semua kembali kepada niat ihklas atau niat baik yang sungguh sungguh dari kaum muslimin sendiri, karena bagaimana pun hanya kaum muslimin yang akan berhadapan dengan halal dan haram dengan keinsafan akan adanya hari pembalasan di akhirat kelak, akan adanya surga dan neraka. Untuk mewujudkan pengoperasian ekonomi non ribawi, maka semua elemen dari kaum muslimin harus bahu membahu; ulama, muballig, agniya, muhsinin, ekonom, paktisi ekonomi, termasuk masyarakat muslim yang membutuhkan pinjaman agar berjalan seiring. Pada akhirnya setiap diri akan menghadap Allah dan mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya sendiri-sendiri. Oleh karena itu setiap langkah nyata yang ikhlas dalam membebaskan kaum muslimin dari debu pekat riba nan mencekik adalah jihad fi sabilillah. Mudah-mudahan Allah mendengar setiap hambaNya yang menjerit ingin terbebas dari riba.

Jumat, 28 September 2018

Hirup Mah Enggoning Boga Masalah


Untuk pemaparan dalam bentuk video klik Tonton video




Ku Miftah Husni

Teu aya jalma di alam dunya ieu nu lepas tina masalah, teu budak teu kolot, teu nu beunghar teu nu miskin, teu nu pinter teu nu bodo, anging kabehanana boga masalah. Tong waka mah nu cageur nu gelo oge boga masalah nyaeta gelona. Masalah tiap jelema teu sarua tapi cara nyingharepanana kalolobaanana sarua nyaeta aya nu bisa meresken jeung aya nu teu bisa meresken.

Ari kecap masalah asalna tina basa arab nyaeta  مَسْأَلَة  ieu mangrupakeun pecahan tina bentuk fiil na nyaeta saala. Ari saala  hartina biasa digunakeun keur dua perkara nu kahiji hartina ; nanya jeung nu kadua hartina menta. Ku asupna bahasa arab kana basa sunda jeng basa indonesia kecap masalah dihartikeun nalika naon nu dihareupkeun teu loyog jeung kanyataan. Ieu katingali dimana jalma nu nanya aya na pikiran nu teu loyog jeung elmu nu karek katimu sakumaha jalma nu menta teu loyog antara nu dipikaboga jeung nu dipikahayang.   Salian ti nu dipikahayang, manusa ge boga jeung nu dipikabutuh. Nalika nu dipikabutuh teu loyog jeung nu dipikaboga cingcirining ieu oge bakal jadi binih ayana masalah.

Tong waka mah sagala kabutuh jalma, sagala kahayang jalma ge bisa dilaksanaken sanajan loba nu hese. tapi dina raraga ngalaksanakena, manusa butuh leuwih loba waktu, leuwih loba tanaga, jeung leuwih loba pikiran. Padahal numutkeun Allah SWT daripada hese nyumponan kahayang lebih gampang nyabaran eta kahayang bari nyikreuh ngaikhtiaran dipapaes ku doa tur dibungkus ku sumerah diri tawakal kanu Maha Kawasa.

Allah SWT nyiptaken manusa tangtu jeng masalahna, tapi Allah Maha Adil tiap manusa dibere alat keur nyingharepan masalahna. Alat ieu nu ku urang sok disebut pikiran.

 وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“jeung Allah nu geus ngababarkeun anjeun tina beteung indung anjeun dina kaayaan teu apal nanaon tuluy ku kami dijadikeun pangdangu, pangninggal jeung hate jueng pikiran supaya anjeun bisa syukur’ [an-nahl 78]

 Konsekuensi tina pikiran nu dipikaboga manusa nyaeta manusa kudu bisa mikiran, sakumaha masalah mangrupakeun urusan matak nalika manusa mikiran nu dipikirana teh disebut uruseun. Uruseun mun teu diurus ku manusa bakal jadi uruskeuneun sabab pikiren nu teu dipikiran bakal jadi pikirkeneun keur manusa.   Pikirkeneun ngabogaan harti yen kudu aya kasimpulan nu dicokot ku manusa tina pikireun nu dipikirkeuna, kasimpulan ieu nu sok disebut ku bahasa agama ibrah, hikmah atawa palajaran dina basa sunda mah.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“saestuna tina ngayugana lalangit jeung bumi jeung gantina peuting jeung berang mangrupakeun ciri-ciri kakawasaan kami keur jalma-jalma nu ngagunakeun hate jeung pikirana”[ali imran 190]

Nalika manusa geus bisa nepi kana tingkatan pikirkeuneun maka manusa bakal leuwih wijaksana nyinghareupan masalah sanajan masalah nu kacida leutikna. Hiji conto dina irung manusa pasti aya kokotor irungna nu sok disebut korong, sanajan kokotor, tapi korong dikersakeun teu bau sakumaha kokotor nu kaluar ti palawangan manusa. Ieu lamun dipikiran ku manusa naha bisa kitu, nepi ka inget kanu maha kawasa nyiptakeun eta korong. Mangka manusa kieu nu ku Allah disebut ulul albab.

Masalah teh sabenerna mah matak rudet keur jalma nu ngarandapanana, namung nalika manusa nyinghareupan eta masalah nepi ka beresna. Sadar teu sadar manusa geus naek sadarajat leuwih hade dina hirupna. Ngala tutut nu kacida gampangna nepi ka ngala lauk di laut nu kacida lega jeung jerona  nepi ka kacipta mesin nu langsung ngawadahan lauk dina kaleng, melak jati nu panglilana mangtaun-taun nepi ka melak toge nu bisa dipanen sapoe eta lahir tina masalah kadaharan keur beteung manusa.

Konsekuensi tina lobana kahayang manusa nya bakal loba uruseun jeung pikireun, mangga perkara kadunyaan mah anjeun leuwih apal ngan lentaban seneu naraka mah kami nu leuwih apal, kitu nu dicaturken ku kanjeng Nabi Muhammad SAW.

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “anjeun leuwih apal kana urusan dunya.”  (HR. Muslim, no. 2363)                
 Keur jalma nu iman, teu cukup ngan ukur nepi kana ngenah jeung henteuna kadaharan, alus jeung henteuna papakean sarta loba jeung saeeutikna hasil tina usaha, sabab jalma nu iman mah hirupna lain hayang ngenah di dunya wungkul tapi hayang ngenah nepi ka akherat jaga di sawarga. Jalaran kitu awak manusa teh uruseun tapi nutupan akherat mah uruskeuneun nepi ka jaga tanggung jawabna. Rek ditutup ku karung atawa ku tiung, rek bentukna rok atawa calana eta mah urusan manusa leuwih apal, ngan bab nutup auratna mah kami nu leuwih apal [ al-ahzab ; 59 jeung an-Nur 31], manusa kudu nurut kanu aturan kami supaya bisa salamet dunya tur akheratna.

Pikirkeunen dina diri manusa kudu bisa misahkeun mana urusan dunya mana urusan agama, teu meunang urusan agama dilakonan malah dicampuran ku urusan dunya sanajan urusan agama hampir aya dina tiap urusan dunya. Meunang na make speker nalika adzan teu bisa disarukeun jeung make bedug sabab speker mah teu ngarubah urusan agamana sedengkeun bedug mah ngarubah urusan agamana. Ku alatan kitu, umat islam kudu ngaji, ngagunaken pikirana supaya teu katipu sabab kiwari mah loba jalma nu ges katipu ku alusna bungkus nu mangrupakeun paripolah jalma-jalma nu ceceub kana kamajuan umat islam. Jalma nu kieu mun ku urang dititenan aya tilu rupa :

Hiji; Jalma nu nyata-nyata nolak kana hukum Allah sarta boga angkeuhan yen aturan beunang inyana nu leuwih alus.

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. [al-baqarah; 6]

Dua; Jalma anu katingalina siga narima kana hukum allah, tapi upama ditengetan, maranehna teh mangrupakeun racun nu ancrub kanu madu. Ieu nu ngabahayakeun pisan. Ku urang ges kabandungan , teu saeutik umat islam anu kabelejog ku golongan  ieu. Lantaran maranehna palinter mungkus kasasaran, pabid’ahan jeung kamusyrikan ku kedok agama. contona bae ngekahan nu maot didalilan ku hadits dloif [mangga aos nailul author V; 150]; ngahadiahkeun ganjaran kanu geus maot, hajat tiluna-tujuhna majarkeun teh sidekah [aos ianatut tholibin II; 145-146] Jeng rea-rea deui.

Laku jalma kieu teh cocog pisan nu dicaritakeun ku Allah 15 abad katukang

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ 
مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ 

"yeh maraneh anu iman, ulah ngajadikeun jalma luar agama anjeun jadi babaturan kapercayaan anjeun (sabab) maranehna teu eren-eren (ngabalukarkeun) kemudharatan anjeun. aranjeunna resep naon nu jadi  gangguan keur anjeun. ngabogaan kaceceb  nyata ti sungutna, sarta naon nu aya dina hate maranéhanana nyumputkeun anu gede.” [Ali Imrân/3:118)]

Tilu; Jalma-jalma tukang nyingsieunan batur sangkan teu betah dina ngalaksanakeun hukum allah. Maranehna nuduh yen agama islam teh kejem, teroris, sabab ayana hukum qishos jeung had. Islam teh ngahinakeun awewe sabab nitah dijilbab jeng rea-rea deui. Ieu tujuan na taya lian sangka urang sarua jeung maranehanana sakumaha dina ayat di handap

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).[an-Nisâ/4:89]

Dumasar pasualan di luhur nya kawajiban urang sarerea husuna umat islam nu ngakhususkeun dirina keur dakwah ngajak baturna kana jalan nu bener, ulah nepi kabelejog, katipu ku bungkus nu alus, kabita ku ngaran siga nu nyunnah, ulah bosen nerangkeun mana sunnah jeung bid’ah, mana taohid mana syirik sabab jalma nu ngadengekeuna oge gonta-ganti lian ti kitu urang kudu nepikeun ka turunan-turunan urang saterusna. Cag ieu teh pikirkeuneun urang!


Dzikrul Maut #5

  (Kitab At-Tadzkiroh Bi Ahwali Mauta wa Umuri Akhirat/ Peringatan Tentang keadaan orang Mati dan urusan-urusan Akhirat/Imam Al Qurthubi) KO...